Sabtu, 02 November 2013

paham

sesat

Oktober 14, 2011
1 Komentar
FAHAM SESAT
Definisi SESAT
Sesat atau kesesatan bahasa Arabnya adalah dhalâl atau dhalâlah. Ia merupakan mashdar (gerund) dari dhalla–yadhillu–dhalâl[an] wa dhalâlat[an]; maknanya di antaranya: ghâba wa khâfa (tersembunyi), dzahaba (pergi/lenyap), dhâ’a (sia-sia), halaka (rusak), nasiya (lupa), al-hayrah (bingung), dan khatha’a (keliru).1
Pendapat Para Ahli
Abu Amru seperti dikutip al-Azhari dan Ibn Manzhur, Abu Manshur yang dikutip Ibn Manzhur, dan Ibn al-‘Arabi yang dikutip al-Qurthubi, menyatakan bahwa asal dari dhalâl adalah al-ghaybûbah (tersembunyi/gaib).2 Menurut al-Alusi dan Abu Hilal al-‘Askari, asal dari dhalâl adalah al-halâk (rusak).3 Kemudian al-Baghawi menggabungkan keduanya bahwa asal dari dhalâl adalah al-halâk wa al-ghaybûbah (rusak dan tersembunyi).4
Kata dhalla dan bentukannya banyak sekali terdapat di dalam al-Quran dan hadis. Al-Quran menyatakan kata dhalla dan bentukannya minimal sebanyak 191 kali di 105 ayat. Di antaranya juga menggunakan makna bahasa di atas (Lihat, misalnya: QS Thaha [20]: 52; QS asy-Syuara’ [26]: 20; QS al-Baqarah [2]: 282; QS ar-Ra’d [13]: 14; QS al-An’am [6]: 94; QS al-Qamar [54]: 47).
Dhalâl juga berarti dhiddu al-hudâ wa ar-rasyâd (lawan dari petunjuk dan bimbingan). Ibn al-Kamal dan al-Jurjani menyatakan bahwa dhalâl adalah ketiadaan sesuatu yang mengantarkan pada apa yang dituntut; atau jalan yang tidak mengantarkan kepada yang dicari/tujuan.5 Al-Qurthubi mengatakan bahwa dhalâl hakikatnya adalah pergi meninggalkan kebenaran, diambil dari tersesatnya jalan, yaitu menyimpang dari jalan yang seharusnya. Ibn ‘Arafah berkata, “Adh-Dhalâl, menurut orang Arab, adalah berjalan di jalan yang bukan jalan yang dimaksud (bukan jalan yang mengantarkan pada maksud dan tujuan).”6
Abu Ja’far, seperti dinukil oleh ath-Thabari, mengatakan, “Jadi, setiap orang yang menyimpang dari jalan yang dimaksudkan, dan menempuh selain jalan yang lurus, menurut orang Arab, ia sesat, karena ketersesatannya dari arah jalan yang seharusnya.”7
Walhasil, dhalâl secara tradisi tidak lain adalah penyimpangan dari jalan yang bisa mengantarkan pada tujuan yang diinginkan, atau penyimpangan dari jalan yang seharusnya.
Pandangan Secara Syar’i
Secara syar’i, jalan yang dimaksud tentu saja jalan kebenaran (tharîq al-haqq) atau jalan yang lurus (tharîq al-mustaqim), yang tidak lain adalah Islam itu sendiri. Prof. Rawas Qal’ah Ji menjelaskan bahwa adh-dhalâl adalah tidak tertunjuki pada kebenaran (‘adam al-ihtidâ’ ilâ al-haqq).8 Menurut ar-Raghib al-Asfahani, adh-dhalâl adalah penyimpangan dari jalan yang lurus (al-‘udûl ‘an ath-tharîq al-mustaqîm). Al-Qurthubi, ketika menafsirkan surat al-A’raf ayat 60, menyatakan bahwa adh-dhalâl adalah penyimpangan dari jalan kebenaran dan pergi darinya (al-‘udûl ‘an tharîq al-haqq wa adz-dzihâb ‘anhu).
Adh-Dhalâl bisa terjadi dalam masalah akidah maupun hukum syariah. Murtadha az-Zabidi di dalam Tâj al-’Urûs (1/7250) menyatakan, “Adh-Dhalâl (dilihat) dari sisi lain ada dua bentuk: dhalâl pada al-’ulûm an-nazhariyyah seperti dhalâl dalam ma’rifah akan wahdaniyah Allah, kenabian, dsb yang ditunjukkan dalam QS an-Nisa’ [4]: 136; dan dhalâl dalam al-’ulûm al-’amaliyyah seperti ma’rifah tentang hukum-hukum syariah, yang merupakan ibadah.”9
Al-Quran
Al-Quran menjelaskan orang-orang yang sesat, yaitu orang-orang yang menyekutukan Allah (QS an-Nisa’ [4]: 116); orang kafir (QS an-Nisa’ [4]: 136); orang murtad alias menjadi kafir setelah beriman (QS Ali Imran [3]: 90); orang yang membunuh anak-anak mereka karena kebodohan lagi tidak mengetahui, dan mereka mengharamkan apa yang Allah telah berikan kepada mereka semata-mata demi mendustakan Allah (QS al-An’am [6]:140); berputus asa dari rahmat Tuhannya (QS al-Hijr [15]: 56); orang yang telah dikuasai oleh kejahatannya (QS al-Mu’minun [23]:106); mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, yaitu memilih yang lain dalam suatu perkara, padahal Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu keputusan dalam perkara tersebut (QS al-Ahzab [33]: 36); orang kafir, yaitu orang yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan akhirat serta menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah dan menginginkan agar jalan Allah itu bengkok (QS Ibrahim [14]: 2-3). Termasuk bagian dari kesesatan (adh-dhalâlah) adalah perilaku berhukum kepada thaghut (QS an-Nisa’ [4]: 60) serta mengambil musuh Allah dan musuh kaum Muslim sebagai wali, karena rasa kasih sayang (QS Mumtahanah [60]: 28), dan sebagainya.
Berdasarkan semua itu, secara syar’i, adh-dhalâl bisa didefinisikan sebagai penyimpangan dari Islam dan kufur terhadap Islam (inhirâf ’an al-islâm wa kufr bihi). Dengan demikian, semua bentuk penyimpangan dari Islam merupakan bagian dari kesesatan. Akan tetapi, tidak semua bentuk penyimpangan dari Islam itu menjadikan pelakunya bisa divonis sesat. Al-Quran sendiri menjelaskan bahwa perbuatan berhukum pada hukum thaghut (hukum selain dari yang diturunkan oleh Allah) merupakan perbuatan kufur. Namun, tidak semua pelakunya divonis kafir, tetapi ada juga yang dinilai fasik atau zalim.
Penyimpangan dari Islam itu bisa berupa kesalahan, yaitu kekeliruan pemahanan dan praktik yang terkait dengan perkara syariah yang konsekuensinya adalah maksiat. Namun, penyimpangan bisa juga dalam bentuk kesalahan pemahaman yang terkait dengan perkara akidah atau syariah, tetapi diyakini kebenarannya, yaitu yang merupakan perkara qath’i atau bagian dari perkara yang ma’lûm min ad-dîn bi adh-dharûrah, yang konsekuensinya adalah kekufuran. Hal yang sama berlaku juga dalam hal pengingkaran.
Dengan demikian, penyimpangan dan pengingkaran yang berkonsekuensi penganut atau pelakunya bisa dinilai sesat adalah penyimpangan atau pengingkaran dalam perkara ushul, bukan dalam perkara furu’. Perkara ushul adalah perkara yang berkaitan dengan akidah.
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI)
Dalam hal ini Majelis Ulama Indonesia telah memberikan kriteria suatu paham atau aliran bisa dinilai sesat, yaitu apabila memenuhi salah satu dari kriteria berikut10:
1. Mengingkari salah satu dari rukun iman yang 6 (enam) yakni beriman kepada Allah, malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, Hari Akhirat, Qadha dan Qadar; serta Rukun Islam yang 5 (lima), yakni: mengucapkan dua kalimah syahadat, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, menunaikan ibadah haji.
2. Meyakini dan atau mengikuti akidah yang tidak sesuai dengan dalil syariah (Al-Quran dan as-Sunah)
3. Meyakini turunnya wahyu setelah al-Quran.
4. Mengingkari otentisitas dan atau kebenaran isi al-Quran
5. Melakukan penafsiran al-Quran yang tidak berdasarkan kaidah-kaidah tafsir.
6. Mengingkari kedudukan hadis Nabi sebagai sumber ajaran Islam
7. Menghina, melecehkan dan atau merendahkan para nabi dan rasul.
8. Mengingkari Nabi Muhammad saw. sebagai nabi dan rasul terakhir.
9. Mengubah, menambah dan atau mengurangi pokok-pokok ibadah yang telah ditetapkan oleh syariah, seperti haji tidak ke Baitullah, salat fardhu tidak 5 waktu.
10. Mengkafirkan sesama Muslim tanpa dalil syar’i, seperti mengkafirkan Muslim hanya karena bukan kelompoknya.
Pandangan para Ulama Terdahulu
Kriteria-kriteria ini bukan hal baru. Para ulama sejak dulu telah membahasnya. Meski demikian, siapapun tidak boleh gampang mengatakan orang lain sesat. Penilaian sesat itu serupa dengan penilaian kafir. Abu Hurairah dan Ibn Umar menuturkan bahwa Rasulullah saw bersabda:
أَيُّمَا امْرِئٍ قَالَ لأَخِيهِ يَا كَافِرُ فَقَدْ بَاءَ بِهَا أَحَدُهُمَا إِنْ كَانَ كَمَا قَالَ وَإِلاَّ رَجَعَتْ عَلَيْهِ
Siapa saja yang berkata kepada saudaranya (yang Muslim), “Hai kafir,” maka sungguh tuduhan itu berlaku kepada salah seorang dari keduanya, jika memang tuduhan itu benar; jika tidak, tuduhan itu kembali ke pihak penuduh. (HR. al-Bukhari, Muslim dan Ahmad).
Justifikasi sesat itu harus dilakukan melalui proses pembuktian (bayyinah). Jika sudah terbukti sesat dengan bukti-bukti yang meyakinkan, maka harus dikatakan sesat, seperti Ahmadiyah. Kemudian penganutnya didakwahi agar bertobat dan kembali pada yang haq, yaitu Islam. Wallâhu a’lam bi ash-shawâb.
Sufiks -isme berasal dari Yunani -ismos, Latin -ismus, Perancis Kuna -isme, dan Inggris -ism. Akhiran ini menandakan suatu faham atau ajaran atau kepercayaan. Beberapa agama yang bersumber kepada kepercayaan tertentu memiliki sufiks -isme.
Hal-hal yang memiliki akhiran -isme:
• Agama (Buddhisme, Yudaisme, Mormonisme, selengkapnya lihat: Daftar agama)
• Doktrin atau filosofi (pasifisme, olimpisme, nihilisme, dll)
• Teori yang dikembangkan oleh orang tertentu (Marxisme, Maoisme, Leninisme, selengkapnya lihat: Ideologi yang berasal dari nama orang)
• Gerakan politis (feminisme, egalitarianisme, dll)
• Gerakan artistik (kubisme, anamorfisme, dll)
• Karakteristik, kualitas, atau bersumber dari (nasionalisme, heroisme, dll)
• Tindakan, proses, atau pekerjaan (voyeurisme, eksorsisme, dll)
• Keadaan atau kondisi (pauperisme, dll)
• Kelebihan atau penyakit (botulisme, dll)
• Bias atau diskriminasi (rasisme, seksisme, spesiesisme, dll)
• Karakteristik atau cara berbicara (Yogiisme, Bushisme)
• Syirik yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam Rububiyyah dan Uluhiyyah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Umumnya menyekutukan dalam Uluhiyyah Allah, yaitu hal-hal yang merupakan kekhususan bagi Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah disamping berdo’a kepada Allah, atau memalingkan suatu bentuk ibadah seperti menyembelih (kurban), bernadzar, berdo’a dan sebagainya kepada selainNya.
• Karena itu, barangsiapa menyembah selain Allah berarti ia meletakkan ibadah tidak pada tempatnya dan memberikannya kepada yang tidak berhak, dan itu merupakan kezhaliman yang paling besar.
• Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Artinya : Sesungguhnya menyekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang besar”[ Luqman: 13]
• Allah tidak akan mengampuni orang yang berbuat syirik kepadaNya, jika ia meninggal dunia dalam kemusyrikannya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Artinya : Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar”.[An-Nisaa': 48]
• Surga-pun Diharamkan Atas Orang Musyrik. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
• Artinya : Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan Surga kepadanya, dan tempatnya ialah Neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolong pun”[ Al-Maa'idah: 72]
• Syirik Menghapuskan Pahala Segala Amal Kebaikan. Allah Azza wa Jalla berfirman.
• Artinya : Seandainya mereka mempersekutukan Allah, niscaya lenyaplah dari mereka amalan yang telah mereka kerjakan”[Al-An'aam: 88]
• Firman Allah Subhanahu wa Ta’ala. “Artinya : Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (Nabi-Nabi) sebelummu: “Jika kamu mempersekutukan (Allah), niscaya akan hapus amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi”[Az-Zumar: 65]
• Orang Musyrik Itu Halal Darah Dan Hartanya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
• “Artinya : …Maka bunuhlah orang-orang musyirikin dimana saja kamu jumpai mereka, dan tangkaplah mereka. Kepunglah mereka dan intailah di tempat pengintaian…”[At-Taubah: 5]
• Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
• “Artinya : Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka bersaksi bahwa tiada sesembahan yang haq melainkan Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikan shalat, dan membayar zakat. Jika mereka telah melakukan hal tersebut, maka darah dan harta mereka aku lindungi kecuali dengan hak Islam dan hisab mereka ada pada Allah Azza wa jalla”[2]
• Syirik adalah dosa besar yang paling besar, kezhaliman yang paling zhalim dan kemungkaran yang paling mungkar.
• JENIS-JENIS SYIRIK
• Syirik Ada Dua Jenis : Syirik Besar dan Syirik Kecil.
• 1. Syirik Besar Syirik besar bisa mengeluarkan pelakunya dari agama Islam dan menjadikannya kekal di dalam Neraka, jika ia meninggal dunia dan belum bertaubat daripadanya.
• Syirik besar adalah memalingkan sesuatu bentuk ibadah kepada selain Allah, seperti berdo’a kepada selain Allah atau mendekatkan diri kepadanya dengan penyembelihan kurban atau nadzar untuk selain Allah, baik untuk kuburan, jin atau syaitan, atau mengharap sesuatu selain Allah, yang tidak kuasa memberikan manfaat maupun mudharat.
• Syirik Besar Itu Ada Empat Macam.
• [a]. Syirik Do’a, yaitu di samping dia berdo’a kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, ia juga berdo’a kepada selainNya. [3]
• [b]. Syirik Niat, Keinginan dan Tujuan, yaitu ia menunjukkan suatu ibadah untuk selain Allah Subhanahu wa Ta’ala [4]
• [c]. Syirik Ketaatan, yaitu mentaati kepada selain Allah dalam hal maksiyat kepada Allah [5]
• [d]. Syirik Mahabbah (Kecintaan), yaitu menyamakan selain Allah dengan Allah dalam hal kecintaan. [6]
• 2. Syirik Kecil. Syirik kecil tidak menjadikan pelakunya keluar dari agama Islam, tetapi ia mengurangi tauhid dan merupakan wasilah (perantara) kepada syirik besar.
• Syirik Kecil Ada Dua Macam.
• [a]. Syirik Zhahir (Nyata), yaitu syirik kecil yang dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dalam bentuk ucapan misalnya, bersumpah dengan nama selain Allah.
• Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda.
• “Artinya : Barangsiapa bersumpah dengan nama selain Allah, maka ia telah berbuat kufur atau syirik”[7]
• Qutailah Radhiyallahuma menuturkan bahwa ada seorang Yahudi yang datang kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan berkata: “Sesungguhnya kamu sekalian melakukan perbuatan syirik. Kamu mengucapkan: “Atas kehendak Allah dan kehendakmu” dan mengucapkan: “Demi Ka’bah”. Maka Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan para Shahabat apabila hendak bersumpah supaya mengucapkan, “Demi Allah Pemilik Ka’bah” dan mengucapkan: “Atas kehendak Allah kemudian atas kehendakmu”[8]
• Syirik dalam bentuk ucapan, yaitu perkataan. “Kalau bukan karena kehendak Allah dan kehendak fulan” Ucapan tersebut salah, dan yang benar adalah. “Kalau bukan karena kehendak Allah, kemudian karena kehendak si fulan”
• Kata (kemudian) menunjukkan tertib berurutan, yang berarti menjadikan kehendak hamba mengikuti kehendak Allah.[9]
• [b]. Syirik Khafi (Tersembunyi), yaitu syirik dalam hal keinginan dan niat, seperti riya’ (ingin dipuji orang) dan sum’ah (ingin didengar orang) dan lainnya.
• Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersabda.
• “Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas kalian adalah syirik kecil. “Mereka (para Shahabat) bertanya: “Apakah syirik kecil itu, ya Rasulullah?” .Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Yaitu riya’”[10]
Kāfir (bahasa Arab: كافر kāfir; plural كفّار kuffār) secara harfiah berarti orang yang menyembunyikan atau mengingkari kebenaran. Dalam terminologi kultural kata ini digunakan dalam agama Islam untuk merujuk kepada orang-orang yang mengingkari nikmat Allah (sebagai lawan dari kata syakir, yang berarti orang yang bersyukur).[1]
Etimologi
Kāfir berasal dari kata kufur yang berarti ingkar, menolak atau menutup.
Pada zaman sebelum Islam, istilah tersebut digunakan untuk para petani yang sedang menanam benih di ladang, menutup/mengubur dengan tanah. Sehingga kalimat kāfir bisa dimplikasikan menjadi “seseorang yang bersembunyi atau menutup diri”.
Jadi menurut syariat Islam, manusia kāfir terdiri dari beberapa makna, yaitu:
• Orang yang tidak mau membaca syahadat.
• Orang Islam yang tidak mau salat.
• Orang Islam yang tidak mau puasa.
• Orang Islam yang tidak mau berzakat.
Kata kāfir dalam Al-Qur’an
Di dalam Al-Qur’an, kitab suci agama Islam, kata kafir dan variasinya digunakan dalam beberapa penggunaan yang berbeda:
• Kufur at-tauhid (Menolak tauhid): Dialamatkan kepada mereka yang menolak bahwa Tuhan itu satu.
Sesungguhnya orang-orang kafir, sama saja bagi mereka, kamu beri peringatan atau tidak kamu beri peringatan, mereka tidak akan beriman. (Al-Baqarah ayat 6)
• Kufur al-ni`mah (mengingkari nikmat): Dialamatkan kepada mereka yang tidak mau bersyukur kepada Tuhan
Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari (nikmat)-Ku (la takfurun). (Al-Baqarah ayat 152)
• Kufur at-tabarri (melepaskan diri)
Sesungguhnya telah ada suri tauladan yang baik bagimu pada Ibrahim dan orang-orang yang bersama dengan dia; ketika mereka berkata kepada kaum mereka: “Sesungguhnya kami berlepas diri daripada kamu dan daripada apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu (kafarna bikum)…” (Al-Mumtahanah ayat 4)
• Kufur al-juhud: Mengingkari sesuatu
..maka setelah datang kepada mereka apa yang telah mereka ketahui, mereka lalu ingkar (kafaru) kepadanya. (Al-Baqarah ayat 89)
• Kufur at-taghtiyah: (menanam/mengubur sesuatu)
Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah- megah antara kamu serta berbangga-banggaan tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani (kuffar). (Al-Hadid 20)
Munāfiq atau Munafik (kata benda, dari bahasa Arab: منافق, plural munāfiqūn) adalah terminologi dalam Islam untuk merujuk pada mereka yang berpura-pura mengikuti ajaran agama namun sebenarnya tidak mengakuinya dalam hatinya.
Terminologi munafik dalam Al Qur’an
Dalam Al Qur’an terminologi ini merujuk pada mereka yang tidak beriman namun berpura-pura beriman.
“ (1)Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata: “Kami mengakui, bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang munafik itu benar-benar orang pendusta. (2)Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang telah mereka kerjakan. (3)Yang demikian itu adalah karena bahwa sesungguhnya mereka telah beriman, kemudian menjadi kafir (lagi) lalu hati mereka dikunci mati; karena itu mereka tidak dapat mengerti. (Surah Al-Munafiqun 63:1-3)

Ciri-ciri orang munafik
Berdasarkan hadits, Nabi Muhammad SAW mengatakan:
“ “Tanda orang-orang munafik itu ada tiga keadaan. Pertama, apabila berkata-kata ia berdusta. Kedua, apabila berjanji ia mengingkari. Ketiga, apabila diberikan amanah (kepercayaan) ia mengkhianatinya” (HR. Bukhari dan Muslim).
Gereja Setan (bahasa Inggris: Church of Satan), seperti yang diungkapkan pada buku The Satanic Bible yang ditulis pada tahun 1969 oleh Anton LaVey, adalah sebuah organisasi yang berdedikasi pada penerimaan jasmaniah manusia (Man’s carnal self).
Sejarah
Wikinews bahasa Inggris memberitakan: Satanism: An interview with Church of Satan High Priest Peter Gilmore
Gereja Setan didirikan di San Fransisco, California, pada malam Walpurgis 30 April 1966 oleh Anton Szandor LaVey. Anton LaVey menjadi Pendeta Tinggi gereja ini sampai kematiannya pada tahun 1997.[1]
Pada tahun 1950-an, Anton LaVey membentuk sebuah kelompok yang dinamakan The Order of the Trapezoid, yang kemudian berubah menjadi badan pengurus Gereja Setan. Orang-orang yang terlibat dalam aktivitas LaVey meliputi Carin de Plessen (yang tumbuh di Istana Kerajaan Denmark), Dr. Cecil Nixon (ahli sulap, eksentris, and penemu automaton), sutradara Kenneth Anger, Asesor kota Russell Wolden, Donald Werby, antropolog Michael Harner, dan penulis Shana Alexander. Kolega LaVey lainnya pada saat itu meliputi penulis fiksi horor dan fiksi ilmiah Anthony Boucher, August Derleth, Robert Barbour Johnson, Reginald Bretnor, Emil Petaja, Stuart Palmer, Clark Ashton Smith, Forrest J. Ackerman, dan Fritz Leiber Jr.
Pada tahun pertama pembentukannya, Anton LaVey dan Gereja Setan mendapatkan perhatian media yang besar dengan secara publik melakukan upacara pernikahan Setan antara Judith Case dengan wartawan radikal John Raymond. Upacara pernikahan ini difoto oleh Joe Rosenthal, yang terkenal oleh fotonya Raising the Flag on Iwo Jima selama Perang Dunia II. Acara lainnya yang juga menarik perhatian adalah upacara pemakaman anggota Gereja Setan, Edward Olson yang juga merupakan perwira Angkatan Laut oleh permintaan istrinya.
Gereja Setan disebut-sebut dalam banyak buku dan merupakan topik artikel majalah dan surat kabar semasa tahun 1960-an dan 1970-an. Ia juga merupakan subjek utama film dokumenter Satanis (1970). LaVey juga muncul dalam film Kenneth Anger, Invocation of my Demon Brother, dan berperan sebagai penasehat teknis dalam film The Devil’s Rain (dibintangi oleh Ernest Borgnine, William Shatner, dan John Travolta).
Pada tahun 1975, LaVey menciptakan kontroversi dalam Gereja Setan itu sendiri dengan menghilangkan sistem “Grotto” Gereja dan mengeluarkan orang-orang yang dia anggap menggunakan Gereja ini sebagai prestasi di dunia luar. Pada saat yang sama, LaVey menjadi lebih selektif dalam menerima wawancara. Aktivitas yang “tertutup” ini kemudian menyebabkan rumor bahwa Gereja ini telah tutup atau LaVey telah mati.
Pada tahun 1980-an, umat Kristen, para ahli terapi yang terspesialisasi dalam pemulihan ingatan, dan media massa mengungkit-ungkit kembali konspirasi kejahatan yang berhubungan dengan Gereja Setan. Anggota-anggota Gereja Setan seperti Peter H. Gilmore, Peggy Nadramia, Boyd Rice, Adam Parfrey, Diabolos Rex, dan King Diamond, aktif dalam media massa untuk membantah tuduhan atas aktivitas kriminal tersebut. FBI kemudian mengeluarkan laporan resmi yang membantah teori konspirasi kriminal itu. Fenomena ini kemudian dikenal sebagai “The Satanic Panic”.
Pada tahun 1980-an dan 1990-an, Gereja Setan dan para anggotanya sangat aktif dalam memproduksi film-film, musik, dan majalah-majalah yang berhubungan dengan Setanisme.
Setelah kematian Anton Szandor LaVey, posisinya sebagai kepala Gereja Setan diteruskan oleh istrinya, Blanche Barton. Barton tetap terlibat dalam aktivitas Gereja ini; namun pada tahun 2001 ia menyerahkan posisinya kepada Peter H. Gilmore dan Peggy Nadramia. Kantor pusat Gereja Setan juga dipindahkan dari San Fransisco ke New York City. Gereja Setan tidak mengakui organisasi-organisasi lainnya sebagai pemegang sah setanisme, namun mengakui bahwa seseorang tidaklah harus menjadi anggota Gereja Setan untuk menjadi seorang Satanis.
Banyak figur-figur publik yang secara publik menjadi anggota Gereja Setan, meliputi Kenneth Anger, King Diamond, Teresa Hidy, David Vincent, Marilyn Manson, Aaron Joehlin, Boyd Rice, Marc Almond, gitaris Alkaline Trio Matt Skiba dan drummer Derek Grant, pegulat profesional Balls Mahoney, Sterling James Keenan, jurnalis Michael Moynihan, pianis Liberace, gitaris Matthew McRaith, dan Sammy Davis Jr.[2] Oleh karena Gereja Setan tidak pernah membeberkan informasi keanggotaannya secara publik, tidak diketahui berapa banyak anggota Gereja ini.
Pada Oktober 2004, Angkatan Laut Britania Raya secara resmi mengakui pendaftaran anggota angkatannya sebagai seorang Satanis
Dalam teologi Kristen, Antikristus adalah pemimpin yang dinubuatkan Alkitab yang akan menjadi musuh Kristus, yang akan menyesatkan banyak orang. Dalam ajaran Islam, kisah AntiKristus disamakan dengan tokoh Dajjal, karena dalam eskatologi Islam, Dajjal akan bertarung dengan Isa (Kristus).
Referensi Alkitabiah
[sunting] Terminologi
Kata “antikristus” berasal dari bahasa asli Yunani Koine “ἀντίχριστος” antikristos. Dimana kata tersebut terdiri dari dua akar kata αντί + Χριστός (anti + Kristos). “αντί” (anti) berarti mengganti, melawan atau mengambil tempat orang lain,[1] dan “Χριστός” (Kristos) berarti Kristus, yang dalam bahasa Yunani sama dengan “Mesias” yang berarti “yang diurapi”, dan mengacu kepada Yesus dari Nazaret[2] dalam teologi Kristen. Jadi antikristus berarti melawan, mengganti, atau mengambil tempat Kristus. Bisa juga berarti Kristus palsu atau Kristus gadungan.
[sunting] Perjanjian Baru
Kata “antikristus” hanya ditemukan empat kali, semuanya dalam tulisan Rasul Yohanes
• 1 Yohanes 2:18-19 Anak-anakku, waktu ini adalah waktu yang terakhir, dan seperti yang telah kamu dengar, seorang antikristus akan datang, sekarang telah bangkit banyak antikristus. Itulah tandanya, bahwa waktu ini benar-benar adalah waktu yang terakhir. Memang mereka berasal dari antara kita, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita; sebab jika mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita, niscaya mereka tetap bersama-sama dengan kita. Tetapi hal itu terjadi, supaya menjadi nyata, bahwa tidak semua mereka sungguh-sungguh termasuk pada kita.
• 1 Yohanes 2:22 Siapakah pendusta itu? Bukankah dia yang menyangkal bahwa Yesus adalah Kristus? Dia itu adalah antikristus, yaitu dia yang menyangkal baik Bapa maupun Anak.
• 1 Yohanes 4:3 dan setiap roh, yang tidak mengaku Yesus, tidak berasal dari Allah. Roh itu adalah roh antikristus dan tentang dia telah kamu dengar, bahwa ia akan datang dan sekarang ini ia sudah ada di dalam dunia.
• 2 Yohanes 1:7 Sebab banyak penyesat telah muncul dan pergi ke seluruh dunia, yang tidak mengaku, bahwa Yesus Kristus telah datang sebagai manusia. Itu adalah si penyesat dan antikristus.
Menurut Yohanes maka Antikristus adalah :
1. Seolah-olah berasal dari kekristenan sendiri, namun sesungguhnya tidak (Yohanes memakai kalimat “memang mereka berasal dari antara kita, tetapi mereka tidak sungguh-sungguh termasuk pada kita” pada 1 Yoh 2:19)
2. Menyangkal Yesus sebagai Kristus. (arti Kristus adalah “yang diurapi” atau Mesias dan juga menyangkal Allah yang mengutusnya.
3. Tidak berasal dari Allah atau tidak percaya kepada Yesus Kristus sebagai Anak Allah dan tidak menuruti perintah-Nya (1 Yoh. 3:23-24)
4. Tidak mengakui Yesus telah datang sebagai manusia (2 Yohanes 1:7 ).
[sunting] Dua Binatang dalam Wahyu 13
Wahyu 13 menyebutkan tentang dua binatang yang keluar dari laut dan bumi. Binatang I (1-10) menunjuk pada antikristus yang akan muncul sebagai pemimpin dari gabungan bangsa-bangsa di akhir zaman untuk melawan Allah.
Sementara Binatang II (11-18) menunjuk pada “asisten” dari antikristus. Binatang kedua inilah yang akan mengadakan tanda-tanda mujizat untuk melancarkan penyembahan bagi binatang I (antikristus). Ia akan memberikan perintah membuat patung dari binatang I serta memberikan “hidup” bagi patung tersebut dan menuntut penyembahan dari semua penduduk dunia pada waktu itu.
Wahyu 13:18 menjelaskan identitas binatang buas itu, Barangsiapa yang bijaksana, baiklah ia menghitung bilangan binatang itu, karena bilangan itu adalah bilangan seorang manusia, dan bilangannya adalah ialah enam ratus enam puluh enam. Manusia yang bilangannya 666 ini akan menguasai 3 sistem dunia
• Pemerintahan dunia ” … dan kepadanya diberikan kuasa atas setiap suku dan umat dan bahasa dan bangsa” (Wahyu 13:7, Dan 7:23)
• Ekonomi dunia ” Dan ia menyebabkan sehingga kepada semua orang, kecil atau besar, kaya atau besar, merdeka atau hamba, diberi tanda pada tangan kanannya atau pada dahinya, dan tidak seorang pun yang dapat membeli atau menjual selain dari pada mereka yang memakai tanda itu, yaitu nama binatang itu atau bilangan namanya (Wahyu 13:16-17).
• Agama dunia “… seluruh dunia heran, lalu mengikut binatang itu dan mereka menyembah naga itu, karena ia memberikan kekuasaan kepada binatang itu” (Wahyu 13:3-4,8).
Dengan kekuasaan seperti ini, maka mereka yang menolak untuk menyembah antikritus itu, tidaklah akan dapat hidup. Dalam kondisi seperti ini akan muncul banyak martir. Lalu siapakah 666 itu? Sepanjang sejarah, telah mucul orang-orang yang “disebut” sebagai antikristus. Mulai dari Kaisar Nero, Martin Luther, Paus, Adolf Hitler, Henry Kissinger, Stalin, Roosevelt, Mussolini, Karl Von Habsburg, Saddam Hussein, Mikhail Gorbachev, dan Paus. Tetapi ternyata toh hal ini tidaklah terbukti. Demikian juga dengan perkiraan-perkiraan yang baru seperti Bill Gates ataupun Omen, George W Bush, Barrack Obama, sepertinya toh akan berlalu begitu juga. Siapapun juga nantinya antikritus itu, sebenarnya tidaklah perlu dikuatirkan. Karena pada akhirnya antikristus itu akan dikalahkan oleh Kristus sendiri dalam peperangan besar di armageddon, di akhir masa 7 tahun kesengsaraan besar itu.
Dajal (bahasa Arab: al-dajjāl) adalah seorang tokoh kafir yang jahat dalam Eskatologi Islam, ia akan muncul menjelang Kiamat. Dajjal pembawa fitnah di akhir zaman, menurut Al-hadits, Nabi Muhammad SAW bersabda: “”Sejak Allah swt menciptakan Nabi Adam a.s. sampai ke hari kiamat nanti, tidak ada satu ujian pun yang lebih dahsyat daripada Dajjal”[1].
Etimologi
Dajal adalah kata Arab yang lazim digunakan untuk istilah “nabi palsu”. Namun istilah Ad-Dajjal, merujuk pada sosok “Penyamar” atau “Pembohong” yang muncul menjelang kiamat. Istilahnya adalah Al-Masih Ad-Dajjal (Bahasa Arab untuk “Al Masih Palsu”) adalah terjemahan dari istilah Syria Meshiha Deghala yang telah menjadi kosa kata umum dari Timur Tengah selama lebih dari 400 tahun sebelum Al-Quran diturunkan.
Biografi
Dajal tidak disebut dalam Al Quran, tetapi terdapat dalam hadis dan Sunah yang menguraikan sifat-sifat Dajal. Berdasarkan kepercayaan yang telah umum dalam kalangan muslim, karakteristik ad-Dajjal adalah sebagai berikut:
• Dajal memiliki cacat fisik berupa mata kiri yang buta, dan mata kanan yang dapat melihat tetapi berwarna gelap (hitam). Dalam beberapa hadis menjelaskan ia hanya memiliki sebuah mata. Ia akan menunggangi keledai putih yang satu langkahnya sama dengan satu mil jaraknya. Keledai tersebut memakan api dan menghembus asap, dapat terbang di atas daratan dan menyeberangi lautan.
• Dajal seorang pemuda posturnya gemuk, kulitnya kemerah-merahan, berambut keriting, matanya sebelah kanan buta, dan matanya itu seperti buah anggur yang masak’ (tak bersinar), serupa dengan Abdul Uzza bin Qathan (lelaki Quraisy dari Khuza’ah yang hidup di zaman Jahiliyah).[2]
• Dia akan menipu para umat muslim dengan mengajari mereka tentang surga, tapi ajaran tersebut adalah sebaliknya (Neraka).
• Huruf Arab Kaf Faa Raa (kafir, bermakna kufur) akan muncul pada dahinya dan akan mudah dilihat oleh orang muslim yang bisa membaca maupun yang buta huruf.
• Dia dapat melihat dan mendengar di banyak tempat pada waktu bersamaan.
• Dia mempunyai keahlian untuk menipu manusia.
• Dia akan coba meletakkan manusia pada tingkatan Tuhan.
• Dia akan menyatakan dirinya adalah Tuhan dan akan menipu manusia dalam berpikir. Ia mengatakan bahwa ia telah bangun dari kematian. Salah satu orang penting akan ia bunuh dan kemudian ia akan menghidupkannya. Sesudah itu Allah akan menghidupkan apa yang ia bunuh tersebut, setelah itu ia tidak memiliki kekuatan ini lagi. Berdasarkan sumber lain tentang akhirat yang ditulis Anwar al-Awlaki), seorang lelaki beriman akan datang dari Madinah terus ke Dajjal, berdiri pada atas Uhud, dan dengan beraninya mengatakan bahwa Dajjal adalah Dajjal. Kemudian ia akan bertanya, “Apakah kamu percaya bahwa aku adalah Tuhan jika aku membunuhmu dan kemudian menghidupkan kamu?” Lalu Dajjal membunuh lelaki beriman tersebut, setelah itu menghidupkannya kembali, namun lelaki itu akan berkata bahwa dia semakin tidak percaya bahwa Dajjal adalah Tuhan.
• Siapa saja yang menolak dan tidak percaya dengannya, mereka akan menderita kemarau dan kelaparan. Siapa saja yang menerimanya akan hidup dalam kehidupan senang.
• Sebagian besar ajaran Islam mempercayai bahwa ia muncul di Kota Isfahan
• Dia tidak bisa memasuki Makkah atau Madinah karena dijaga para malaikat.
• Imam Mahdi akan melawannya atas nama Islam.
• Dia akan dibunuh oleh Nabi Isa dekat pintu gerbang Lud yang merupakan wilayah Israel saat ini.
Dajal membawa air dan api
Bedasarkan sebuah hadis yang menceritakan tentang Dajal. Hadis tersebut menceritakan suatu hari pada musim kemarau, Dajal akan bertanya, “Apakah kamu menginginkan api atau air?” Jika menjawab air, itu bermakna api yang diberikannya, Jika jawabannya api, ia akan memberi air. Kamu akan diberikan air jika kamu mengakui Dajal adalah Tuhan dan bila kamu murtad dari agama Allah. Apabila kamu lebih memilih api tetapi tetap berada di jalan Allah, maka kamu akan dibunuhnya.
Dajal membawa api dan air; Rasulullah Muhammad SAW. bersabda: “Sesungguhnya Dajjal itu akan keluar dengan membawa air dan api, maka apa yang dilihat manusia sebagai air, sebenarnya itu adalah api yang membakar. Sedang apa yang dilihat oleh manusia sebagai api, maka itu sebenarnya adalah air yang dingin dan tawar. Maka barangsiapa yang menjumpainya, hendaklah menjatuhkan dirinya ke dalam apa yang dilihatnya sebagai api, kerana ia sesungguhnya adalah air tawar yang nyaman.” [3]
Dajal membawa sesuatu yang menyerupai syurga dan neraka; Dari Abu Hurairah berkata bahawa Rasulullah s.a.w bersabda: “Sukakah aku ceritakan kepadamu tentang Dajjal, yang belum diberitakan oleh Nabi kepada kaumnya. Sungguh Dajjal itu buta mata sebelahnya dan ia akan datang membawa sesuatu yang menyerupai syurga dan neraka, adapun yang dikatakan syurga, maka itu adalah neraka. Dan aku memperingatkan kalian sebagaimana Nabi Nuh a.s memperingatkan kepada kaumnya.”
Dajal membawa sungai air dan sungai api; Dari Abu Hudzaifah berkata bahwa Rasulullah s.a.w bersabda: Sesungguhnya aku lebih tahu dari Dajjal itu sendiri tentang apa padanya. Dia mempunyai dua 2 sungai mengalir. Yang satu menurut pandangan mata adalah air yang putih bersih. Yang satu lagi menurut mata adalah api yang bergelojak. Sebab itu, kalau seorang mendapatinya hendaklah mendekati sungai yang kelihatan api. Hendaklah dipejamkan matanya, kemudian ditekurkan kepalanya, lalu diminumnya air sungai itu kerana itu adalah air sungai yang sejuk. Sesungguhnya Dajjal itu buta matanya sebelah ditutupi oleh daging yang tebal, tertulis antara dua 2 matanya (di keningnya) perkataan kafir yang dapat dibaca oleh setiap orang beriman pandai baca atau tidak.[4]
Perlindungan dari Dajal
Nabi Muhammad SAW mengingatkan para pengikutnya untuk membaca dan menghapal sepuluh ayat pertama dari Surat Al-Kahfi sebagai perlindungan dari Dajjal, dan kalau bisa berlindung di kota Madinah dan Mekkah, karena Dajjal tidak akan pernah bisa masuk kota tersebut yang dijaga oleh para malaikat. Rasulullah juga mengingatkan para pengikutnya untuk berdoa, “Ya Allah! Aku berlindung dengan-Mu dari bencana Dajjal.” Dia juga menyatakan tidak ada musibah yang lebih hebat daripada bencana yang ditimbulkan Dajjal sejak penciptaan Nabi Adam hingga Hari Kebangkitan.
Iblis menurut pandangan Islam
Asal Mula
Sejak penciptaan manusia Adam, iblis diperintahkan Allah untuk bersujud kepadanya, namun iblis tidak mau sujud kepadanya. Oleh karena itu, Iblis di keluarkan oleh Tuhan dari Surga dan menjadi mahluk yang terkutuk.
Ia meminta kepada Tuhan untuk menangguhkan kematiannya hingga hari kiamat. Iblis dendam kepada manusia, keturunan Adam karena lantaran kehadiran Adam, obsesinya jadi makhluk nomor satu jadi buyar. Iblis juga disebut Setan dan seluruh jin dan manusia yang menjadi pengikutnya juga disebut Setan.
Dalam sebuah kitab karangan Imam al-Ghazali disebutkan bahwa Iblis sebelum dilaknat oleh Allah, bernama asli Azazil dan sesungguhnya ia memiliki banyak nama/julukan, yaitu:
• Langit pertama al-Abid (ahli ibadah, selalu mengabdi luar biasa kepada Allah)
• Langit kedua ar-Raki (ahli ruku)
• Langit ketiga as-Saajid (ahli sujud)
• Langit keempat al-Khaasyi (selalu merendah dan takluk kepada Allah)
• Langit kelima al-Qaanit (selalu ta’at)
• Langit keenam al-Mujtahid (bersungguh-sungguh dalam beribadah)
• Langit ketujuh az-Zahid (sederhana dalam menggunakan sarana hidup)
Tempat Tinggal Iblis
Iblis dan anak cucunya tinggal di kamar mandi, WC, tempat yang bernajis dan kotor serta tempat maksiat. Berdasarkan Anas bin Malik r.a.,
Iblis telah bertanya pada Allah, katanya : “Wahai Tuhanku! Engkau telah memberikan anak Adam tempat kediaman untuk mereka berteduh dan berzikir kepada-Mu, oleh itu tunjukkanlah padaku tempat kediaman untukku.”
Firman Allah: “Tempat kediamanmu adalah di dalam tandas.”
Iblis di Neraka
Dalam sebuah hadits diterangkan bahwa ketika para penghuni Neraka sudah sampai di neraka, di situ disediakan sebuah mimbar, pakaian, mahkota dan tali untuk mengikat Iblis, yang kesemuanya itu terbuat dari api.
Kemudian ada suara yang memerintahkan Iblis untuk naik kemimbar: “Wahai Iblis, naiklah kamu ke atas mimbar dan berbicaralah kamu kepada penghuni neraka.”
Maka dia pun naik ke mimbar dan berkata: “Wahai para penghuni neraka.”
Semua orang yang berada dalam neraka mendengar ucapannya dan memandang ke arah pemimpin mereka itu.
“Wahai orang-orang yang kafir dan orang-orang munafiq, sesungguhnya Allah SWT telah menjanjikan kepadamu dengan janji yang benar bahwa kamu semua mati lalu akan dihimpun dan dihisab menjadi dua kumpulan. Satu kumpulan ke Surga dan satu kumpulan ke Neraka Sa’ir.”
Iblis berkata lagi: “Kalian semua menyangka bahwa kalian semua tidak akan meninggalkan dunia bahkan kamu semua menyangka akan tetap berada di dunia. Tidaklah ada bagiku kekuasaan di atasmu melainkan aku hanya mengganggu kalian semua.”
“Akhirnya kalian semua mengikuti aku, maka dosa itu untuk kamu. Oleh itu janganlah kamu mengumpat aku, mencaci aku, sebaliknya umpatlah dari kamu sendiri, karena sesungguhnya kamu sendirilah yang lebih berhak mengumpat daripada aku yang mengumpat…”
“Mengapakah kamu tidak mau menyembah Allah SWT? Sedangkan Dia yang menciptakan segala sesuatunya…”
“Hari ini aku tidak dapat menyelamatkan kamu semua dari siksa Allah, dan kamu juga tidak akan dapat menyelamatkan aku. Sesungguhnya pada hari aku telah terlepas dari apa yang telah aku katakan kepada kamu, sesungguhnya aku diusir dan ditolak dari keharibaan Tuhan.”
Setelah ahli neraka mendengar kata-kata Iblis itu, lalu mereka melaknati Iblis. Setelah itu Iblis dipukul oleh Malaikat Zabaniah dengan tombak yang terbuat dari api dan jatuhlah dia ke dasar Neraka yang paling bawah, dia kekal selama-lamanya bersama-sama dengan orang-orang yang menjadi pengikutnya.
Malaikat Zabaniah lalu berkata kepada Iblis dan pengikutnya: “Tidak ada kematian bagi kamu semua dan tidak ada pula bagimu kesenangan, kamu kekal di Neraka untuk selama-lamanya.”
Penyembahan berhala adalah istilah merendahkan untuk pemujaan berhala, benda fisik seperti gambar kultus, sebagai dewa,[1] atau praktik diyakini hampir pada ibadah, seperti memberikan kehormatan yang tidak semestinya dan memperhatikan bentuk membuat selain Tuhan.[2] Dalam agama Abrahamik semua penyembahan berhala adalah sangat dilarang, meskipun dilihat sebagai apa yang merupakan penyembahan berhala mungkin berbeda di dalam dan di antara mereka. Dalam agama-agama lain penggunaan gambar kultus diterima, meskipun istilah “penyembahan berhala” tidak mungkin digunakan dalam agama, yang pada dasarnya tidak setuju. Gambar, ide, dan objek merupakan penyembahan berhala seringkali menjadi masalah perdebatan yang cukup besar, dan di dalam semua agama Abrahamik istilah ini dapat digunakan dalam pengertian yang sangat luas, dengan tidak ada implikasi bahwa perilaku menentang untuk benar-benar merupakan dari penyembahan religius dari objek fisik.
Setanisme, satanic, saetanism secara singkat dapat diartikan sebagai penyembahan setan dan menjadikannya sebagai tuhan. Selain menolak Allah, dan semua agama dan nilai keagamaan, gerakan jahat ini memiliki ajaran melaksanakan hal-hal yang oleh agama dianggap berdosa. Setanisme juga menerima setan, lambang kejahatan, sebagai pemimpin dan pembimbing.
Sejarah Satanisme
Kaum Setanis, yakni para pengikut ajaran setanisme, sudah ada dan melaksanakan kegiatan mereka di setiap tahap sejarah dan dalam setiap peradaban, dari Mesir kuno sampai Yunani kuno, serta sejak Abad Pertengahan sampai hari ini.
Di antara abad ke-14 dan ke-16, para tukang sihir dan orang yang menolak agama sama-sama memuja setan. Setelah tahun 1880-an, di Prancis, Inggris, Jerman, dan sekaligus di berbagai negara lain di Eropa dan Amerika, Setanisme diatur dalam perkumpulan dan tersebar di kalangan orang yang mencari keyakinan dan agama lain.
Penyembahan setan terus berlanjut sejak abad ke-19, mula-mula sebagai Setanisme tradisional, lalu dalam aliran sesat yang lebih kecil yang merupakan pecahannya. Upacara kejam yang dilakukan oleh tukang sihir dan orang-orang tak bertuhan, pengorbanan anak dan orang dewasa kepada setan, perayaan Misa Hitam dan upacara Setanisme tradisional lainnya telah diwariskan diam-diam secara turun temurun.
Lambang Setanisme tradisional yang terpenting adalah dewa Romawi kuno Baphomet. Pada waktu itu, Baphomet menjadi lambang bagi orang yang memuja setan. Para ahli sejarah yang menelusuri asal-usul sosok berkepala kambing ini telah menemukan beberapa petunjuk penting tentang kegiatan Setanis.
Lambang Setanis terpenting kedua adalah pentagram, yaitu bintang bersegi lima di dalam lingkaran. Yang menarik, ada dua perkumpulan rahasia lainnya di samping para Setanis yang menggunakan Baphomet dan pentagram sebagai lambang. Yang pertama adalah perkumpulan Kesatria Biara Yerusalem (Knight Templars), yaitu perkumpulan yang dituduh oleh Gereja Katolik sebagai penyembah setan, dan dibubarkan pada tahun 1311. Perkumpulan lainnya adalah perkumpulan Mason yang telah bertahun-tahun lamanya menimbulkan rasa penasaran karena kerahasiaan dan upacaranya yang aneh.
Banyak ahli sejarah, yang telah menyelidiki masalah itu, percaya bahwa terdapat hubungan antara Kesatria Biara Yerusalem dengan perkumpulan Mason. Menurut mereka, kedua kelompok itu saling melanjutkan satu sama lain. Sesudah Kesatria Biara Yerusalem dilarang oleh Gereja, perkumpulan itu melanjutkan keberadaannya secara rahasia dan akhirnya berubah menjadi paham Mason. Yang pasti tentang Freemasonry adalah, perkumpulan ini bersifat amat rahasia, punya susunan organisasi, dengan anggota di seluruh pelosok dunia.
Uraian yang diberikan para ahli seperti Leo Taxil, yang pernah menjadi seorang Mason, namun telah keluar dari perkumpulan itu, mengatakan bahwa para Mason amat menghormati Baphomet dan melangsungkan upacara yang menyerupai tata-cara penyembahan setan. Kenyataan lain yang menimbulkan kecurigaan adalah bahwa banyak pengikut Setanisme yang kemudian menjadi anggota organisasi Masonis atau Free Mason.
Kini, para setanis telah meninggalkan upacara dan markasnya yang rahasia itu, untuk keluar ke jalan-jalan. Para Setanis dengan giat menyebarkan ajarannya di setiap negara. Baik melalui buku-buku, terbitan berkala, dan Internet sebagai usaha untuk mereka merekrut anggota baru.
Tak peduli di negara mana pun mereka berada, para Setanis menampilkan citra yang sama. Cara berpakaian berwarna hitam, asesoris, tata cara penyembahan, kesamaan surat yang mereka tinggalkan sebelum melakukan bunuh diri dan ciri lainnya menunjukkan bahwa Setanisme bukanlah gerakan biasa yang isinya penganggur, melainkan sebuah organisasi yang sengaja bersandar pada landasan pemikiran.
Ideologi Setanisme
Setan adalah sebutan, bagi makhluk-makhluk yang berusaha merusak kehidupan manusia. Setan bisa dalam bentuk jin dan manusia. Mereka bekerja siang dan malam tanpa kenal lelah untuk menyesatkan manusia dari jalan Allah, agar umat manusia menjadi pengikutnya, sehingga menjadi teman mereka untuk hidup di neraka nanti, itulah inti tujuan sebenarnya.
Pada dasarnya aliran Setanisme dibagi menjadi dua macam, yaitu Teistik dan Atheistik. Aliran teistik atau biasa disebut juga Setanisme Tradisional,adalah suatu bentuk kepercayaan yang menganggap bahwa Setan sebagai dewa, sedangkan aliran Atheistik (Ateis) adalah suatu aliran kepercayaan yang tidak mengakui adanya Tuhan ataupun Dewa untuk disembah. Bahkan kaum setanisme tidak percaya adaya setan sebagai makhluk yang nyata. Meskipun disebut sebagai penyembah setan, tapi mereka tidak mengakui adanya setan. Bagi kaum setanis, setan hanyalah lambang yang menyatakan permusuhan terhadap agama dan prinsip kekerasan hati mereka.
Salah satu Aliran Setanisme Atheistik yang terkenal adalah Gereja Setan (the Church of Satan) yang didirikan oleh Anton Szandor LaVey (Anton LaVey),karena namanya aliran ini disebut dengan aliran LaVeyan.
Namun ciri utama dari para pengikut setanisme adalah, mereka Ateis (tidak mengakui adanya Tuhan), sekaligus materialis (hanya mengakui keberadaan benda belaka), mereka mengingkari adanya Tuhan dan semua makhluk ghaib.
Dalam sebuah tulisan yang berjudul “Pengantar Setan” yang diterbitkan gereja setan, para setanis sebenarnya adalah ateis.
Setanisme adalah agama yang tidak mengenal tuhan, mirip ajaran budha. Tidak ada yang perlu ditakuti selain akibat tindakan mereka sendiri. Kaum setanisme tidak percaya adanya Allah, malaikat, surga, atau neraka, iblis, setan, ruh jahat, ruh baik, peri atau makhluk ghaib lainnya. Setanisme bersifat ateis dan Otodeis : “Kami menyembah diri kami sendiri. …Setanisme adalah materialis … setanisme adalah lawan agama”. (Vexen Crabtree “A Description of Satanism”)
Jadi pada intinya, ini adalah pemikiran dan keyakinan dari filsafat kebendaan. Dalam buku Satanism : The Feared Religion (agama yang ditakuti), yang diterbitkan oleh gereja setan, pengertian setan bagi para penganut setanisme adalah “Setan adalah lambang manusia yang hidup seperti dituntun keangkuhan dan sifat jasmaniyahnya”. (peter H Gilmore, Satanism : The Feared Religion, marrimac book, 1992)
Adapun ungkapan sifat jasmaniah manusia sebenarnya menggabarkan inti setanisme. Para setanis percaya bahwa pada dasarnya manusia dalah binatang liar. Perinsip keyakinan ini amat ditekankan pada berbagai naskah setanis. Misal gereja setan sering menggunakan istilah “hewan jasmaniah” untuk menggambarkan manusia.
Sudut pandang ini terletak pada dasar kecenderungan periliaku ganas setanisme. Contohnya, para setanis menganggap serangan, pertumpahan darah, pemerkosaan adalah benar. Karena bagi mereka inilah perilaku alamiah binatang liar.
Bagi para setanis, seorang manusia adalah binatang buas yang hidup menurut nafsunya. Yang merupakan hal yang harus dia lakukan.
Dokumen yang berjudul “A Description of setanism”(Sebuah gambaran tentang setanisme), terbitan gereja setan, berkata tentang hal ini : “Semua manusia dan binatang berasal dari sumber yang sama dalam ilmu biologi murni. Setanisme adalah keyakinan bahwa manusia tidak lebih dari binatang tingkat yang lebih tinggi : kita tidak punya tempat khusus dalam penciptaan, selain telah beruntung karena telah berevolusi dan bertahan.” (Vexen Crabtree “A Description of Satanism)
Menurut Roald E Kristiansen yang menulis tesisnya tentang setanisme, menyatakan bahwa “Setanisme dapat dianggap sebagai sebuah agama Darwinistis sosial yang berupaya membela hak-hak golongan terkuat untuk menguasai yang lemah, karena itulah cara manusia untuk maju sebagai sejenis makhluk biologis, sehingga tetap memelihara perannya sebagai ujung tombak evolusi sosial dan alami” (Roald E Kristiansen, A study of Satanism on the internet in the 1990’s)
Pelopor Satanisme Modern
Aleister Crowley, adalah pelopor satanisme modern, yang memiliki julukan “The Beast”. Aleister lahir di Worwickshire. Semenjak kecil dia meninggalkan sekolah danmenjadi anggota “Secret Order of The Golden Dawn”.
Crowley telah mulai mencoba untuk menghubungi setan semenjak tahun 1898, saat ia menjadi anggota Order of the golden dawn. Kemudia pada tahun 1900, Crowley bergaul dengan masyarakat elit Inggris, sambil menyebarkan pengetahuannya tentang pemujaan setan, kepada para pemimpin politik Mason, Bangsawan dan Keluarga kerajaan.
Crowley adalah Okultis sejati, yang tidak memiliki pekerjaan lain. Ia sangat tertarik pada ideologi setanisme dan Free Masonry. Dalam bukunya yang berjudul “Pengakuan”, ia mengaku menjadi anggota freemason di Loji Anglo Saxon, di Paris. Dia juga menambahkan tentang bagaimana dia menjadi master di Loji tertua itu, dan paling dihormati di London.
Loji Studholme (1591), yang dikabarkan Tony Blair (mantan perdana mentri Inggris) juga sebagai salah satu anggotanya saat ini. Crowley bersama dengan Albert Pike, memiliki gairah yang besar terhadap Idelogi setansime. Dalam bukunya yang berjudul “Ilmu Sihir”, Crowley menulis : “Sang Iblis adalah ular ini, Setan, dia hidup da dicintai, dia adalah cahaya dan gambaran zodiaknya adalah Capricornus, kambing melompat, kepala kambing”.
Setelah mengalami konflik dengan ketua The Golden Dawn, dia keluar dan mulai melakukan perjalanan keliling dunia bersama istrinya Rose. Hingga ia tiba di Mesir, Kairo pada tahun 1904. Mereka sering melakukan ritual bersama, bahkan sampai ke Piramida. Pada suatu saat ketika Rose dalam kondis kesurupan, dia menyampaikan pesan kepada Crowley :
““dia menunggu mu ..”” ““dia .. dewa perang .. anak osiris .. Horus !! ..””
Pada masa itu, sebelum isu tentag alien (makhluk luar angkasa) dan UFO, serta mengenai bentuk dan rupa alien, Crowley telah menggambar sketsa makhluk yang telah menghubunginya. Namanya “Lam” utusan Horus.
Dimana Lam memberi instruksi kepada Crowley untuk duduk di hadapan meja selama tiga hari berturut-turut. Ketika crowley melakukannya, tubuhnya diambil alih dan tangannya mulai menulis secara otomatis, pesan-pesan dari setan. Kemudian tulisan tersebut menjadi sebuah buku yang berjudul “The Book Of The Law” (Buku Hukum) tahun 1904. ““era baru horus akan segera dimulai, tapi sebelumnya bumi harus bermandikan darah” “biarkan pelayanku hanya sedikit dan tersembunyi, mereka akan berkuasa atas orang banyak dan yang terlihan” (Lam, utusan horus). Buku ini meletakan undang-undang tingkah laku yang sederhana, yaitu : “Lakukan apa kehendak mu” akan menjadi keseluruhan hukum. “Cinta adalah hukum.. Cinta dengan kehendak..” tidak ada hukum yang melebihi “Lakukan apa kehendak mu !”. “Satan, Cry aloud!, Thou exalted most high!, oh my father satan! The eye!” “Setan menangis keras ! .. engkau mulia! .. yang paling tinggi .. oh ayahku setan !, mata satu !”” (Alesiter Crowley : Magnum Opus – buku 4).
Di dalam agama Thelema yang diajarkan Crowley, dia menyembah dewa bernama “heru-ra-ha“ yang berarti “Horus di Horizon”. Kemudian Crowley mendirikan Loji heru-ra-ha atau dikenal juga sebagai O.T.O – Ordo Templi Orientis.
O.T.O adalah perkumpulan pemuja setan hard core. Crowley melengkapinya dengan ritual inisiasinya dalam perayaan 33 degree Scottish Rite Freemasonry. Pada tahun 1912, crowley menjadi pemimpin O.T.O Inggris, yang merupakan keturunan langsung Iluminati Bavaria yang asli.
Bahkan crowley mengklaim, bahwa pembentukan O.T.O adalah untuk membangun kembali free masonry, kepada akar iluminati Jerman-nya. Crowley benar-benar menginginkan untuk bergabung dengan Iblis. Pengetahuan yang menyesatkan itu, secara langsung diberikan oleh setan kepada crowley, yang kemudian dilanjutkan dan disebarkan oleh para pengikutnya, untuk menyesatkan umat manusia. Seperti yang telah di uraikan diatas, bahwasannya ajaran crowley adalah “Lakukan apa kehendak mu !!”. Ideologi ini adalah, agar setan bisa merusak tatanan aturan agama, sehingga manusia benar-benar sesat tanpa aturan. Adapun tujuan nya adalah, untuk menguasai manusia dan menjadi pemimpin yang menyesatkan manusia.
Crowley mengajarkan, bahwa seseorang bisa menjadi jenius dalam musik, bila mereka mau memperaktekan dan mempropagandakan ajaran setanisme. Banyak pemusik dan bintang Rock menjadi terkenal, setelah memperaktekan ajaran setanisme aleister crowley.
Salah satunya adalah Ozzy Osbourne, ia menyebarkan ajaran crowley (setanisme) melalui lagu dan musik kepada kaum muda. Bahkan Osbourne membuat sebuah lagu yang berjudul “Mr.Crowley”, karena ia benar-benar mengaguminya. Pada bab selanjutnya, Insyaallah akan dibahas mengenai sepak terjang mereka di dunia industri musik.
Adapun rencana besar yang lain, sebagai bagian rencana setan untuk menyesatkan manusia melalui crowley adalah membawa revolusi obat bius, membukakan pintu untuk masyarakat untuk menggiringnya pada roh jahat.
Dalam “Buku Hukum”, roh setan yang terhubung melalui aleister crowley, terus menggemakan rayuan satanis dari taman Eden, selama bertahun-tahun. Dia menyatakan “aku adalah ular yang memberikan pengetahuan, kesenangan dan keagungan yang mulia, yang mengendalikan hati manusia dengan kemabukan. Untuk menyembah ku.. minumlah anggur dan obat-obat bius aneh, sesuatu seperti heroin dan alkohol mungkin dan harus digunakan untuk tujuan penyembahan, yaitu masuk ke dalam perjamuan suci bersama “ular” yang memberikan pengetahuan, kesenangan dan keagungan yang mulia. ” Robert anton wilson yang memainkan peraan penting dalam revolusi kebudayaan di tahun 60-an, mengatakan dalam bukunya “Seks & Drugs”, menyatakan bahwa : “Crowley memainkan peranan yang enentukan dalam mengembangkan filosofi ataupun mistik, pada revolusi obat bius”.
Musik dan Film Satanisme.
Satanisme muncul dalam banyak hal salah satunya adalah film dan musik. Banyak film yang menceritakan dengan terbuka idiom satanisme serta kisah kuasa gelap (dark forces). Film populer seperti : Friday The 13th, The Crow, Devils Advocate, Interview With The Vampire, bahkan serial The X-Files mengandung alur cerita dimana setan, satanisme atau black magic menjadi bagian penting dari film. Konon tahun 1968, Anton Szandor La Vey pernah menjadi penasehat teknis sekaligus pemeran film Rosemarys Baby, film Omen 1976 disebut telah memopulerkan satanisme.
Dalam musik ada banyak sekali contoh musik yang berisi satanisme, contoh :
• Lagu dari Ozzy Osbourne “Anggur baik tapi Wiski lebih cepat, bunuh dirilah satu-satunya jalan keluar”
• Lagu dari David Bowie (majalah Rolling Stone) mengatakan Rock akan selalu menjadi musik setan
• Lagu dari Stairway to Heaven jika di putar terbalik akan memunculkan syair pemujaan setan.
• Lagu dari Metallica dalam The Prince melantunkan Bida.dari dari bawah, Aku ingin menjual jiwaku. Setan ambil jiwaku.
• Pink Floyd menulis lagu Lucifer Sam dengan lirik : Lucifer Sam selalu duduk di sisimu..selalu dekat denganmu.
• Thn 1992, Red Hot Chilli Peppers saat penerimaan anugreah MTV Awards berucap. Pertama-tama kami ingin berterima kasih pada Setan.
• Marilyin Manson, salah satu umat GS pada majalah Spin edisi Agustus 1996. Saya berharap dikenang sebagai sosok yang mengakhiri sejarah Kekristenan, Manson tak ragu merobek Injil dan meneriakkan penghinaan terhadap Yesus Kristus.
Di Indonesia : – Group Black Metal(4 tahunlalu) Sebelum naik panggung, mereka menyembelih marmut hidup dan meminum darahnya, kadang mereka membawa salib terbalik ke atas panggung.
Lucifer adalah nama yang seringkali diberikan kepada Setan dalam keyakinan Kristen karena penafsiran tertentu atas sebuah ayat dalam Kitab Yesaya. Secara lebih khusus, diyakini bahwa inilah nama Setan sebelum ia diusir dari surga.
Dalam bahasa Latin, kata “Lucifer” yang berarti “Pembawa Cahaya” (dari lux, lucis, “cahaya”, dan “ferre”, “membawa”), adalah sebuah nama untuk “Bintang Fajar” (planet Venus ketika muncul pada dini hari). Versi Vulgata Alkitab dalam bahasa Lain menggunakan kata ini dua kali untuk merujuk kepada Bintang Fajar: sekali dalam 2 Petrus 1:19 untuk menerjemahkan kata bahasa Yunani “Φωσφόρος” (Fosforos), yang mempunyai arti harafiah yang persis sama dengan “Pembawa Cahaya” yang dimiliki “Lucifer” dalam bahasa Lain; dan sekali dalam Yesaya 14:12 untuk menerjemahkan “הילל” (Hêlēl), yang juga berarti “Bintang Fajar”. Dalam ayat yang belakangan nama “Bintang Fajar” diberikan kepada raja Babilonia yang tirani, yang dikatakan oleh nabi akan jatuh. Ayat ini belakangan diberikan kepada raja iblis, dan dengan demikian nama “Lucifer” kemudian digunakan untuk Setan, dan dipopulerkan dalam karya-karya seperti “Inferno” oleh Dante dan Paradise Lost oleh Milton, tetapi bagi para pengguna bahasa Inggris, pengaruhnya yang terbesar disebabkan karena nama ini digunakan dalam Alkitab Versi Raja James, sementara versi-versi bahasa Inggris lainnya menerjemahkannya dengan “Bintang Fajar” atau “Bintang Siang”.
Sebuah nas serupa dalam Kitab Yehezkiel 28:11-19 mengenai raja Tirus juga diberikan kepada Setan, sehingga menambahkan gambaran lain kepada gambaran Setan dan kejatuhannya yang tradisional.
Materialisme
Materialisme adalah paham dalam filsafat yang menyatakan bahwa hal yang dapat dikatakan benar-benar ada adalah materi. Pada dasarnya semua hal terdiri atas materi dan semua fenomena adalah hasil interaksi material. Materi adalah satu-satunya substansi. Sebagai teori, materialisme termasuk paham ontologi monistik. Akan tetapi, materialisme berbeda dengan teori ontologis yang didasarkan pada dualisme atau pluralisme. Dalam memberikan penjelasan tunggal tentang realitas, materialisme berseberangan dengan idealisme.
Materialisme tidak mengakui entitas-entitas nonmaterial seperti: roh, hantu, setan dan malaikat. Pelaku-pelaku immaterial tidak ada. Tidak ada Allah atau dunia adikodrati/supranatural. Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi dari aktivitas materi. Materi dan aktivitasnya bersifat abadi. Tidak ada penggerak pertama atau sebab pertama. Tidak ada kehidupan, tidak ada pikiran yang kekal. Semua gejala berubah, akhirnya melampaui eksistensi, yang kembali lagi ke dasar material primordial, abadi, dalam suatu peralihan wujud yang abadi dari materi.
Definisi Materialisme
Kata materialisme terdiri dari kata materi dan isme. Materi dapat dipahami sebagai bahan; benda; segala sesuatu yang tampak. Materialisme adalah pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata, dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indra. Sementara itu, orang-orang yang hidupnya berorientasi kepada materi disebut sebagai materialis. Orang-orang ini adalah para pengusung paham (ajaran) materialisme atau juga orang yang mementingkan kebendaan semata (harta,uang,dsb).
Tokoh-tokoh dan Karya-karya Materialisme
Ludwig Feuerbach:Filsuf dari Jerman yang Mendukung Materialisme
Filsuf yang pertama kali memperkenalkan paham ini adalah Epikuros. Ia merupakan salah satu filsuf terkemuka pada masa filsafat kuno. Selain Epikuros, filsuf lain yang juga turut mengembangakan aliran filsafat ini adalah Demokritos dan Lucretius Carus. Pendapat mereka tentang materialisme, dapat kita samakan dengan materialisme yang berkembang di Prancis pada masa pencerahan. Dua karangan karya La Mettrie yang cukup terkenal mewakili paham ini adalah L’homme machine (manusia mesin) dan L’homme plante (manusia tumbuhan).
Dalam waktu yang sama, di tempat lain muncul seorang Baron von Holbach yang mengemukakan suatu materialisme ateisme. Materialisme ateisme serupa dalam bentuk dan substansinya, yang tidak mengakui adanya Tuhan secara mutlak. Jiwa sebetulnya sama dengan fungsi-fungsi otak. Pada Abad 19, muncul filsuf-filsuf materialisme asal Jerman seperti Feuerbach, Moleschott, Buchner, dan Haeckel. Merekalah yang kemudian meneruskan keberadaan materialisme.
Ciri-ciri paham materialisme
Setidaknya ada 5 dasar ideologi yang dijadikan dasar keyakinan paham ini:
• Segala yang ada (wujud) berasal dari satu sumber yaitu materi (ma’dah).
• Tidak meyakini adanya alam ghaib.
• Menjadikan panca indra sebagai satu-satunya alat mencapai ilmu.
• Memposisikan ilmu sebagai pengganti agama dalam peletakan hukum.
• Menjadikan kecondongan dan tabiat manusia sebagai akhlak.
• adalah sebuah paham garis pemikiran, dimana manusia sebagai nara sumber dan juga sebagai resolusi dari tindakan yang sudah ada dengan jalan dialetis.
Kritik terhadap Materialisme
Salah satu kritik terhadap paham materialisme dikemukakan oleh aliran filsafat eksistensialisme. Materialisme mengajarkan bahwa manusia pada akhirnya adalah thing, benda, sama seperti benda-benda lainnya. Bukan berarti bahwa manusia sama dengan pohon, kerbau, atau meja, sebab manusia dipandang lebih unggul. Akan tetapi, secara mendasar manusia dipandang hanya sebagai materi, yakni hasil dari proses-proses unsur kimia. Filsafat eksistensialisme memberikan kritik terhadap pandangan seperti ini. Cara pandang paham materialisme seperti ini mereduksi totalitas manusia. Manusia dilihat hanya menurut hukum-hukum alam, kimia, dan biologi, sehingga seolah sama seperti hewan, tumbuhan, dan benda lain. Padahal manusia memiliki kompleksitas dirinya yang tak dapat diukur, misalnya saja ketika berhadapan dengan momen-momen eksistensial seperti pengambilan keputusan, kecemasan, takut, dan sebagainya.
PLURALISME
Etimologi
plural + -ism
Secara bahasa Pluralisme (pluralism.ing) diserap dari bahasa inggris, terdiri dari dua kata plural (beragam,id) dan isme(faham, id, yang berarti beragam pemahaman, atau bermacam-macam faham, Untuk itu kata ini termasuk kata yang ambigu. Berdasarkan Webster’s Revised Unabridged Dictionary (1913 + 1828) arti pluralism adalah:
• hasil atau keadaan menjadi plural.
• keadaan seorang pluralis; memiliki lebih dari satu tentang keyakinan gerejawi.
Pluralisme Sosial
Dalam ilmu sosial, pluralisme adalah sebuah kerangka dimana ada interaksi beberapa kelompok-kelompok yang menunjukkan rasa saling menghormat dan toleransi satu sama lain. Mereka hidup bersama (koeksistensi) serta membuahkan hasil tanpa konflik asimilasi.
Pluralisme dapat dikatakan salah satu ciri khas masyarakat modern dan kelompok sosial yang paling penting, dan mungkin merupakan pengemudi utama kemajuan dalam ilmu pengetahuan, masyarakat dan perkembangan ekonomi.
Dalam sebuah masyarakat otoriter atau oligarkis, ada konsentrasi kekuasaan politik dan keputusan dibuat oleh hanya sedikit anggota. Sebaliknya, dalam masyarakat pluralistis, kekuasaan dan penentuan keputusan (dan kemilikan kekuasaan) lebih tersebar.
Dipercayai bahwa hal ini menghasilkan partisipasi yang lebih tersebar luas dan menghasilkan partisipasi yang lebih luas dan komitmen dari anggota masyarakat, dan oleh karena itu hasil yang lebih baik. Contoh kelompok-kelompok dan situasi-situasi di mana pluralisme adalah penting ialah: perusahaan, badan-badan politik dan ekonomi, perhimpunan ilmiah.
Pluralisme Ilmu Pengetahuan
Bisa diargumentasikan bahwa sifat pluralisme proses ilmiah adalah faktor utama dalam pertumbuhan pesat ilmu pengetahuan. Pada gilirannya, pertumbuhan pengetahuan dapat dikatakan menyebabkan kesejahteraan manusiawi bertambah, karena, misalnya, lebih besar kinerja dan pertumbuhan ekonomi dan lebih baiklah teknologi kedokteran.
Pluralisme juga menunjukkan hak-hak individu dalam memutuskan kebenaran universalnya masing-masing.
Pluralisme Agama
Pluralisme Agama (Religious Pluralism) adalah istilah khusus dalam kajian agama¬ agama. Sebagai ‘terminologi khusus’, istilah ini tidak dapat dimaknai sembarangan, misalnya disamakan dengan makna istilah ‘toleransi’, ‘saling menghormati’ (mutual respect), dan sebagainya. Sebagai satu paham (isme), yang membahas cara pandang terhadap agama-agama yang ada, istilah ‘Pluralisme Agama’ telah menjadi pembahasan panjang di kalangan para ilmuwan dalam studi agama¬ agama (religious studies)
Pandangan Kristen
Paus Yohannes Paulus II, tahun 2000, mengeluarkan Dekrit Dominus Jesus[1]’ Penjelasan ini, selain menolak paham Pluralisme Agama,juga menegaskan kembali bahwa Yesus Kristus adalah satu¬-satunya pengantara keselamatan Ilahi dan tidak ada orang yang bisa ke Bapa selain melalui Yesus.
* Pluralisme adalah suatu tantangan sekaligus bahaya yang sangat serius bagi kekristenan. (Pdt. Dr. Stevri Lumintang).
* Pluralisme Agama hanya di permukaan saja kelihatan lebih rendah hati dan toleran dariupada sikap inklusif yang tetap meyakini imannya. Bukan namanya toleransi apabila untuk mau saling menerima dituntut agar masing¬-masing melepaskan apa yang mereka yakini. (Franz Magnis Suseno).
Pluralisme Agama berkembang pesat dalam masyarakat Kristen¬-Barat disebabkan setidaknya oleh tiga hal: yaitu
1. Trauma sejarah kekuasaan Gereja di Zaman Pertengahan dan konflik Katolik¬-Protestan,
2. Problema teologis Kristen dan
3. Problema Teks Bibel.
Ketika Gereja berkuasa di zaman pertengahan, para tokohnya telah melakukan banyak kekeliruan dan kekerasan yang akhirnya menimbulkan sikap trauma masyarakat Barat terhadap klaim kebenaran satu agama tertentu.
Dalam tradisi Kristen, dikenal ada tiga cara pendekatan atau cara pandang teologis terhadap agama lain.
• eksklusivisme, yang memandang hanya orang- orang yang mendengar dan menerima Bibel Kristen yang akan diselamatkan. Di luar itu
tidak selamat.
• inklusivisme, yang berpandangan, meskipun Kristen merupakan agama yang benar, tetapi keselamatan juga mungkin terdapat pada agama lain.
• pluralisme, yang memandang semua agama adalah jalan yang sama-sama sah menuju inti
dari realitas agama. Dalam pandangan Pluralisme Agama, tidak ada agama yang dipandang lebih superior dari agama lainnya. Semuanya dianggap sebagai jalan yang sama¬-sama sah menuju Tuhan [2]
Pandangan Islam
Paham Sekularisme, Pluralisme (Agama) dan Liberalisme bertentangan dengan Islam dan haram bagi umat Islam untuk memeluknya. (Fatwa MUI, 2005). [3]
Ummat Islam di Indonesia sepakat dengan memberi fatwa faham Pluralisme agama adalah haram
Pandangan Hindu
Setiap kali orang Hindu mendukung Universalisme Radikal, dan secara bombastik memproklamasikan bahwa “semua agama adalah sama”, dia melakukan itu atas kerugian besar dari agama Hindu yang dia katakan dia cintai. (Dr. Frank Gaetano Morales, cendekiawan Hindu).
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang pahamnya berpusat pada manusia individu yang bertanggung jawab atas kemauannya yang bebas tanpa memikirkan secara mendalam mana yang benar dan mana yang tidak benar. Sebenarnya bukannya tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang tidak benar, tetapi seorang eksistensialis sadar bahwa kebenaran bersifat relatif, dan karenanya masing-masing individu bebas menentukan sesuatu yang menurutnya benar.
Eksistensialisme adalah salah satu aliran besar dalam filsafat, khususnya tradisi filsafat Barat. Eksistensialisme mempersoalkan keber-Ada-an manusia, dan keber-Ada-an itu dihadirkan lewat kebebasan. Pertanyaan utama yang berhubungan dengan eksistensialisme adalah melulu soal kebebasan. Apakah kebebasan itu? bagaimanakah manusia yang bebas itu? dan sesuai dengan doktrin utamanya yaitu kebebasan, eksistensialisme menolak mentah-mentah bentuk determinasi terhadap kebebasan kecuali kebebasan itu sendiri.
Dalam studi sekolahan filsafat eksistensialisme paling dikenal hadir lewat Jean-Paul Sartre, yang terkenal dengan diktumnya “human is condemned to be free”, manusia dikutuk untuk bebas, maka dengan kebebasannya itulah kemudian manusia bertindak. Pertanyaan yang paling sering muncul sebagai derivasi kebebasan eksistensialis adalah, sejauh mana kebebasan tersebut bebas? atau “dalam istilah orde baru”, apakah eksistensialisme mengenal “kebebasan yang bertanggung jawab”? Bagi eksistensialis, ketika kebebasan adalah satu-satunya universalitas manusia, maka batasan dari kebebasan dari setiap individu adalah kebebasan individu lain.
Namun, menjadi eksistensialis, bukan melulu harus menjadi seorang yang lain-daripada-yang-lain, sadar bahwa keberadaan dunia merupakan sesuatu yang berada diluar kendali manusia, tetapi bukan membuat sesuatu yang unik ataupun yang baru yang menjadi esensi dari eksistensialisme. Membuat sebuah pilihan atas dasar keinginan sendiri, dan sadar akan tanggung jawabnya dimasa depan adalah inti dari eksistensialisme. Sebagai contoh, mau tidak mau kita akan terjun ke berbagai profesi seperti dokter, desainer, insinyur, pebisnis dan sebagainya, tetapi yang dipersoalkan oleh eksistensialisme adalah, apakah kita menjadi dokter atas keinginan orang tua, atau keinginan sendiri.
Kaum eksistensialis menyarankan kita untuk membiarkan apa pun yang akan kita kaji. Baik itu benda, perasaaan, pikiran, atau bahkan eksistensi manusia itu sendiri untuk menampakkan dirinya pada kita. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka diri terhadap pengalaman, dengan menerimanya, walaupun tidak sesuai dengan filsafat, teori, atau keyakinan kita.
Søren Aabye Kierkegaard (5 Mei 1813-11 November 1855) adalah seorang filsuf dan teolog abad ke-19 yang berasal dari Denmark. Kierkegaard sendiri melihat dirinya sebagai seseorang yang religius dan seorang anti-filsuf, tetapi sekarang ia dianggap sebagai bapaknya filsafat eksistensialisme. Kierkegaard menjembatani jurang yang ada antara filsafat Hegelian dan apa yang kemudian menjadi Eksistensialisme. Kierkegaard terutama adalah seorang kritikus Hegel pada masanya dan apa yang dilihatnya sebagai formalitas hampa dari Gereja Denmark. Filsafatnya merupakan sebuah reaksi terhadap dialektik Hegel.
Banyak dari karya-karya Kierkegaard membahas masalah-masalah agama seperti misalnya hakikat iman, lembaga Gereja Kristen, etika dan teologi Kristen, dan emosi serta perasaan individu ketika diperhadapkan dengan pilihan-pilihan eksistensial. Karena itu, karya Kierkegaard kadang-kadang digambarkan sebagai eksistensialisme Kristen dan psikologi eksistensial. Karena ia menulis kebanyakan karya awalnya dengan menggunakan berbagai nama samaran, yang seringkali mengomentari dan mengkritik karya-karyanya yang lain yang ditulis dengan menggunakan nama samaran lain, sangatlah sulit untuk membedakan antara apa yang benar-benar diyakini oleh Kierkegaard dengan apa yang dikemukakannya sebagai argumen dari posisi seorang pseudo-pengarang. Ludwig Wittgenstein berpendapat bahwa Kierkegaard “sejauh ini, adalah pemikir yang paling mendalam dari abad ke-19″
Jean-Paul Sartre (lahir di Paris, Perancis, 21 Juni 1905 – meninggal di Paris, 15 April 1980 pada umur 74 tahun) adalah seorang filsuf dan penulis Perancis. Ialah yang dianggap mengembangkan aliran eksistensialisme.Sartre menyatakan, eksistensi lebih dulu ada dibanding esensi (L’existence précède l’essence). Manusia tidak memiliki apa-apa saat dilahirkan dan selama hidupnya ia tidak lebih hasil kalkulasi dari komitmen-komitmennya di masa lalu. Karena itu, menurut Sartre selanjutnya, satu-satunya landasan nilai adalah kebebasan manusia (L’homme est condamné à être libre).
Pada tahun 1964 ia diberi Hadiah Nobel Sastra, namun Jean-Paul Sartre menolak. Ia meninggal dunia pada 15 April 1980 di sebuah rumah sakit di Broussais (Paris). Upacara pemakamannya dihadiri kurang lebih 50.000 orang.
Pasangannya adalah seorang filsuf wanita bernama Simone de Beauvoir. Sartre banyak meninggalkan karya penulisan diantaranya berjudul Being and Nothingness atau Ada dan Ketiadaan.
ZIONISME
Zionisme adalah sebuah gerakan politik kaum Yahudi yang tersebar di seluruh dunia untuk kembali lagi ke Zion, bukit di mana kota Yerusalem berdiri. Gerakan yang muncul di abad ke-19 ini semula ingin mendirikan sebuah negara Yahudi di Afrika kemudian berubah di tanah Palestina yang kala itu dikuasai Kekaisaran Ottoman (Khalifah Ustmaniah) Turki.
Zionisme merupakan gerakan Yahudi Internasional. Istilah zionis pertama kali dipakai oleh perintis kebudayaan Yahudi, Mathias Acher (1864-1937), dan gerakan ini diorganisasi oleh beberapa tokoh Yahudi antara lain Dr. Theodor Herzl dan Dr. Chaim Weizmann. Dr. Theodor Herzl menyusun doktrin Zionisme sejak 1882 yang kemudian disistematisasikan dalam bukunya “Der Judenstaat” (Negara Yahudi) (1896). Doktrin ini dikonkritkan melalui Kongres Zionis Sedunia pertama di Basel, Swiss, tahun 1897. Setelah berdirinya negara Israel pada tanggal 15 Mei 1948, maka tujuan kaum zionis berubah menjadi pembela negara baru ini.
Rapat Dewan Umum PBB mengeluarkan Resolusi 3379 tanggal 10 Desember 1975, yang menyamakan Zionisme dengan diskriminasi rasial. Akan tetapi pada 16 Desember 1991, resolusi tersebut dicabut kembali.
Negara Israel (bahasa Ibrani: מדינת ישראל, Medinat Yisrael) didirikan pada 14 Mei 1948 setelah hampir dua ribu tahun bangsa Yahudi berada dalam diaspora. 63 tahun sejak kemerdekaan Israel telah ditandai dengan konflik dengan negara-negara Arab dan Palestina. Berbagai negosiasi telah dilakukan, dan perdamaian telah terwujud dengan Mesir dan Yordania.
Yahudiah (Yudaisme) adalah kepercayaan yang unik untuk orang/bangsa Yahudi (penduduk negara Israel maupun orang Israel yang bermukim di luar negeri). Inti kepercayaan penganut agama Yahudi adalah wujudnya Tuhan yang Maha Esa, pencipta dunia yang menyelamatkan bangsa Israel dari penindasan di Mesir, menurunkan undang-undang Tuhan (Torah) kepada mereka dan memilih mereka sebagai cahaya kepada manusia sedunia.
Kitab Suci agama Yahudi menuliskan Tuhan telah membuat perjanjian dengan Abraham bahwa beliau dan cucu-cicitnya akan diberi rahmat apabila mereka selalu beriman kepada Tuhan. Perjanjian ini kemudian diulangi oleh Ishak dan Yakub. Dan karena Ishak dan Yakub menurunkan bangsa Yahudi, maka mereka meyakini bahwa merekalah bangsa yang terpilih. Penganut Yahudi dipilih untuk melaksanakan tugas-tugas dan tanggung jawab khusus, seperti mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur dan beriman kepada Tuhan. Sebagai balasannya, mereka akan menerima cinta serta perlindungan Tuhan. Tuhan kemudian menganugerahkan mereka Sepuluh Perintah Allah melalui pemimpin mereka, Musa.
Sinagoga merupakan pusat masyarakat serta keagamaan yang utama dalam agama Yahudi, dan Rabi adalah sebutan bagi mereka yang pakar dalam hal-hal keagamaan.
Kata Yahudi diambil menurut salah satu marga dari dua belas leluhur Suku Israel yang paling banyak keturunannya, yakni Yehuda. Pada akhirnya keseluruh bangsa Israel, tanpa memandang warga negara atau tanah airnya, disebut juga sebagai orang-orang Yahudi dan begitupula dengan keseluruh penganut ajarannya disebut dengan nama yang sama pula.
Keluarga merupakan hal yang utama dalam agama ini dan penganutnya yang setia akan bersembahyang setiap hari. Hari Sabtu merupakan hari utama yang biasa disebut hari Sabat. Antara Jumat sore sampai Sabtu sore mereka akan menyalakan lilin dan meminum anggur serta roti yang telah diberkati. Di samping Sabat, hari besar yang lain termasuk Rosh Hashanah (Tahun Baru) dan Yom Kippur (Hari Penerimaan Tobat).
Kitab dan teks utama
Kitab Ibrani disebut Tanakh dan terdiri dari 24 buku yang dihimpun dari 3 kumpulan:
• Torah atau Taurat (Pentateuch)
• Nevi’im (Para Nabi)
• Ketubim (Tulisan)
Selain itu terdapat juga Talmud yang merupakan terjemahan serta komentar mengenai Torah dari para rabi dan cendekiawan undang-undang. Ini termasuk Mishnah dan Halakah (kode undang-undang masyarakat utama penganut agama Yahudi), Gemara, Midrash dan Aggadah (legenda dan kisah-kisah lama).
Kabballah pula ialah teks lama yang berunsur mistik, dan menceritakan zat-zat Tuhan.
Adat-adat dan undang-undang penganut Yahudi
Kebanyakan penganut Yahudi mengikuti peraturan dalam memilih makanan yang tertulis di dalam Taurat yang melarang campuran susu dengan daging. Daging babi juga dilarang dalam agama Yahudi. Makanan yang disediakan harus menuruti undang-undang tersebut, dan daging harus disembelih oleh kaum Rabi, dinamakan kosyer.
Anak laki-laki juga diharapkan untuk disunat (sewaktu masih bayi) seperti perjanjian nabi ibrahim dengan Tuhan. Apabila seorang anak laki-laki mencapai kematangan dia akan dirayakan karena menjadi anggota masyarakat Yahudi dalam upacara yang dinamakan Bar Mitzvah. Setelah kematian seseorang, orang-orang Yahudi akan mengadakan satu minggu berkabung di mana mereka membaca Kaddish. Agama dan kemasyarakatan saling berkaitan di dalam masyarakat Yahudi. Misalnya pengambilan riba/ bunga dianggap berdosa sesama kaum Yahudi, tetapi dibenarkan dengan mereka yang bukan Yahudi.
Talmud (bahasa Ibrani: תלמוד) adalah catatan tentang diskusi para rabi yang berkaitan dengan hukum Yahudi, etika, kebiasaan dan sejarah. Talmud mempunyai dua komponen: Mishnah, yang merupakan kumpulan Hukum Lisan Yudaisme pertama yang ditulis; dan Gemara, diskusi mengenai Mishnah dan tulisan-tulisan yang terkait dengan Tannaim yang sering membahas topik-topik lain dan secara luas menguraikan Tanakh. Istilah Talmud dan Gemara seringkali digunakan bergantian. Gemara adalah dasar dari semua aturan dari hukum rabinik dan banyak dikutip dalam literatur rabinik yang lain. Keseluruhan Talmud biasanya juga dirujuk sebagai (singkatan bahasa Ibrani untuk shishah sedarim, atau “enam tatanan” Mishnah).
Asal-usul
Studi keyahudian pada mulanya tidak terulis (lisan). Para rabi menguraikan dan memperdebatkan hukum serta membahas Alkitab Ibrani tanpa bantuan karya-karya tertulis (selain dari kitab-kitab di dalam Kitab Suci sendiri.) Namun, situasi ini berubah secara drastis terutama sebagai akibat penghancuran komunitas Yahudi pada tahun 70 M, dan pergolakan norma-norma sosial dan hukum Yahudi yang ditimbulkannya. Karena para rabi dituntut menghadapi realitas yang baru—yang utamanya Yudaisme tanpa Bait Suci dan Yudea tanpa otonomi—membanjirlah wacana hukum dan sistem studi oral yang lama tidak dapat lagi dipertahankan. Pada masa inilah wacana rabinik mulai dicatat secara tertulis.
Hukum lisan tertua yang dicatat kemungkinan dalam bentuk midrashi. Di sini diskusi halakhik disusun sebagai tafsiran eksegetis terhadap Pentateukh. Tetapi sebuah bentuk alternatifnya, yang disusun menurut topiknya dan bukan menurut ayat-ayat Alkitab, menjadi dominan pada sekitar tahun 200 M., ketika Rabi Judah haNasi meredaksi Mishnah (משנה).
[sunting] Mishnah
Mishnah (משנה) adalah kompilasi pandangan dan perdebatan hukum. Namanya sendiri berarti “redaksi”, dari kata kerja shanah שנה, yang berarti “mengulangi” atau “meninjau”. Nama ini mungkin merupakan petunjuk pada metode studi wacana rabinik dengan cara mengulang-ulang secara lisan.
Pernyataan-pernyataan dalam Mishnah biasanya singkat dan padat, mencatat pandangan-pandangan singkat dari para rabi yang memperdebatkan sebuah topic, atau mencatat sebuah peraturan yang tidak disebutkan sumbernya, yang tampaknya mewakili sebuah pandangan consensus. Para rabi Mishnah dikenal sebagai Tannaim (tunggal: Tanna תנא).
Berbeda dengan Midrash, Mishna hanyalah sebuah catatan dari kumpulan halakha (yang lainnya adalah Tosefta), namun demikian, penataannya menurut topic menjadi kerangka bagi Talmud secara keseluruhan.
[sunting] Struktur dan isi
Mishna terdiri atas enam tatanan (sedarim, tunggal: seder סדר). Masing-masing dari tatanannya mengandung antara 7 dan 12 traktat, yang disebut masechtot (tunggal: masechet מסכת; harafiah: “jaringan”). Masing-masing masechet dibagi menjadi bab-bab (peraqim) yang terdiri dari unit-unit yang lebih kecil yang disebut mishnayot (tunggal: mishnah). Tidak setiap traktat dalam Mishnah mempunyai padanan Gemaranya. Selain itu, tatanan traktat dalam Talmud berbeda dalam kasus-kasus tertentu dengan tatanan di dalam Mishnah; lih. diskusi pada masing-masing Seder.
• Tatanan Pertama: Zeraim (“Benih”). 11 traktat. MEmbahas doa dan berkat, tithes, dan hukum-hukum pertanian .
• Tatanan Kedua: Moed (“Hari-hari Raya”). 12 traktat. Berkaitan dengan hukum-hukum Sabat dan Hari-hari Raya.
• Tatanan Ketiga: Nashim (“Perempuan”). 7 traktat. Berkaitan dengan pernikahan dan perceraian, beberapa bentuk sumpah dan hukum-hukum tentang orang Nazir.
• Tatanan Keempat: Nezikin (“Ganti rugi”). 10 traktat. Berkaitan dengan hukum sipil dan kriminal, cara kerja pengadilan dan sumpah.
• Tatanan Kelima: Kodashim (“Hal-hal yang suci”). 11 traktat. Berkaitan dengan ritus-ritus korban, Bait Suci, dan hukum-hukum yang mengatur apa yang boleh dan tak boleh dimakan .
• Tatanan Keenam: Tohorot (“Kesucian”). 12 traktat. Berkaitan dengan hukum-hukum ritual kesucian.
Beraita
Selain Mishnah, karya-karya Tannaim lainnya dicatat pada kira-kira waktu yang bersamaan atau tak lama sesudah itu. Gemara seringkali merujuk kepada pernyataan-pernyataan Tannaim untuk membandingkannya dengan apa yang terdapat di dalam Mishna dan mendukung atau membantah proposisi-proposisi dari Amoraim. Semua sumber Tannaim non-Mishna disebut beraitot (harafiah: bahan-bahan luar, “Karya-karya di luar Mishna”; tunggal: beraita ברייתא).
Beraita mencakup Tosefta, sebuah kumpulan Tannaim dari halakha yang sejajar dengan Mishna; dan Midrash Halakha, khususnya Mekhilta, Sifra dan Sifre.
Gemara
Lihat Gemara untuk diskusi lebih lanjut.
Dalam tiga abad setelah peredaksian Mishna, para rabi di seluruh Palestina dan Babilonia menganalisis, memperdebatkan, dan mendiskusikan karya itu. Diskusi-diskusi ini membentuk Gemara (גמרא). Gemara terutama terpusat pada upaya menjelaskan dan menguraikan pandangan-pandangan dari Tannaim. Para rabi Gemara dikenal sebagai Amoraim (tunggal: Amora אמורא). Gemara berarti “kesempurnaan,” dari gamar גמר : bahasa Ibrani menyelesaikan, menyempurnakan; bahasa Aram mempelajari.
Metodologi
Banyak dari Gemara terdiri atas analisis hukum. Titik tolak untuk analisis ini biasanya adalah suatu pernyataan legal yang ditemukan di dalam sebuah Mishna. Pernyataan ini kemudian dianalisis dan dibandingkan dengan pernyataan-pernyataan lain dalam dialog dialektis di antara kedua pihak yang bertikai (yang seringkali anonim dan kadang-kadang metaforik), yang diistilahkan sebagai makshan (penanya) dan tartzan (penjawab).
Tanya jawb ini membentuk “bangunan” gemara; nama dari sebuah paragraf gemara adalah sugya (סוגיא; jamak:: sugyot). Sugya biasanya terdiri atas sebuah uraian yang terinci dan didasarkan bukti tentang sebuah pernyataan mishnah.
Dalam sebuah sugya tertentu, pernyataan-pernyataan Kitab Suci, Tannaim dan Amoraim diangkat untuk mendukung berbagai pandangan. Dengan demikian, gemara akan menghasilkan ketidaksepakatan semantik antara Tannaim dan Amoraim (yang seringkali menyebutkan bahwa suatu pandangan dikeluarkan oleh seseorang yang berwibawa dan tentang bagaimana ia mestinya akan menjawab suatu pertanyaan), dan membandingkan padnangan-pandangan Mishna dengan bagian-bagian dari beraita. Jarang sekali perdebatan-perdebatan itu ditutup dengan resmi. Dalam banyak kasus, kata yang terakhir menentukan hukum praktisnya, meskipun ada banyak pengecualian terhadap prinsip ini. Lihat Gemara untuk pembahasan lebih lanjut.
Halakha dan Haggadah
Talmud terdiri dari banyak sekali bahan dan menyinggung banyak sekali topik. secara tradisional pernyataan-pernyataan talmudik dapat digolongkan ke dalam dua kategori besar, pernyataan-pernyataan Halakha dan Hagaddah. Pernyataan-pernyataan Halakha adalah yang berkaitan langsung dengan soal-soal hukum dan praktik Yahudi (Halakha). Pernyataan-pernyataan Haggadah adalah yang tidak terkait secara legal, melainkan yang bersifat eksegetis, homiletis, etis, atau historis. Lihat Haggadah untuk pembahasan lebih lanjut.
Talmud
Proses “Gemara” berlangsung di dua pusat Studi Yahudi yang utama, Israel dan Babilonia. Sejalan dengan itu, dua kumpulan analisis berkembang, dan dua karya Talmud pun terbentuk. Kompilasi yang lebih tua disebut Talmud Palestina atau Talmud Yerushalmi. Talmud ini dikompilasi sekitar abad keempat di Palestina. Talmud Babilonia disusun sekitar tahun 500 M., meskipun ia terus disunting di kemudian hari. Kata “Talmud”, ketika digunakan tanpa keterangan, biasanya merujuk kepada Talmud Babilonia.
Talmud Yerushalmi (Talmud Yerusalem)
Artikel utama untuk bagian ini adalah: Talmud Yerusalem
Gemara di sini adalah sinopsis dari hampir 200 tahun analisis atas Mishna di Akademi-akademi di Israel (terutama Tiberias dan Kaisaria.) Karena lokasi Akademi-akademi ini, hukum-hukum agrikultur Tanah Israel dibahas secara sangat terinci. Menurut tradisi, Gemara diredaksi pada tahun 350M oleh Rav Muna dan Rav Yossi di Israel. Gemara dirujuk secara tradisional sebagai Talmud Yerushalmi (Talmud Yerusalem). Namun nama ini sebetulnya keliru, karena Gemara tidak ditulis di Yerusalem. Karena itu Gemara juga dikenal secara lebih akurat sebagai Talmud negeri Israel.
Gemara ditulis dalam bahasa Ibrani dan dialek Aram barat yang berbeda dengan padanan Babilonianya.
Talmud Bavli (Talmud Babilonia)
Sebuah salinan lengkap Talmud Babilonia.
Talmud Bavli (“Talmud Babilonia”) terdiri dari Mishnah dan Gemara Babilonia. Gemara ini adalah sinopsis dari analisis selama 300 tahun lebih atas Mishna di Akademi-akademi Babilonia. Menurut tradisi, Talmud ini diedit oleh dua orang bijak Babilonia, Rav Ashi dan Ravina.
Pertanyaan tentang kapan Gemara akhirnya muncul dalam bentuknya yang sekarang belum terjawab oleh para ilmuwan modern. Sebagian dari teksnya baru mencapai bentuk finalnya setelah sekitar tahun 700. Menurut tradisi, para rabi yang menyunting talmud setelah akhir periode Amora disebut Saboraim atau Rabanan Saborai. Para sarjana modern juga menggunakan istilah Stammaim (bahasa Ibrani = sumber tertutup, kabur atau tidak disebutkan) untuk para pengarang pernyataan-pernyataan yang tidak disebutkan sumbernya dalam Gemara. (Lihat era dalam hukum Yahudi.)
AHMADIYAH
Ahmadiyyah (Urdu: احمدیہ Ahmadiyyah) atau sering pula ditulis Ahmadiyah, adalah sebuah gerakan keagamaan Islam yang didirikan oleh Mirza Ghulam Ahmad (1835-1908) pada tahun 1889, di sebuah kota kecil yang bernama Qadian di negara bagian Punjab, India. Mirza Ghulam Ahmad mengaku sebagai Mujaddid, al Masih dan al Mahdi.[1]
Para pengikut Ahmadiyah, yang disebut sebagai Ahmadi atau Muslim Ahmadi, terbagi menjadi dua kelompok. Kelompok pertama ialah “Ahmadiyya Muslim Jama’at” (atau Ahmadiyah Qadian). Pengikut kelompok ini di Indonesia membentuk organisasi bernama Jemaat Ahmadiyah Indonesia, yang telah berbadan hukum sejak 1953 (SK Menteri Kehakiman RI No. JA 5/23/13 Tgl. 13-3-1953).[2] Kelompok kedua ialah “Ahmadiyya Anjuman Isha’at-e-Islam Lahore” (atau Ahmadiyah Lahore). Di Indonesia, pengikut kelompok ini membentuk organisasi bernama Gerakan Ahmadiyah Indonesia, yang mendapat Badan Hukum Nomor I x tanggal 30 April 1930. Anggaran Dasar organisasi diumumkan Berita Negara tanggal 28 November 1986 Nomor 95 Lampiran Nomor 35.[3]
Atas nama Pemerintah Indonesia, Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri, dan Jaksa Agung Indonesia pada tanggal 9 Juni 2008 telah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama, yang memerintahkan kepada penganut Ahmadiyah untuk menghentikan kegiatannya yang bertentangan dengan Islam.[4]
Jemaat Muslim Ahmadiyah adalah satu organisasi keagamaan Internasional yang telah tersebar ke lebih dari 185 negara di dunia[5]. Pergerakan Jemaat Ahmadiyah dalam Islam adalah suatu organisasi keagamaan dengan ruang lingkup internasional yang memiliki cabang di 174 negara tersebar di Afrika, Amerika Utara, Amerika Selatan, Asia, Australia dan Eropa. Saat ini jumlah keanggotaannya di seluruh dunia lebih dari 150 juta orang. [6] Jemaat Ahmadiyah Internasional juga telah menerjemahkan al Quran ke dalam bahasa-bahasa besar di dunia dan sedang merampungkan penerjemahan al Quran ke dalam 100 bahasa di dunia. Sedangkan Jemaat Ahmadiyah di Indonesia telah menerjemahkan al Quran dalam bahasa Indonesia, Sunda, dan Jawa.
Ahmadiyah Qadian dan Lahore
Mirza Ghulam Ahmad, pendiri aliran Ahmadiyyah.
Terdapat dua kelompok Ahmadiyah. Keduanya sama-sama mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa al Masih yang telah dijanjikan Nabi Muhammad SAW. Akan tetapi dua kelompok tersebut memiliki perbedaan prinsip:
• Ahmadiyah Qadian, di Indonesia dikenal dengan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Bogor[7]), yakni kelompok yang mempercayai bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah seorang mujaddid (pembaharu) dan seorang nabi yang tidak membawa syariat baru.
Pokok-Pokok Ajaran Ahmadiyah Qadian sebagai berikut:
1. Mengimani dan meyakini bahwa Mirza Ghulam Ahmad, laki-laki kelahiran India yang mengaku menjadi nabi, adalah nabinya.
2. Mengimani dan meyakini bahwa “Tadzkirah” yang merupakan kumpulan sajak buatan Mirza Ghulam Ahmad adalah kitab sucinya. Mereka menganggap bahwa wahyu adalah yang diturunkan kepada Mirza Ghulam Ahmad.
3. Mengimani dan meyakini bahwa kitab “Tadzkirah” derajatnya sama dengan Alquran.
4. Mengimani dan meyakini bahwa wahyu dan kenabian tidak terputus dengan diutusnya Nabi Muhammad saw. Mereka beranggapan bahwa risalah kenabian terus berlanjut sampai hari kiamat.
5. Mengimani dan meyakini bahwa Rabwah dan Qadian di India adalah tempat suci sebagaimana Mekah dan Madinah.
6. Mengimani dan meyakini bahwa surga berada di Qadian dan Rabwah. Mereka menganggap bahwa keduanya sebagai tempat turunnya wahyu.
7. Wanita Ahmadiyah haram menikah dengan laki-laki di luar Ahmadiyah, namun laki-laki Ahmadiyah boleh menikah dengan wanita di luar Ahmadiyah.
8. Haram hukumnya salat bermakmum dengan orang di luar Ahmadiyah.
• Ahmadiyah Lahore, di Indonesia dikenal dengan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (berpusat di Yogyakarta). Secara umum kelompok ini tidak menganggap Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi, melainkan hanya sekedar mujaddid dari ajaran Islam [8].
Selengkapnya, Ahmadiyah Lahore mempunyai keyakinan bahwa mereka:
1. Percaya pada semua aqidah dan hukum-hukum yang tercantum dalam al Quran dan Hadits, dan percaya pada semua perkara agama yang telah disetujui oleh para ulama salaf dan ahlus-sunnah wal-jama’ah, dan yakin bahwa Nabi Muhammad SAW adalah nabi yang terakhir.
2. Nabi Muhammad SAW adalah khatamun-nabiyyin. Sesudahnya tidak akan datang nabi lagi, baik nabi lama maupun nabi baru.
3. Sesudah Nabi Muhammad SAW, malaikat Jibril tidak akan membawa wahyu nubuwat kepada siapa pun.
4. Apabila malaikat Jibril membawa wahyu nubuwwat (wahyu risalat) satu kata saja kepada seseorang, maka akan bertentangan dengan ayat: walâkin rasûlillâhi wa khâtamun-nabiyyîn (QS 33:40), dan berarti membuka pintu khatamun-nubuwwat.
5. Sesudah Nabi Muhammad SAW silsilah wahyu nubuwwat telah tertutup, akan tetapi silsilah wahyu walayat tetap terbuka, agar iman dan akhlak umat tetap cerah dan segar.
6. Sesuai dengan sabda Nabi Muhammad SAW, bahwa di dalam umat ini tetap akan datang auliya Allah, para mujaddid dan para muhaddats, akan tetapi tidak akan datang nabi.
7. Mirza Ghulam Ahmad adalah mujaddid abad 14 H. Dan menurut Hadits, mujaddid akan tetap ada. Dan kepercayaan kami bahwa Mirza Ghulam Ahmad bukan nabi, tetapi berkedudukan sebagai mujaddid.
8. Percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad bukan bagian dari Rukun Islam dan Rukun Iman, maka dari itu orang yang tidak percaya kepada Mirza Ghulam Ahmad tidak bisa disebut kafir.
9. Seorang muslim, apabila mengucapkan kalimah thayyibah, dia tidak boleh disebut kafir. Mungkin dia bisa salah, akan tetapi seseorang dengan sebab berbuat salah dan maksiat, tidak bisa disebut kafir.
10. Ahmadiyah Lahore berpendapat bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah pelayan dan pengemban misi Nabi Muhammad SAW.[9]
Kontroversi ajaran Ahmadiyah
Menurut sudut pandang umum umat Islam, ajaran Ahmadiyah (Qadian) dianggap melenceng dari ajaran Islam sebenarnya karena mengakui Mirza Ghulam Ahmad sebagai nabi yaitu Isa al Masih dan Imam Mahdi, hal yang bertentangan dengan pandangan umumnya kaum muslim yang mempercayai Nabi Muhammad SAW sebagai nabi terakhir walaupun juga mempercayai kedatangan Isa al Masih dan Imam Mahdi setelah Beliau saw(Isa al Masih dan Imam Mahdi akan menjadi umat Nabi Muhammad SAW) [20].
Perbedaan Ahmadiyah dengan kaum Muslim pada umumnya adalah karena Ahmadiyah menganggap bahwa Isa al Masih dan Imam Mahdi telah datang ke dunia ini seperti yang telah dinubuwwatkan Nabi Muhammad SAW. Namun umat Islam pada umumnya mempercayai bahwa Isa al Masih dan Imam Mahdi belum turun ke dunia. Sedangkan permasalahan-permasalahan selain itu adalah perbedaan penafsiran ayat-ayat al Quran saja.[rujukan?]
Ahmadiyah sering dikait-kaitkan dengan adanya kitab Tazkirah. Sebenarnya kitab tersebut bukanlah satu kitab suci bagi warga Ahmadiyah, namun hanya merupakan satu buku yang berisi kumpulan pengalaman ruhani pendiri Jemaat Ahmadiyah, layaknya diary. Tidak semua anggota Ahmadiyah memilikinya, karena yang digunakan sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah Al Quran-ul-Karim saja. [21]
Ada pula yang menyebutkan bahwa Kota suci Jemaat Ahmadiyah adalah Qadian dan Rabwah. Namun tidak demikian adanya, kota suci Jemaat Ahmadiyah adalah sama dengan kota suci umat Islam lainnya, yakni Mekkah dan Madinah.[22]
Sedangkan Ahmadiyah Lahore mengakui bahwa Mirza Ghulam Ahmad hanyalah mujaddid dan tidak disetarakan dengan posisi nabi, sesuai keterangan Gerakan Ahmadiyah Indonesia (Ahmadiyah Lahore) untuk Indonesia yang berpusat di Yogyakarta.
Kendatipun demikian, masih banyak kontroversi dan hitam putih persepsi yang tidak bisa disamakan antara Jemaat Ahmadiyah dan umat muslim.
ZOROASTER
Zoroastrianisme adalah sebuah agama dan ajaran filosofi yang didasari oleh ajaran Zarathustra yang dalam bahasa Yunani disebut Zoroaster. Zoroastrianisme dahulu kala adalah sebuah agama yang berasal dari daerah Persia Kuno atau kini dikenal dengan Iran. Di Iran, Zoroastrianisme dikenal dengan sebutan Mazdayasna yaitu kepercayaan yang menyembah kepada Ahura Mazda atau “Tuhan yang bijaksana”.
Latar Belakang Munculnya Zoroastrianisme
Zarathustra atau Zoroaster adalah pelopor berdirinya Zoroastrianisme di Iran (Persia). Ia hidup sekitar abad ke-6 SM. Zarathustra berasal dari keturunan suku Media. Ia adalah seorang imam yang dididik dalam tradisi Indo-Iran. Sebelumnya, agama yang ada di Iran (Persia) bersumber pada macam-macam ajaran seperti politeisme, paganisme, dan animisme. Zarathustra yang merasa tidak puas dengan ajaran-ajaran yang berkembang di Iran pada waktu itu berusaha membawa pembaruan. Oleh sebab itu, oleh para ahli ia kemudian dianggap sebagai salah satu tokoh pembaru agama tradisional. Zarathustra dikenal sebagai nabi yang mempunyai karunia untuk menyembuhkan dan sanggup melakukan berbagai mujizat. Selama bertahun-tahun ia berusaha menemukan penyingkapan-penyingkapan dari kebenaran spiritual.
Zarathustra ingin memperbaiki sistem kepercayaan dan cara penyembahan kepada dewa-dewa yang berkembang di Persia saat itu. Pada usia tiga puluh tahun, Zarathustra menerima sebuah penglihatan. Menurut legenda, ia melihat cahaya besar yang kemudian membawanya masuk dalam hadirat Ahura Mazda. Sejak perjumpaannya dengan Ahura Mazda, Zarathustra menjadi semakin giat menyebarkan ajaran bahwa segala sesuatu yang baik berasal dari Ahura Mazda. Ajarannya yang sangat berbeda dengan kepercayaan yang ada pada waktu itu menyebabkan Zarathustra mendapat tekanan.
Ia pun akhirnya memutuskan untuk melarikan diri dan pergi ke Chorasma atau (Qarazm). Pada tahun 618 SM Raja Chorasma yaitu Vitaspa dan menterinya Yasasp yang menikahi Pauron Chista kemudian menjadi penganut Zoroastrianisme. Barulah Zoroastrianisme mengalami perkembangan dan semakin bertambah banyak yang menjadi pengikutnya. Zarathustra meninggal di usia 77 tahun. Ketika Islam berkuasa di Persia tahun 636-637 Masehi, Zoroastrianisme sempat mengalami kemunduran. Banyak penduduk Persia yang lebih tertarik kepada agama Islam. Sekelompok pemeluk Zoroastrianisme kemudian pergi ke India dan menetap di Bombay Di sana mereka dikenal dengan sebutan orang-orang Parsi.
Ajaran-ajarannya
Konsep Ketuhanan
Di dalam ajaran Zoroastrianisme, hanya ada satu Tuhan yang universal dan Maha Kuasa, yaitu Ahura Mazda. Ia dianggap sebagai Sang Maha Pencipta, segala puja dan sembah ditujukan hanya kepadanya. Pengakuan ini adalah bentuk penegasan bahwa hanya Ahura Mazda yang harus disembah di tengah konteks kepercayaan tradisional masyarakat Iran yang kuat dengan pengaruh politeisme.
Zoroastrianisme mempunyai prinsip dualisme yang mempercayai bahwa ada dua kekuatan yang bertentangan dan saling beradu yakni kekuatan kebaikan dan kejahatan. Dalam tradisi Zoroastrianisme, yang jahat diwakili oleh Angra Mainyu atau Ahriman, sedangkan yang baik diwakili oleh Spenta Mainyu. Manusia harus selalu memilih akan berpihak pada kebaikan atau kejahatan selama hidupnya. Akan tetapi, dengan paham dualisme ini tidak berarti bahwa Zoroastrianisme tidak mengakui monoteisme karena Ahura Mazdalah satu-satunya Tuhan yang disembah. Ahura Mazda, pada saatnya akan mengalahkan kekuatan yang jahat dan berkuasa penuh. Ahriman dan para pengikutnya akan dimusnahkan untuk selamanya. Meskipun ajaran Zarathustra mengajarkan monoteisme dengan Ahura Mazda sebagai satu-satunya dewa yang harus disembah namun keberadaan dewa-dewa lain pun tetap diakui. Dewa-dewa yang turut diakui keberadaanya ada lima yaitu:
1. Asha Vahista, dewa tata tertib dan kebenaran yang berkuasa atas api
2. Vohu Manah, dewa yang digambarkan sebagai sapi jantan ini dikenal sebagai dewa hati nurani yang baik
3. Keshatra Vairya, yaitu dewa yang berkuasa atas segala logam
4. Spenta Armaity, yaitu dewa yang berkuasa atas bumi dan tanah
5. Haurvatat dan Amertat, yaitu dewa-dewa yang berkuasa atas air dan tumbuh-tumbuhan
Konsep mengenai Penciptaan
Alam semesta dalam ajaran Zoroastrianisme berusia 12000 tahun. Setelah masa 12000 tahun berakhir barulah akan terjadi kiamat. Masa 12000 tahun ini terbagi menjadi beberapa periode:
1. Periode 3000 tahun pertama, yaitu masa ketika Ahura Mazda menciptakan alam semesta. Ahriman kemudian berusaha menyerang dan menghancurkan alam yang diciptakan Ahura Mazda. Hal ini disebabkan karena kehendak Ahriman adalah menyakiti dan merusak alam ciptaan.
2. Periode 3000 tahun kedua, yaitu periode Ahura Mazda dan Angra Mainyu beradu kekuatan, keduanya berusaha saling kalah mengalahkan. Dalam peristiwa inilah terjadi terang dan gelap serta siang dan malam
3. Periode 3000 tahun ketiga, yaitu masa ketika nabi Zarathustra lahir dan menerima penglihatan dari Ahura Mazda. Selanjutnya, penglihatan ini kemudian disebarkannya kepada umat manusia.
4. Periode 3000 tahun terakhir, yaitu masa munculnya seorang Saoshayant setiap seribu tahun, yang diyakini sebagai penyelamat yang akan memerintah dan memelihara bumi. Ketiga Saoshayant yang akan datang itu adalah keturunan Zarathustra yang pada akhirnya akan memimpin manusia untuk melawan dan menghancurkan Ahriman serta para pengikutnya. Barulah setelah itu perdamaian dunia akan terwujud.
Konsep Eskatologi: Kehidupan Setelah Kematian
Dalam pemahaman Zoroastrianisme, setiap orang akan mengalami penghakiman setelah meninggal. Penganut Zoroaster meyakini bahwa ketika seseorang meninggal, ia harus dapat membuktikan dirinya telah melakukan lebih banyak kebaikan daripada kejahatan. Mereka percaya setiap roh manusia yang telah meninggal harus melewati Jembatan Cinvat yaitu jembatan yang menuju ke sorga. Jiwa manusia sesudah meninggal akan tetap tinggal selama tiga hari di dalam tubuhnya dan baru pada hari ke empat dibawa menuju penghakiman di Jembatan Cinvat.
Setelah berhasil melewati jembatan ini maka seseorang akan hidup bahagia dengan rahmat Ahura Mazda. Semakin banyak kebaikan yang dibuat seseorang maka akan semakin lebarlah jembatan itu dan sebaliknya, semakin besar kejahatannya maka semakin sempitlah jembatan itu hingga rohnya tidak dapat melewatinya dan jatuh dari Jembatan Cinvat. Di bawah jembatan inilah terdapat neraka yang penuh api, sebuah tempat yang suram dan penuh kesedihan. Menurut ajaran Zoroastrianisme, dunia akan mengalami pembaruan menuju kesempuranaan dan jiwa-jiwa baik yang masih hidup dan sudah mati akan dibebaskan selamanya dari kuasa jahat. Pembaruan dunia dan kebangkitan kembali seluruh ciptaan disebut Frashokeveti
Konsep mengenai Etika Hidup
Dalam pandangannya mengenai etika hidup yang ideal, ada tiga hal utama yang ditekankan dalam Zoroastrianisme yaitu pikiran yang baik, perkataan yang baik dan perbuatan yang baik. Zoroastrianisme memberikan kebebasan bagi setiap penganutnya untuk memilih hidup yang baik atau jahat bagi dirinya sendiri. Menurut mereka dunia yang akan datang akan mengalami pembaruan. Pembaruan dunia ini tidak dapat dapat dikerjakan oleh satu orang saja tetapi membutuhkan keterlibatan banyak orang. Oleh karena itu, Zoroastrianisme sangat menekankan tanggung jawab moral dari masing-masing orang untuk melakukan kebaikan. Dosa bagi penganut Zoroastrianisme adalah penolakan untuk bersekutu dengan aspek kebaikan dari Ahura Mazda. Mereka meyakini bahwa tidak ada yang ditakdirkan atau dikodratkan sebelumnya. Apa yang dilakukan, dikatakan dan dipikirkan selama hidup akan menentukan apa yang akan terjadi setelah meninggal. Mereka pun menolak konsep pertapaan karena mereka memahami bahwa dunia itu baik. Tidak ada ruang untuk penyangkalan diri dan bertapa karena menolak dunia berarti menolak ciptaan dan menolak ciptaan berarti menolak Sang Pencipta.
Ritus Kematian dalam Zoroastrianisme
Zoroastrianisme tidak mengizinkan penguburan dan pembakaran tubuh orang yang telah meninggal karena dianggap akan menodai air, udara, bumi dan api. Mereka menyelenggarakan ritus kematian dengan menempatkan mayat di atas Dakhma atau Menara Ketenangan (Tower of Silence). Di sana terdapat pembagian tempat yang jelas bagi kaum laki-laki, perempuan dan anak-anak. Adapun tahap-tahap yang dilakukan saat upacara kematian adalah sebagai berikut:
1. Mayat dibiarkan di dalam sebuah ruangan di rumah selama tiga hari sebelum dibawa ke Dakhma, tempat untuk melaksanakan upacara kematian.
2. Sesudah itu, mayat lalu dibawa ke Dakhma atau Menara Ketenangan.
3. Di sana mayat akan ditelanjangi dan ditidurkan di atas menara yang terbuka dan dibiarkan agar dimakan oleh burung-burung.
4. Sisa-sisa tulang kemudian dibuang ke dalam sumur.
KAPITALISME
Kapitalisme atau Kapital adalah suatu paham yang meyakini bahwa pemilik modal bisa melakukan usahanya untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya. Demi prinsip tersebut, maka pemerintah tidak dapat melakukan intervensi pasar guna keuntungan bersama, tapi intervensi pemerintah dilakukan secara besar-besaran untung kepentingan-kepentingan pribadi. Walaupun demikian, kapitalisme sebenarnya tidak memiliki definisi universal yang bisa diterima secara luas. Beberapa ahli mendefinisikan kapitalisme sebagai sebuah sistem yang mulai berlaku di Eropa pada abad ke-16 hingga abad ke-19, yaitu pada masa perkembangan perbankan komersial Eropa di mana sekelompok individu maupun kelompok dapat bertindak sebagai suatu badan tertentu yang dapat memiliki maupun melakukan perdagangan benda milik pribadi, terutama barang modal, seperti tanah dan manusia guna proses perubahan dari barang modal ke barang jadi. Untuk mendapatkan modal-modal tersebut, para kapitalis harus mendapatkan bahan baku dan mesin dahulu, baru buruh sebagai operator mesin dan juga untuk mendapatkan nilai lebih dari bahan baku tersebut.
Kapitalisme memiliki sejarah yang panjang, yaitu sejak ditemukannya sistem perniagaan yang dilakukan oleh pihak swasta. Di Eropa, hal ini dikenal dengan sebutan guild sebagai cikal bakal kapitalisme. Saat ini, kapitalisme tidak hanya dipandang sebagai suatu pandangan hidup yang menginginkan keuntungan belaka. Peleburan kapitalisme dengan sosialisme tanpa adanya pengubahan menjadikan kapitalisme lebih lunak daripada dua atau tiga abad yang lalu.
Perspektif filosofi kapitalisme
Kapitalisme adalah salah satu pola pandang manusia dalam segala kegiatan ekonominya. Perkembangannya tidak selalu bergerak ke arah positif seperti yang dibayangkan banyak orang, tetapi naik turun. Kritik keberadaan kapitalis sebagai suatu bentuk penindasan terhadap masyarakat kelas bawah adalah salah satu faktor yang menyebabkan aliran ini banyak dikritik. Akan tetapi, bukan hanya kritik saja yang mengancam kapitalisme, melainkan juga ideologi lain yang ingin melenyapkannya, seperti komunisme.
Kaum klasik kapitalis
Pemerintah mendominasi bidang perdagangan selama berabad-abad namun kemudian malah memunculkan ketimpangan ekonomi. Para pemikir ini mulai beranggapan bahwa para borjuis, yang pada era sebelumnya mulai memegang peranan penting dalam ekonomi perdagangan yang didominasi negara atau lebih dikenal dengan merkantilisme, seharusnya mulai melakukan perdagangan dan produksi guna menunjang pola kehidupan masyarakat. Beberapa ahli ini antara lain:
Adam Smith
Adam Smith adalah tokoh ekonomi kapitalis klasik yang menyerang merkantilisme yang dianggapnya kurang mendukung ekonomi masyarakat. Ia menyerang para psiokrat yang menganggap tanah adalah sesuatu yang paling penting dalam pola produksi. Gerakan produksi haruslah bergerak sesuai konsep MCM (Modal-Comodity-Money, modal-komoditas-uang), yang menjadi suatu hal yang tidak akan berhenti karena uang akan beralih menjadi modal lagi dan akan berputar lagi bila diinvestasikan. Adam Smith memandang bahwa ada sebuah kekuatan tersembunyi yang akan mengatur pasar (invisible hand), maka pasar harus memiliki laissez-faire atau kebebasan dari intervensi pemerintah. Pemerintah hanya bertugas sebagai pengawas dari semua pekerjaan yang dilakukan oleh rakyatnya.
ATEISME
Ateisme adalah sebuah pandangan filosofi yang tidak memercayai keberadaan Tuhan dan dewa-dewi ataupun penolakan terhadap teisme. Dalam pengertian yang paling luas, ia adalah ketiadaan kepercayaan pada keberadaan dewa atau Tuhan.
Istilah ateisme berasal dari Bahasa Yunani ἄθεος (atheos), yang secara peyoratif digunakan untuk merujuk pada siapapun yang kepercayaannya bertentangan dengan agama/kepercayaan yang sudah mapan di lingkungannya. Dengan menyebarnya pemikiran bebas, skeptisisme ilmiah, dan kritik terhadap agama, istilah ateis mulai dispesifikasi untuk merujuk kepada mereka yang tidak percaya kepada tuhan. Orang yang pertama kali mengaku sebagai “ateis” muncul pada abad ke-18. Pada zaman sekarang, sekitar 2,3% populasi dunia mengaku sebagai ateis, manakala 11,9% mengaku sebagai nonteis. Sekitar 65% orang Jepang mengaku sebagai ateis, agnostik, ataupun orang yang tak beragama; dan sekitar 48%-nya di Rusia. Persentase komunitas tersebut di Uni Eropa berkisar antara 6% (Italia) sampai dengan 85% (Swedia).
Banyak ateis bersikap skeptis kepada keberadaan fenomena paranormal karena kurangnya bukti empiris. Yang lain memberikan argumen dengan dasar filosofis, sosial, atau sejarah.
Pada kebudayaan Barat, ateis seringkali diasumsikan sebagai tak beragama (ireligius). Beberapa aliran Agama Buddha tidak pernah menyebutkan istilah ‘Tuhan’ dalam berbagai upacara ritual, namun dalam Agama Buddha konsep ketuhanan yang dimaksud mempergunakan istilah Nibbana. Karenanya agama ini sering disebut agama ateistik. Walaupun banyak dari yang mendefinisikan dirinya sebagai ateis cenderung kepada filosofi sekuler seperti humanisme, rasionalisme, dan naturalisme, tidak ada ideologi atau perilaku spesifik yang dijunjung oleh semua ateis.]
Asal Istilah
Kata Yunani αθεοι (atheoi), seperti yang tampak pada Surat Paulus kepada Jemaat di Efesus di papirus abad ke-3
Pada zaman Yunani Kuno, kata sifat atheos (ἄθεος, berasal dari awalan ἀ- + θεός “tuhan”) berarti “tak bertuhan”. Kata ini mulai merujuk pada penolakan tuhan yang disengajakan dan aktif pada abad ke-5 SM, dengan definisi “memutuskan hubungan dengan tuhan/dewa” atau “menolak tuhan/dewa”. Terjemahan modern pada teks-teks klasik kadang-kadang menerjemahkan atheos sebagai “ateistik”. Sebagai nomina abstrak, terdapat pula ἀθεότης (atheotēs ), yang berarti “ateisme”. Cicero mentransliterasi kata Yunani tersebut ke dalam bahasa Latin atheos. Istilah ini sering digunakan pada perdebatan antara umat Kristen awal dengan para pengikut agama Yunani Kuno (Helenis), yang mana masing-masing pihak menyebut satu sama lainnya sebagai ateis secara peyoratif.[14]
Ateisme pertama kali digunakan untuk merujuk pada “kepercayaan tersendiri” pada akhir abad ke-18 di Eropa, utamanya merujuk pada ketidakpercayaan pada Tuhan monoteis.[15] Pada abad ke-20, globalisasi memperluas definisi istilah ini untuk merujuk pada “ketidakpercayaan pada semua tuhan/dewa”, walaupun adalah masih umum untuk merujuk ateisme sebagai “ketidakpercayaan pada Tuhan (monoteis)”.[16] Akhir-akhir ini, terdapat suatu desakan di dalam kelompok filosofi tertentu untuk mendefinisikan ulang ateisme sebagai “ketiadaan kepercayaan pada dewa/dewi”, daripada ateisme sebagai kepercayaan itu sendiri. Definisi ini sangat populer di antara komunitas ateis, walaupun penggunaannya masih sangat terbatas.[16][17][18]
Definisi dan Pembedaan
Suatu gambaran yang menunjukkan hubungan antara definisi ateisme kuat/lemah dengan ateisme implisit/eksplisit. Ateis implisit tidak memiliki pemikiran akan kepercayaan pada tuhan; individu seperti itu dikatakan secara implisit tanpa kepercayaan pada tuhan. Ateis eksplisit mengambil posisi terhadap kepercayaan pada tuhan; individu tersebut dapat menghindari untuk percaya pada tuhan (ateisme lemah), ataupun mengambil posisi bahwa tuhan tidak ada (ateisme kuat).
Para penulis berbeda-beda dalam mendefinisikan dan mengklasifikasi ateisme,[19] yakni apakah ateisme merupakan suatu kepercayaan tersendiri ataukah hanyalah ketiadaan pada kepercayaan, dan apakah ateisme memerlukan penolakan yang secara sadar dan eksplisit dilakukan. Berbagai kategori telah diajukan untuk mencoba membedakan jenis-jenis bentuk ateisme.
Ruang lingkup
Beberapa ambiguitas dan kontroversi yang terlibat dalam pendefinisian ateisme terletak pada sulitnya mencapai konsensus dalam mendefinisikan kata-kata seperti dewa dan tuhan. Pluralitas dalam konsep ketuhanan dan dewa menyebabkan perbedaan pemikiran akan penerapan kata ateisme. Dalam konteks teisme didefinisikan sebagai kepercayaan pada Tuhan monoteis, orang-orang yang percaya pada dewa-dewi lainnya akan diklasifikasikan sebagai ateis. Sebaliknya pula, orang-orang Romawi kuno juga menuduh umat Kristen sebagai ateis karena tidak menyembah dewa-dewi paganisme. Pada abad ke-20, pandangan ini mulai ditinggalkan seiring dengan dianggapnya teisme meliputi keseluruhan kepercayaan pada dewa/tuhan.[20]
Bergantung pada apa yang para ateis tolak, penolakan ateisme dapat berkisar dari penolakan akan keberadaan tuhan/dewa sampai dengan keberadaan konsep-konsep spiritual dan paranormal seperti yang ada pada agama Hindu dan Buddha.[21]
Implisit dan eksplisit
Definisi ateisme juga bervariasi dalam halnya sejauh mana seseorang harus mengambil posisi mengenai gagasan keberadaan tuhan untuk dianggap sebagai ateis. Ateisme kadang-kadang didefinisikan secara luas untuk meliputi ketiadaan kepercayaan akan keberadaan tuhan/dewa. Definisi yang luas ini akan memasukkan orang-orang yang tidak memiliki konsep teisme sebagai ateis. Pada tahun 1772, Baron d’Holbach mengatakan bahwa “Semua anak-anak dilahirkan sebagai ateis, karena mereka tidak tahu akan Tuhan.”[22] George H. Smith (1979) juga menyugestikan bahwa: “Orang yang tidak kenal dengan teisme adalah ateis karena ia tidak percaya pada tuhan. Kategori ini juga akan memasukkan anak dengan kapasitas konseptual untuk mengerti isu-isu yang terlibat, tapi masih tidak sadar akan isu-isu tersebut (sebagai ateis). Fakta bahwa anak ini tidak percaya pada tuhan membuatnya pantas disebut ateis.”[23] Smith menciptakan istilah ateisme implisit untuk merujuk pada “ketiadaan kepercayaan teistik tanpa penolakan yang secara sadar dilakukan” dan ateisme eksplisit untuk merujuk pada definisi ketidakpercayaan yang dilakukan secara sadar.
Dalam kebudayaan Barat, pandangan bahwa anak-anak dilahirkan sebagai ateis merupakan pemikiran yang baru. Sebelum abad ke-18, keberadaan Tuhan diterima secara sangat luas sedemikiannya keberadaan ateisme yang benar-benar tidak percaya akan Tuhan itu dipertanyakan keberadaannya. Hal ini disebut theistic innatism (pembawaan lahir teistik), yakni suatu nosi bahwa semua orang percaya pada Tuhan dari lahir. Pandangan ini memiliki konotasi bahwa para ateis hanyalah menyangkal diri sendiri.[24] Terdapat pula sebuah posisi yang mengklaim bahwa ateis akan dengan cepat percaya pada Tuhan pada saat krisis, bahwa ateis percaya pada tuhan pada saat meninggal dunia, ataupun bahwa “tidak ada ateis dalam lubang perlindungan perang (no atheists in foxholes).”[25] Beberapa pendukung pandangan ini mengklaim bahwa keuntungan antropologis agama membuat manusia dapat mengatasi keadaan susah lebih baik. Beberapa ateis menitikberatkan fakta bahwa terdapat banyak contoh yang membuktikan sebaliknya, di antaranya contoh-contoh “ateis yang benar-benar berada di lubang perlindungan perang.”[26]
Kuat dan lemah
Para filsuf seperti Antony Flew,[27] Michael Martin,[16] dan William L. Rowe[28] membedakan antara ateisme kuat (positif) dengan ateisme lemah (negatif). Ateisme kuat adalah penegasan bahwa tuhan tidak ada, sedangkan ateisme lemah meliputi seluruh bentuk ajaran nonteisme lainnya. Menurut kategorisasi ini, siapapun yang bukan teis dapatlah ateis yang lemah ataupun kuat.[29] Istilah lemah dan kuat ini merupakan istilah baru; namun istilah yang setara seperti ateisme negatif dan positif telah digunakan dalam berbagai literatur-literatur filosofi[27] dan apologetika Katolik (dalam artian yang sedikit berbeda).[30] Menggunakan batasan ateisme ini, kebanyakan agnostik adalah ateis lemah.
Manakala Martin, menegaskan bahwa agnostisisme memiliki bawaan ateisme lemah,[16] kebanyakan agnostik memandang pandangan mereka berbeda dari ateisme, yang mereka liat ateisme sama saja tidak benarnya dengan teisme.[31] Ketidaktercapaian pengetahuan yang diperlukan untuk membuktikan atau membantah keberadaan tuhan/dewa kadang-kadang dilihat sebagai indikasi bahwa ateisme memerlukan sebuah lompatan kepercayaan. Respon ateis terhadap argumen ini adalah bahwa dalil-dalil keagamaan yang tak terbukti seharusnyalah pantas mendapatkan ketidakpercayaan yang sama sebagaimana ketidakpercayaan pada dalil-dalil tak terbukti lainnya,[32] dan bahwa ketidakterbuktian keberadaan tuhan tidak mengimplikasikan bahwa probabilitas keberadaan tuhan sama dengan probabilitas ketiadaan tuhan.[33] Filsuf Skotlandia J. J. C. Smart bahkan berargumen bahwa “kadang-kadang seseorang yang benar-benar ateis dapat menyebut dirinya sebagai seorang agnostik karena generalisasi skeptisisme filosofis tak beralasan yang akan menghalangi kita dari berkata kita tahu apapun, kecuali mungkin kebenaran matematika dan logika formal.”[34] Karenanya, beberapa penulis ateis populer seperti Richard Dawkins memilih untuk membedakan posisi teis, agnostik, dan ateis sebagai spektrum probabilitas terhadap pernyataan “Tuhan ada” (spektrum probabilitas teistik).[35]
Dasar pemikiran
“Salah satu anak dari gerombolan orang pernah menanyai seorang ahli astronomi siapa ayah yang membawanya ke dalam dunia ini. Cendekiawan tersebut menunjuk langit dan seorang tua yang sedang duduk, dan berkata:
‘Yang di sana adalah ayah tubuhmu, dan yang itu adalah ayah jiwamu.’
Anak lelaki tersebut membalas:
‘Apa yang di atas kita bukanlah urusan kita, dan saya malu menjadi anak dari orang setua itu!’
‘Oh sangatlah tidak berbudi, tidak ingin mengenali ayahmu, dan tidak berpikir bahwa Tuhan adalah penciptamu!’ [36] Ilustrasi ateisme praktis dan asosiasi historisnya dengan amoralitas, judul “Supreme Impiety: Atheist and Charlatan”, dari Picta poesis, oleh Barthélémy Aneau, 1552.
Batasan dasar pemikiran ateistik yang paling luas adalah antara ateisme praktis dengan ateisme teoretis. Bentuk-bentuk ateisme teoretis yang berbeda-beda berasal dari argumen filosofis dan dasar pemikiran yang berbeda-beda pula. Sebaliknya, ateisme praktis tidaklah memerlukan argumen yang spesifik dan dapat meliputi pengabaian dan ketidaktahuan akan pemikiran tentang tuhan/dewa.
Ateisme praktis
Dalam ateisme praktis atau pragmatis, yang juga dikenal sebagai apateisme, individu hidup tanpa tuhan dan menjelaskan fenomena alam tanpa menggunakan alasan paranormal. Menurut pandangan ini, keberadaan tuhan tidaklah disangkal, namun dapat dianggap sebagai tidak penting dan tidak berguna; tuhan tidaklah memberikan kita tujuan hidup, ataupun memengaruhi kehidupan sehari-hari.[37] Salah satu bentuk ateisme praktis dengan implikasinya dalam komunitas ilmiah adalah naturalisme metodologis, yaitu pengambilan asumsi naturalisme filosofis dalam metode ilmiah yang tidak diucapkan dengan ataupun tanpa secara penuh menerima atau memercayainya.”[38]
Ateisme praktis dapat berupa:
• Ketiadaan motivasi religius, yakni kepercayaan pada tuhan tidak memotivasi tindakan moral, religi, ataupun bentuk-bentuk tindakan lainnya;
• Pengesampingan masalah tuhan dan religi secara aktif dari penelusuran intelek dan tindakan praktis;
• Pengabaian, yakni ketiadaan ketertarikan apapun pada permasalahan tuhan dan agama; dan
• Ketidaktahuan akan konsep tuhan dan dewa.[39]
Ateisme teoretis
Ateisme teoretis secara eksplisit memberikan argumen menentang keberadaan tuhan, dan secara aktif merespon kepada argumen teistik mengenai keberadaan tuhan, seperti misalnya argumen dari rancangan dan taruhan Pascal. Terdapat berbagai alasan-alasan teoretis untuk menolak keberadaan tuhan, utamanya secara ontologis, gnoseologis, dan epistemologis. Selain itu terdapat pula alasan psikologis dan sosiologis.
Argumen epistemologis dan ontologis
Ateisme epistemologis berargumen bahwa orang tidak dapat mengetahui Tuhan ataupun menentukan keberadaan Tuhan. Dasar epistemologis ateisme adalah agnostisisme. Dalam filosofi imanensi, ketuhanan tidak dapat dipisahkan dari dunia itu sendiri, termasuk pula pikiran seseorang, dan kesadaran tiap-tiap orang terkunci pada subjek. Menurut bentuk agnostisisme ini, keterbatasan pada perspektif ini menghalangi kesimpulan objektif apapun mengenai kepercayaan pada tuhan dan keberadaannya. Agnostisisme rasionalistik Kant dan Pencerahan hanya menerima ilmu yang dideduksi dari rasionalitas manusia. Bentuk ateisme ini memiliki posisi bahwa tuhan tidak dapat dilihat sebagai suatu materi secara prinsipnya, sehingga tidak dapat diketahui apakah ia ada atau tidak. Skeptisisme, yang didasarkan pada pemikiran Hume, menegaskan bahwa kepastian akan segala sesuatunya adalah tidak mungkin, sehingga seseorang tidak akan pernah mengetahui keberadaan tentang Tuhan. Alokasi agnostisisme terhadap ateisme adalah dipertentangkan; ia juga dapat dianggap sebagai pandangan dunia dasar yang independen.[37]
Argumen lainnya yang mendukung ateisme yang dapat diklasifikasikan sebagai epistemologis ataupun ontologis meliputi positivisme logis dan ignostisisme, yang menegaskan ketidakberartian ataupun ketidakterpahaman istilah-istilah dasar seperti “Tuhan” dan pernyataan seperti “Tuhan adalah mahakuasa.” Nonkognitivisme teologis memiliki posisi bahwa pernyataan “Tuhan ada” bukanlah suatu dalil, namun adalah omong kosong ataupun secara kognitif tidak berarti.
Anarkisme atau dieja anarkhisme yaitu suatu paham yang mempercayai bahwa segala bentuk negara, pemerintahan, dengan kekuasaannya adalah lembaga-lembaga yang menumbuhsuburkan penindasan terhadap kehidupan, oleh karena itu negara, pemerintahan, beserta perangkatnya harus dihilangkan/dihancurkan.
Secara spesifik pada sektor ekonomi, politik, dan administratif, Anarki berarti koordinasi dan pengelolaan, tanpa aturan birokrasi yang didefinisikan secara luas sebagai pihak yang superior dalam wilayah ekonomi, politik dan administratif (baik pada ranah publik maupun privat).
Etimologi
Anarkisme berasal dari kata dasar “anarki” dengan imbuhan -isme. Kata anarki merupakan kata serapan dari anarchy (bahasa Inggris) atau anarchie (Belanda/Jerman/Perancis), yang berakar dari kata bahasa Yunani, anarchos/anarchein. Ini merupakan kata bentukan a- (tidak/tanpa/nihil/negasi) yang disisipi /n/ dengan archos/archein (pemerintah/kekuasaan atau pihak yang menerapkan kontrol dan otoritas – secara koersif, represif, termasuk perbudakan dan tirani); maka, anarchos/anarchein berarti “tanpa pemerintahan” atau “pengelolaan dan koordinasi tanpa hubungan memerintah dan diperintah, menguasai dan dikuasai, mengepalai dan dikepalai, mengendalikan dan dikendalikan, dan lain sebagainya”. Bentuk kata “anarkis” berarti orang yang mempercayai dan menganut anarki, sedangkan akhiran -isme sendiri berarti paham/ajaran/ideologi.
“ “Anarkisme adalah sebuah sistem sosialis tanpa pemerintahan. Ia dimulai di antara manusia, dan akan mempertahankan vitalitas dan kreativitasnya selama merupakan pergerakan dari manusia” (Peter Kropotkin)

“ “Penghapusan eksploitasi dan penindasan manusia hanya bisa dilakukan lewat penghapusan dari kapitalisme yang rakus dan pemerintahan yang menindas” (Errico Malatesta)

Teori politik
Anarkisme adalah teori politik yang bertujuan untuk menciptakan masyarakat tanpa hirarkis (baik dalam politik, ekonomi, maupun sosial). Para Anarkis berusaha mempertahankan bahwa anarki, ketiadaan aturan-aturan, adalah sebuah format yang dapat diterapkan dalam sistem sosial dan dapat menciptakan kebebasan individu dan kebersamaan sosial. Anarkis melihat bahwa tujuan akhir dari kebebasan dan kebersamaan sebagai sebuah kerjasama yang saling membangun antara satu dengan yang lainnya. Atau, dalam tulisan Bakunin yang terkenal:
“ “kebebasan tanpa sosialisme adalah ketidakadilan, dan sosialisme tanpa kebebasan adalah perbudakan dan kebrutalan”[1]

Anarkisme dan kekerasan
Dalam sejarahnya, para anarkis dalam berbagai gerakannya kerap kali menggunakan kekerasan sebagai metode yang cukup ampuh dalam memperjuangkan ide-idenya, seperti para anarkis yang terlibat dalam kelompok Nihilis di Rusia era Tzar, Leon Czolgosz, grup N17 di Yunani. Slogan para anarkis Spanyol pengikutnya Durruti yang berbunyi:
“ Terkadang cinta hanya dapat berbicara melalui selongsong senapan ”
Yang sangat sarat akan penggunaan kekerasan dalam sebuah metode gerakan. Penggunaan kekerasan dalam anarkisme sangat berkaitan erat dengan metode propaganda by the deed, yaitu metode gerakan dengan menggunakan aksi langsung (perbuatan yang nyata) sebagai jalan yang ditempuh, yang berarti juga melegalkan pengrusakan, kekerasan, maupun penyerangan. Selama hal tersebut ditujukan untuk menyerang kapitalisme ataupun negara.
Namun demikian, tidak sedikit juga dari para anarkis yang tidak sepakat untuk menjadikan kekerasan sebagai suatu jalan yang harus ditempuh. Dalam bukunya What is Communist Anarchist, pemikir anarkis Alexander Berkman menulis:
“ “Anarkisme bukan Bom, ketidakteraturan atau kekacauan. Bukan perampokan dan pembunuhan. Bukan pula sebuah perang di antara yang sedikit melawan semua. Bukan berarti kembali kekehidupan barbarisme atau kondisi yang liar dari manusia. Anarkisme adalah kebalikan dari itu semua. Anarkisme berarti bahwa anda harus bebas. Bahwa tidak ada seorangpun boleh memperbudak anda, menjadi majikan anda, merampok anda, ataupun memaksa anda. Itu berarti bahwa anda harus bebas untuk melakukan apa yang anda mau, memiliki kesempatan untuk memilih jenis kehidupan yang anda mau serta hidup di dalamnya tanpa ada yang mengganggu, memiliki persamaan hak, serta hidup dalam perdamaian dan harmoni seperti saudara. Berarti tidak boleh ada perang, kekerasan, monopoli, kemiskinan, penindasan, serta menikmati kesempatan hidup bersama-sama dalam kesetaraan.” (Alexander Berkman, What is Communist Anarchist 1870 – 1936)

Dari berbagai selisih paham antar anarkis dalam mendefinisikan suatu ide kekerasan sebagai sebuah metode, kekerasan tetaplah bukan merupakan suatu ide eksklusif milik anarkisme, sehingga anarkisme tidak bisa dikonotasikan sebagai kekerasan, seperti makna tentang anarkisme yang banyak dikutip oleh berbagai media di Indonesia yang berarti sebagai sebuah aksi kekerasan. Karena bagaimanapun kekerasan merupakan suatu pola tingkah laku alamiah manusia yang bisa dilakukan oleh siapa saja dari kalangan apapun.
Sejarah dan dinamika filsafat anarkisme
Anarkisme sebagai sebuah ide yang dalam perkembangannya juga menjadi sebuah filsafat yang juga memiliki perkembangan serta dinamika yang cukup menarik.
[sunting] Anarkisme dan Marxisme
Lihat pula: Anarkisme dan Marxisme
Marxisme dalam perkembangannya setelah Marx dan Engels berkembang menjadi 3 kekuatan besar ideologi dunia yang menyandarkan dirinya pada pemikiran-pemikiran Marx. Ketiga ideologi itu adalah : (1) Komunisme, yang kemudian dikembangkan oleh Lenin menjadi ideologi Marxisme-Leninisme yang saat ini menjadi pegangan mayoritas kaum komunis sedunia; (2) Sosialisme Demokrat, yang pertama kali dikembangkan oleh Eduard Bernstein dan berkembang di Jerman dan kemudian berkembang menjadi sosialis yang berciri khas Eropa; (3) Neomarxisme dan Gerakan Kiri Baru, yang berkembang sekitar tahun 1965-1975 di universitas-universitas di Eropa.
Walaupun demikian, ajaran Marx tidak hanya berkutat pada ketiga aliran besar itu karena banyak sekali sempalan-sempalan yang memakai ajaran Marx sebagai basis ideologi dan perjuangan mereka. Aliran lain yang berkembang serta juga memakai Marx sebagai tolak pikirnya adalah Anarkisme.
Walaupun demikian anarkisme dan Marxisme berada dipersimpangan jalan dalam memandang masalah-masalah tertentu. Pertentangan mereka yang paling kelihatan adalah persepsi terhadap negara. Anarkisme percaya bahwa negara mempunyai sisi buruk dalam hal sebagai pemegang monopoli kekuasaan yang bersifat memaksa. Negara hanya dikuasai oleh kelompok-kelompok elit secara politik dan ekonomi, dan kekuatan elit itu bisa siapa saja dan apa saja termasuk kelas proletar seperti yang diimpikan kaum Marxis. Dan oleh karena itu kekuasaan negara (dengan alasan apapun) harus dihapuskan. Di sisi lain, Marxisme memandang negara sebagai suatu organ represif yang merupakan perwujudan kediktatoran salah satu kelas terhadap kelas yang lain. Negara dibutuhkan dalam konteks persiapan revolusi kaum proletar, sehingga negara harus eksis agar masyarakat tanpa kelas dapat diwujudkan. Lagipula, cita-cita kaum Marxis adalah suatu bentuk negara sosialis yang bebas pengkotakan berdasarkan kelas.
Selain itu juga, perbedaan kentara antara anarkisme dengan Marxisme dapat dilihat atas penyikapan keduanya dalam seputar isu kelas serta seputar metoda materialisme historis
Sinisisme (bahasa Yunani: κυνισμός) dalam bentuk aslinya adalah paham yang dianut oleh mazhab Sinis (bahasa Yunani: Κυνικοί, bahasa Latin: Cynici). Mereka menekankan bahwa kebahagiaan sejati merupakan ketidaktergantungan kepada sesuatu yang acak atau mengambang. Maka kaum Sinis menolak kebahagiaan dari kekayaan, kekuatan, kesehatan, dan kepamoran.
Aliran filsafat Sinis pertama kali didirikan oleh Antisthenes, yang merupakan salah seorang murid Socrates. Kaum sinis yang juga terkenal adalah Diogenes dari Sinope, yang tinggal di dalam sebuah tong.
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke.
Egalitarianisme (berasal dari bahasa Perancis égal yang berarti “sama”), adalah kecenderungan cara berpikir bahwa penikmatan atas kesetaraan dari beberapa macam premis umum misalkan bahwa seseorang harus diperlakukan dan mendapatkan perlakuan yang sama pada dimensi seperti agama, politik, ekonomi, sosial, atau budaya. Dalam pengertian doktrin Egalitas ini mempertahankan bahwa pada hakikatnya semua orang manusia adalah sama dalam status nilai atau moral secara fundamental[1] Sebagian besar, pengertian ini merupakan respon terhadap pelanggaran pembangunan statis dan memiliki dua definisi yang berbeda dalam bahasa Inggris modern[2] dapat didefinisikan secara baik sebagai doktrin politik yang menyatakan bahwa semua orang harus diperlakukan secara setara dan memiliki hak-hak politik, ekonomi, sosial, dan sipil yang sama[3] atau dalam pengertian filsafat sosial penganjurk penghapusan kesenjangan ekonomi antara orang-orang atau adanya semacam redistribusi/desentralisasi kekuasaan.
Dalam hal demikian ini dianggap oleh beberapa pihak dianggap sebagai keadaan alami dari sebuah masyarakat.[4][5][6]
Adanya studi yang menunjukkan bahwa kesenjangan sosial sebagai penyebabkan adanya banyak masalah sosial. Sebuah studi komprehensif ekonomi utama dunia bahkan mengungkapkan adanya hubungan antara ketimpangan sosial seperti masalah pembunuhan, kematian bayi, obesitas, kehamilan remaja, depresi emosional dan populasi sampai pada pemenjaraan.[7] oleh karena itu egalitarianisme merupakan subjek utama yang merujuk pada politik,
Imperialisme ialah sebuah kebijakan di mana sebuah negara besar dapat memegang kendali atau pemerintahan atas daerah lain agar negara itu bisa dipelihara atau berkembang. Sebuah contoh imperialisme terjadi saat negara-negara itu menaklukkan atau menempati tanah-tanah itu.
Timbulnya Kata Imperialisme
Perkataan Imperialisme muncul pertama kali davmn akjgnjangv’akmvnav vadjgfjervnklnmvesjfask’lnvbsbgvjrs’dfbn nfrmb dlsb;’s;bgmfkjbnfiobmsmb sjkbvsklbvsfbnsi Inggris pada akhir abad XIX. Disraeli, perdana menteri Inggris, ketika itu menjelmakan politik yang ditujukan pada perluasan kerajaan Inggris hingga suatu “imheheheheheeheheheeheheheheehehehehehehehehehehepire” yang meliputi seluruh dunia. Politik Disraeli ini mendapat opisisi yang kuat. Golongan oposisi takut kalau-kjjbnjalau politik Disraeli itu akan menimbulkan krisis-krisis internasional. Karena itu mereka menghendaki pemusatan perhatian pemerintah pada pembangunan dalam negeri dari pada berkecipuhan dalam sola-soal luar negeri. Golongan oposisi ini disebut golongan “Little BITCHES !!!!!!!!” dan golongan Disraeli (Joseph Chamberlain, Cecil Rhodes) disebut golongan “Empire” atau golongan “Imperialisme”. Timbulnya perkataan imperialis atau imperialisme, mula-mula hanya untuk membeda-bedakan golangan Disraeli dari golongan oposisinya, kemudian mendapat isi lain hingga mengandung arti seperti yang kita kenal sekarang.
Asal Mula Kata Imperialisme
Perkataan imperialisme berasal dari kata Latin “imperare” yang artinya “memerintah”. Hak untuk memerintah (imperare) disebut “imperium”. Orang yang diberi hak itu (diberi imperium) disebut “imperator”. Yang lazimnya diberi imperium itu ialah raja, dan karena itu lambat-laun raja disebut imperator dan kerajaannya (ialah daerah dimana imperiumnya berlaku) disebut imperium. Pada zaman dahulu kebesaran seorang raja diukur menurut luas daerahnya, maka raja suatu negara ingin selalu memperluas kerajaannya dengan merebut negara-negara lain. Tindakan raja inilah yang disebut imperialisme oleh orang-orang sekarang, dan kemudian ditambah dengan pengertian-pengertian lain hingga perkataan imperialisme mendapat arti-kata yang kita kenal sekarang ini.
Arti Kata Imperialisme
Imperialisme ialah politik untuk menguasai (dengan paksaan) seluruh dunia untuk kepentingan diri sendiri yang dibentuk sebagai imperiumnya. “Menguasai” disini tidak perlu berarti merebut dengan kekuatan senjata, tetapi dapat dijalankan dengan kekuatan ekonomi, kultur, agama dan ideologi, asal saja dengan paksaan. Imperium disini tidak perlu berarti suatu gabungan dari jajahan-jajahan, tetapi dapat berupa daerah-daerah pengaruh, asal saja untuk kepentingan diri sendiri. Apakah beda antara imperialisme dan kolonialisme ? Imperialisme ialah politik yang dijalankan mengenai seluruh imperium. Kolonialisme ialah politik yang dijalankan mengenai suatu koloni, sesuatu bagian dari imperium jika imperium itu merupakan gabungan jajahan-jajahan.
Macam Imperialisme
Lazimnya imperialisme dibagi menjadi dua:
1. Imperialisme Kuno (Ancient Imperialism). Inti dari imperialisme kuno adalah semboyan gold, gospel, and glory (kekayaan, penyebaran agama dan kejayaan). Suatu negara merebut negara lain untuk menyebarkan agama, mendapatkan kekayaan dan menambah kejayaannya. Imperialisme ini berlangsung sebelum revolusi industri dan dipelopori oleh Spanyol dan Portugal.
2. Imperialisme Modern (Modern Imperialism). Inti dari imperialisme modern ialah kemajuan ekonomi. Imperialisme modern timbul sesudah revolusi industri. Industri besar-besaran (akibat revolusi industri) membutuhkan bahan mentah yang banyak dan pasar yang luas. Mereka mencari jajahan untuk dijadikan sumber bahan mentah dan pasar bagi hasil-hasil industri, kemudian juga sebgai tempat penanaman modal bagi kapital surplus.
Pembagian imperialisme dalam imperialisme kuno dan imperialisme modern ini didasakan pada soal untuk apa si imperialis merebut orang lain.
Jika mendasarkan pendangan kita pada sektor apa yang ingin direbut si imperialis, maka kita akan mendapatkan pembagian macam imperialisme yang lain, yaitu:
1. Imperialisme politik. Si imperialis hendak mengusai segala-galnya dari suatu negara lain. Negara yang direbutnya itu merupakan jajahan dalam arti yang sesungguhnya. Bentuk imperialisme politik ini tidak umum ditemui di zaman modern karena pada zaman modern paham nasionalisme sudah berkembang. Imperialisme politik ini biasanya bersembunyi dalam bentuk protectorate dan mandate.
2. Imperialisme Ekonomi. Si imperialis hendak menguasai hanya ekonominya saja dari suatu negara lain. Jika sesuatu negara tidak mungkin dapat dikuasai dengan jalan imperialisme politik, maka negara itu masih dapat dikuasai juga jika ekonomi negara itu dapat dikuasai si imperialis. Imperialisme ekonomi inilah yang sekarang sangat disukai oleh negara-negara imperialis untuk menggantikan imperialisme politik.
3. Imperialisme Kebudayaan. Si imperialis hendak menguasai jiwa (de geest, the mind) dari suatu negara lain. Dalam kebudayaan terletak jiwa dari suatu bangsa. Jika kebudayaannya dapat diubah, berubahlah jiwa dari bangsa itu. Si imperialis hendak melenyapkan kebudayaan dari suatu bangsa dan menggantikannya dengan kebudayaan si imperialis, hingga jiwa bangsa jajahan itu menjadi sama atau menjadi satu dengan jiwa si penjajah. Menguasai jiwa suatu bangsa berarti mengusai segala-galnya dari bangsa itu. Imperialisme kebudayaan ini adalah imperialisme yang sangat berbahaya, karena masuknya gampang, tidak terasa oleh yang akan dijajah dan jika berhasil sukar sekali bangsa yang dijajah dapat membebaskan diri kembali, bahkan mungkin tidak sanggup lagi membebaskan diri.
4. Imperialisme Militer (Military Imperialism). Si imperialis hendak menguasai kedudukan militer dari suatu negara. Ini dijalankan untuk menjamin keselamatan si imperialis untuk kepentingan agresif atau ekonomi. Tidak perlu seluruh negara diduduki sebagai jajahan, cukup jika tempat-tempat yang strategis dari suatu negara berarti menguasai pula seluruh negara dengan ancaman militer.
Sebab-sebab Imperialisme
1. Keinginan untuk menjadi jaya, menjadi bangsa yang terbesar di seluruh dunia (ambition, eerzucht). Tiap bangsa ingin menjadi jaya. Tetapi sampai dimanakah batas-batas kejayaan itu ? Jika suatu bangsa tidak dapat mengendalikan keinginan ini, mudah bangsa itu menjadi bangsa imperialis. Karena itu dapat dikatakan, bahwa tiap bangsa itu mengandung benih imperialisme.
2. Perasaan sesuatu bangsa, bahwa bangsa itu adalah bangsa istimewa di dunia ini (racial superiority). Tiap bangsa mempunyai harga diri. Jika harga diri ini menebal, mudah menjadi kecongkakan untuk kemudian menimbulakan anggapan, bahwa merekalah bangsa teristimewa di dunia ini, dan berhak menguasai, atau mengatur atau memimpin bangsa-bangsa lainnya.
3. Hasrat untuk menyebarkan agama atau ideologi dapat menimbulkan imperialisme. Tujuannya bukan imperialisme, tetapi agama atau ideologi. Imperialisme di sini dapat timbul sebagai “bij-product” saja. Tetapi jika penyebaran agama itu didukung oleh pemerintah negara, maka sering tujuan pertama terdesak dan merosot menjadi alasan untuk membenarkan tindakan imperialisme.
4. Letak suatu negara yang diangap geografis tidak menguntungkan. Perbatasan suatu negara mempunyai arti yang sangat penting bagi politik negara.
5. Sebab-sebab ekonomi. Sebab-sebab ekonomi inilah yang merupakan sebab yang terpenting dari timbulnya imperialisme, teistimewa imperialisme modern.
1. Keinginan untuk mendapatkan kekayaan dari suatu negara
2. Ingin ikut dalam perdagangan dunia
3. Ingin menguasai perdagangan
4. Keinginan untuk menjamin suburnya industri
Akibat Imperialisme
1. Akibat politik
1. Terciptanya tanah-tanah jajahan
2. Politik pemerasan
3. Berkorbarnya perang kolonial
4. Timbulnya politik dunia (wereldpolitiek)
5. Timbulnya nasionalisme
1. Akibat Ekonomis
1. Negara imperislis merupakan pusat kekayaan, negara jajahan lembah kemiskinan
2. Industri si imperialis menjadi besar, perniagaan bangsa jajahan lenyap
3. Perdagangan dunia meluas
4. Adanya lalu-lintas dunia (wereldverkeer)
5. Kapital surplus dan penanamna modal di tanah jajahan
6. Kekuatan ekonomi penduduk asli tanah jajahan lenyap
2. Akibat sosial
1. Si imperialis hidup mewah sementara yang dijajah serba kekurangan
2. Si imperialis maju, yang dijajah mundur
3. Rasa harga diri lebih pada bangsa penjajah, rasa harga diri kurang pada bangsa yang dijajah
4. Segala hak ada pada si imperialis, orang yang dijajah tidak memiliki hak apa-apa
5. Munculnya gerakan Eropa-isasi.
3. Liberalisme atau Liberal adalah sebuah ideologi, pandangan filsafat, dan tradisi politik yang didasarkan pada pemahaman bahwa kebebasan adalah nilai politik yang utama.[1]
4. Secara umum, liberalisme mencita-citakan suatu masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. [2] Paham liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.[2]
5. Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi, hal ini dikarenakan keduanya sama-sama mendasarkan kebebasan mayoritas. Bandingkan [3].
Pokok-pokok Liberalisme
Ada tiga hal yang mendasar dari Ideologi Liberalisme yakni Kehidupan, Kebebasan dan Hak Milik (Life, Liberty and Property).[2] Dibawah ini, adalah nilai-nilai pokok yang bersumber dari tiga nilai dasar Liberalisme tadi:
• Kesempatan yang sama. (Hold the Basic Equality of All Human Being). Bahwa manusia mempunyai kesempatan yang sama, di dalam segala bidang kehidupan baik politik, sosial, ekonomi dan kebudayaan. [2] Namun karena kualitas manusia yang berbeda-beda, sehingga dalam menggunakan persamaan kesempatan itu akan berlainan tergantung kepada kemampuannya masing-masing. Terlepas dari itu semua, hal ini (persamaan kesempatan) adalah suatu nilai yang mutlak dari demokrasi.[2]
• Dengan adanya pengakuan terhadap persamaan manusia, dimana setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mengemukakan pendapatnya, maka dalam setiap penyelesaian masalah-masalah yang dihadapi baik dalam kehidupan politik, sosial, ekonomi, kebudayaan dan kenegaraan dilakukan secara diskusi dan dilaksanakan dengan persetujuan – dimana hal ini sangat penting untuk menghilangkan egoisme individu.( Treat the Others Reason Equally.)[2]
• Pemerintah harus mendapat persetujuan dari yang diperintah. Pemerintah tidak boleh bertindak menurut kehendaknya sendiri, tetapi harus bertindak menurut kehendak rakyat.(Government by the Consent of The People or The Governed)[2]
• Berjalannya hukum (The Rule of Law). Fungsi Negara adalah untuk membela dan mengabdi pada rakyat. Terhadap hal asasi manusia yang merupakan hukum abadi dimana seluruh peraturan atau hukum dibuat oleh pemerintah adalah untuk melindungi dan mempertahankannya. Maka untuk menciptakan rule of law, harus ada patokan terhadap hukum tertinggi (Undang-undang), persamaan dimuka umum, dan persamaan sosial.[2]
• Yang menjadi pemusatan kepentingan adalah individu.(The Emphasis of Individual)[2]
• Negara hanyalah alat (The State is Instrument). [2] Negara itu sebagai suatu mekanisme yang digunakan untuk tujuan-tujuan yang lebih besar dibandingkan negara itu sendiri. [2] Di dalam ajaran Liberal Klasik, ditekankan bahwa masyarakat pada dasarnya dianggap, dapat memenuhi dirinya sendiri, dan negara hanyalah merupakan suatu langkah saja ketika usaha yang secara sukarela masyarakat telah mengalami kegagalan.[2]
• Dalam liberalisme tidak dapat menerima ajaran dogmatisme (Refuse Dogatism).[2] Hal ini disebabkan karena pandangan filsafat dari John Locke (1632 – 1704) yang menyatakan bahwa semua pengetahuan itu didasarkan pada pengalaman. Dalam pandangan ini, kebenaran itu adalah berubah.[2]
[sunting] Dua Masa Liberalisme
Liberalisme adalah sebuah ideologi yang mengagungkan kebebasan. [2] Ada dua macam Liberalisme, yakni Liberalisme Klasik dan Liberallisme Modern. [2] Liberalisme Klasik timbul pada awal abad ke 16. [2] Sedangkan Liberalisme Modern mulai muncul sejak abad ke-20. [2] Namun, bukan berarti setelah ada Liberalisme Modern, Liberalisme Klasik akan hilang begitu saja atau tergantikan oleh Liberalisme Modern, karena hingga kini, nilai-nilai dari Liberalisme Klasik itu masih ada. [2] Liberalisme Modern tidak mengubah hal-hal yang mendasar ; hanya mengubah hal-hal lainnya atau dengan kata lain, nilai intinya (core values) tidak berubah hanya ada tambahan-tanbahan saja dalam versi yang baru. [2] Jadi sesungguhnya, masa Liberalisme Klasik itu tidak pernah berakhir.[2]
Dalam Liberalisme Klasik, keberadaan individu dan kebebasannya sangatlah diagungkan. [2] Setiap individu memiliki kebebasan berpikir masing-masing – yang akan menghasilkan paham baru. Ada dua paham, yakni demokrasi (politik) dan kapitalisme (ekonomi). [2] Meskipun begitu, bukan berarti kebebasan yang dimiliki individu itu adalah kebebasan yang mutlak, karena kebebasan itu adalah kebebasan yang harus dipertanggungjawabkan. [2] Jadi, tetap ada keteraturan di dalam ideologi ini, atau dengan kata lain, bukan bebas yang sebebas-bebasnya.[4]
[sunting] Pemikiran Tokoh Klasik dalam Kelahiran dan Perkembangan Liberalisme Klasik
Tokoh yang memengaruhi paham Liberalisme Klasik cukup banyak – baik itu dari awal maupun sampai taraf perkembangannya. Berikut ini akan dijelaskan mengenai pandangan yang relevan dari tokoh-tokoh terkait mengenai Liberalisme Klasik.
Marthin Luther dalam Reformasi Agama
Gerakan Reformasi Gereja pada awalnya hanyalah serangkaian protes kaum bangsawan dan penguasa Jerman terhadap kekuasaan imperium Katolik Roma. [5]. Pada saat itu keberadaan agama sangat mengekang individu. [5] Tidak ada kebebasan, yang ada hanyalah dogma-dogma agama serta dominasi gereja. [5] Pada perkembangan berikutnya, dominasi gereja dirasa sangat menyimpang dari otoritasnya semula. [5] Individu menjadi tidak berkembang, kerena mereka tidak boleh melakukan hal-hal yang dilarang oleh Gereja bahkan dalam mencari penemuan ilmu pengetahuan sekalipun. [5] Kemudian timbullah kritik dari beberapa pihak – misalnya saja kritik oleh Marthin Luther; seperti : adanya komersialisasi agama dan ketergantungan umat terhadap para pemuka agama, sehingga menyebabkan manusia menjadi tidak berkembang; yang berdampak luas, sehingga pada puncaknya timbul sebuah reformasi gereja (1517) yang menyulut kebebasan dari para individu yang tadinya “terkekang”.[5]
John Locke dan Hobbes; konsep State of Nature yang berbeda
Kedua tokoh ini berangkat dari sebuah konsep sama. Yakni sebuah konsep yang dinamakan konsep negara alamaiah” atau yang lebih dikenal dengan konsep State of Nature. [6] Namun dalam perkembangannya, kedua pemikir ini memiliki pemikiran yang sama sekali bertolak belakang satu sama lainnya. [6] Jika ditinjau dari awal, konsepsi State of Nature yang mereka pahami itu sesungguhnya berbeda. [6] Hobbes (1588 – 1679) berpandangan bahwa dalam ‘’State of Nature’’, individu itu pada dasarnya jelek (egois) – sesuai dengan fitrahnya. [6] Namun, manusia ingin hidup damai. [6] Oleh karena itu mereka membentuk suatu masyarakat baru – suatu masyarakat politik yang terkumpul untuk membuat perjanjian demi melindungi hak-haknya dari individu lain dimana perjanjian ini memerlukan pihak ketiga (penguasa). [6] Sedangkan John Locke (1632 – 1704) berpendapat bahwa individu pada State of Nature adalah baik, namun karena adanya kesenjangan akibat harta atau kekayaan, maka khawatir jika hak individu akan diambil oleh orang lain sehingga mereka membuat perjanjian yang diserahkan oleh penguasa sebagai pihak penengah namun harus ada syarat bagi penguasa sehingga tidak seperti ‘membeli kucing dalam karung’. [6] Sehingga, mereka memiliki bentuk akhir dari sebuah penguasa/ pihak ketiga (Negara), dimana Hobbes berpendapat akan timbul Negara Monarkhi Absolute sedangkan Locke, Monarkhi Konstitusional. [6] Bertolak dari kesemua hal tersebut, kedua pemikir ini sama-sama menyumbangkan pemikiran mereka dalam konsepsi individualisme. [6] Inti dari terbentuknya Negara, menurut Hobbes adalah demi kepentingan umum (masing-masing individu) meskipun baik atau tidaknya Negara itu kedepannya tergantung pemimpin negara. [6] Sedangkan Locke berpendapat, keberadaan Negara itu akan dibatasi oleh individu sehingga kekuasaan Negara menjadi terbatas – hanya sebagai “penjaga malam” atau hanya bertindak sebagai penetralisasi konflik. [6]
Adam Smith
Para ahli ekonomi dunia menilai bahwa pemikiran mahzab ekonomi klasik merupakan dasar sistem ekonomi kapitalis. Menurut Sumitro Djojohadikusumo, haluan pandangan yang mendasari seluruh pemikiran mahzab klasik mengenai masalah ekonomi dan politik bersumber pada falsafah tentang tata susunan masyarakat yang sebaiknya dan seyogyanya didasarkan atas hukum alam yang secara wajar berlaku dalam kehidupan masyarakat. Salah satu pemikir ekonomi klasik adalah Adam Smith (1723-1790). Pemikiran Adam Smith mengenai politik dan ekonomi yang sangat luas, oleh Sumitro Djojohadikusumo dirangkum menjadi tiga kelompok pemikiran. Pertama, haluan pandangan Adam Smith tidak terlepas dari falsafah politik, kedua, perhatian yang ditujukan pada identifikasi tentang faktor-faktor apa dan kekuatan-kekuatan yang manakah yang menentukan nilai dan harga barang. Ketiga, pola, sifat, dan arah kebijaksanaan negara yang mendukung kegiatan ekonomi ke arah kemajuan dan kesejahteraan mesyarakat. Singkatnya, segala kekuatan ekonomi seharusnya diatur oleh kekuatan pasar dimana kedudukan manusia sebagai individulah yang diutamakan, begitu pula dalam politik.
[sunting] Relevansi kekuatan Individu Liberalisme Klasik dalam Demokrasi dan Kapitalisme
Telah dikatakan bahwa setidaknya ada dua paham yang relevan atau menyangkut Liberalisme Klasik. Dua paham itu adalah paham mengenai Demokrasi dan Kapitalisme.
* Demokrasi dan Kebebasan Dalam pengertian Demokrasi, termuat nilai-nilai hak asasi manusia, karena demokrasi dan Hak-hak asasi manusia merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan antara yang satu dengan yang lainnya. Sebuah negara yang mengaku dirinya demokratis mestilah mempraktekkan dengan konsisten mengenai penghormatan pada hak-hak asasi manusia, karena demokrasi tanpa penghormatan terhadap hak-hak asasi setiap anggota masyarakat, bukanlah demokrasi melainkan hanyalah fasisme atau negara totalitarian yang menindas.
Jelaslah bahwa demokrasi berlandaskan nilai hak kebebasan manusia. Kebebasan yang melandasi demokrasi haruslah kebebasan yang positif – yang bertanggungjawab, dan bukan kebebasan yang anarkhis. Kebebasan atau kemerdekaan di dalam demokrasi harus menopang dan melindungi demokrasi itu dengan semua hak-hak asasi manusia yang terkandung di dalamnya. Kemerdekaan dalam demokrasi mendukung dan memiliki kekuatan untuk melindungi demokrasi dari ancaman-ancaman yang dapat menghancurkan demokrasi itu sendiri. Demokrasi juga mengisyaratkan penghormatan yang setinggi-tingginya pada kedaulatan Rakyat.[7]
* Kapitalisme dan Kebebasan Tatanan ekonomi memainkan peranan rangkap dalam memajukan masyarakat yang bebas. Di satu pihak, kebebasan dalam tatanan ekonomi itu sendiri merupakan komponen dari kebebasan dalam arti luas ; jadi, kebebasan di bidang ekonomi itu sendiri menjadi tujuan. Di pihak lain, kebebasan di bidang ekonomi adalah juga cara yang sangat yang diperlukan untuk mencapai kebebasan politik. Pada dasarnya, hanya ada dua cara untuk mengkoordinasikan aktivitas jutaan orang di bidang ekonomi. Cara pertama ialah bimbingan terpusat yang melibatkan penggunaan paksaan – tekniknya tentara dan negara dan negara totaliter yang modern. Cara lain adalah kerjasama individual secara sukarela – tekniknya sebuah sistem pasaran. Selama kebebasan untuk mengadakan sistem transaksi dipertahankan secara efektif, maka ciri pokok dari usaha untuk mengatur aktivitas ekonomi melalui sistem pasaran adalah bahwa ia mencegah campur tangan seseorang terhadap orang lain. Jadi terbukti bahwa kapitalisme adalah salah satu perwujudan dari kerangka pemikiran liberal.[8]
Kolonialisme adalah pengembangan kekuasaan sebuah negara atas wilayah dan manusia di luar batas negaranya, seringkali untuk mencari dominasi ekonomi dari sumber daya, tenaga kerja, dan pasar wilayah tersebut. Istilah ini juga menunjuk kepada suatu himpunan keyakinan yang digunakan untuk melegitimasikan atau mempromosikan sistem ini, terutama kepercayaan bahwa moral dari pengkoloni lebih hebat ketimbang yang dikolonikan.
Pendukung dari kolonialisme berpendapat bahwa hukum kolonial menguntungkan negara yang dikolonikan dengan mengembangkan infrastruktur ekonomi dan politik yang dibutuhkan untuk pemodernisasian dan demokrasi. Mereka menunjuk ke bekas koloni seperti Amerika Serikat, Australia, Selandia Baru, Hong Kong dan Singapura sebagai contoh sukses pasca-kolonialisme.
Peneori ketergantungan seperti Andre Gunder Frank, berpendapat bahwa kolonialisme sebenarnya menuju ke pemindahan kekayaan dari daerah yang dikolonisasi ke daerah pengkolonisasi, dan menghambat kesuksesan pengembangan ekonomi.
Pengkritik post-kolonialisme seperti Franz Fanon berpendapat bahwa kolonialisme merusak politik, psikologi, dan moral negara terkolonisasi.
Penulis dan politikus India Arundhati Roy berkata bahwa perdebatan antara pro dan kontra dari kolonialisme/ imperialisme adalah seperti “mendebatkan pro dan kontra pemerkosaan”.
Lihat juga neokolonialisme sebagai kelanjutan dari dominasi dan eksploitasi dari negara yang sama dengan cara yang berbeda (dan sering kali dengan tujuan yang sama).
Komunisme adalah sebuah ideologi. Penganut paham ini berasal dari Manifest der Kommunistischen yang ditulis oleh Karl Marx dan Friedrich Engels, sebuah manifesto politik yang pertama kali diterbitkan pada 21 Februari 1848 teori mengenai komunis sebuah analisis pendekatan kepada perjuangan kelas (sejarah dan masa kini) dan ekonomi kesejahteraan yang kemudian pernah menjadi salah satu gerakan yang paling berpengaruh dalam dunia politik.
Komunisme pada awal kelahiran adalah sebuah koreksi terhadap paham kapitalisme di awal abad ke-19, dalam suasana yang menganggap bahwa kaum buruh dan pekerja tani hanyalah bagian dari produksi dan yang lebih mementingkan kesejahteraan ekonomi. Akan tetapi, dalam perkembangan selanjutnya, muncul beberapa faksi internal dalam komunisme antara penganut komunis teori dan komunis revolusioner yang masing-masing mempunyai teori dan cara perjuangan yang berbeda dalam pencapaian masyarakat sosialis untuk menuju dengan apa yang disebutnya sebagai masyarakat utopia.
Ide dasar
Istilah komunisme sering dicampuradukkan dengan komunis internasional. Komunisme atau Marxisme adalah ideologi dasar yang umumnya digunakan oleh partai komunis di seluruh dunia. sedangkan komunis internasional merupakan racikan ideologi ini berasal dari pemikiran Lenin sehingga dapat pula disebut “Marxisme-Leninisme”.
Dalam komunisme perubahan sosial harus dimulai dari pengambil alihan alat-alat produksi melalui peran Partai Komunis. Logika secara ringkasnya, perubahan sosial dimulai dari buruh atau yang lebih dikenal dengan proletar (lihat: The Holy Family [1]), namun pengorganisasian Buruh hanya dapat berhasil dengan melalui perjuangan partai. Partai membutuhkan peran Politbiro sebagai think-tank. Dapat diringkas perubahan sosial hanya bisa berhasil jika dicetuskan oleh Politbiro. Inilah yang menyebabkan komunisme menjadi “tumpul” dan tidak lagi diminati karena korupsi yang dilakukan oleh para pemimpinnya.
Komunisme sebagai anti-kapitalisme menggunakan sistem partai komunis sebagai alat pengambil alihan kekuasaan dan sangat menentang kepemilikan akumulasi modal atas individu. pada prinsipnya semua adalah direpresentasikan sebagai milik rakyat dan oleh karena itu, seluruh alat-alat produksi harus dikuasai oleh negara guna kemakmuran rakyat secara merata akan tetapi dalam kenyataannya hanya dikelolah serta menguntungkan para elit partai, Komunisme memperkenalkan penggunaan sistim demokrasi keterwakilan yang dilakukan oleh elit-elit partai komunis oleh karena itu sangat membatasi langsung demokrasi pada rakyat yang bukan merupakan anggota partai komunis karenanya dalam paham komunisme tidak dikenal hak perorangan sebagaimana terdapat pada paham liberalisme.
Secara umum komunisme berlandasan pada teori Dialektika materi oleh karenanya tidak bersandarkan pada kepercayaan agama dengan demikian pemberian doktrin pada rakyatnya, dengan prinsip bahwa “agama dianggap candu” yang membuat orang berangan-angan yang membatasi rakyatnya dari pemikiran ideologi lain karena dianggap tidak rasional serta keluar dari hal yang nyata (kebenaran materi).
Komunis Internasional
Komunis internasional sebagai teori ideologi mulai diterapkan setelah meletusnya Revolusi Bolshevik di Rusia tanggal 7 November 1917. Sejak saat itu komunisme diterapkan sebagai sebuah ideologi dan disebarluaskan ke negara lain. Pada tahun 2005 negara yang masih menganut paham komunis adalah Tiongkok, Vietnam, Korea Utara, Kuba dan Laos. Komunis internasional adalah teori yang disebutkan oleh Karl Marxis.
Kebinekaan atau multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.
Definisi
Multikulturalisme berhubungan dengan kebudayaan dan kemungkinan konsepnya dibatasi dengan muatan nilai atau memiliki kepentingan tertentu. [1]
• “Multikulturalisme” pada dasarnya adalah pandangan dunia yang kemudian dapat diterjemahkan dalam berbagai kebijakan kebudayaan yang menekankan penerimaan terhadap realitas keagamaan, pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam kesadaran politik (Azyumardi Azra, 2007)[2]
• Masyarakat multikultural adalah suatu masyarakat yang terdiri dari beberapa macam kumunitas budaya dengan segala kelebihannya, dengan sedikit perbedaan konsepsi mengenai dunia, suatu sistem arti, nilai, bentuk organisasi sosial, sejarah, adat serta kebiasaan (“A Multicultural society, then is one that includes several cultural communities with their overlapping but none the less distinc conception of the world, system of [meaning, values, forms of social organizations, historis, customs and practices”; Parekh, 1997 yang dikutip dari Azra, 2007).[3]
• Multikulturalisme mencakup suatu pemahaman, penghargaan serta penilaian atas budaya seseorang, serta suatu penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain (Lawrence Blum, dikutip Lubis, 2006:174)[4]
• Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000)[5]
• Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar).[6]
[sunting] Sejarah Multikulturalisme
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah ‘monokultural’ juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971.[7] Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit.[rujukan?] Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme.[8] Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya?
[sunting] Jenis Multikulturalisme
Berbagai macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktik multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, 2007, meringkas uraian Parekh):
1. Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
3. Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kutural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
4. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
5. Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. [9]
Naturisme atau nudisme adalah suatu gerakan kultural dan politik yang mempraktikkan, menganjurkan, dan mempertahankan pergaulan telanjang baik dalam lingkungan pribadi maupun umum. Istilah itu juga dapat merujuk kepada gaya hidup berdasarkan nudisme pribadi, keluarga, maupun sosial.[1]
Beberapa istilah lainnya (social nudity [pergaulan telanjang], public nudity [telanjang di muka umum], dan clothes-free [bebas pakaian]) diusulkan sebagai istilah alternatif terhadap naturisme, namun tidak satu pun yang diterima oleh masyarakat luas, tidak seperti istilah terdahulu, naturisme dan nudisme (kebanyakan di wilayah Amerika Serikat).
Filsafat naturisme berasal dari berbagai sumber, banyak di antaranya mengikuti jejak filsafat kebugaran dan kesehatan di Jerman pada awal abad ke-20, meskipun konsep kembali ke alam dan menciptakan kesetaraan juga dikutip sebagai inspirasi. Dari Jerman, gagasan tersebut menyebar ke Britania Raya, Kanada, Amerika Serikat, dan melalui jaringan perkumpulan yang telah dikembangkan.
Naturisme dapat mengandung aspek-aspek dari erotisisme bagi sebagian orang, meskipun banyak organisasi naturis masa kini menganggapnya tidak mesti demikian. Orang awam dan media massa seringkali menyamakan hubungan kedua hal tersebut
Paganisme adalah sebuah kepercayaan/praktik spiritual penyembahan terhadap berhala yang pengikutnya disebut Pagan. Pagan pada zaman kuno percaya bahwa terdapat lebih dari satu dewa dan dewi dan untuk menyembahnya mereka menyembah patung, contoh Mesir Kuno, Yunani Kuno, Romawi Kuno, dan lain-lain. Istilah ini telah meluas, meliputi semua Agama Abrahamik, Yahudi, Kristen, dan Islam.
Pada zaman sekarang, Pagan percaya bahwa semua di sekitar mereka suci karena merupakan bagian dari dewa dan dewi. Contohnya, mereka percaya bahwa batu dan pohon adalah bagian dari dewa dan dewi, sehingga keramat, tetapi tidak menyembah pohon itu. Kebanyakan orang pagan percaya bumi memunculkan dewi.
Panteisme atau pantheisme (Yunani: πάν ( ‘pan’ ) = semua dan θεός ( ‘theos’ ) = Tuhan) secara harafiah artinya adalah “Tuhan adalah Semuanya” dan “Semua adalah Tuhan”. Ini merupakan sebuah pendapat bahwa segala barang merupakan Tuhan abstrak imanen yang mencakup semuanya; atau bahwa Alam Semesta, atau alam, dan Tuhan adalah sama. Definisi yang lebih mendetail cenderung menekankan gagasan bahwa hukum alam, Keadaan, dan Alam Semesta (jumlah total dari semuanya adalah dan akan selalu) diwakili atau dipersonifikasikan dalam prinsip teologis ‘Tuhan’ atau ‘Dewa’ yang abstrak. Walau begitu, perlu dimengerti bahwa kaum panteis niet percaya terhadap seorang Dewa atau Dewa-Dewa yang pribadi dan kreatif dalam segala bentuk, yaitu merupakan ciri khas utama yang membedakan mereka dari kaum panenteis dan pandeis. Dengan begiru, meskipun banyak agama mungkin mengklaim memiliki unsur-unsur panteis, mereka biasanya sebenarnya sejatinya panenteis atau pandeistik.
Sejarah
Istilah panteis – yang diturunkan dari kata panteisme – pertama kali digunakan secara langsung oleh penulis Irlandia John Toland dalam karyanya yang berasal dari tahun 1705, “Sosinianisme Benar-Benar Dicanangkan oleh seorang panteis”. Namun konsep ini telah dibicarakan jauh sebelumnya pada zaman filsuf Yunani Kuna, oleh Thales, Parmenides dan Heraklitus. Latar belakang Yahudi untuk panteisme bahkan mencapai zaman ketika kitab Taurat diturunkan dalam ceritanya mengenai penciptaan dalam kitab Kejadian dan bahan-bahan yang lebih awal berbentuk nubuat di mana secara nyata dikatakan bahwa kejadian alam” [seperti banjir, badai, letusan gunung dst.] semuanya diidentifikasikan sebagai “Tangan Tuhan” melalui idioma personifikasi, dan jadi menjelaskan rujukan terbuka terhadap konsep ini di dalam baik Perjanjian Baru maupun sastra Kabbalistik.
Pada tahun 1785, ada sebuah kontroversi besar yang muncul antara Friedrich Jacobi dan Moses Mendelssohn, yang akhirnya menyangkut banyak orang penting kala itu. Jacobi mengklaim bahwa pantheisme Lessing bersifat materialistik. Maksudnya ialah bahwa seluruh Alam dan Tuhan sebagai sebuah substansi yang luas. Untuk Jacobi, ini adalah hasil dari berbaktinya Zaman Pencerahan untuk mencari logika dan akhirnya ini akan berakhir kepada ateisme. Mendelssohn tidak setuju dengan menyatakan bahwa panteisme adalah sama dengan teisme.
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis.[1] Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu.[2]
Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain.[1][2] Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja.[2] Representasi realitas yang muncul di pikiran manusia selalu bersifat pribadi dan bukan merupakan fakta-fakta umum.[2] Ide menjadi benar ketika memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan.[2] Dengan demikian, filsafat pragmatisme tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifat metafisik, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat Barat di dalam sejarah.[2]
Awal mula
Aliran ini terutama berkembang di Amerika Serikat, walau pada awal perkembangannya sempat juga berkembang ke Inggris, Perancis, dan Jerman.[1] William James adalah orang yang memperkenalkan gagasan-gagasan dari aliran ini ke seluruh dunia.[1] William James dikenal juga secara luas dalam bidang psikologi.[1] Filsuf awal lain yang terkemuka dari pragmatisme adalah John Dewey.[1] Selain sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan.[3]
Secara etimologis, kata ‘pragmatisme’ berasal dari kata bahasa Yunani pragmatikos yang berarti cakap dan berpengalaman dalam urusan hukum, dagang, dan perkara negara.[4] Istilah pragmatisme disampaikan pertama kali oleh Charles Peirce pada bulan Januari 1878 dalam artikelnya yang berjudul How to Make Our Ideas Clear.[2]
Teori tentang kebenaran
Menurut teori klasik tentang kebenaran, dikenal dua posisi yang berbeda, yakni teori korespondensi dan teori koherensi.[2] Teori korespondensi menekankan persesuaian antara si pengamat dengan apa yang diamati sehingga kebenaran yang ditemukan adalah kebenaran empiris,[2][5] sedangkan teori koherensi menekankan pada peneguhan terhadap ide-ide a priori atau kebenaran logis, yakni jika proposisi-proposisi yang diajukan koheren satu sama lain.[2][5] Selain itu, dikenal lagi satu posisi lain yang berbeda dengan dua posisi sebelumnya, yakni teori pragmatis.[2][5] Teori pragmatis menyatakan bahwa ‘apa yang benar adalah apa yang berfungsi.’[5] Bayangkan sebuah mobil dengan segala kerumitan mesin yang membuatnya bekerja, namun yang sesungguhnya menjadi dasar adalah jika mobil itu dapat bekerja atau berfungsi dengan baik.[5]
Perkembangan pragmatisme
Apa yang disebut dengan neo-pragmatisme juga berkembang di Amerika Serikat dengan tokoh utamanya, Richard Rorty.[2] Salah satu pemikirannya yang terkenal adalah bagaimana bahasa menentukan pengetahuan.[6] Karena bahasa hadir dalam bentuk jamak, demikianlah pengetahuan pun tidak hanya satu dan tidak dapat dipandang universal, atau dengan kata lain, tidak ada pola yang rasional terhadap pengetahuan.[6] Budaya atau nilai-nilai yang ada dilihat secara fungsinya terhadap manusia.[6]
Relativisme berasal dari kata Latin, relativus, yang berarti nisbi atau relatif.[1][2][3] Sejalan dengan arti katanya, secara umum relativisme berpendapat bahwa perbedaan manusia, budaya, etika, moral, agama, bukanlah perbedaan dalam hakikat, melainkan perbedaan karena faktor-faktor di luarnya.[3][4] Sebagai paham dan pandangan etis, relativisme berpendapat bahwa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya.[3][2] Ajaran seperti ini dianut oleh Protagras, Pyrrho, dan pengikut-pengikutnya, maupun oleh kaum Skeptik.[2][5]
Relativisme etis
Relativisme etis yang berpendapat bahwa penilaian baik-buruk dan benar-salah tergantung pada masing-masing orang disebut relativisme etis subjektif atau analitis.[3][6] Adapun relativisme etis yang berpendapat bahwa penilaian etis tidak sama, karena tidak ada kesamaan masyarakat dan budaya disebut relativisme etis kultural.[3]
Menurut relativisme etis subjektif, dalam masalah etis, emosi dan perasaan berperan penting.[3] Karena itu, pengaruh emosi dan perasaan dalam keputusan moral harus diperhitungkan.[3] Yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tidak dapat dilepaskan dari orang yang tersangkut dan menilainya.[3] Relativisme etis berpendapat bahwa tidak terdapat kriteria absolut bagi putusan-putusan moral.[2] Westermarck memeluk relativisme etis yang menghubungkan kriteria putusan dengan kebudayaan individual, yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan individual.[2] Etika situasi dari Joseph Fletcher menganggap moralitas suatu tindakan relatif terhadap kebaikan tujuan tindakan itu.[2][7]
Kekuatan relativisme etis
Kekuatan relativisme etis subjektif adalah kesadarannya bahwa manusia itu unik dan berbeda satu sama lain.[3] Karena itu, orang hidup menanggapi lika-liku hidup dan menjatuhkan penilaian etis atas hidup secara berbeda.[3] Dengan cara itulah manusia dapat hidup sesuai dengan tuntutan situasinya.[3] Ia dapat menanggapi hidupnya sejalan dengan data dan fakta yang ada.[3] Ia dapat menetapkan apa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah, menurut pertimbangan dan pemikirannya sendiri.[3] Demikian manusia tidak hanya berbeda dan unik, tetapi berbeda dan unik pula dalam hidup etisnya.[3]
Kelemahan relativisme etis
Walaupun sangat menekankan keunikan manusia dalam hal pengambilan keputusan etis, para penganut relativisme etis subjektif dapat menjadi khilaf untuk membedakan antara norma etis dan penerapannya, serta antara norma etis dan prinsip etisnya.[3] Bila orang berbeda dalam hidup dan pemikiran etisnya, bukan berarti tidak ada norma etis yang sama.[3] Bisa saja norma etis objektif itu sama, tetapi perwujudannya berbeda karena situasi hidup yang berbeda.[3]
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya (“teroris”) layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan “teroris” dan “terorisme”, para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : “Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang”. Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.
Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon.
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan penyerangan terhadap “Simbol Amerika”. Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tapi juga dunia[1]. Amerika Serikat menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.
Kejadian ini merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional[2]. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia[3], yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari sekutunya di Eropa. Pemerintahan Tony Blair termasuk yang pertama mengeluarkan Anti Terrorism, Crime and Security Act, December 2001, diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah melakukan perang atas tindak Terorisme di dunia, seperti Filipina dengan mengeluarkan Anti Terrorism Bill[4].
Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear[5].” Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror[6]. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war.
Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif[7], hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu.
Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), dimana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against State. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, dimana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil[8]. Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali[9].
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind)[10]. Menurut Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se[11] , tergolong kejahatan terhadap hati nurani (Crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh Undang-Undang[12].
Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme[13].
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme[14], Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena[15]:
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ”(lex specialis derogat lex generalis)”. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria[16]:
1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.
Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti[17]:
1. Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP.
2. Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya.
3. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme.
Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain[18].
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP)[19].
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan Hak Asasi Manusia[20]. Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang yang khusus, maka bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus tersebut.
Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), penyelesaian suatu perkara Tindak Pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di pengadilan, dimulai dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan penyerahan berkas penuntutan kepada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan Bukti Permulaan yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelas mendefinisikannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapat perbedaan pendapat di antara para penegak hukum. Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 26 berbunyi[21]:
1. Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap Laporan Intelijen.
2. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
3. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
4. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan Penyidikan.
Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapat dikategorikan sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan Intelijen, apakah dapat dijadikan Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat.
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum, diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan dan batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya hakekat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan. Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan Tindak Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik.
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat, dimana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror[22].
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun[23]. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat[24]. Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurut Munir, bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme, tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia. Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan[25].
ORANG SESAT AKAN DI AZAB Allah
Azab adalah siksaan yang di hadapi manusia atau makhluk Tuhan lainnya, sebagai akibat dari kesalahan yang pernah atau sedang dilakukan, dalam filsafat Islam. Dalam perspektif sunnatullah, keadilan akan mengantar pada kesejahteraan, siapapun yang melakukan.
Penggolongan azab
Azab dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
• Azab dunia,
• Azab kubur,
• Azab akhirat.
Menurut ajaran Islam, azab dunia biasanya terjadi dengan adanya beberapa mukjizat yang telah disampaikan oleh para nabi dan rasul, sehingga para umat menyangkal semua mukjizat itu. Biasanya berupa bencana alam, kelaparan, kekeringan dan lainnya. Azab kubur terjadi selama dalam alam barzakh selama makhluk berada di dalam masa penantian untuk kehidupan kedua. Azab akhirat ada setelah adanya penghisaban di Padang Mahsyar, bagi mereka yang didunia tidak pernah melakukan kebaikan akan mendapat azab yang kekal selamanya.
Azab dan ujian
Ada sebuah kata yang erat kaitannya dengan azab, yaitu ujian. Baik ujian maupun azab, keduanya berwujud kesulitan.
Ujian adalah satu proses seleksi untuk naik kelas. Kesulitan yang dihadapi oleh orang adalah kesulitan yang memang diprogram untuk mengukur tingkat kemampuannya mengatasi masalah dalam dunia realitas. Boleh jadi kesulitan dalam ujian lebih berat dibanding realitasnya.

Ditulis dalam Uncategorized
Tags:

JAHILIYAH

JAHILIAH
Sebab-sebab Jahiliyah
• Sebab-sebab kejahiliyahan:

• Prasangka buruk kepada Allah (QS.48:6 , 24:50 )
• Merasa cukup, tak perlu hidayah (QS.96:6 – 7 , 5:104 , 31:21 )
• Sombong (QS. 7:12 , 38:75 -76 , 11:27 )
• Pendeta yang mengajak bid’ah (QS. 6:31 ,9:31 )
• Mengikuti hawa nafsu (QS. 45:23 )
• Taklid buta (QS. 17:36 )
1. Jahil terhadap kebenaran

• Persangkaan jahiliyah (QS. 48:6 , 3:154 )
• Hukum jahiliyah (QS. 5:51 , 4:60 )
• Ibadah /pengabdian jahiliyah (QS.39:64 )
• Kebanggan jahiliyah (QS.48:26 )
• Tradisi jahiliyah (QS. 28:55 , 25:63 )
• Tingkahlaku /perhiasan jahiliyah (QS. 33:33 )
1. Akibat berada di dalam kegelapan jahiliyah (QS. 2:257 , 24:39 -40 )
2. Fenomena Jahiliyah
http://oasetarbiyah.com/materitarbiyah/?p=142
Gambaran Secara Umum Zaman Jahiliah Yang Pertama
Gejala sosial serta kerosakan akhlak bukan sahaja berlaku pada zaman ini, tetapi ia telah pun berlaku sejak zaman jahiliah sebelum kelahiran Rasulullah SAW lagi. Baginda dibesarkan dan menyaksikan sendiri betapa rosak kaumnya di waktu itu.Ketika itu empayar Rom dan Parsi mempunyai tamadun yang begitu tinggi. Dua buah empayar yang besar ini merupakan bapa penjajah yang sentiasa menguasai negara serta bangsa lain yang lemah. Bangsa Rom dan Parsi sudah mempunyai sistem hidup yang teratur, tentera yang besar dan kuat serta sudah maju di bidang binaan dan pembangunan.
Pada waktu yang sama, bangsa Arab merupakan bangsa yang paling mundur. Kehidupan mereka masih primitif. Walau bagaimanapun, mereka sering mengadakan sayembara sastera yang telah begitu lama diwarisi sejak turun-temurun. Mereka mengadakan pertandingan sastera, dan hasil karya akan digantung di Kaabah supaya semua pengunjung Kaabah tahu siapa pemenangnya. Kehebatan hasil karya sastera di zaman itu masih dapat dibaca hingga ke hari ini. Selain itu ada pesta yang dinamakan Pesta Ukaz. Di situ diadakan peraduan ratu cantik, peraduan angkat berat, peraduan menari serta peraduan lawan pedang.
Di antara kerosakan lain yang dilakukan oleh masyarakat Arab ketika itu adalah seperti berikut:
1. Manusia sudah putus hubungan dengan Tuhan .
Mereka langsung tidak kenal Tuhan pencipta dan penjaga. Mereka sekadar percaya Tuhan itu wujud. Tapi ramai juga yang tidak percayakan Tuhan lagi. Ertinya manusia tidak lagi merasakan Tuhan ada peranan dalam hidup mereka. Mereka yakin semua masalah hidup mereka boleh selesaikan sendiri. Akibatnya jiwa mereka kosong dari keimanan dan ketuhanan. Bila berhadapan dengan masalah hidup, ramai yang kecewa, putus asa dan membunuh diri. Ramai yang membunuh diri akibat tidak tahan dengan masalah yang dihadapi.
Pemujaan terhadap berhala begitu menebal sekali. Contohnya, Sayidina Umar r.a. sebelum memeluk Islam merupakan seorang yang sangat memuja berhala. Beliau bukan sahaja menyembah 360 berhala yang ada di Kaabah ketika itu, bahkan beliau sendiri membuat `tuhan` dan kemudian menyembah `tuhan` yang dibuatnya itu.
Cerita Sayidina Umar r.a. setelah dia Islam, “Kadang-kadang `tuhan` itu diperbuat daripada kuih. `Tuhan` itu akan kubawa ke mana-mana di masa aman damai, di masa perang,mengembara atau musafir. Apabila keletihan, ia akan kuletakkan di hadapan dan aku puja. Tetapi kalau lapar, ia akan kumakan, kemudian aku buat tuhan yang baru pula.” Begitulah fanatiknya beliau kepada tuhannya itu.
2. Berlaku sengketa dan dendam-mendendam di kalangan manusia .
Maka berperanglah bangsa dengan bangsa, puak dengan puak, etnik dengan etnik, kabilah dengan kabilah, agama dengan agama, hngga keamanan tidak wujud lagi.
3. Orang yang kuat menjatuhkan yang lemah .
Orang lemah menjadi mangsa. Keadilan dan pembelaan tidak berlaku. Ini menjadikan golongan bawahan semakin tertindas dan menderita.
4. Perempuan tidak ada tempat di dalam masyarakat .
Perempuan hanya dijadikan alat pemuas nafsu lelaki terutama lelaki kaya dan penguasa-penguasa negara di waktu itu. Mereka akan ambil saja secara paksa mana-mana wanita yang mereka berkenan tanpa peduli anak atau isteri orang. Ini menjadikan mana-mana keluarga yang ada anak perempuan hidup tertekan. Anak-anak gadis akan diambil dan dirogol oleh panglima-panglima dan pemain-pemain senjata yang handal-handal di hadapan mata ibu bapa secara paksa. Inilah yang amat memalukan ibu bapa hingga akhirnya sesetengah daripada mereka mengambil keputusan untuk membunuh sahaja anak-anak perempuan apabila dilahirkan kerana tidak mahu menanggung malu.
5. Sistem ekonomi riba yang membolehkan orang kaya menekan orang miskin menjadi budaya dalam ekonomi .
Orang miskin dicekik dengan hutang. Apabila tidak terbayar hutang kerana terlalu banyak, orang miskin diambil jadi hamba sahaya. Kebebasan dan kemerdekaan mereka diragut.
6. Hidup mereka nafsi-nafsi .
Susah tanggung sendiri dan senang pun untuk diri sendiri. Ini menjadikan masyarakat ditimpa bermacam-macam bentuk kesusahan, hidup tanpa ada yang menolong dan membantu. Manusia hidup bagaikan berendam dalam ketakutan. Kebahagiaan dan ketenangan tidak wujud.
7. Kejadian rompak, samun dan bunuh bermaharajalela .
Tinggal dalam rumah sendiri pun rasa tak selamat. Apa lagi kalau pergi bermusafir atau mengembara.
8. Kemanusiaan dan keturunan menjadi rosak akibat penyakit- penyakit sosial seperti zina, rogol, liwat, lesbian, sumbang mahram dan lain-lain lagi. Gelombang jahat ini melanda bagaikan banjir besar hingga tidak dapat dibendung dan dikawal lagi.
9. Manusia benar-benar bertuhankan nafsu .
Hormat-menghormati antara satu sama lain tidak wujud. Rakyat tidak hormat pemimpin. Pemimpin tidak memberi kaslh sayang pada rakyat. Orang kaya tidak berperikemanusiaan. Perompak, penyamun dan pembunuh tumbuh meliar akibat hasad dan dendam.
10. Allah SWT datangkan peringatan yang banyak dengan bencana alam, gempa bumi, banjir, belalang memusnahkan tanaman, ribut taufan dan penyakit berjangkit yang tidak ada ubat .
Manusia bertambah derita dan melarat. Yang kaya berpoya-poya, sombong, membuang masa, membazir dan hidup sendiri-sendiri. Di zaman itu mereka terlalu ketagihkan arak. Walaupun di zaman ini pun ada yang minum arak tetapi tidak sehebat zaman Rasulullah. Arak kini disimpan di dalam botol-botol yang cantik tetapi dulu ia disimpan di dalam tempayan-tempayan yang terletak di sekeliling rumah. Bahkan menjadi kemegahan di kalangan masyarakat waktu itu untuk membawa pulang serta menyimpan kepala manusia yang telah dipenggal dari tubuh. Tengkorak ini akan disangkut dan dijadikan hiasan di rumah. Ada juga tengkorak yang dijadikan bekas untuk meminum arak. Begitu hebat ketagihan mereka kepada arak.
Begitulah gambaran masyarakat jahiliah dahulu, begitu kusut dan porak-peranda. Tidak ada Tuhan, tidak ada kasih sayang, tidak ada keamanan, kedamaian dan keharmonian, tidak ada keselamatan, tidak ada saling bantu-membantu dan tolong-menolong. Masyarakat dipenuhi dengan penindasan, penzaliman, tekanan, ketidakadilan, keganasan, kejahilan,pergaduhan, peperangan dan kesumbangan. Manusia ketika itu berada di kemuncak kerosakan. Kehidupan mereka hampir- hampir setaraf dengan kehidupan haiwan.
Rasulullah SAW membawa kaedah bagaimana membaiki masyarakat tersebut. Sebenarnya pada waktu dan kesempatan inilah Allah mendatangi manusia melalui wakil-Nya iaitu Rasulullah SAW. Rasulullah diutuskan kepada umatnya dengan membawa 3 cara untuk mengubat penyakit masyarakat yang sudah begitu kronik. Rasulullah SAW dididik, diajar, dipelihara, dibantu, disokong, diselamatkan dan diberi kemenangan dalam perjuangannya oleh Allah SWT.
Orientalis Barat sehingga kini mash tertanya-tanya formula apakah yang digunakan oleh Rasulullah SAW sehingga berjaya merubah kehidupan masyarakatnya di waktu itu. Perubahan ini menjadi tanda tanya kepada mereka. Apakah rahsianya sehingga manusia yang pada mulanya begitu jahat dan jahil tetapi selepas dididik oleh Rasulullah, mereka sudah tidak mahu lagi meminum arak, sudah tidak mahu lagi menerima serta memberi riba, sudah tidak mahu lagi berzina dan wanita yang pada mulanya hanya untuk memuaskan nafsu kaum lelaki, mendapat pembelaan hingga mereka diletakkan sebagai golongan yang dijaga dan dihormati. Wanita dijaga, dibela, dihormati dan maruah mereka dipertahankan habis-habisan.
Dari sebuah masyarakat yang menjadi pemuja berhala tiba-tiba berubah kepada masyarakat yang terlalu memuja Tuhan. Tuhan dibesarkan dan diagungkan. Begitu juga dari masyarakat yang suka bergaduh dan berperang antara satu sama lain akhirnya menjadi masyarakat yang begitu berkaslh sayang yang sangat luar biasa sekali.
Bahkan lahir juga peribadi yang menyerah diri untuk dihukum. Kalau ada yang mencuri, datang bertemu Rasulullah minta dipotong tangannya; yang membunuh menyerah diri minta dibunuh; yang minum arak minta dirotan sementara yang berzina minta agar dihukum rejam. Tetapi disebabkan hukuman zina itu berat, Rasulullah sering mengelak-elak untuk tidak menghukum dan merejam. Namun mereka bersungguh- sungguh mengaku dan melahirkan buktinya.
Yang menjadi tanda tanya kepada kita, kenapakah mereka begitu sekali takut sehingga rela menyerah diri sedangkan ketika itu polis tidak ada dan undang-undang masih belum begitu ketat lagi. Apakah yang menyebabkan perkara ini boleh berlaku? Apakah faktor yang merubah dan membaiki masyarakat di zaman Rasulullah yang pada mulanya serba berpenyakit?
Mengikut pendapat tokoh-tokoh Islam terutamanya ulama-ulama di bidang Tasawuf, timbulnya penyakit masyarakat atau kemungkaran itu disebabkan tiga perkara yang terbesar:
a. Disebabkan keyakinan manusia terhadap Tuhan sudah nipis ataupun dalam erti kata yang lain, perasaan tauhid sudah berkurangan.
Apabila seseorang itu sudah nipis rasa tauhidnya, sudah nipis keyakinan terhadap Tuhan, atau mempercayai bahawa adanya Tuhan dan tidak adanya Tuhan sudah sama banyak, maka di waktu itu manusia tidak takut kepada sesiapa lagi. Sudah tidak ada lagi kuasa ghaib yang ditakuti. Dia akan menjadi manusia yang sanggup berbuat apa sahaja asalkan kehendaknya tercapai. Dia sanggup mencuri, merompak, membunuh, berzina, merogol atau melakukan apa sahaja. Dengan itu maka merebaklah penyakit masyarakat.
b. Oleh kerana manusia sudah tidak yakin lagi dengan adanya Akhirat ataupun sekiranya masih ada keyakinan, namun keyakinan itu sudah nipis.
Apabila manusia sudah tidak yakin lagi dengan hari Akhirat ataupun dia mempunyai keyakinan tetapi keyakinannya itu sudah nipis, maka Akhirat itu sudah tidak lagi menjadi idaman atau cita-citanya. Dengan itu hilanglah sifat mahu berjuang atau berjihad untuk Akhirat kerana fikirannya sudah tertumpu untuk dunia semata-mata. Dia mencari wang untuk dunia, mencari pangkat untuk dunia dan mencari segala-galanya untuk dunia. Kadang-kadang urusan Akhirat pun dijadikan untuk dunia. Dunia menjadi matlamat hidupnya. Dia sanggup berbuat apa sahaja untuk dunianya tidak kira haram atau halal, baik atau jahat, betul ataupun salah.
c. Disebabkan manusia terlalu sayang dan cinta pada diri mereka sendiri .
Apabila manusia itu telah terlalu cinta dengan diri sendiri maka timbullah usaha bagaimana mahu senang sendiri, mahu senang keluarga sendiri, mahu senang kawan-kawan sendiri. Dalam usaha mahu membela nasib untuk kepentingan diri sendiri maka adakalanya terpaksa melanggar hak asasi orang lain, terpaksa merosakkan kepentingan orang lain, kadang-kadang terpaksa memijak kepala orang lain dan terpaksa merugikan orang lain. Akhirnya tercetuslah pergaduhan, perbalahan, peperangan, kekacauan, tindas-menindas dan lahirlah perasaan hasad dengki dan dendam kesumat yang berpanjangan.
Setelah mengenal pasti masalah kaumnya, Rasulullah SAW mengubati masyarakatnya yang sudah teruk itu berpandukan pimpinan dari Tuhan. Di antara yang dilakukan oleh baginda adalah seperti berikut:
1. Rasulullah SAW menanamkan rasa tauhid.
Rasulullah membina dan menanam kembali rasa tauhid yang sudah begitu nipis di kalangan masyarakat jahiliah ketika itu.
Rasulullah mengenalkan kembali Tuhan kepada manusia supaya manusia terasa akan kebesaran Tuhan, kehebatan Tuhan dan keperkasaan Tuhan. Rasulullah membacakan ayat-ayat yang menunjukkan bahawa Allah itu Maha Perkasa, Maha Agung, Maha Pencipta. Allah yang menghidupkan dan mematikan. Dialah yang memberi nikrnat kepada orang yang baik dan Dialah yang akan mengazab orang yang jahat.
Hasilnya manusia kembali kenal dan takut kepada Tuhan. Mereka rasa gerun dengan kekuasaan Tuhan. Mereka merasai kehebatan Tuhan. Ramai di kalangan para Sahabat yang gementar apabila mendengar nama Allah atau apabila mendengar orang menyebut-nyebut tentang kekuasaan dan kehebatan Allah.
2. Rasulullah menanamkan rasa cintakan Akhirat.
Selepas itu Rasulullah menanamkan pula rasa cinta kepada Akhirat. Beliau tekankan bahawa Akhirat itu ada dan pasti. Beliau ceritakan tentang kedatangan hari Qiamat. Tentang kehebatan Akhirat. Beliau memperkatakan tentang Syurga dan Neraka. Beliau membacakan ayat-ayat tentang Akhirat, antaranya firman Allah SWT:
Maksudnya: “Katakan sesungguhnya kebendaan duniawi ini kecil (sedikit) dan akhirat itu lebih baik bagi orang yang bertaqwa. ” (Surah An-Nisa`: 77)
Rasulullah berjaya melahirkan manusia yang jiwanya terpaut dengan Akhirat, rindu dengan Akhirat dan seronok dengan Akhirat. Bahkan sesetengahnya menjadi terlalu ingin agar cepat balik ke Akhirat. Bukan sahaja harta dihabiskan untuk Akhirat bahkan nyawa sendiri dikorbankan untuk Akhirat. Mereka mahu cepat-cepat kembali ke Akhirat. Mereka mahu mati syahid dan menjadi para syuhada.
Ada yang berlumba-lumba dan berkejar-kejaran untuk ke Akhirat. Sebolehnya apa sahaja yang ada pada mereka hendak diberikan kepada orang lain sebagai bekalan mereka di Akhirat nanti. Begitulah hebatnya perasaan rindu mereka kepada negara yang kekal abadi di Akhirat itu hingga apa sahaja usaha ikhtiar mereka lakukan demi untuk mendapat nilai di sisi Allah sebagai bekalan di Akhirat.
3. Rasulullah menanam kasih sayang sesama manusia
Rasulullah kemudian menanam semangat dan perasaan cinta terhadap sesama manusia terutamanya terhadap sesama umat Islam. Ini semata-mata untuk mengikis sikap terlalu cintakan diri sendiri iaitu perasaan dan kecenderungan untuk membela diri sendiri, keluarga sendiri dan kawan-kawan sendiri sahaja.
Mari kita lihat beberapa contoh Hadis yang menggalakkan manusia supaya mencintai dan mendahulukan orang lain lebih dari diri sendiri:
a. “Tidak sempurna iman seseorang dari kamu sehingga dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri. “
b. “Sebaik-baik manusia ialah manusia yang banyak berkhidmat kepada manusia lain.”
c. “Barangsiapa yang menunaikan sesuatu hajat saudaranya, Tuhan akan menunaikan untuknya 70 hajat.”
Dengan cara beginilah maka tumbuh di hati-hati para Sahabat perasaan bahawa kesenangan orang lain seperti kesenangan diri sendiri. Lahir perasaan kasih sayang pada orang lain. Mereka dapat merasai nasib orang lain seperti nasib mereka sendiri, kesenangan orang lain seperti kesenangan sendiri, kesusahan orang lain seperti kesusahan sendiri, tubuh orang lain seperti tubuh mereka sendiri, darah orang lain seperti darah sendiri dan nyawa orang lain seperti nyawa sendiri.
Rasulullah menimbulkan unsur-unsur yang boleh mendatangkan ukhwah. Rasulullah sendiri mempraktikkan apa yang terkandung di dalam Quran hingga tercetus perasaan kasih sayang sesama umat Islam. Beliau duduk bersama manusia, bersembahyang bersama-sama, jalan bersama, baring bersama, makan bersama, bahkan boleh menegur kesalahan orang tanpa ada rasa sakit hati atau rasa tersinggung. Ditanamkan di dalam hati para Sahabat betapa perlu dan pentingnya ukhwah dan kasih sayang di antara mereka.
Rasulullah berjaya mendidik kaumnya sehingga lahir peribadi yang sangat mengkagumkan kita. Dalam sejarah diceritakan bagaimana Sayidina Ali dan Siti Fatimah yang terkenal hidup dalam keadaan miskin dan melarat tetapi masih dapat memikirkan hal orang lain dan dapat membela nasib orang lain. Mereka membela fakir miskin, janda-janda dan anak-anak yatim di sekeliling rumah mereka. Mereka yang terbela itu tidak menyangka Sayidina Ali dan isterinyalah yang menghantar barang-barang makanan ke beranda-beranda rumah mereka di waktu malam, ketika mereka sedang nyenyak tidur. Setiap pagi ada sahaja makanan diletakkan di situ.
Mereka sangka tentulah itu kerja orang seperti Sayidina Abdul Rahman Bin Auf yang terkenal kaya-raya. Atau mungkin juga perbuatan Saidina Abu Bakar atau Sayidina Umar.Sekali-kali tidak terlintas pada mereka bahawa Sayidina Alilah yang membela mereka. Akhirnya apabila meninggalnya Sayidina Ali, bekalan makanan terputus. Barulah mereka sedar bahawa selama ini Sayidina Alilah yang memberi makanan tersebut kepada mereka.
Apakah yang mendorong Sayidina Ali dan Siti Fatimah membela orang lain walaupun mereka sendiri terlalu miskin? Pasti ada sesuatu yang menggerakkan hati-hati mereka sehngga mereka dapat melahirkan rasa kasih sayang, simpati, ingin membela orang lain dan dapat merasai kesusahan yang ditanggung oleh orang lain itu seperti kesusahan mereka sendiri sehingga terdorong untuk membantu mereka. Inilah hasil mukjizat pimpinan Rasulullah SAW yang mampu memimpin kaumnya. Rasulullah berjaya membawa mesej kasih sayang kepada para Sahabat sehingga mereka terdorong untuk berkorban berhabis-habisan untuk orang lain.
Kesimpulannya, kita boleh lihat kejayaan yang dibawa oleh Rasulullah dalam kehidupan masyarakatnya, dalam berbagai aspek.
Antaranya:
1. Di sudut aqidah , Rasulullah seolah-olah telah memberikan satu hadiah yang paling besar nilainya kepada masyarakat jahliah iaitu Tuhan. Baginda berjuang bermati-matian untuk memastikan setiap manusia mendapat Tuhannya. Bermula dengan menerangkan bahawa Tuhan itu sebenarnya wujud. Kemudian meyakinkan manusia bahawa Tuhanlah yang menciptakan manusia dan mahkluk lain. Kemudian diyakinkan manusia bahawa Tuhan mengirimkan kitab-kitab. Di dalarnnya dijelaskan peranan Tuhan kepada manusia dan makhluk-makhluk lain. Tuhan Maha Berkuasa, Maha Mencipta, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan. Tuhan mengadakan dan meniadakan, menghukum sama ada di dunia mahupun di Akhirat. Tuhan penjaga, pengawal, pendidik, pemelihara, penyelamat.
Rasulullah menghubungkan manusia dengan Tuhan dengan menonjolkan sifat maha kasih sayangnya Tuhan kepada manusia. Contohnya, Tuhan meminta memulakan apa-apa yang baik yang hendak kita buat itu dengan menyebut Bismillahir Rahmanir Rahim (Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang). Bila manusia kenal Allah sebegitu rupa, maka manusia akan terasa sangat bahawa dalam hidupnya ada pelindung, ada penyelamat, ada tempat berkasih sayang, ada tempat rujuk, ada tempat meminta, ada tempat bermanja dan ada tempat mengadu. Dengan itu Rasulullah telah berjaya membebaskan manusia dari penyakit kecewa dan putus asa bilamana mereka berhadapan dengan apa sahaja kesusahan hidup. Bila manusia dapat Tuhan, sungguh manusia mendapat segala-galanya. Inilah pemberian terbesar dari seorang Rasul kepada umatnya.
2. Di sudut perpaduan , Rasulullah mencipta formula untuk mencapai perpaduan sejagat. Inilah satu kejayaan yang kedua terbesar selepas aqidah. Sesudah 13 tahun memperjuangkan aqidah di Mekah sehingga para Sahabatnya jadi begitu cinta dan takut kepada Allah, dan manusia tidak sanggup lagi bergaduh dan berkrisis. Mereka tahu dan mampu berkasih sayang sesama mereka. Lahirlah masyarakat yang bertolak ansur, berukhwah, bekerjasama, maaf bermaafan, mengutamakan orang lain lebih dari diri sendiri, saling merendah diri dan sebagainya. Peri kemanusiaan subur semula dalam diri-diri manusia. Perpaduan yang erat pun berlaku. Sombong, pemarah, hasad dengki dan dendam kesumat kian pupus.
Kehidupan jadi begitu aman, damai, harmoni dan bersih dari segala ketakutan atau kebimbangan yang melanda sebelumnya. Masyarakat yang asalnya kronik terubah sistemnya kepada sebuah masyarakat yang sungguh indah. Rakyat menghormati pemimpin, pemimpin mengasihi rakyat,murid-murid hormat guru-guru, guru-guru sayangkan murid-murid, anak-anak menghormati dan mentaati ibu ayah, ibu ayah memberi kasih sayang dan bertanggungjawab terhadap anak-anak. Suami isteri cinta-mencintai dan berperanan di tempat mereka masing-masing. Jiran menghormati jiran bahkan dianggap seperti keluarga sendiri, djjaga maruah, kehormatan dan keselamatan jiran, hatta waktu jiran tidak ada di rumah, rumahnya itu di jaga.
3. Di sudut pergaulan , Rasulullah mengajarkan satu sistem pergaulan yang selamat. Tanpa sistem yang selamat yang diajar oleh Rasulullah itu, manusia akan jatuh martabatnya ke peringkat haiwan. Rasulullah berjaya membendung gejala-gejala zina, rogol, lesbian, homoseks dan lain-lain. Rasulullah datang mengajarkan masyarakatnya tentang satu sistem pergaulan yang selamat dan menyelamatkan serta mampu memelihara mereka dari kehinaan.
4. Di sudut hak asasi , Rasulullah ialah orang pertama yang mempertimbangkan keperluan-keperluan asasi setiap individu. Walhal sebelumnya manusia sudah tidak menghormati hak-hak orang lain. Maka Rasulullah menghalakan manusia kepada satu cara hidup di mana setiap manusia diberi hak kebebasan belajar, kebebasan beragama, kebebasan memiliki, kebebasan mencari rezeki, hak tempat tinggal, hak kebebasan bercakap, berfikir dan lain-lain lagi.
5. Di sudut kemajuan , Rasulullah membawa Islam yang cukup praktikal. Baginda mendorong, menganjurkan, menggalakkan, bahkan mewajibkan manusia belajar dan mempraktikkan ilmu hingga terbinanya satu tamadun lahiriah. Kehidupan yang mundur telah jadi maju. Hidup senang dan selesa. Kalau sebelumnya Rom dan Parsi menjadi kiblat manusia, tetapi selepas kedatangan Rasulullah, Islam menjadi alternatifnya. Bagindalah bapa pembangunan tamadun fizikal dan roh. Rom dan Parsi dapat ditakluki oleh Rasulullah, kemudian disambung oleh para Sahabatnya hingga tiga suku dunia tunduk kepada Islam.
6. Di sudut keamanan , dunia seolah-olah putus asa dalam menyelesaikan krisis dan peperangan sesama manusia, tetapi Rasulullah ada kaedah bagaimana mengelakkan darah manusia dari tumpah di medan perang. Rasulullah mampu mengalihkan suasana perang kepada suasana kedamaian. Sedangkan tidak ada orang yang boleh lakukan ini. Tidak juga badan dunia seperti PBB.
7. Di sudut martabat wanita , kaum wanita sepatutnya merasa terhutang budi kepada Rasulullah. Usaha bagindalah yang telah mengangkat da rjat wanita serta memberi mereka hak yang sama dengan kaum lelaki dalam bidang-bidang yang sesuai. Walhal sebelumnya wanita tidak ada tempat dalam masyarakat. Hanya jadi alat memuaskan nafsu kaum lelaki. Tidak dihormati, tidak dijaga maruah dan kehormatan mereka serta tidak mendapat tempat di tengah masyarakat. Sebagai isteri dan ibu, wanita mendapat layanan dan kasih sayang yang istimewa dari Islam.
Rasulullah sanggup menemani janda-janda, balu-balu dan anak-anak yatim. Bijaknya Rasulullah memperlakukan hamba-hamba yang lemah ini hingga mereka menjadi cukup berperanan tapi bersopan santun. Tidaklah sama dengan apa yang dilakukan oleh orang jahiliah yang mempergunakan kecantikan dan keistimewaan yang dikurniakan Allah kepada kaum wanita hanya untuk kepentingan nafsu mereka sahaja. Apakah agaknya hadiah atau bayaran yang kaum wanita sanggup berikan kepada Rasulullah yang telah menghadiahkan kemuliaan seperti ini kepada mereka?
8. Kita tidak akan mampu menghitung nikmat dan rahmat Allah yang dibawa oleh Rasulullah kepada kita. Ianya terlalu besar dan banyak. Rasakanlah betapa rahmatnya bila Rasulullah dapat lahirkan pemimpin-pemimpin yang berlaku adil dan melindungi rakyat, orang kaya sangat pemurah sehingga menjadi bank kepada rakyat, orang miskin yang redha, ulama yang menjadi obor, perempuan-perempuan yang pemalu dan pemuda yang berjuang. Orang bersalah yang sanggup meminta maaf, yang tidak bersalah sanggup memberi maaf. Para musafir tidak diganggu perjalanannya. Barangan yang hilang dipulangkan semula.
Orang musafir dijadikan tetamu istimewa, orang berebutrebut mengajak mereka ke rumah dan diberi berbagai-bagai keperluan. Rumah musafir khana yang percuma banyak di bangunkan. Sistem pendidikan, ekonomi, sosial, kesihatan, perhubungan, politik dan lain-lain, semuanya terubah bilamana hati-hati dan jiwa-jiwa manusia dibina kukuh dengan bertunjangkan tauhid.
Inilah kejayaan-kejayaan besar yang telah dicetuskan oleh Rasulullah SAW dalam mengubat penyakit masyarakatnya. Baginda umpama penyelamat yang telah membawa masyarakat manusia sejagat dari lembah yang hina kepada suatu martabat yang tinggi iaitu sebuah masyarakat yang berakhlak dan terpuji, aman damai dan harmoni. Inilah masyarakat yang kita idam-idamkan iaitu sebuah masyarakat yang aman makmur serta mendapat keampunan Tuhan.
http://kawansejati.ee.itb.ac.id/kumpulan-kuliah
Hakikat Jahiliyah
Posted on Juni 16, 2010 by hasmijaksel
oleh : DR. Muhammad Sarbini MHI
Jahiliyah berasal dari kata Al Jahlu (الجهل ) yang berarti bodoh. Ketika menerangkan arti bahasa dari Al Jahlu,
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan :
هُوَ عَدَمُ اْلعِلْمِ أَوْ عَدَمُ اِتِّبَاعِ اْلعِلْمِ فَإِنَّ مَنْ لَمْ يَعْلَمِ اْلحَقَّ فَهُوَ جَاهِلٌ جَهْلاً بَسِيْطاً. فَإِنْ اِعْتَقَدَ خِلاَفَهُ فَهُوَ جَاهِلٌ جَهْلاً مُرَكَّبًا..وَ كَذَلِكَ مَنْ عَمِلَ بِخِلاَفِ اْلحَقِّ فَهُوَ جَاهِلٌ وَ إِنْ عَلِمَ أَنَّهُ مُخَالِفٌ لِلْحَقِّ
“Al Jahlu adalah tidak berilmu atau tidak mengikuti ilmu. Barangsiapa yang tidak mengetahui Al Haq(kebenaran), maka orang itu Jahil Basith (sederhana), sedangkan jika berkeyakinan menyalahi Al Haq(kebenaran) maka orang itu Jahil Murakkab (bertingkat). Demikian pula orang yang beramal menyalahi Al Haq (kebenaran), maka diapun jahil, sekalipun dia mengetahui bahwa dirinya menyalahi kebenaran.”
(Baca : Kitab “Iqtidha Ash Shirath Al Mustaqim Mukhalifah Ashhab Al Jahim, Tahqiq : Asy Syeikh Muhammad Hamid Al Faqi, Hal : 77-78)
Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan mengatakan bahwa Jahiliyah adalah :
هِيَ اْلحَالُ اَّلتِي كَانَتْ عَلَيْهَا اْلعَرَبُ قَبْلَ اْلإِسْلاَمِ مِنَ اْلجَهْلِ بِاللهِ وَ شَرَائِعِ الدِّيْنِ وَ اْلمُفَاخَرَةِ بِاْلأَنْسَابِ وَ اْلكِبْرِ وَ التَّجَبُّرِ وَ غَيْرِ ذَلِكَ نِسْبَةً إِلَى اْلجَهْلِ الَّذِي هُوَ عَدَمُ اْلعِلْمِ أَوْ عَدَمُ اِتِّبَاعِ اْلعِلْمِ
“Kondisi yang dialami bangsa Arab sebelum Islam berupa kejahilan kepada Allah, Rasul-rasulNya, Syari`at Ad Dien, berbangga-bangga dengan keturunan, takabbur, sombong dan lain-lain yang dikaitkan dengan kejahilan yang berarti tidak berilmu atau tidak mengikuti ilmu”.
(Baca ” Kitab At Tauhid”, Hal : 23)
Dari perkataan beliau Jahiliyah dapat dikaitkan dari 2 sisi, yaitu :
1. Sisi Masa / zaman yaitu kondisi bangsa Arab pra Islam, tentu saja, jika demikian masa ini telah berakhir dengan diutusnya Rasulullah Saw. Akan tetapi, perlu difahami bahwa masa atau zaman mengandung karakteristik atau peristiwa yang terkandung di dalamnya yang bisa menjadi ukuran bagi zaman atau masa yang lain. Untuk itu sisi Jahiliyah yang kedua adalah :
2. Sisi Karakteristik (Sifat-sifat atau peristiwa yang terjadi di dalamnya). Sisi ini tidak akan berakhir dengan berakhirnya bangsa Arab atau setelah diutusnya Rasulullah Saw, karena dia bisa terjadi dan dapat dimiliki oleh zaman manapun, bisa terjadi dan dapat dimiliki oleh bangsa manapun atau pribadi manapun, termasuk siapa saja di antara kita yang mengaku muslim.
Sisi karakteristik inilah yang dijelaskan oleh Muhammad Quthb tentang arti Jahiliyah dalam Al Qur`an Al Karim. Beliau mengungkapkan “Di dalam Al Qur`an Al Karim lafadz Jahiliyah memiliki makna khusus atau secara hakiki memiliki 2 makna terbatas yaitu :
إِمَّا اْلجَهْلُ بِحَقِيْقَةِ اْلأُلُوْهِيَّةِ وَ خَصَائِصِهَا وَ إِمَّا السُّلُوْكُ غَيْرُ اْلمُنْضَبِطِ بِالضَّوَابِطِ الرَّبَّانِيَّةِ أَوْ بِعِبَارَةٍ أُخْرَى : عَدَمُ اِتِّبَاعِ مَا اَنْزَلَ اللهُ
1. Jahil terhadap hakekat dan karakteristik Uluhiyah, dan
2. Bersikap hidup tanpa memiliki ikatan Rabbani atau dengan kata lain tidak mengikuti ajaran yang diturunkan oleh Allah.”
Kata-kata Dr. Shalih Fauzan “kejahilan kepada Allah…” hingga akhirnya merupakan gambaran karakteristik jahiliyah yang tidak dapat lepas dari 2 unsur pokok yang disebutkan oleh Muhammad Quthb tersebut. Terlebih lagi beliau memberikan sejumlah bukti dalam Al Qur`an dan As Sunnah yang menjelaskan hal itu, di antaranya beliau mengutip firman Allah Swt :
وَجَاوَزْنَا بِبَنِى إِسْرَاءِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَّهُمْ قَالُوا يَامُوسَى اجْعَل لَّنَآ إِلَهًا كَمَا لَهُمْ ءَالِهَةً قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang telah menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata:”Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)”. Musa menjawab
“Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang jahil (terhadap sifat-sifat Ilah)”. (Qs. 6:103)
Jahil yang dimaksud dalam ayat ini adalah tidak mengetahui hakekat Uluhiyyah. Karena, seandainya mereka mengetahui bahwa Allah Ta`ala
( tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. (QS. 6:103),
( Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (QS. 42:11),
(Pencipta segala sesuatu (QS. 6:102) dan bukan makhluk
serta sifatNya tidak serupa dengan sifat makhlukNya, niscaya mereka tidak meminta hal tersebut yang menandakan kejahilan mereka terhadap hakekat Uluhiyyah.
وَطَآئِفَةُُ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَل لَّنَا مِنَ اْلأَمْرِ مِن شَىْءٍ
“sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata:”Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini”.(Qs. 3:154)
Yang dicela oleh Allah terhadap kelompok tersebut adalah aqidah tertentu (tashawwur mu`ayyan) yang berkaitan dengan hakekat uluhiyyah. Yaitu aqidah mereka bahwa ada pihak lain yang ikut campurtangan bersama Allah dalam segala
urusan serta kejahilan (ketidaktahuan) mereka bahwa yang menyempurnakan perbuatan hanyalah kehendak dan aturan Allah Yang Esa.
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِينَ
Yusuf berkata:”Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk ( memenuhi keinginan mereka ) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang jahil”. (QS. 12:33)
Makna ayat ini berkaitan dengan sikap hidup yang tidak diikat oleh ikatan Rabbani yaitu cenderung untuk (memenuhi keinginan) wanita, melanggar perintah Allah dan terjerumus dalam urusan yang diharamkan Allah. Itulah sesuatu yang oleh Yusuf `Alaihis Salam dikhawatirkan terjatuh ke dalamnya serta dimintakan perlindungannya kepada Allah.
وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى
“dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu”. (QS. 33:33)
Makna ayat inipun berkaitan dengan sikap hidup yang tidak diikat oleh ikatan Rabbani dan mengikuti aturan yang tidak diturunkan oleh Allah seperti wajibnya menjaga diri dan tidak menampakkan perhiasan wanita kecuali terhadap para mahramnya.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. 5:50)
(Baca : Kitab “Ru`yah Islamiyyah Lii Ahwal Al `Alam Al Mu`ashir, Hal : 15-17)
2 karaktersitik inilah yang dapat saja terjadi pada perorangan atau suatu negara. Seorang yang tidak mengenal hakekat Uluhiyyah yang benar atau bersikap hidup tanpa ikatan Rabbani tentu disebut memiliki sifat jahiliyyah, walaupun dia mengaku Islam. Begitu pula sebuah negara yang system hukum, norma dan tata nilainya bertentangan dengan hakekat Uluhiyyah atau tidak terikat dengan ikatan Rabbani dapat digolongkan sebagai negara jahiliyyah, walaupun mayoritas penduduknya atau pemimpinnya kaum muslimin
http://hasmijaksel.wordpress.com/2010/06/16/hakikat-jahiliyah/
Karakteristik Masyarakat Jahiliah dalam Al-Qur’an
Dalam sejarah Islam dijelaskan bahwa Rasulullah diturunkan oleh Allah ke dalam suatu komunitas masyarakat yang dikenal dengan istilah masyarakat Arab Jahiliah. Secara lingustik istilah jahiliah berasal dari kata Bahasa Arab jahala yang berarti bodoh dan tidak mengetahui atau tidak mempunyai pengetahuan. Namun dalam realitas yang sesungguhnya, secara faktual saat itu masyarakat Arab yang dihadapi oleh Rasulullah bukanlah masyarakat yang bodoh atau tidak mempunyai pengetahuan. Buktinya pada saat itu sastra dan syair berkembang dengan pesat di kalangan mereka. Setiap tahun diadakan festival-festival pembacaan puisi dan syair, ini membuktikan bahwa orang-orang Arab ketika itu sudah banyak yang mengetahui baca dan tulis. Selain itu mereka juga mampu membuat tata kota dan tata niaga yang sangat baik. Hal ini semakin menguatkan bahwa mereka kaum Quraisy bukanlah orang-orang bodoh dan tidak berpengetahuan. Dapat dipahami, bahwa sebenarnya mereka adalah masyarakat yang sedang berkembang peradabannya.
Dari berbagai kajian yang pernah penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang dihadapi oleh Nabi Muhammad diistilahkan dengan jahiliah bukan karena bodoh atau tidak berpengetahuan, atau dalam istilah lain lemah dalam aspek intelektualnya.
Penulis berkeyakinan bahwa yang dimaksud dengan ”kejahilan” (ketidaktahuan) mereka ada pada dua aspek utama, pertama aspek akidah. Pada saat Rasulullah diutus oleh Allah, khurafat dan mitos-mitos yang berkembang pada saat itu telah menyeret manusia untuk menjauh dari kehidupan yang alami dan manusiawi. Dalam kondisi seperti itulah, Allah mengutus duta terakhirnya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Beliau membawa agama Islam sebagai hadiah bagi umat manusia sedunia serta memberikan penafsiran baru terhadap kehidupan manusia, selain itu beliau juga datang dengan membawa misi untuk memberantas akar kebodohan dalam masyarakat, yakni syirik kepada Allah.
Sedangkan yang kedua adalah aspek akhlak. Pada masa itu, akhlak atau moral sama sekali tidak mendapat tempat dalam masyarakat jahiliah. Pada saat itu mereka melakukan berbagai perbuatan keji tanpa merasa takut atau bersalah, di antaranya kebiasaan mengubur bayi perempuan hidup-hidup, minum-minuman keras, berzina, membunuh, dan lain sebagainya. Rasulullah diturunkan oleh Allah untuk memperbaiki akhlak. Beliau menyeru masyarakat agar berpegang teguh kepada nilai-nilai moral. Selain itu beliau juga mengajarkan kepada mereka akhlak yang mulia.
Jadi dapat dikatakan bahwa masyarakat jahiliah yang dimaksud di sini adalah masyarakat yang jahil dalam segi akidah dan akhlak. Kejahilan yang terjadi ribuan tahun itu ternyata juga kembali terjadi di zaman sekarang, sehingga zaman globalisasi ini sering pula disebut dengan istilah jahiliah modern. Terjadinya berbagai dekadensi moral di berbagai bidang merupakan karakteristik utama yang menjadikan masyarakat modern ini kembali ke kehidupan jahiliah. Untuk lebih memahami apa yang disebut masyarakat jahiliah ini perlu kiranya kita mengkaji lebih dalam apa saja karakteristik dan perilaku dari masyarakat tersebut. Al-Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia telah memberikan tuntunan bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Al-Qur’an juga telah menjelaskan 4 karakteristik utama dari masyarakat jahiliah. 4 Karakteristik itu adalah :
1. Hukmul Jahiliah (Hukum Jahiliah)
Masyarakat jahiliah menggunakan hukum jahiliah sebagai undang-undang dan peraturan dalam kehidupan mereka. Yang dimaksud dengan hukum jahiliah adalah hukum yang memihak kepada yang lebih kuat. Para pengambilan keputusan hukum lebih memihak kepada pihak yang bisa membayar dengan mahal, sementara kaum miskin semakin tertindas dengan berlakunya hukum jahiliah ini. Hukum begitu mudah dibeli dengan uang dan berbagai iming-iming materi. Wajar kiranya jika kiranya sekarang pun di sebut dengan zaman jahiliah modern, sebab supremasi hukum juga sudah tidak ada. Para koruptor, pengeruk harta kekayaan negara dengan mudahnya membebaskan dirinya dari jeratan hukum. Mereka mampu membeli para hakim dan jaksa. Para punggawa peradilan menjadi sangat mandul karena mereka sudah disuap dan disogok dengan duit jutaan bahkan milyaran. Inilah yang diisyaratkan Allah dalam sinyalemennya : ”Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah : 50). Karakteristik demikian ternyata juga muncul di zaman sekarang, hukum begitu mudah dibeli. Supremasi hukum hanya slogan belaka, sebab dalam kenyataannya siapa yang kuat, yang berkuasa, yang punya uang, maka dialah yang berhak ”memiliki” hukum.
2. Dzhonnul Jahiliah (Prasangka Jahiliah)
Orang-orang musyrik jahiliah berakidah syirik (menyekutukan Allah). Mereka merasakan Tuhan itu jauh dari mereka karena tidak nampak (immateri) hingga mereka mangambil patung-patung orang suci dari kalangan mereka untuk dijadikan wasilah beribadah kepada Tuhan. Mereka pada hakekatnya tahu Tuhan mereka adalah Allah SWT. terbukti nama ayah Rasulullah sendiri bernama Abdullah (hamba Allah). Itulah prasangka jahiliah, sangkaan yang tidak benar tentang eksistensi Tuhannya. Allah SWT berfirman : ” …….mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah…… ” (Ali Imran : 154). Sikap demikian ternyata juga ada di masyarakat modern sekarang ini, banyak di antara mereka yang syirik kepada Allah. Di antara mereka ada yang menjadikan harta, jabatan, ilmu pengetahuan, keelokan wajah sebagai Tuhan mereka. Waktu yang berikan oleh Allah telah mereka habiskan untuk ”menyembah” Tuhan-tuhan mereka. Prasangka yang tidak benar lainnya dari masyarakat jahiliiah adalah menganggap bahwa kehidupan ini akan kekal selamanya, bahkan sebagian lainnya mempercayai bahwa hidup ini tidak akan pernah berakhir, mereka tidak percaya dengan adanya hari kiamat. Prasangka demikian juga terjadi di dmasyarakat modern ini, bahkan kebanyakan dari mereka mempercayai konsep ”reinkarnasi”, naudzu billlahi min dzalik.
3. Hamiyatul Jahiliyah (Kesombongan Jahiliah)
Allah SWT berfirman : ”Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan, (yaitu) kesombongan jahiliah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu’min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat taqwa …….” (Al-Fath : 26) ). Allah SWT. mempersamakan perilaku sombong sebagai penyakit jahiliah. Mengapa? Sebab kesombongan senantiasa melupakan eksistensi Tuhan sebagai penentu segalanya. Sebagai seorang Muslim, banyaknya musibah di negara ini jangan sekadar hanya disikapi sebagai fenomena alam biasa, tapi coba lihat dalam konteks Al-Qur’an yang berbicara tentang penyebab musibah. Sikap kesombongan kita kepada Allah SWT. yang menyebabkan bencana silih berganti datang kepada kita karena tidak bersyukur dengan nikmat Allah yang banyak kita peroleh. Orang yang sombong akhirnya akan terjerumus menjadi manusia yang berani melanggar dan menentang perintah Allah SWT. Iblis saja terusir dari surga karena tidak taat pada perintah Allah. Dengan demikian, Jika ada masyarakat Muslim kita yang tidak taat pada perintah Allah dalam skup sempit misalnya ingkar melaksanakan ibadah sholat dan zakat, maka diapun sebenarnya telah mengidap penyakit kesombongan jahiliah.
4. Tabarrujul Jahiliah (Hiasan/Dandanan Jahiliah)
Allah SWT berfirman : ”Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu” (Al-Ahzab : 33) Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa budaya mengekspoitasi kemolekan tubuh wanita menjadi karakteristik utama masyarakat jahiliah. Arti tabarruj yang sebenarnya ialah: ”membuka dan menampakkan sesuatu untuk dilihat mata”. Az-Zamakhsyari berkata: “Bahwa tabarruj itu ialah memaksa diri untuk membuka sesuatu yang seharusnya disembunyikan.” Namun tabarruj dalam ayat di atas adalah khusus untuk perempuan terhadap laki-laki lain, yaitu mereka nampakkan perhiasannya dan kecantikannya.
Dalam mengartikan tabarruj ini, Az-Zamakhsyari menggunakan unsur baru, yaitu: takalluf (memaksa) dan qashad (sengaja) untuk menampakkan sesuatu perhiasan yang seharusnya disembunyikan. Sesuatu yang harus disembunyikan itu ada kalanya suatu tempat di badan, atau gerakan anggota, atau cara berkata dan berjalan, atau perhiasan yang biasa dipakai berhias oleh orang-orang perempuan dan lain-lain. Tabarruj ini mempunyai bentuk dan corak yang bermacam-macam yang sudah dikenal oleh orang-orang banyak sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Karakteristik kehidupan tabarruj tampak jelas dalam keseharian kita. Maraknya ekploitasi kemolekan tubuh wanita terjadi dimana-mana, dan makin hari ini semakin parah. Di berbagai media hal ini sudah biasa kita saksikan. Sayangnya hal ini diperparah dengan adanya penyakit eksibisionisme (Suka pamer aurat) di antara kita, terlebih lagi kalangan selebritis. Banyaknya acara infotainment tentang selebritis menyebabkan banyak sensasi yang dilakukan walau harus menjual harga dirinya. Gampang saja, kalau mau terkenal dan ingin dikejar-kejar media agar rating bayaran berlipat-lipat, terkadang mereka berpose seronok dan disebarluaskan melalui internet dan hand phone. Kebiasaan ini akhirnya banyak diikuti generasi muda mudi kita dikarenakan selebritis adalah publik figur yang dididolakan. Akhirnya budaya malu menjadi barang langka di negeri ini. Dalam hadis Rasulullah Saw. Bersabda, ”jika Allah hendak menghancurkan suatu negeri, maka terlebih dahulu dilepaskannya rasa malu dari kaum itu” (HR.Bukhari Muslim).
Demikianlah empat karakteristik utama kehidupan jahiliah yang secara rinci dan gamblang telah Allah jelaskaan di dalam kitab suci-Nya. Mudah-mudahan kita termasuk hamba-hamba-Nya yang selamat dari cengkraman ”budaya” kehidupan jahiliah, amin.
-Mardias Gufron-
http://diaz2000.multiply.com/journal/item/54/54?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2Fitem
Masyarakat Jahiliah
Diantara pembaca mungkin telah banyak yang pernah mendengar dan membaca istilah itu, dan banyak pula yang telah mengerti bahwa yang dimaksud dengan istilah jahiliah adalah keadaan bangsa arab yang hidup pada masa sebelum diutusnya Nabi Muhammad saw.
Jika kita kembali membuka kitab-kitab lughat (kamus) bahasa arab, istilah jahiliyah berarti ‘kebodohan’ yaitu golongan penyembahan patung dan mengikuti hawa nafsu yang sesat ditanah arab pada masa sebelum islam; dan dalam arti yang lebih luas adalah hal ikhwal bangsa arab pada masa sebelum islam datang kepada mereka. Akan tetapi , menurut ensiklopedia bahasa arab, yang dimaksud dengan jahiliyah itu adalah ‘keadaan manusia sebelum dibangkitkannya Muhamad Rasulullah saw, jelasnya golongan manusia yang hidup pada masa sebelum kedatangan Nabi Muhamad saw, sementara mereka itu sudah tidak mengikuti syariat para nabi Allah yang pernah datang kepada mereka masing-masing.
berdasarkan keterangan tersebut, yang dinamakan bangsa jahiliah pada masa itu bukannya bangsa Arab saja, melainkan sekalian bangsa yang ada dimuka bumi ini, termasuk bangsa arab juga. Dan perkataan jahiliah itu bukan menjadi nama bagi masa (zaman), sebagaimana banyak orang mengatakan : Zaman jahilah, tetapi sebuah sebutan bagi umat manusia yang hidup dan berprilaku seperti yang disebutkan tadi Dan masyarakat mereka dinamakan masyarakat jahiliah.
Mengapa umat manusia pada masa itu terutama bangsa arab di Jazirah Arab disebut jahiliah dan masyarakat mereka dinamakan dengan masyarakat jahiliah? apakah mereka itu memang sungguh-sungguh dalam “kebodohan” dan “kegelapan”?
Istilah jahiliah itu sekalipun dari bahasa Arab, tetapi timbul dalam masyarakat umat manusia sesudah datangnya Dienul Islam yang dibawa oleh Nabi Muhamad saw, Dan lebih tegas istilah jahilah itu menyangkut perkataan yang dinyatakan oleh Allah dengan firman-Nya yang diturunkan atas Nabi Muhamad saw di dalam beberapa ayat Al-Quran :
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. (QS.33:33)
Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan (yaitu) kesombongan jahiliyah lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mukmin dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat-takwa dan adalah mereka berhak dengan kalimat takwa itu dan patut memilikinya. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. 48:26)
Apakah hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin ? (QS.5:50)
Jadi, meskipun perkataann jahiliah itu asalnya berarti bangsa yang berada dalam kebodohan, tetapi yang dimaksudkan oleh islam bukan kebodohan yang berarti tidak mempunyai pengetahuan dan kepandaian atau tidak mempunyai kecerdasan berfikir dan kecakapan bekerja, melainkan “kebodohan” yang berkaitan dengan ketauhidan Allah, yang berarti juga kebodohan dan kedunguan tentang undang-undang Allah yang harus berlaku di alam semesta yang luas ini, dan kebodohan tentang hukum-hukum-Nya yang telah diturunkan kepada umat manusia, yang seharusnya oleh mereka itu diikuti, ditaati dan dilaksanakan.
Sebagaimana yang telah kami uraikan di atas, bangsa Arab pada beberapa abad sebelum Nabi muhamad saw dilahirkan dan sebelum Al-Quran diturunkan ke dunia ini, telah mencapai kemajuan dalam segala lapangan. Sebagian diantara mereka telah mempunyai kepandaian dalam urusan perekonomian, seperti pertanian, perusahaan, perniagaan, bahkan pada masa jahiliyah itu semangat perekonomian mereka hidup dengan suburnya. Sebagian diantara mereka telah ada yang mempunyai kepandaian dalam soal teknik atau pertukangan, seperti membangun gedung-gedung, rumah yang besar-besar, benteng-benteng, dan sebagainya. Sebagian ada yang telah mempunyai kepandaian tentang soal perindustrian, seperti membuat obat-obatn dan sebagainya. Sebagian ada yang telah mempunyai kepandaian dalam soal ketentaraan atau kemilitera. Terbukti diantara mereka banyak yang pandai berperang., menjadi pahlawan perang, pandai memainkan senjata dimedan pertempuran, dan sebagainya. Sebagian ada yang mahir dalam urusan politik atau ketatanegaraan. Terbukti diantara mereka ada yang cukup mengatur pemerintahaan, pandai merencanakan dan menyusun undang-undang, bahkan sebagian ada pula yang pandai dan telah dapat mengatur pemerintahaan secara demokratis, parlementer dsb.
Alhasil bangsa Arab dan masyarakat Arab pada masa yang dikatakan jahilah itu bukan berada dalam kebodohan atau kedunguan, tidak mempunyai kecerdasan dan sebagainya, sebagaimana banyak orang menyangka, melainkan mereka pada umumnya sudah mempunyai taraf kepandaian, kecerdesan, kemahiran, kecerdikan, dan kecakapan yang tinggi. Dengan perkataan lain, mereka sudah berkemajuan bahkan dapat dikatakan lebih maju jika dibandingkan dengan bangsa-bangsa lain pada masa itu. Akan tetapi, karena umumnya dari mereka itu buta pada Dien Yang benar karena telah meninggalkan Syariat yang dibawa oleh para nabi yang datang kepada mereka masing-masing.
Iqraku / Ydth
Kelengkapan Tarikh Nabi Muhammad saw1
http://iqraku.blogspot.com/2010/04/masyarakat-jahiliah.html
Potret Kehidupan Zaman Jahiliyah
Posted by Admin pada 29/09/2009
Inilah Kehidupan Zaman Jahiliyah
Kehidupan bangsa Arab sebelum diutusnya Rasulullah berada dalam kekacauan yang luar biasa. Mereka menyekutukan Allah, banyak berbuat maksiat, tidak memiliki norma, percaya kepada khurafat, dan berbagai bentuk kebobrokan moral lain.
Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi Wasallam, yang merupakan Nabi dan Rasul terakhir, diutus di saat tiadanya para Rasul. Vakumnya masa itu dari para pembawa risalah dikarenakan Allah murka kepada penduduk bumi baik orang Arab dan selainnya, kecuali sisa-sisa dari ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani) yang mereka telah meninggal. Dalam sebuah riwayat, Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam bersabda :
Sesungguhnya Allah melihat kapada penduduk bumi. Lalu murka kepada mereka, Arab atau ajamnya, kecuali sisa-sisa dari ahlul kitab. (HR Muslim)
Saat itu, memang hanya satu di antara dua orang ahlul kitab yang berpegang dengan kitab yang sudah dirubah dan/atau dihapus, atau dengan agama yang punah, baik bangsa Arab atau lainnya. Sebagiannya tidak diketahui dan sebagian yang lain sudah ditinggalkan. Akibatnya, seorang yang umi (tidak bisa baca tulis) hanya bisa bersemangat beribadah namun dengan apa yang ia anggap baik dan disangka memberi manfaat baik berupa bintang, berhala, kubur, benda keramat, atau yang lainnya.
Manusia saat itu benar-benar dalam kebodohan yang sangat akan ucapan-ucapan yang mereka sangka baik padahal bukan, serta amalan yang disangka baik padahal rusak. Paling mahirnya mereka adalah yang mendapat ilmu dari warisan para Nabi terdahulu namun telah samar bagi mereka antara haq dan batil. Atau yang sibuk dengan sedikit amalan meski kebanyakannnya mengamalkan bid’ah yang dibuat-buat. Walhasil, kebatilannya berlipat-lipat kali dari kebenarannya. (Iqtidha’ Sirathal Mustaqim 1/74-75)
Inilah gambaran ringkas keadaan manusia yang sangat parah saat itu, khususnya di kota Makkah dan sekitarnya. Keadaan tersebut mulai terlihat sejak munculnya Amr bin Luhay Al-Khuza’iy. Ia dikenal sebagai orang yang gemar ibadah dan beramal baik sehingga masyarakat waktu itu menempatkannya sebagai seorang ulama.
Sampai suatu saat, Amr pergi ke daerah Syam. Ketika mendapati para penduduknya beribadah kepada berhala-berhala, Amr menganggapnya sebagai sesuatu yang baik dan benar. Apalagi, Syam dikenal sebagai tempat turunnya kitab-kitab Samawi (kitab-kitab dari langit).
Ketika pulang, Amr membawa oleh-oleh berhala dari Syam yang bernama Hubal. Ia kemudian meletakkannya di dalam Ka’bah dan menyeru penduduk Makkah untuk menjadikannya sebagai sekutu bagi Allah dengan beribadah kepadanya. Disambutlah seruan itu oleh masyarakat Hijaz, Makkah, Madinah dan sekitarnya karena disangka sebagai hal yang benar. (Mukhtasor Sirah Rasul hal. 23 & 73).
Sejak itulah, berhala tersebar di setiap kabilah. Di samping Hubal yang menjadi berhala terbesar di Ka’bah dan sekitarnya dan juga menjadi sanjungan orang-orang Makkah, terdapat pula berhala Manat di antara Makkah dan Madinah. Manat merupakan sesembahan orang-orang Aus dan Khazraj dan qabilah dari Madinah. Juga ada Latta di Thaif dan Uzza. Ketiga berhala ini merupakan yang terbesar dari yang ada. (lihat Mukhtasor Siroh Rasul 75-76 Rahiqul Makhtar :35).
Akibatnya, peribadatan kepada berhala menjadi pemandangan yang sangat mencolok. Apalagi, kesyirikan tersebut disangka masyarakat waktu itu sebagai agama Ibrahim ‘alaihis salam. Padahal, tradisi menyembah berhala-berhala itu kebanyakannya adalah hasil rekayasa Amr bin Luhay yang kemudian dianggap bid’ah hasanah.
Dijelaskan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi Wasallam tentang perbuatan Amr ini: “Saya melihat Amr bin Amir (bin Luhay) Al-Khuza’iy menyeret ususnya di neraka. Dia yang pertama kali melukai unta (sebagai persembahan kepada berhala dan yang pertama mengubah agama Ibrahim ‘alaihissalam)” (HR Bukhari)
Diantara tradisi syirik masyarakat waktu itu adalah menginap di sekitar berhala itu, memohonnya, mencari berkah darinya karena diyakini dapat memberi manfaat, thawaf, tunduk dan sujud kepadanya, menghidangkan sembelihan dan sesaji kepadanya, dan lain-lain. Mereka melakukan hal itu karena meyakini bahwa itu akan mendekatkan kepada Allah dan memberi syafaat sebagaimana Allah kisahkan dalam Al Qur’an. Mereka mengatakan:
“Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya.” (Az Zumar: 3)
“Dan mereka menyembah kepada selain Allah, apa yang tidak dapat mendatangkan kenmudharatan kepada mereka dan tidak (pula) manfaat. Dan mereka berkata, ’Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah’”. (Yunus: 18)
Selain kesyirikan, kebiasaan jelek yang mereka lakukan adalah perjudian dan mengundi nasib dengan 3 anak panah. Caranya dengan menuliskan “ya”, “tidak” dan dikosongkan pada ketiga anak panah itu. Ketika ingin bepergian misalnya, mereka mengundinya. Jika yang keluar “ya”, mereka pergi dan jika “tidak”, tidak jadi pergi. Jika yang kosong maka diundi lagi.
Mereka juga mempercayai berita-berita ahli nujum, peramal dan dukun, serta menggantungkan nasib melalui burung-burung. Ketika ingin melekukan sesuatu, mereka mengusir burung. Jika terbang ke arah kanan berarti terus, jika ke arah kiri berarti harus diurungkan. Selain itu, mereka juga pesimis dengan bulan-bulan tertentu. Misalnya karena pesimis dengan bulan safar, mereka kemudian merubah aturan haji sehingga tidak mengijinkan orang luar Makkah untuk haji kecuali dengan memakai pakaian dari mereka. Jika tidak mendapatkan, maka melakukan thawaf dengan telanjang.
Kehidupan sosial kemasyarakatan dalam kaitannya dengan hubungan lain jenis pun sangat rendah, khususnya di kalangan masyarakat menengah ke bawah. Sampai-sampai pada salah satu cara pernikahan mereka, seorang wanita menancapkan bendera di depan rumah. Ini merupakan tanda untuk mempersilahkan bagi laki-laki siapa saja yang ingin ‘mendatanginya’. Jika sampai melahirkan, maka semua yang pernah melakukan hubungan dikumpulkan dan diundang seorang ahli nasab untuk menentukan siapa bapaknya, kemudian sang bapak harus menerimanya.
Poligami saat itu juga tidak terbatas, sehingga seorang laki-laki bisa menikahi wanita sebanyak mungkin. Bahkan sudah menjadi hal yang biasa seorang anak menikahi bekas istri ayahnya dengan mahar semau laki-laki. Jika perempuan itu tidak mau, maka laki-laki itu akan memaksa wanita itu untuk menikah kecuali dengan siapa yang diizinkan olehnya. Sehingga dalam banyak hal, wanita terdzalimi. Sampai yang tidak berdosapun merasakan kedzaliman itu, yaitu bayi-bayi wanita yang ditanam hidup-hidup karena takut miskin dan hina.
Tentunya, kenyataan yang ada lebih dari yang tergambar di atas. Meski tidak dipungkiri di sisi lain mereka memiliki sifat atau perilaku yang baik, namun itu semua lebur dalam kerusakan agama, moral yang bejat, yang di kemudian hari seluruhnya ditentang oleh Islam dengan diutusnya Rasullallah Shallallahu ‘alaihi Wasallam sebagai pelita yang sangat terang bagi umat ini.
Dikutip dari: http://www.asysyariah.com Penulis : Ustadz Qomar Suaidi Judul: Kondisi Masyarakat Sebelum diutusnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa salam
Mewaspadai Budaya-budaya Jahiliyah
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta, shalawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga shalawat dan salam juga terlimpahkan buat keuarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.
Di masa jahiliyah orang arab memiliki berbagai macam budaya dan kebiasaan yang mereka lakukan dalam kehiduapan mereka sehari-hari. Kebudayaan itu ada yang berbentuk keyakinan, ibadah, akhlak dan hukum-hukum kemasyarakatan. Tujuan kita mengenal persoalan ini adalah agar kita tidak terjerumus kedalam kebudayaan-kebudayaan jahiliyah tersebut. Pada abad globalisasi ini betapa cepatnya pertukaran peradaban namun sebagian kita tidak memiliki filter untuk menyaring kebudayaan dan peradaban tersebut. Sehingga sebagian kita terjerumus dan jatuh ke dalam berbagai jurang kesesatan umat-umat yang lain. Sebagaimana yang disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
((لتتبعن سنن الذين من قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو دخلوا في جحر ضب لاتبعتموهم قلنا يا رسول الله آليهود والنصارى ؟ قال فمن ؟)) (متفق عليه).
“Sesunguhnya kalian akan mengikuti kebiasaan umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, sehingga seandainya mereke masuk lubang Dhab (sejenis kadal) niscaya akan kalian ikuti, para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah (maksudmu) orang-orang Yahudi dan Nasrani?’ (jawab Rasulullah), ‘Siapa lagi.’” (HR. Bukhari & Muslim).
Jika kita melihat ketengah masyarakat kita, tentu kita akan mendapati bahwa sebagian besar dari mereka sudah terpengaruh oleh kebudayaan dan peradaban umat-umat lain.
Baik dengan sengaja meniru-niru mereka dengan alasan model dan gaya, atau karena kebodohan tentang ajaran agama kita sendiri, tidak menyadari bahwa kebiasaan dan gaya tersebut adalah gaya dan model umat jahiliyah dulu.
Allah telah menjelaskan dalam banyak ayat begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam hadits-hadits beliau tentang budaya dan kebiasaan orang-orang jahiliyah, agar umat ini terhindar dari menyerupai kebiasaan mereka yang menyimpang dari kebenaran yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul-Nya. Baik yang berbentuk keyakinan, ibadah, akhlak dan hukum-hukum kemasyarakatan.
Sebagaimana firman Allah,
{وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآَيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ} [الأنعام: 55]
“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran supaya jelas jalan orang-orang yang berdosa”. (QS. Al-An’am: 55)
Allah menjelaskan jalan orang-orang yang berdosa agar kita menghindari dan menjauhinya, agar kita tidak terjerumus kedalam dosa, sekaligus menjauhi jalan dan sebab-sebab yang menimbulkan dosa. Diantara jalan-jalan dosa adalah meniru budaya dan peradaban orang-orang jahiliyah serta jalan umat yang dilaknat dan disesatkan Allah.
Karena kebodohan terhadap sebab-sebab kebatilan bisa membawa seseorang kepada kebatilan itu sendiri. Sebaliknya jika seseorang mengetahui jalan dan sebab kebinasaan ia akan selalu mawas diri. Disamping itu ia akan memberitahu orang lain untuk menghindari sebab-sebab dan jalan kebinasaan tersebut.
Hal inilah yang diungkapkan Sahabat Nabi Hudzaifah radhiallahu ‘anhu,
“كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه و سلم عن الخير وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني” (صحيح البخاري برقم (7084) ، وصحيح مسلم برقم (1847).
“Adalah para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tentang hal yang baik-baik saja, namun saya bertanya kepada beliau tentang hal yang jelek, karena takut saya akan terjerumus kedalamnya.” (HR. Bukhari & Muslim).
Sahabat Hudzaifah mengambarkan kepada kita bahwa diantara sebab yang menjerumuskan seseorang kedalam kejelekkan adalah karena tidak tahu akan hal yang jelek itu sendiri.
Hal ini ditegaskan lagi oleh khalifah yang kedua Umar bin khatab radhiallahu ‘anhu dalam ungkapanya,
” إنما تنقض عرى الإسلام عروة عروة إذا نشأ في الإسلام من لا يعرف الجاهلية “.
“Sesungguhnya putusnya tali Islam itu sedikit demi sedikit apabila tumbuh dalam Islam orang yang tidak kenal jahiliyah.”
Karena bila seseorang yang tidak mengetahui kebatilan, ia tidak akan mengingkari kebatilan tersebut. Bila demikian halnya tentu kebatilah itu hari demi hari akan semakin tersebar sehingga akan diangap sebuah kebenaran. Yang pada akhirnya bila ada yang mengingkarinya ia akan dianggap mengingkari kebenaran. Sehingga terjadi penilaian yang amat keliru, yang batil dianggap benar, yang benar dianggap batil.
Gejala ini sudah mulai tampak dalam kehidupan kita, ketika ada perhatian sebagian orang untuk menanggulangi berbagai bentuk penyimpangan moral dalam masyarakat. Datang gerombolan yang menamakan diri pembela hak asasi dan kebebasan. Seoalah-olah yang memiliki kebebasan dan hak asasi adalah orang yang melanggar. Adapun orang yang patuh dan manut kemana hak asasi dan kebebasan mereka? Semestinya yang mendapatkan hukuman adalah orang yang menyimpang, tetapi justru malah mereka yang mendapat pembelaan! Sebaliknya orang yang berjalan diatas kebenaran dianggap tidak berwawasan, tidak toleransi, tidak bisa beda pendapat, fanatik, mau menang sendiri dan seterusnya dari berbagai celaan kepada mereka.
Segala perkara jahiliyah dikubur di bawah telapak kaki Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam, sebagai bentuk peringatan kepada umat Islam untuk tidak menggali kembali perkara-perkara jahiliyah tersebut, apalagi melestarikannya.
Sebagaimana beliau nyatakan dalam sabda beliau,
((ألا كل شيء من أمر الجاهلية تحت قدمي موضوع)) رواه مسلم.
“Katahuilah segala sesuatu dari urusan jahiliah di bawah telapak kakiku terkubur.” (H.R. Muslim)
Berkata syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, ”Sabda Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam, ‘Seluruh perkara-perkara jahiliyah berada dibawah telapak kakiku.’” Termasuk kedalam hal tersebut segala hal yang mereka lakukan dari berbagai macam ibadah dan budaya … seperti hari-hari besar mereka dan lain-lain dari kebiasaan mereka, … tidak termasuk kedalam hal itu budaya mereka yang diakui dalam Islam, seperti manasik dan diyat orang yang terbunuh, dan lain lain. Karena yang difahami dari ungkapan budaya-budaya jahiliyah ialah hal-hal yang tidak diakui oleh Islam, dan termasuk juga kedalamnya, kebiasaan-kebiasaan jahiliyah yang tidak dilarang secara khusus”. (Al Istiqomah:111).
Dalam sabda yang lain beliau tegaskan,
عن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((أبغض الناس إلى الله ثلاثة ملحد في الحرم ومبتغ في الإسلام سنة الجاهلية ومطلب دم امرئ بغير حق ليريق دمه)). رواه مسلم.
“Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, ‘Manusia yang paling dimarahi Allah ada tiga; orang melakukan dosa di tanah haram, orang yang mencari kebiasaan jahiliyah dalam Islam dan orang yang mengincar darah seseorang tanpa hak untuk ia tumpahkan (membunuhnya).’” (HR. Muslim)
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap orang yang berkeinginan melakukan sesuatu dari sunnah jahiliyah termasuk kedalam hadits ini. Sunnah jahiliyah adalah segala kebiasaan (adat-budaya) yang mereka lakukan. Karena sunnah ialah adat yaitu kebiasaan yang berulang agar bisa melingkupi semua orang. Yaitu hah-hal yang mereka anggap ibadah ataupun yang tidak mereka anggap ibadah. Maka barangsiapa yang melakukan sesuatu dari adat-adat mereka, maka sesungguhnya ia telah menginginkan sunnah jahiliyah. Hadits ini umum mewajibkan diharamkannya mengikuti segala sesuatu dari kebiasaan-kebiasaan jahiliyah, dalam hal perayaan hari-hari besar dan juga diluar perayaan hari-hari besar”. (Al Iqthidha’: 76-77).
Beliau ungkapkan lagi pada kitab lain, “Sabda Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam: ‘Yang mencari dalam Islam sunnah jahiliyah,’ termasuk kedalamnya segala kejahiliyahan secara mutlak; agama Yahudi, Nasrani, Majusi, Shaibah, agama penyembah berhala, agama syirik, atau adopsi dari sebagian ajaran-ajaran agama-agama jahiliyah tersebut. Maka seluruh bentuk-bentuk bid’ah dan ajaran yang telah mansukh telah menjadi jahiliyah dengan diutusnya Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam. Sekalipun kalimat jahiliyah lebih dominan penggunaannya kepada orang-orang Arab, maka maknanya sama. (Al-Istiqomah: 78-79).
Di antara bentuk-bentuk budaya jahiliyah yang berhubungan dengan keyakinan:
Sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam sabda beliau,
عن أبي هريرة رضي الله عنه ، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : « لا عدوى ، ولا طيرة ، ولا هامة ، ولا صفر » . أخرجاه
Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Tidak benar (meyakini) penyakit berpindah, tidak benar mempercayai gerak-gerik burung, tidak benar meyakini burung hantu, tidak benar anggapan bulan safar adalah bulan sial.” (HR. Bukhari dan Muslim).
زاد مسلم : ولا نوء ، ولا غول
Dalam riwayat Imam Muslim ada tambahan, “Tidak benar juga meyakini bintang, dan tidak pula mempercayai hantu.”
Dalam untaian sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam diatas ada beberapa kebiasaan orang jahiliyah sebagaimana penjelasan para ulama dalam mengomentari maksud hadits tersebut.
Pertama: Al-’Adwaa yaitu berkeyakinan bahwa suatu penyakit dapat berpindah kepada orang lain dengan sendirinya tanpa ada takdir dari Allah.
Di antara budaya keyakinan orang-orang jahiliyah mempercayai bahwa penyakit dapat berpindah dengan sendirinya kepada orang lain, tanpa ada takdir dari Allah. Hal ini dapat mengurangi atau membatalkan kemurnian tauhid seseorang kepada Allah. Karena yang dapat menimpakan penyakit dan musibah hanya Allah semata.
Sebagaimana Allah nyatakan dalam firman-Nya,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ . لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid : 22- 23) .
Namun, bukan berarti bahwa kita tidak boleh menghindari sebab-sebab yang dapat mencelakakan ataupun yang membahayakan. Tapi ketika dalam melakukan sebab, kita tidak boleh meyakini bahwa sebab itu sendiri dapat menyelamat kita. Jika Allah berkendak, bisa saja Allah berbuat sesuatu pada kita tanpa ada sebab. Berkata sebagian ulama, “Meninggalkan melakukan sebab adalah menyalahi akal sehat, bergantung kepada sebab adalah kesyirikan.”
Contoh: Untuk mendapatkan anak kita harus menikah, namun tidak berarti setiap orang yang menikah mesti mendapatkan anak. Karena ada orang yang beristeri empat tidak punya anak.
Oleh sebab itu dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam katakan,
(لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر وفر من المجذوم كما تفر من الأسد. ( رواه البخاري
“Tidak benar (meyakini) penyakit berpindah (sendiri), tidak benar mempercayai gerak-gerik burung, tidak benar meyakini burung hantu, tidak benar anggapan bulan safar adalah bulan sial, dan hindarilah orang yang berpenyakit kusta sebagaimana kamu menghindar dari singga.” (HR. Bukhari).
Penggalan terakhir dari hadits “dan hindarilah orang yang berpenyakit kusta sebagaimana kamu menghindar dari singga” telah dibuktikan oleh ilmu medis modern akan kebenarannya. Tapi Islam telah jauh lebih maju sebelum ahli medis membuktikannya. Ini merupakan salah satu bukti dari berjuta bukti atas kebenaran Islam dan keagungannya.
Dalam hadits diatas terdapat keterangan tentang hukum mengambil sebab keselamatan dari penyakit menular.
Dalam sabda lain Beliau katakan,
(لا يورد ممرض على مصح. (رواه مسلم
“Jangan campurkan onta yang sakit kedalam onta yang sehat.” (HR. Muslim).
Sebagaian ulama berpendapat bahwa dua koteks diatas tidak saling bertentangan. Konteks pertama ditujukan pada orang yang kuat iman dan tawakalnya pada Allah, terutama bila ada masalah yang lebih besar, seperti petugas kesehatan dan regu penyelamat. Maka hendaknya memantapkan keimanan dan tawakalnya pada Allah jika situasi mengharuskan dia untuk berkorban. Konteks hadits kedua bagi orang yang kurang iman dan tawakalnya pada Allah. Wallahu a’lam. (Lihat Taisiir Al ‘Aziiz, 371-374, Ma’arijul Qabuul, 1/985).
Kedua: At-Thiyarah yaitu menebak apa yang akan terjadi dengan perantara burung. Atau mengundi nasib dengan gerak-gerik binatang seperti burung dan lainnya. Adakalanya disebut (At-Tathayyur) namun maksudnya tetap sama.
Di antara budaya orang-orang jahiliyah adalah apabila mereka akan berpergian atau melakukan sesuatu, ketika keluar dari rumah mereka memperhatikan binatang yang melintas di hadapan mereka. Binatang yang sering mereka jadikan ukuran adalah burung. Jika binatang tersebut melintas dari arah kiri ke kanan mereka, menurut mereka hal itu pertanda perjalanan dan rencananya akan sukses, maka mereka melanjutkan perjalanan dan rencananya. Dan jika binatang tersebut melintas dari arah kanan ke kiri maka ini pertanda sial atau malapetaka akan merintangi mereka. Maka mereka tidak jadi melanjutkan perjalanan dan rencananya. (Lihat Miftah Darus Sa’adah, 2/234).
Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan akal sehat apalagi dengan akidah Islam. Karena binatang tersebut bergerak tanpa pertimbangan akal, dan tidak pula ditugaskan Allah untuk memberitahukan hal-hal yang ghaib kepada manusia. Melakukan atau meninggalkan sebuah perbuatan karena gerak-gerik binatang sebagai ukuran baik dan buruk adalah syirik. Karena telah menggantungkan harapan kepada selain Allah. Hal tersebut hanyalah semata-mata prasangka yang dibisikan setan untuk mejerumuskan manusia kelembah kesyirikan. Maka oleh sebab itu hal tersebut dilarang dalam Islam.
Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam,
عن معاوية بن الحكم السلمي قال قلت ( يا رسول الله إني حديث عهد بجاهلية وقد جاء الله بالإسلام وإن منا رجالا يأتون الكهان قال فلا تأتهم قال ومنا رجال يتطيرون قال ذاك شيء يجدونه في صدورهم فلا يصدنكم ). رواه مسلم.
Dari sahabat Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulamy radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, ‘Ya Rasulullah saya baru saja meninggalkan kejahiliyahan, sesunguhnya Allah telah mendatangkan Islam, dan sebagian kami (pada masa jahiliyah) ada yang mendatangi tukang tenung (dukun).’ Beliau menjawab, ‘Jangan engkau mendatangi mereka’. ‘Dan diantara kami ada yang mengundi nasib dengan burung.’ Beliau menjawab, ‘Yang demikian adalah sesuatu yang terbayang dalam dada kalian, maka janganlah hal itu menghambat kalian (dari melakukan sesuatu).’” (HR. Muslim).
Dalam sabda beliau yang lain disebutkan,
من حديث ابن مسعود مرفوعا : « الطيرة شرك ، الطيرة شرك ، وما منا إلا . . . ولكن الله يذهبه بالتوكل » . رواه أبو داود والترمذي وصححه . وجعل آخره من قول ابن مسعود
Dari sahabat Ibnu Mas’ud secara marfu‘ (langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam), “Mempercayai gerak-gerik burung adalah syirik, mempercayai gerak-gerik burung adalah syirik (beliau mengulanginya dua kali), tiada diantara kita kecuali (pernah terlintas dalam ingatannya), tetapi Allah menghilangkan perasaan itu dengan bertawakal kepada Allah.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmizi, dan At Tirmizi men-shahih-kannya, dan menganggap akhir hadits tersebut dari ungkapan Ibnu Mas’ud).
Dalam dua hadits ini disebutkan bahwa perasaan pesimis yang timbul berdasarkan pada gerak-gerik burung adalah keraguan belaka, dan cara untuk menghilangkan perasaan tersebut adalah dengan bertawakal pada Allah. Karena Allah tidak menjadikan gerak-gerik binatang atau burung sebagai dalil dan tanda-tanda untuk mengetahui hal-hal yang akan terjadi.
Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam lebih senang kepada sikap optimis dari sikap pesimis, sebagaimana sabda Beliau,
عن أنس قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « لا عدوى ، ولا طيرة ، ويعجبني الفأل ” ، قالوا : وما الفأل ؟ قال : الكلمة الطيبة
Dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam telah bersabda, “Tidak benar (meyakini) penyakit berpindah, tidak benar mempercayai gerak-gerik burung, dan aku lebih suka kepada sikap optimis, para sahabat bertanya apa sikap optimis itu? Beliau menjawab: yaitu kalimat yang baik.” (HR. Bukhari dan Muslim).
ولأبي داود بسند صحيح ، عن عقبة بن عامر ، قال : « ذكرت الطيرة عند رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : ” أحسنها الفأل ، ولا ترد مسلما ، فإذا رأى أحدكم ما يكره ، فليقل : اللهم لا يأتي بالحسنات إلا أنت ، ولا يدفع السيئات إلا أنت ، ولا حول ولا قوة إلا بك
Imam Abu Daud meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Seseorang menyebut dihapan Rasulullah tentang mempercayai gerak-gerik burung, beliau menyanggah, yang terbaik adalah sikap optimis, jangan sampai hal itu mengembalikan seorang muslim (dari tujuannya), jika salah seorang kalian melihat sesuatu yang tidak ia senangi, maka hendaklah ia berkata, ‘Ya Allah tiada yang mamapu mendatangkan kebaikan kecuali engkau, dan tiada yang mampu menolak kejelekkan kecuali engkau, tiada daya dan upaya kecuali dengan (pertolongan) engkau.’”
Dalam sabda lain Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam menyebutkan barang siapa yang melakukan ath-thiyarah, maka ia telah melakukan kesyirikan dan sebagai kafarat adalah membaca doa yang beliau sebutkan dalam hadits ini,
عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من ردته الطيرة عن حاجته فقد أشرك قالوا يا رسول الله وما كفارة ذلك قال :
( قال يقول : ” اللهم لا طير إلا طيرك ولا خير إلا خيرك ولا إله غيرك ) رواه أحمد، وصححه الأباني في “إصلاح المساجد”: 116.
Dari sahabat Ibnu Umar ia berkata telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, “Barang siapa yang dikembalikan ath-thiyarah dari keperluannya maka ia telah berbuat syirik.’ Para sahabat bertanya, ‘Apa kafarat untuk itu ya Rasulullah?’ Jawab RasululIah, ‘Ia mengucapkan, “Ya Allah tiada ketentuan nasib kecuali ketentuan Engkau. Dan tiada (yang dapat memberi) kabaikan kecuali Engkau. Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau.”‘ (HR. Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany dalam kitab Islaahul Masajid, 116).
Ketiga: Al-Haamah yaitu meyakini bahwa burung hantu adalah jelmaan dari seseorang yang dibunuh yang tidak dibalas dengan pembunuhan pula.
Diantara budaya keyakinan kaum jahiliyah lagi, barang siapa yang mati terbunuh lalu tidak dibalas dengan pembunuhan juga. Maka ia akan menjadi burung hantu yang senantiasa meminta tolong dan menundukkan wajahnya sampai dibalas atas pembunuhannya. (lihat Al-Bad’u Wattariikh, 2/118-119).
Keyakinan ini mirip dengan reinkarnasi yang diyakini oleh orang-orang Hindu, yaitu bila seseorang mati apabila amalannya baik maka rohnya akan berpindah pada tubuh baru yang lebih baik. Sebaliknya jika amalannya jelek maka rohnya akan berpindah pada tubuh binatang. Tanpa adanya hari berbangkit dan berhisab karena mereka tidak mempercayai adanya hari akhirat. (lihat Al-Bad’u Wattariikh: 4/33, dan Taisiir Al-’Aziiz: 379, Taisiir Al-’Aziiz: 379).
Hal ini banyak pula diyakini oleh orang-orang yang tidak mengerti Islam. Mereka tidak sadar bahwa ini betentangan dengan akidah Islam. Dalam agama Islam seseorang yang sudah meninggal rohnya tidak akan pernah kembali lagi ke dunia, tapi rohnya berada di alam barzah. Keyakinan sebagian orang bahwa adanya orang yang jadi-jadian. Seperti jadi ular, babi, harimau, pocong dan seterusnya. Ini adalah keyakinan yang batil dan kufur. Sebetulnya yang menyerupai mayat atau yang jadi-jadian tersebur adalah qarin orang tersebut. Qarin artinya malaikat atau jin yang senantiasa bersama manusia semasa ia hidup. Setiap manusia memiliki dua qarin; satu dari malaikat dan satu lagi dari jin. Semasa hidup di dunia qarin dari malaikat senantiasa memotifasi manusia kearah yang baik. Qarin dari Jin senantiasa memotifasi ke arah yang buruk. Maka yang menyerupai si mayat atau kadangkala berbentuk binatang adalah qarin dari jin tersebut. Ia dapat menyerupai si mayat dalam bentuk dan suara.
Hal ini disebutkan Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dalam sabdanya,
عن عبدالله بن مسعود قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ما منكم من أحد إلا وقد وكل به قرينه من الجن قالوا وإياك ؟ يا رسول الله قال وإياي إلا أن الله أعانني عليه فأسلم فلا يأمرني إلا بخير)) رواه مسلم.
Dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhuma berkata, “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, ‘Tidak seorang pun diantara kalian kecuali bersamanya ada qarinnya dari Jin.’ Para sahabat bertanya, ‘Engkau juga Rasulullah?’ jawab Rasulullah, ‘Termasuk saya, tetapi Allah telah menolong saya di atasnya, maka saya selamat, maka ia tidak menyuruhku kecuali kepada yang baik.’” (HR. Muslim).
Kata-kata فأسلم dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkannya; ada yang berpendapat bahwa Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam selamat darinya berkat bantuan Allah. Dan sebagian ulama memahaminya bahwa qarin tersebut masuk Islam. Wallahu A’lam.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa qarin itu dua; satu dari Jin dan satu lagi Malaikat,
(وقد وكل به قرينه من الجن وقرينه من الملائكة ( رواه مسلم.
“Dan sesungguhnya bersamanya ada qarin dari Jin dan qarin dari Malaikat.” (HR. Muslim).
Jadi tidak benar anggapan sebagaian orang bahwa orang yang sudah mati bila roh tidak diterima Allah ia akan gentayangan dimuka bumi. Akan tetapi ,roh yang tidak dibukakan pintu langit untuknya akan ditempatkan di sijjiin salah satu bagian alam barzah. Sijjiin adalah tempat roh orang-orang kafir. (lihat Tafsir Ath-Thabary: 24/282, Tafsir Al-Baghawy, dan Tafsir Ibnu Katsir: 3/413).
Adapun roh para syuhada berada dalam perut burung surga, ia makan dan minum dari buah-buahan dan sungai-sungai surga, sampai kembali lagi kepada jasadnya yang asli setelah hari berbangkit tiba.
Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
عن مسروق قال سألنا عبدالله ( هو ابن مسعود ) عن هذه الآية { ولا تحسبن الذين قتلوا في سبيل الله أمواتا بل أحياء عند ربهم يرزقون } قال أما إنا سألنا عن ذلك فقال ( أرواحهم في جوف طير خضر لها قناديل معلقة بالعرش تسرح من الجنة حيث شاءت)) رواه مسلم.
Dari Masruq ia berkata aku bertanya kepada Abullah bin Mas’ud tentang ayat, “Janganlah kalian kira orang-orang yang mati (berjihad) di jalan Allah dalam keadaan mati, tetapi mereka dalam keadaan hidup di beri rezeki di sisi Tuhan mereka”. Ibnu Mas’ud menjawab kami telah menanyakan akan hal itu (pada Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam) beliau bersabda, “Roh-roh mereka dalam perut burung hijau, baginya lentera yang digantungkan dengan ‘Arasy, ia berpergian dalam surga kemana saja ia suka.” (HR. Muslim). (Lihat pembahasan ini pada Majmu’ Al-Fatawa, 4/224, 9/289, Ar-Ruuh, 39, dan Hadiy Al-Arwaah, 17).
Keempat: Shafar yaitu meyakini bulan shafar sebagai bulan sial.
Orang-orang jahiliyah memiliki budaya keyakinan bahwa sebagian hari atau bulan membawa kesialan dan malapetaka. Sebagaimana keyakinan mereka terhadap bulan Shafar dan Syawal. Di bulan tersebut mereka meninggalkan urusan-urusan yang penting atau besar seperti pernikahan, perniagaan dan perjalanan. Keyakinan ini juga ditiru oleh sebagian orang-orang sekarang, seperti meyakini jumat kliwon adalah hari sial dan berbahaya jika pergi ke laut untuk menangkap ikan pada malam tersebut. Begitu pula meyakini hari selasa adalah hari api, maka tidak boleh berpergian pada hari tersebut. Dan masih banyak lagi keyakinan-keyakinan lain yang dihubungkan dengan hari, bulan dan tahun. Seperti keyakinan orang-orang cina dalam menyebut nama-nama tahun. Tahun naga adalah tahun yang kurang menguntungkan, tahun kuda adalah tahun yang menguntungkan dan seterusnya. Hal ini meyakini bahwa ada yang dapat mendatangkan mudharat selain Allah. Pada hal hari dan bulan hanyalah sekedar tempat waktu melakukan aktivitas bagi manusia tidak ada hubungan dengan bencana dan malapetaka, semua itu sesuai dengan kehendak Allah dan ketentuan-Nya kapan ia kehendaki terjadinya sesuatu di muka bumi ini. Tanpa ada campur tangan makhluk sedikitpun dalam mengatur alam jagat raya ini. Siapa yang meyakini seperti kepercayaan orang jahiliyah tersebut di atas maka telah melakukan syirik dalam Tauhid Rububiyah.
Karena kebatilan keyakinan tersebut Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengingkari hal tersebut, sebagaimana terdapat dalam hadits yang sedang kita bicarakan ini.
Kelima: An-Nau’ yaitu mempercayai bintang.
Diantara kebiasaan orang-orang jahiliyah adalah mempercayai bintang-bintang. Bahkan diantara mereka ada yang menyembah bintang. Mereka meyakini ada bintang-bintang tertentu membawa keberkahan dan ada pula bintang-bintang tertentu membawa kesialan dan bencana. Hal ini sangat mendominasi kehidupan oarng-orang jahiliyah. Sebagimana pula masih diyakini oleh sebagian umat kita tentang bintang-bintang kelahiran. Mereka menggantungkan harapan dengan bintang-bintang tersebut sepeti mencari jodoh, menetukan pekerjaan yang cocok, dan seterusnya. Demikian pula halnya orang yang mengkait-kaitkan hari kelahiran presiden dengan musibah yang melanda indonesia. Juga diantara keyakinan mereka bila ada bintang jatuh (meteor) hal itu pertanda adanya orang penting yang lahir atau meninggal.
عن عبدالله بن عباس قال : أخبرني رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم من الأنصار أنهم بينما هم جلوس ليلة مع رسول الله صلى الله عليه و سلم رمي بنجم فاستنار فقال لهم رسول الله صلى الله عليه و سلم ماذا كنتم تقولون في الجاهلية إذا رمي بمثل هذا ؟ قالوا الله ورسوله أعلم كنا نقول ولد الليلة رجل عظيم ومات رجل عظيم فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم فإنها لا يرمى بها لموت أحد ولا لحياته ولكن ربنا تبارك وتعالى اسمه إذا قضى أمرا سبح حملة العرش ثم سبح أهل السماء الذين يلونهم حتى يبلغ التسبيح أهل هذه السماء الدنيا ثم قال الذين يلون حملة العرش لحملة العرش ماذا قال ربكم ؟ فيخبرونهم ماذا قال قال فيستخبر بعض أهل السماوات بعضا حتى يبلغ الخبر هذه السماء الدنيا فتخطف الجن السمع فيقذفون إلى أوليائهم ويرمون به فما جاءوا به على وجهه فهو حق ولكنهم يقرفون فيه ويزيدون.
Dari sahabat Abdullah bin Abbas ia berkata, “Salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dari kaum Anshar menceritakan padaku. Ketika mereka duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam pada suatu malam ada bintang (meteor) jatuh memancarkan cahaya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepada mereka, ‘Apa ucapan kalian dimasa jahiliyah ketika ada lemparan (meteor) seperti ini?’ Mereka menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang tahu, dulu kami katakan, ‘Dilahirkan pada malam ini seorang yang terhormat dan telah mati seorang yang terhormat.’ Lalu Rasulullah menerangkan, ‘Maka sesunguhnya bintang tersebut tidaklah dilemparkan karena kematian seseorang dan tidak pula karena kelahiran seseorang. Akan tetapi Tuhan kita Tabaaraka wata’ala apabila telah memutuskan sebuah perkara, bertasbihlah para malaikat yang membawa ‘Arasy. Kemudian diikuti oleh para malaikat penghuni langit yang di bawah mereka, sampai tasbih itu kepada para malaikat penghuni langit dunia. Kemudian para malaikat yang dibawah para malaikat pembawa ‘Arasy bertanya kepada para malaikat pembawa ‘Arasy, Apa yang dikatakan Tuhan kita? Lalu mereka memberitahu apa yang dikatakan Tuhan mereka. Maka malaikat penghuni langit dunia saling bertanya pula diantara sesama mereka, sehingga sampai berita tersebut ke langit dunia. Maka para Jin berusaha mencuri dengar, lalu mereka sampaikan kepada wali-walinya (tukang sihir). Sehingga mereka dilempar dengan bintang-bintang tersebut. Berita itu mereka bawa dalam bentuk yang utuh yaitu sebenarnya tetapi mereka campur dengan kebohongan dan mereka tambah-tambah”. (HR. Muslim).
Melalui hadits diatas dapat kita ketahui beberapa hal, diantaranya:
1. Menerangkan keyakinan orang-orang jahiliyah terhadap bintang-bintang.
2. Menerangkan kebatilan keyakinan tersebut.
3. Diantara kegunaan bintang adalah untuk mengusir setan/jin yang berusaha mencuri berita-berita langit.
4. Tukang sihir, dukun, peramal dan tukang tenung adalah wali-wali setan/jin.
5. Menerangkan bahwa tukang sihir, dukun, peramal dan tukang tenung tidak mengetahui yang ghaib tetapi atas pemberitahuan setan atau jin.
6. Haramnya mempercayai tukang sihir, dukun, peramal dan tukang tenung.
7. Menerangkan bahwa setan atau jin mencampur berita tersebut dengan kebohongan.
Disamping itu orang-orang jahiliyah juga meminta hujan dengan perantara bintang-bintang. Semua hal tersebut diharamkan bagi setiap muslim karena merupakan kesyirikan yang nyata.
Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
عن زيد بن خالد الجهني أنه قال : صلى لنا رسول الله صلى الله عليه و سلم صلاة الصبح بالحديبية في إثر سماء كانت من الليل فلما انصرف أقبل على الناس فقال ” هل تدرون ماذا قال ربكم ؟ ” قالوا الله ورسوله أعلم قال ” قال أصبح من عبادي مؤمن بي وكافر فأما من قال مطرنا بفضل الله وبرحمته فذلك مؤمن بي كافر بالكوكب وأما من قال مطرنا بنوء كذا وكذا فذلك كافر بي مؤمن بالكوكب “. رؤاه أبو داود، وقال الشيخ الألباني: صحيح.
Dari Zaid bin Khalid Al Juhany ia berkata, “Kami diimami Rasulullah shalat subuh di Hudaibiyah pada bekas hujan yang turun di malam hari. Tatkala Rasulullah selesai, beliau menghadap kepada para jama’ah, lalu bersabda, ‘Tahukah kalian apa yang telah dikatakan Tuhan kalian?’ Para sahabat menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui.’ Kata beliau, ‘Tuhan kalian berkata, ‘Pagi ini di antara hamba-Ku ada yang beriman dengan-Ku dan ada pula yang kafir. Orang yang mengatakan: ‘Kita diturunkan hujan berkat karunia Allah dan rahmat-Nya. Maka orang itu beriman dengan-Ku, kafir dengan bintang.’ Adapun Orang yang mengatakan: ‘Kita diturunkan hujan berkat bintang ini dan ini. Maka orang itu kafir dengan-Ku, beriman dengan bintang.’” (HR. Abu Daud, Syeikh Al-Albani menganggap hadits ini shahih).
Dalam sabda beliau yang lain disebutkan,
عن أبي مالك الأشعري أن النبي صلى الله عليه و سلم قال: ((أربع في أمتي من أمر الجاهلية لا يتركونهن الفخر في الأحساب والطعن في الأنساب والاستسقاء بالنجوم والنياحة)) رواه مسلم
Dari Abu Malik Al Asy’ari bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Ada empat hal di tengah umatku dari perkara jahiliyah, mereka sulit untuk meninggalkannya; berbangga dengan keturunan, mencela keturunan orang lain, minta hujan dengan perantaraan bintang-bintang dan meratapi mayat.” (HR. Muslim).
Dalam hadits ini jelas dinyatakan beberapa kebudayaan jahiliyah diantaranya meminta hujan dengan perantara bintang-bintang. Adapun kebudayaan lain yang disebutkan dalam hadits tersebut akan kita jelaskan secara rinci dalam pembahasan berikutnya pada poin ketujuh, kedelapan dan kesembilan.
Oleh sebab itu disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bahwa siapa yang mempelajari ilmu bintang maka sungguhnya ia mempelajari salah satu cabang dari ilmu sihir,
عن ابن عباس رضي الله عنه قال : قال النبي صلى الله عليه و سلم ” من اقتبس علما من النجوم اقتبس شعبة من السحر زاد ما زاد “. قال الشيخ الألباني : حسن
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu ia berkata: telah bersabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam : “Barang siapa yang mempelajari ilmu nujum, berarti ia telah mempelajari satu cabang dari sihir, senantiasa bertambah selama ia tetap mempelajarinya”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah, menurut Syeikh Al Albany hadits ini hasan).
Yang dimaksud ilmu nujum disini adalah ilmu ramal dengan perantara bintang-bintang. Karena bintang memiliki kegunaan dalam hal lain yaitu sebagai penunjuk arah ketika nelayan di laut atau ketika musafir di tengah gurun pasir.
Sebagaimana Allah katakan dalam kitab suci Alqur’an,
{ وَعَلَامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ} [النحل/16]
“Dan (Dia menciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan) dan dengan bintang-bintang mereka peroleh petunjuk (dimalam hari).”
Imam Qatadah menerangkan, “Tujuan diciptakan bintang-bintang ada tiga; untuk hiasan bagi langit, sebagai penunjuk arah ketika di malam hari, untuk mengusir setan yang mencuri berita-berita langit. Barangsiapa yang melewati selain itu, maka ia telah berdusta, telah menghilangkan bagiannya, dan telah berlebih-lebihan untuk mengetahui sesuatau yang ia tidak memiliki ilmu tentangnya”. (lihat Tafsir At Thabary, 17/185).
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah menerangkan bahwa bintang yang dijadikan untuk pelempar setan tidak sama dengan bintang yang menjadi penunjuk arah bagi pelaut atau bagi orang yang dalam perjalanan di gurun pasir. Karena bintang yang dijadikan pelempar setan pindah dari tempatnya, tetapi bintang yang menjadi penunjuk arah tetap di tempatnya, Sekalipun semuanya disebut bintang. Sebagaimana penamaan hewan dan binatang yang melata termasuk kedalamnya manusia, binatang ternak, serangga dan lain-lain. (Lihat Majmu’ Al Fatwa, 35/168).
Barangkali bintang yang jadi pelempar setan, biasa kita kenal di negeri kita dengan sebutan meteor. Wallahu A’lam.
Keharaman ilmu nujum yaitu ilmu ramal, mempercayai bintang sebagai dalil untuk kejadian-kejadian di bumi tidak diragukan.
Disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
من أتى عرافا فسأله عن شيء لم تقبل له صلاة أربعين ليلة. رواه مسلم
“Barangsiapa yang mendatangi tukang tenung (peramal) untuk menanyakan tentang sesuatau, tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari.” (HR. Muslim).
Tukang ramal atau tukang tenung mencakup setiap orang mengaku mengetahui hal-hal ghaib yang akan terjadi. Termasuk didalamnya; dukun, ahli bintang, peramal dan lain-lain. (lihat Majmu’ Al Fatwa, 35/173).
Yang anehnya ditengah masyarakat kita mereka digelari dengan orang pintar, untuk mengelabui orang-orang awam. Ini sama dengan menamakan maling dengan polisi.
Keenam: Al Ghuul yaitu mempercayai adanya hantu yang dapat menyesatkan dan mencelakakan manusia dalam perjalannya.
Menurut mereka hantu itu muncul dalam bentuk yang berbeda-beda ketika mereka melewati padang pasir lalu menyesatkan dan mencelakakan mereka. Maka Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam menafikan perasangkaan tersebut bukan menafikan keberadaannya. Dimana orang-orang jahiliyah menyakini ia bisa berubah-rubah bentuk dan mencelakakan manusia. Ini termasuk syirik karena takut terhadap sesuatu yang ghaib selain Allah dan mempercayai bisa mendatangkan kemudaratan. (lihat Taisiir Al ‘Aziiz 380, dan Syarah Qashidah Ibnul Qayyim, 2/321).
Oleh sebab itu diantara kebiasaan mereka apabila berhenti atau turun di suatu tempat, mereka mengatakan, “Aku berlindung dari jin penjaga tempat ini dari kenakalan orang-orang bodoh mereka. Maka diantara setan ada yang mencuri barang bawaan mereka. Maka mereka memohon kepada jin di tempat tersebut: kami adalah tetanggamu, maka jin tersebut menyahut dan mengembalikan barang-barang mereka. (lihat Ma’arijul Qabuul, 3/995).
Dalam hal ini Rasulullah mengajarkan kepada kita, jika kita berhenti pada suatau tempat dalam perjalanan hendaklah membaca doa berikut,
((إذا نزل أحدكم منزلا فليقل أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ فإنه لا يضره شيء حتى يرتحل منه)) رواه مسلم
“Apabila salah seorang kalian berhenti pada suatu tempat hendaklah dia membaca: Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan apa yang telah Dia ciptakan. Maka sesungguhnya ia tidak akan diganggu oleh sesuatupun sampai ia meninggalkan tempat tersebut”. (HR. Muslim)
عن أبي مالك الأشعري أن النبي صلى الله عليه و سلم قال: ((أربع في أمتي من أمر الجاهلية لا يتركونهن الفخر في الأحساب والطعن في الأنساب والاستسقاء بالنجوم والنياحة)) رواه مسلم
Dari Abu Malik Al Asy’ary bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Ada empat hal di tengah umatku dari perkara jahiliyah, mereka sulit untuk meninggalkannya; berbangga dengan keturunan, mencela keturunan orang lain, minta hujan dengan perantaraan bintang-bintang dan meratapi mayat”. (HR. Muslim)
Dalam hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di atas ada empat kebiasaan jahiliyah yang amat sulit ditinggalkan oleh sebagian umat ini.
Untuk lebih tertib kita lanjutkan nomor diatas, agar lebih mudah untuk memahaminya dan menghitung kebiasaan orang-orang jahiliah yang bisa dikupas dalam bahasan kita kali ini. Maka nomor urut berikut adalah:
Ketujuh: Membanggakan keturunan.
Diantara kebiasaan orang-orang jahiliyah lagi adalah membanggakan kebaikan dan kelebihan bapak-bapak mereka. Hal ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang mulia ini. Karena ukuran kemulian dalam Islam bukanlah dengan bentuk yang tampan, wajah yang cantik, harta yang banyak, jabatan yang tinggi, gelar yang melingkar, akan tetapi kemulian seseorang diukur dengan ketaqwaan kepada Allah subhanahu wata’ala.
Sebagaimana firman Allah,
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِير} [الحجرات/13]
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti”. (QS. Al-Hujurat : 13)
Agaknya barometer ini sudah mulai semu dalam pandangan sebagian kita, sehingga sebagian kita memacu kemuliaan di luar jalur ketakwaan. Ketika pandangan masyarakat kita mulai keliru dalam menilai, saat itu tujuan dan haluan hidup mereka mulai berputar. Sehingga berbagai penyelewengan terjadi dalam berbagai lini kehidupan kita. Ada orang yang menggapai kemulian dengan kegantengan dan kecantikan sekalipun mempertontonkan aurat di hadapan manusia. Ada pula yang menggapainya dengan harta sekalipun mendapatkannya dengan cara yang haram. Ada pula yang menggapainya dengan pangkat dan jabatan sekalipun memalsukan dokumen dan menyogok disana-sini. Ada lagi yang menggapainya dengan gelar sekalipun dibeli. Na’udzubllah min dzalik.
Mudah-mudahan dengan adanya saling mengingatkan diantara kita, pandangan tersebut dapat diluruskan kembali. Mari kita capai kemulian dengan ketakwaan kepada Allah. Harta bisa mengantarkan kepada ketaqwaan jika dihasilkan dari jalan yang halal dan diinfaqkan pada yang halal. Begitu pula profesi-profesi yang lainnya hendaknya dijadikan sebagai fasilitas untuk mencapai ketakwaan dan keridhaan Allah subhaanahu wata’ala.
Sebagian manusia demi untuk mencari kemulian, ada yang mengaku sebagai keturunan nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dan yang lebih mengkhatirkan lagi adalah apabila pengakuan tersebut menjadi legilitimasi untuk melakukan bid’ah dan kesesatan dalam agama. Sekalipun seseorang tersebut benar-benar dari keturunan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, selama dia tidak benar-benar mengikuti Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Hubungan keturunan tidaklah bernilai disisi Allah.
Hal ini disampaikan oleh nabi dalam sabda beliau,
((ومن بطأ به عمله لم يسرع به نسبه)) رواه مسلم.
“Dan orang yang dilambatkan amalnya, tidak bisa dipercepat oleh hubungan keturunnya”.
Beliau katakan kepada kedua paman dan putri beliau sendiri bahwa beliau tidak bisa memjaga mereka dari azab Allah sedikitpun.
قال النبي صلى الله عليه وسلم : يا عباس بن عبدالمطلب لا أغني عنك من الله شيئا يا صفية عمة رسول الله لا أغني عنك من الله شيئا يا فاطمة بنت رسول الله سليني بما شئت لا أغني عنك من الله شيئا . متفق عليه
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Wahai Abbas bin Abdul Muthalib aku tidak bisa menjagamu dari (adzab) Allah sedikitpun. Wahai Shofiyah bibi Rasulullah aku tidak menjagamu dari (adzab) Allah sedikitpun. Wahai Fathimah binti Rasulullah mintalah harta kepadaku apa saja yang kau mau aku tidak bisa menjagamu dari (adzab) Allah sedikitpun”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh sebab itu, bila seseorang benar-benar dari keturunan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam jangan bergantung kepada hubungan keturunan semata. Tapi hubungan keturunan akan menjadikan lebih mulia bila diiringi dengan amal shalih. Maka keluarga Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dicintai melebihi dari yang lainnya bukan karena hubungan keturunan semata. Namun jika keluarga Nabi tersebut adalah seorang mukmin yang shaleh maka wajib kita cintai melebihi dari yang lainnya karena dua hal; karena ketaqwaanya dan karena hubungan keturunannya dengan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Jadi tidak benar kalau ada sebagian orang menilai bahwa Ahlus Sunnah tidak mencintai keluarga Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Mencintai mereka bukanlah berarti memberikan kedudukan kepada mereka melebihi dari hak yang diberikan Allah kepada mereka. Seperti mengkultuskan mereka dan menganggap mereka maksum dari kesalahan.
Kedelapan: Mencela keturunan orang lain.
Diantara kebiasaan orang-orang jahiliyah lagi suka mencela keturunan orang lain. Barang kali ini akibat dari saling berbangga dengan keturunan. Sehingga untuk membela bahwa keturunnya lebih mulia ia mencela keturunan orang lain. seprti mengingkari keturunan seseorang, atau mengingkari orang yang mengaku sebagai keturunan suku tertentu. Atau menebarkan aib dan kejelekan keturnan seseorang atau suku tertentu. Hal ini semua adalah kebudayaan jahiliyah yang mesti dihindari oleh seorang muslim.
Dimasa sekarang sering terjadi seorang orang tua mengingkari anaknya, maka ini termasuk kedalam larangan hadits ini. Sebaliknya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam juga melarang untuk mengaku sebagai keturunan dari suku tertentu pada hal ia bukan dari mereka. Seperti orang yang mengaku dari keturunan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam pada hal ia bukan dari keturunan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam.
Sebagaimana sabda beliau,
إن من أعظم الفرى أن يدعي الرجل إلى غير أبيه أو يري عينه ما لم تره أو يقول على رسول الله صلى الله عليه وسلم ما لم يقل. رواه البخاري
“Sesungguhnya kebohongan yang amat besar di sisi Allah adalah sesorang yang mengaku kepada selain bapaknya. Atau mengaku matanya melihat apa yang tidak ia lihat. Atau mengatakan terhadap Rasulullah sesuatu yang tidak beliau katakan”. (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lain beliau bersabda,
(( من ادعى إلى غير أبيه وهو يعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام )) متفق عليه
“Barangsiapa yang mengaku kepada selain bapaknya sedangkan ia tau bahwa dia bukan bapaknya, maka diharamkan surga baginya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Kesembilan: Niyahah yaitu meratapi mayat.
Diantara kebudayaan jahiliyah yang lain adalah meratapi mayat. Hal ini diharamkan dalam Islam karena seolah-olah ia menentang keputusan dan ketetapan Allah. Dimasa jahiliyah jika salah seorang dari anggota keluarga mereka meninggal dunia mereka ratapi dengan memukul-mukul muka dan merobek-robek pakaian. Bahkan ada pula yang mengurung diri dirumahnya dan senantiasa berpakaian kumuh sampai akhir hayatnya.
Oleh sebab itu datang ancaman bagi orang yang meratapi mayat di akhir hadits tersebut,
((وقال النائة إذا لم تتب قبل موتها تقام يوم القيامة وعليها سربال من قطران ودرع من جرب)) رواه مسلم
Dan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Wanita yang meratapi mayat bila tidak bertobat sebelum meninggal, ia dibangkitkan pada hari kiamat memakai baju dari timah panas dan mantel dari aspal panas”. (HR. Muslim)
Dalam hadits lain disebutkan,
عن عبد الله رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه و سلم (( ليس منا من لطم الخدود وشق الجيوب ودعا بدعوى الجاهلية)) متفق عليه
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhuma ia berkata, “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, ‘Tidak termasuk golongan kami siapa yang memukul-mukul muka dan merobek-robek baju serta menyeru dengan seruan jahiliyah.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kebiasaan ini masih di tiru oleh sebagian kecil umat ini. Dan yang lebih sesat lagi adalah menjadikan hal tersebut sebagai ibadah yang dapat mendekatkan diri pada Allah. Sebagaimana yang dilakukan oleh orang syi’ah rafidhah pada setiap tahun pada tanggal sepuluh Muharam di Padang Karbala. Ini jelas-jelas suatu penentang nyata kepada ajaran Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.
Ditengah pesatnya kemajuan tegnologi dan informasi sebagian manusia menilai bahwa kemajuan itu dicapai dengan mengabaikan norma-norma agama. Dan ada pula yang beranggapan bahwa agama menjadi penghambat kemajuan, apalagi menjalankan ajaran agama dengan konsekwen dan istiqamah. Kebutuhan ekonomi harus menjadi prioritas utama untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Demi untuk mengeruk income yang besar dari pariwisata kita harus menghidupkan kembali kebiasaan-kebiasaan kuno kita. Serta sekaligus melestarikan segala budaya-budaya kuno, kebiasaan suku asmat yang tidak berpakaian harus dilestariakan, perayaan pemberian sesajian kegunung dan kelaut serta ketempat-tempat yang dianggap angker atau sakti harus senantiasa dilakukan.
Bukankah ini suatu keteledoran dalam berpikir dan beragama, secara akal tindakan ini adalah bertentangan dengan mitos kehidupan bahwa hidup ini arus maju dalam segala segi. Begitu pula ditinjau dari sudut pandang agama tindakan ini sangat bertentangan dengan tugas Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam, karena beliau diutus untuk memerangi segala kejahiliyahan. Gerakan seperti akan merobohkan pondasi tauhid dan tiang-tiang agama, maka dari itu mari kita waspada dan siaga dalam menjaga iman kita. Jangan tertipu dengan berbagai slogan-slogan yang menggiurkan sekaligus menyesatkan. Wallahu A’lam, Washalallahu ‘Ala Nabiyina Muhammad wa “ala alihi washahbihi ajma’iin.
Penulis : DR. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
Artikel http://www.dzikra.com
KASUS JAHILIYAH MODERN
KASUS JAHILIYAH MODERN – Banyak orang menyangka bahwa masa jahiliyyah telah berlalu dan tak akan kembali lagi. Dalam benak mereka, yang disebut jahiliyah adalah paganisme primitif yang dilakukan orang-orang Arab sebelum datangnya Al-Islam.
Pemahaman mereka itu jelas-jelas salah. Paganisme orang-orang Arab hanyalah salah satu bentuk di antara bentuk-bentuk jahiliyah. Yang disebut jahiliyah pada hakekatnya adalah sikap keengganan untuk mengabdi kepada Allah semata, atau sikap penolakan untuk tunduk secara mutlak kepada-Nya. Jahiliyah tersebut, apapun bentuknya, memiliki beberapa ciri yang semuanya tidak lain muncul dari sikap di atas. Ciri pertama adalah pengabdian kepada selain Allah (syirik); ciri ini timbul sebagai akibat yang pasti dari keengganan untuk mengabdi kepada Allah semata. Ciri kedua adalah adanya thaghut, yaitu sesuatu yang diabdi selain Allah. Ciri ketiga adalah kepengikutan kepada hawa hafsu; ciri ini timbul karena hawa nafsulah yang bermain, tatkala manusia terlepas dari sikap tunduk dan mengabdi kepada Allah semata. Ciri keempat adalah tenggelamnya manusia jahiliyah ke dalam lumpur syahwat hewani.
Mari kita lihat masyarakat dunia modern saat ini!
Masyarakat di hampir seluruh dunia, termasuk di daerah yang disebut ‘dunia Islam’ sekarang ini, sedang dalam pengabdian kepada selain Allah (syirik)!, meskipun kadang dalam bentuk yang berbeda dengan kaum paganis arab di zaman Rasulullah sas. Kesyirikan yang paling menonjol dan banyak di puji-puji sekarang ini, baik di Barat maupun di Timur, adalah pengabdian kepada bangsa dan negara (fanatisme kedaerahan) dalam ajaran yang disebut nasionalisme. Pengabdian kepada manusia, baik yang duduk di dewan legistatif, pejabat pemerintah, para hakim, pencetus isme, pemikir maupun para pembesar suku, dalam wujud tunduk serta berhukum kepada undang-undang ciptaan mereka, menganut isme hasil imajinasi mereka atau mengikuti tradisi yang bersumber dari hawa nafsu mereka, adalah kesyirikan besar lain yang dilakukan mayoritas manusia saat ini.
Soal thaghut, tentu saja masyarakat tersebut tidak mungkin berlepas diri darinya, karena ia memang ada bersamaan dengan adanya pengabdian kepada selain Allah. Pengusung nasionalisme adalah thoghut. Pencipta isme pancasila dan undang-undang ‘45 serta orang-orang yang memberlakukannya adalah thaghut. Penyeru demokrasi, komunisme dan kapitalisme adalah thoghut. Para penguasa yang memerintah bukan di atas sistem ilahi adalah thoghut. Para anggota legistatif yang menciptakan undang-undang dari diri mereka adalah thaghut. Para pengawal tradisi jahiliyah adalah thaghut. Aparat penegak hukum jahiliyah juga thoghut. Ringkasnya, seluruh yang diabdi selain Allah, apapun bentuk pengabdian itu, termasuk dalam wujud ditaatinya hukum yang ia ciptakan, adalah thaghut, sama saja berasal dari orang-orang yang terang-terang mengaku kafir, maupun yang ber-KTP Islam atau mengaku-ngaku sebagai bagian dari umat Islam.
Orang-orang yang secara suka rela tunduk dan taat kepada para thoghut itu dalam wujud mengikuti apa yang mereka syari’atkan dan tunduk kepada hukum yang mereka buat disebut sebagai orang-orang musyrik kafir!
Tentang kepengikutan kepada hawa nafsu, tentu saja hal ini tidak akan terlepas sepanjang manusia enggan tunduk dan mengabdi secara mutlak kepada Allah. Kalau kita perhatikan, sepanjang sejarah belum ada pengumbaran hawa nafsu sedahsyat yang terjadi pada abad kita ini. Tidak ada seorang pun yang menyangkal bahwa kerusakan menyeluruh yang sangat parah saat ini, baik di Barat maupun di Timur, tidak lain karena faktor tersebut!
Adapun syahwat hewani, kita saksikan fenomena menjamurnya rumah-rumah pelacuran, seks bebas, pergaulan tanpa batas antara laki-laki dan wanita, dekadensi moral serta kemerosotan akhlak, pornoaksi serta pornografi, romantisme yang menyesatkan, cinta murahan, musik-musik gombal berkedok seni, kesibukan dalam bermain api asmara dan aktivitas-aktivitas syahwati lainnya di kalangan generasi muda, bahkan kadang didapati pada golongan tua. Itu semua adalah pertanda tenggelamnya masyarakat sekarang dalam lumpur nafsu syahwat yang kotor.
Memang, pada asalnya, syahwat merupakan naluri manusia yang memang diperlukan untuk pembangunan dunia, namun ia menjadi senjata yang sangat merusak apabila manusia tidak mengaturnya dengan hukum Allah.
Dari sini dapat kita simpulkan bahwa masyarakat sekarang ini adalah masyarakat jahiliyah, meskipun dalam bentuk yang kurang lebih berbeda dengan jahiliyah Arab sebelum datangnya Al-Islam, bahkan, dalam beberapa kasus, malah persis sama dengannya; pemujaan kepada benda-benda mati: kuburan, pohon, keris, dll, masih bertebaran di sana-sini.
Ada faktor-faktor yang membuat jahiliyah modern saat ini lebih jahat, ganas, kejam dan dahsyat daripada jahiliyah kuno!
Jahiliyah modern didasarkan oleh para pencetusnya atas apa yang mereka sebut ‘teori ilmiah’ yang memukau banyak orang! Darwinisme dan marxisme di antara contoh-contohnya.
Jahiliyah modern dilahirkan dari apa yang disebut sebagai ‘penelitian’, ‘studi’ dan berbagai macam pandangan teori! JIL adalah satu di antara ribuan pelakunya!
Jahiliyah modern timbul dari ‘kemajuan material’ yang sangat pesat, membuat orang takjub dan berbangga-bangga! Pengumbaran hawa nafsu dan syahwat hewani semakin dahsyat seiring majunya teknologi-teknologi canggih!
Jahiliyah modern muncul dengan slogan-slogan yang menyilaukan banyak orang: ‘HAM’, ‘kebebasan’, ‘kemajuan’, ‘perkembangan zaman’, dan ‘peradapan’,
Akibatnya, siapa saja yang tidak menyeburkan diri ke dalam arus jahiliyah modern, dianggap jumud, terbelakang, picik, bahkan malah disebut orang jahiliyah!
Itulah jahiliyah modern! Sungguh merupakan tugas yang maha berat bagi gerakan Islam untuk menghancurkannya!
ISLAM DAN
JAHILIAH
OLEH:
ABUL A’LA MAUDUDI
Terjemahan:
ABU AMRAH
- 2 -Isi Kandungan Muka surat
Perhubungan antara pendirian dan tinndak-laku 5
Masalah-masalah pokok dalam kehidupan manusia 7
Asas-asas akhlaq individu dan masyarakat adalah sama 9
Berbagai penyelesaian bagi masalah-masalah hidup 10
Penyelesaian 1: Al-Jahiliah Al-Mahdah 11
Penyelesaian 2: 16
Penyelesaian 3: 22
Pandangan para rasul tentang manusia dan alam ini 24
Penelitian terhadap pandangan Islam 27
Kesan cara hidup Islam 29
- 3 -Sepatah Kata Dan Penterjemah.
Alhamdulillah Syukur kepada Allah SWT yang telah mengizinkan saya
menyiapkan terjemahan buku kecil ini. Semoga ianya dapat menambahkan
kefahaman para duat khususnya dan umat Islam di Malaysia amnya tentang
perbezaan di antara Islam dan Jahiliah, dan membantu mereka menyampaikan
dakwah Islamiah dengan sejelas-jelasnya.
Terjemahan ini dibuat berdasarkan kepada ceramah Maududi
(rahimahullah) yang telah dialihkan ke dalam bahasa Inggeris iaitu ‘Islam and
Ignorance’. Naskah Arabnya, ‘al Islam wal Jahiliah’ juga telah dirujuk untuk
memastikan penggunaan beberapa istilah yang terdapat di dalam buku ini.
Saya menyedari tentang wujudnya kelemahan dan kekurangan dalam
terjemahan ini, oleh itu nasihat dan teguran ikhlas dari saudara-saudara selslam
sangat-sangatlah diharapkan.
Semoga Allah memberikan ganjaran yang baik kepada sesiapa sahaja
yang telah menghabiskan masa dan tenaganya dalam menyiapkan buku kecil
ini.
Wabilahit taufiq wal Hidayah.
Abu Amrah
Fakulti Kejuruteraan Awam
UTM.
April 1984.
- 4 -ISLAM DAN JAHILIYYAH
(Kertas-kerja ini telah disampaikan dalam suatu perjumpaan pada 23 Feb. 1941,
atas jemputan Majlis Islamiah, di Kolej Islamiah, Peshawar.)
- 5 -PERHUBUNGAN ANTARA PFND1R1AN DAN TINDAK-LAKU
Manusia menghadapi berbagai permasalahan dalam kehidupannya, tetapi
ia tidak dapat menguasai permasalahan-permasalahan tersebut dengan baik
kecuali setelah ia membuat suatu pendirian terhadap tabiat atau keadaan
sebenar permasalahan itu dan hubungannya dengan permasalahan itu. Sama
ada benar atau salah, suatu pendirian mesti dibuat terhadap semua
permasalahan. Selagi pendirian ini belum dibuat, tidak ada seorang manusia
pun boleh membuat keputusan tentang tindak laku yang ia patut ambil terhadap
sesuatu permasalahan. Ini adalah suatu pengalaman yang menjadi sebahagian
dari kehidupan seharian anda. Apabila anda bertemu dengan seseorang, anda
perlu mengetahui: Siapakah dia? Apakah kedudukan dan statusnya dalam
kehidupan? Apakah ciri-ciri peribadinya? Apakah bentuk perhubungan yang
wujud di antara dia dan anda? Anda tidak dapat tentukan bagaimana hendak
mengendalikan perhubungan dengan orang itu tanpa sebarang keterangan
berhubung dengan soalan-soalan tadi. Walaubagaimanapun, anda perlu
membuat suatu pendirian berlandaskan apa yang zahir, dan apa juga tindakan
anda terhadapnya dibatasi serta ditentukan oleh pendirian yang telah dibuat.
Anda makan benda-benda yang menurut pengetahuan atau anggapan anda
ianya mengandungi nilai makanan. Benda-benda yang anda buang atau
gunakan, benda-benda yang anda pelihara, suka atau benci dan benda-benda
yang anda takuti atau sayangi sikap serta pendirian anda yang berbeza-beza
terhadap semua perkara tadi ditentukan oleh pendirian yang anda buat tentang
keadaan semulajadinya, keistimewaan-keistimewaanya dan hubungan anda
dengan perkara-perkara tersebut.
Sama ada sesuai atau tidak tindak-laku anda terhadap perkara-perkara
tadi, bergantung kepada benar atau salahnya pendirian-pendirian yang telah
anda buat terhadap perkara-perkara tersebut. Sah atau salahnya bergantung
kepada sama ada anda telah membuat pendirian berdasarkan pengetahuan,
tekaan, sangkaan atau melalui tinjauan pancaindera. Seorang kanak-kanak kecil
sebagai contoh, melihat api dan melalui tinjauan pancainderanya membuat
suatu tanggapan bahawa ianya suatu mainan yang cantik serta berkilauan.
Tanggapan ini seterusnya mendorongnya kepada tindakan menghulurkan
tangan untuk menyentuh api itu. Seorang lelaki lain melihat api yang sama dan
melalui anggapan atau sangkaannya, ia membuat kesimpulan bahawa api itu
memiiki suatu sifat ketuhanan atau sekurang-kurangnya, ia suatu simbol
ketuhanan. Berdasarkan kepada kesimpulan ini, ia membuat ketetapan
menundukkan kepala menyembah api itu, sebagai tanda perhubungannya
dengan api itu. Orang yang ketiga melihat api itu, dan mula mengkaji keadaan
semulajadi api itu serta sifat-sifatnya. Melalui ilmu pengetahuan serta kajian ia
sampai kepada kesimpulan bahawa api itu boleh memasak, membakar serta
- 6 -memanaskan benda-benda. Selanjutnya ia membuat tanggapan bahawa
perhubungan dengan api itu adalah laksana tuan dan hambanya. Api, menurut
tanggapannya, bukanlah suatu mainan ataupun bersifat ketuhanan. Malahan ia
merupakan suatu benda yang boleh digunakan untuk tujuan memasak,
membakar atau memanaskan, bila-bila masa sahaja keperluan timbul. Kalau
dibandingkan ketiga sikap yang berbeza itu, jelaslah bahawa sikap kanak-kanak
dan si penyembah api itu adalah berdasarkan kejahilan mereka. Pengalaman,
menidakkan tanggapan kanak-kanak tersebut bahawa api itu adalah mainan.
Tanggapan si penyembah api bahawa api itu adalah tuhan atau simbol
ketuhanan adalah berdasarkan kepada sangkaan atau tekaan semata-mata dan
bukan atas dasar apa-apa bukti dan ilmu pengetahuan yang sebenar. Sebaliknya
sikap lelaki yang menganggap api sebagai suatu agen yang berguna untuk
manusia, yang jauh berbeza dari kedua-dua tanggapan di atas, adalah suatu
sikap saintifik kerana ia didasarkan kepada ilmu pengetahuan.
- 7 -MASALAH-MASALAH POKOK DALAM KEHIDUPAN MANUSIA
Pendirian dan sikap manusia terhadap kehidupan duniawi.
Dengan meletakkan landasan ini di dalam pemikiran kita, marilah kita
alihkan pandangan kita daripada perkara-perkara detail kepada perkara-perkara
pokok. Manusia mendapati dirinya hidup di atas muka bumi ini. Ia mempunyai
tubuh badan yang dikurniakan dengan berbagai potensi. Bumi dan langit yang
indah terhampar di hadapannya. Alam semesta ini mengandungi bermacam
jenis benda, dan manusia mempunyai keupayaan untuk memanfaatkan
keseluruhan benda-benda tadi untuk kegunaannya. Ia dikelilingi oleh berjuta-juta manusia-manusia lain, binatang-binatang, tumbuh-tumbuhan serta bahan-bahan galian. Semua ini berkait-rapat dengan kehidupannya. Adakah mungkin
untuk anda fikirkan bahawa seorang manusia itu boleh mengambil suatu bentuk
perhubungan dengan benda-benda tadi, tanpa terlebih dahulu membuat suatu
pendirian tentang dirinya sendiri, tabiat benda-benda di sekelilingnya dan
kedudukan perhubungannya dengan benda-benda tadi? Mungkinkah bagi
seseorang itu mengambil suatu cara hidup tanpa menentukan: Siapakah saya?
Apakah kedudukan saya? Adakah saya seorang yang bertanggungjawab atau
tidak? Adakah saya seorang yang bebas atau tunduk kepada orang lain? Jika
saya tertakluk di bawah seseorang, siapakah tuan saya dan jika saya seorang
yang bertanggungjawab, kepada siapakah tanggungjawab saya itu? Apakah
akan berakhir kewujudan saya di dunia ini? Jika ia akan berakhir, apakah
kesudahannya? Di masa yang sama, bolehkah seseorang itu bercadang
menggunakan kekuasaan yang ada padanya tanpa terlebih dahulu memutuskan
persoalan-persoalan berikut: Adakah kekuasaanya itu miliknya atau
dikurniakan oleh orang lain? Adakah ia akan dipanggil untuk
bertanggungjawab ke atas kuasa yang telah ia gunakan? Adakah penggunaan
kuasa-kuasa yang ada padanya ditentukan oleh dirinya sendiri atau oleh orang
lain? Berdasarkan cara yang sama, adakah mungkin bagi seseorang itu
mengambil suatu bentuk tindakan terhadap benda-benda yang menjadi
sebahagian dari alam sekelilingnya tanpa memastikan bahawa: Adakah dia tuan
kepada benda-benda tadi atau orang lainkah tuannya? Adakah ia berkuasa
penuh ke atas benda-benda tadi atau kekuasaannya terbatas? Jika kuasa yang
ada padanya dibatasi oleh had-had tertentu, siapakah yang membatasinya?
Bolehkah seseorang itu merekai suatu corak tindak-laku terhadap rakan-rakannya tanpa terlebih dahulu membuat pendirian yang tetap tentang apakah
dia ideal-ideal manusia keseluruhannya? Apakah dia asas ketinggian dan
perbezaan di antara sesama manusia? Apakah dia daya-daya pendorong kepada
persahabatan dan permusuhan, kepada ikatan dan perselisihan, serta kepada
tolong-menolong dan tidak bekerjasama? Begitu juga, bolehkah seseorang itu
mengambil suatu sikap terhadap alam semesta ini sebelum ia sampai kepada
- 8 -beberapa kesimpulan muktamad tentang tabiat sistem ‘alam semesta ini dan
kedudukannya sebagai sebahagian daripada sistem ini? Berdasarkan kepada
landasan yang telah saya bincangkan, bolehlah dinyatakan tanpa ragu-ragu lagi
bahawa adalah mustahil untuk seseorang itu mengambil suatu sikap tanpa
terlebih dahulu membuat pendirian tentang semua perkara-perkara ini. Bahkan,
setiap insan yang bernyawa sama ada secara sedar atau tidak, berpegang kepada
pendirian-pendjrjan tertentu terhadap soalan-soalan tentang hidup ini; kerana
tanpa pendirian ini ia tidak dapat berjalan walaupun selangkah dalam alam
semesta ini. Tidak semestinya setiap manusia memikirkan secara falsafah
terhadap setiap perkara setelah membuat kajian yang mendalam. Tidak, bahkan
kebanyakan manusia tidak menghiraukan langsung persoalan-persoalan ini, dan
tidak pula mereka cuba berfikir serta merenung persoalan-persoalan tersebut.
Walaupun begitu, setiap orang ada membuat sesuatu pendirian sama ada positif
atau negatif terhadap semua perkara, dan sikap setiap orang terhadap
kehidupan itu tidak dapat dielakkan daripada ditentukan oleh pendirian yang
telah dibuatnya.
- 9 -ASAS-ASAS AKHLAQ INDIVIDU DAN MASYARAKAT ADALAH SAMA
Oleh kerana kaedah ini berlaku secara tepat bagi kes individu-individu, ia
juga adalah benar bagi perkumpulan-perkumpulan. Persoalan-persoalan ini
adalah masalah asasi bagi kehidupan manusia dan selagi hal-hal yang
berhubung dengannya belum ditentukan sejelas-jelasnya, adalah mustahil untuk
kita rangkakan program untuk perkumpulan politik dan membangunkan suatu
kebudayaan dan tamadun. Tatacara akhlaq sesebuah masyarakat itu akan
memcerminkan rumusan-rumusan yang telah dibuat terhadap persoalan-persoalan penting itu tadi, dan konsep moralitinya akan ditentukan selari
dengannya. Setiap institusi kehidupan akan dimodelkan di atas rumusan-rumusan yang sama, bahkan keseluruhan rangka masyarakat akan dibentuk
oleh rumusan dan kesimpulan ini. Adalah menjadi suatu hakikat bahawa tidak
wujud pandangan yang lain tentang hal ini. Sikap seseorang individu ataupun
sesebuah masyarakat akan ditentukan oleh tabiat rumusan-rumusan yang telah
dicapai dalam menjawab persoalan-persoalan ini. Jika anda mahu, anda boleh
analisiskan sikap seorang individu atau satu masyarakat dan dengan mudah
memastikan apakah rumusan-rumusan tentang persoalan-persoalan asasi
kehidupan yang menjadi daya pendorong kewujudan individu ataupun
masyarakat tadi. Adalah mustahil hagi tabiat individu atau pun akhlaq
masyarakat bercanggah dengan tabiat rumusan-rumusan yang telah dibuat
dalam menjawab persoalan-persoalan ini. Perkataan dan perbuatan mungkin
bercanggah tetapi tabiat jawapan bagi persoalan-persoalan ini yang terpendam
di dalam sanubari seorang insan tidak bertentangan dalam apa jua hal dengan
tabiat akhlaqnya.
- 10 -BERBAGAI PENYELESAIAN BAGI MASALAH-MASALAH HIDUP
Setiap permasalahan pokok dalam kehidupan, yang mana
penyelesaiannya amat diperlukan untuk kewujudan yang aktif bagi umat
manusia, adalah pada hakikatnya berbentuk metafizikal. Jawapan bagi
persoalan-persoalan ini tidak tertulis di ufuk utuk setiap insan yang lahir ke
dunia ini membacanya, dan tidak pula jawapannya jelas dengan tersendirinya
untuk setiap orang memahaminya. Inilah di antara beberapa sebab mengapa
tidak ada satu-satunya penyelesaian yang dapat diterima dan disetujui oleh
semua manusia. Manusia sememangnya mempunyai pendirian-pendirian yang
berbeza terhadap persoalan-persoalan ini, dan pelbagai manusia telah bertemu
dengan berbagai-bagai penyelesaian terhadapnya. Persoalannya sekarang ialah:
apakah penyelesaian-penyelesaian yang pemah wujud terhadap masalah-masalah ini, apakah cara yang telah diambil untuk menyelesaikannya dan
apakah penyelesaian-penyelesaian yang pernah wujud terhadap masalah-masalah ini, apakah cara yang telah diambil untuk menyelesaikannya dan
apakah penyelesaian-penyelesaian yang telah timbul dari cara-cara ini.
Satu jalan untuk menyelesaikan masalah ini ialah dengan bergantung kepada
pancaindera seseorang itu, dan pendirian-pendirian terhadap setiap hal dibuat
berdasarkan kepada pencapaian dan penglihatan indera.
Jalan yang kedua ialah dengan membuat suatu rumusan melalui pencapaian
indera yang dibantu oleh spekulasi.
Alternatif yang ketiga pula ialah dengan meletakkan keyakinan seseorang itu
kepada penyelesaian-penyelesaian terhadap masalah-masalah ini yang telah
dibawa oleh Rasul-rasul Allah, yang mendakwa mereka membawa ilmu
pengetahuan tentang Al Haq.
Setakat ini hanya ketiga-tiga cara di atas telah digunakan untuk sampai
kepada penyelesaian terhadap masalah-masalah ini. Besar kemungkinan inilah
sahaja di antara cara-cara yang boleh digunakan. Dalam setiap kes di atas,
penyelesaian-penyelesaian yang berbeza telah didapati melalui beberapa cara.
Setiap penyelesaian telah menimbulkan suatu sikap tertentu dan suatu corak
akhlaq dan kebudayaan tertentu, yang pada ciri-ciri dasarnya adalah berbeza
sama sekali daripada sikap-sikap yang dihasilkan oleh kategori-kategori
penyelesaian yang lain. Sekarang saya ajukan kepada anda penyelesaian yang
berbeza terhadap masalah-masalah ini yang dicapai melalui cara-cara yang
berlainan, serta sikap yang dihasilkan oleh setiap penyelesaian itu.
- 11 -PENYELESAIAN PERTAMA: AL JAHILIAH AL MAHDHAH
(Jahiliah setulen-tulennya)
Dengan bergantung kepada pancainderanya semata-mata, seseorang itu
akan sampai kepada suatu pendirian berhubung dengan masalah-masalah di
atas melalui cara yang tabi’e bagi sistem berfikir ini, dan terus merumuskan
bahawa keseluruhan sistem alam ini terjadi dengan kebetulan sahaja dan tidak
ada sesuatu sebab atau tujuan di sebalik penciptaan alam ini. Ia telah wujud
dengan tersendirinya; ia berjalan secara automatis; ia akan menemui
kesudahannya tanpa menghasilkan apa-apa natijah. Tidak kelihatan seorang
tuan empunya yang menguasai alam ini. Oleh itu tidak wujud tuan empunya
alam ini, dan jika ada pun hubungannya dengan kehidupan manusia tidak
wujud langsung. Manusia itu hanya satu jenis dari haiwan-haiwan, yang
kelahirannya adalah secara tidak sengaja. Tidak diketahui sama ada yang
mencipta dirinya atau ia dilahirkan dengan tersendirinya. Walau bagaimanapun,
persoalan-persoalan ini tidak ada kaitan dengan perbincangannya. Ia hanya tahu
bahawa manusia itu wujud di atas cakerawala yang dinamakan bumi. Ia
melayani keinginan tertentu dan ada beberapa desakan dalam yang memaksa ia
memenuhi keinginan-keinginan ini.
Manusia itu dibekalkan dengan anggota-anggota yang ia gunakan untuk
memuaskan kehendak-kehendaknya. Di sekelilingnya, terdapat bekalan-bekalan
yang tidak terhingga banyaknya, dan menggunakan anggota-anggotanya
seseorang itu dapat memuaskan diri sepenuhnya dengan benda-benda tadi. Oleh
itu kekuasaan yang ada pada manusia ditujukan semata-mata untuk
memuaskan nafsu and memenuhi kehendak-kehendaknya sebanyak mungkin.
Dunia ini tidak lebih dari suatu talam yang di atasnya terletak barang-barang
rampasan (booty) untuk diambil oleh manusia. Tidak ada kuasa tertinggi yang
akan mempertanggungjawabkannya; tidak ada punca ilmu pengetahuan, dan
tidak ada sumber hidayah yang darinya manusia dapat memperolehi undang-undang untuk mengatur kehidupannya. Oleh itu manusia adalah zat yang boleh
berbuat sewenangwenangnya, dan tidak bertanggungjawab kepada sesiapa pun.
Manusia mempunyai hak untuk membuat undang-undang dan peraturan-peraturannya sendiri, untuk memikirkan cara-cara bagi menggunakan
kekuasaannya dan menentukan tingkah-lakunya terhadap benda-benda yang
wujud di sekelilingnya. Jika manusia itu memerlukan kepada apa-apa petunjuk,
ia patut rujuk kepada undang-undang tentang kehidupan haiwan, kajian-kajian
geologi dan pengalaman sejarahnya. Manusia itu hanya bertanggungjawab
kepada dirinya sendiri atau kepada pihak yang berkuasa yang telah diwujudkan
oleh masyarakat manusia itu sendiri. Kehidupan dunia ini hanyalah satu-satunya kehidupan dan natijah-natijah setiap amalan hanya berlaku di dunia ini
sahaja. Dengan itu keputusan tentang sesuatu itu benar atau salah; bermanfaat
- 12 -atau merbahaya dan sama ada baik atau merosakkan, dan yang mana patut
diambil atau dibuang, didasarkan kepada kesan-kesan amalan yang dihasilkan
di dunia ini sahaja.
Ini adalah suatu ideologi (sistem hidup) yang lengkap, yang menyentuh
masalah-masalah asas dalam kehidupan berdasarkan kepada pencapaian
pancaindera. Di sana terdapat suatu perhubungan logikal dan penyesuaian sejati
di antara setiap arus pemikiran yang terkandung di dalam ideologi ini. Oleh itu
seseorang yang percaya kepada dogma ini boleh mengambil suatu sikap hidup
yang hampir tenang dan konsisten tanpa mempedulikan benar atau salahnya
dogma ini dan sikap yang ia hasilkan itu.
Sekarang marilah kita lihat kepada akhlaq yang diambil oleh seseorang
itu berdasarkan kepada penyelesaian ini.
Akhlaq yang berdasarkan kepada pengalaman indera semata-mata
Suatu natijah yang tidak dapat dielakkan hasil dari titik pandangan ini
dalam kehidupan individu ialah bahawa keseluruhan ruang lingkup akhlaq
manusia mestilah bebas dan kosong daripada sebarang perasaan
tanggungjawab. Manusia akan menganggap dirinya sendiri sebagai yang
berkuasa penuh ke atas badannya dan kekuatan-kekuatan fizikalnya. Oleh itu, ia
akan menggunakan kekuatan-kekuatan fizikalnya dan kualiti-kualiti akal dan
hatinya menurut kehendak nafsu dan ragamnya. Ia akan menganggap bahawa
semua benda-benda dan seluruh manusia yang telah diletakkan di bawahnya
secara kebetulan sebagai barang kepunyaannya dan dirinya scbagai tuan
mereka. Hanya batasan-batasan undang-undang tabi’e dan had-had yang
terpaksa dikenakan oleh kehidupan secara kolektif, yang meletakkan batasan
terhadap kekuasaanya.
Dirinya sendiri akan kosong daripada apa-apa perasaan moral — suatu
perasaan bertanggungjawab dan takutkan penghisaban dan tidak ada kuasa
moral yang akan mengawal tindakan kerasnya. Jika penahan-penahan luar ke
atas tindakan nya tidak ada atau jika ia boleh mengelak dari kawalan-kawalan
ini, kecenderungan tabi’e kepercayaannya akan mendorongnya untuk menjadi
zalim, tidak amanah, kejam dan ganas. Ia mudah dibawa oleh perasaan untuk
mementingkan diri sendiri, menjadi seorang materialis dan seorang yang
bertindak menurut edaran masa. Memuaskan nafsu dan keperluan kebinatangan
akan menjadi matlamat utama kehidupannya. Perkara-perkara yang berfaedah
kepadanya dalam pandangannya hanyalah perkara-perkara yang berfaedah
kepadanya dalam pencapaian matlamat hidupnya itu tadi. Adalah tabi’e dan
logik bahawasanya mereka-mereka yang berpegang kepada dogma ini akan
berkelakuan dan mempunyai keperibadian sedemikian rupa. Walau
- 13 -bagaimanapun, tidak dapat disangkal bahawa kemungkinan wujud individu
yang mempunyai sifat-sifat seperti simpati dan tidak mementingkan diri sendiri
hasil dari pandangannya yang jauh terhadap masa depannya dan juga sifat
expedient yang dipunyainya. Ia mungkin bekerja tanpa mengenal penat lelah
dalam mencapai kebajikan nasional dan kemajuan. Ia mungkin secara
keseluruhannya mempamerkan sedikit perasaan tanggungjawab dan hormat
terhadap prinsip-prinsip moral. Tetapi jika dikaji secara mendalam terhadap
akhlaqnya, anda akan mendapati bahawa setiap “kebaikan” yang kelihatan itu
adalah lanjutan dari motif-motif yang mementingkan diri sendiri dan hawa
nafsunya. Ia melihat kesejahteraan dan kebaikan tanahair atau negaranya dari
kacamata peribadi semata-mata. Ia mencari kebaikan dan kesejahteraan untuk
dirinya melalui pembaikan tanahair dan negaranya. Oleh yang demikian,
mereka hanya boleh digelar sebagai seorang nasionalis sahaja.
Ciri-ciri masyarakat yang didirikan di atas akhlaq ini.
Ciri-ciri yang menonjol bagi sesuatu masyarakat yang dibentuk oleh
individu-individu yang mempunyai akhlaq dan keperibadian yang telah
disebutkan itu adalah seperti berikut:
Prinsip asas dalam siasah ialah bahawasanya hak wewinangan
menentukan sesuatu itu (sovereignty) diberi kepada beberapa orang manusia,
individu, suatu keluarga, suatu kelas atau kepada orang awam. Ideal kolektif
yang paling luhur yang dianggap dapat dilakukan ialah dengan membentuk
suatu komenwel. Negara ini akan diperintah oleh undang-undang buatan
manusia. Setiap undang-undang akan dibuat atau dipinda menurut nafsu dan
pengalaman-penglaman manusia. Polisi-polisi juga akan dirumus dan diubah
mengikut kemahuan atau faedah peribadi. Dalam negara ini, mereka-mereka
yang kuat dan melebihi yang lain dari segi kecerdasan, kepintaran menipu,
berdusta, khianat, sikap tak ambil peduli dan kekejaman akan meningkat
melalui kekuatan. Pimpinan masyarakat dan tampuk kekuasaan akan berada di
dalam tangan manusia-manusia seperti ini. Di dalam perlembagaan mereka akan
termaktub prinsip: “Kekuatan itulah yang benar dan yang lemah itu sentiasa
salah.”
Keseluruhan binaan masyarakat dan peradabannya akan didirikan di atas
dasar mementingkan diri sendiri. Pembenaran (pemissiveness) dalam soal
memenuhi nafsu syahwat seseorang akan bertambah serta meningkat, dan
ukuran moralnya akan dibentuk supaya kebebasan sepenuhnya untuk
memenuhi nafsu syahawat terjamin untuk semua orang. Seni budaya dan sastera
akan dipengaruhi oleh falsafah hidup ini yang mana lama kelamaan akan
menjurus kepada kelucahan dan aliran-aliran pomografi.
- 14 -Dalam bidang ekonomi pula, kadang-kadang kaum pekerja akan
menubuhkan kerajaan diktator proletariat melalui cara kekerasan. Walau
bagaimanapun, keadilan tidak akan menjadi sebahagian daripada system-sistem
ekonomi ini. Akhlaq setiap individu dalam masyarakat ini akan ditetapkan oleh
pegangan asasnya yang mengatakan bahawa dunia ini dan segala kejayaan yang
ada di dalamnya merupakan suatu hasil rampasan perang (booty) dan setiap
manusia bebas untuk mengambil semahunya dan bila masa peluang itu wujud.
Sistem pendidikan yang dirangka untuk melatih serta mendidik ahli-ahli
masyarakat ini akan didasarkan kepada falsafah hidup ini dan mencerminkan
sikap yang sama. Sistem pendidikan ini akan menerapkan di dalam generasi
selanjutnya tentang pandangan yang sama terhadap dunia dan kedudukan
manusia di dalamnya yang telah diterangkan sebelum ini. Dalam setiap bidang
ilmu pengetahuan maklumat serta penerangan akan disusun dan disampaikan
secara sistematik untuk menanamkan di dalam pemikiran generasi baru tentang
teori-teori kehidupan yang sama. Keseluruhan program latihan akan
direkabentuk untuk melahirkan individu-individu yang mengambil sikap yang
sama dalam kehidupan, dan akan diserapkan sepenuhnya ke dalam masyarakat
ini. Saya tidak perlu berkata lebih panjang kepada anda tentang ciri-ciri sistem
pendidikan jenis ini kerana anda sendiri pernah melalui sistem tersebut. Anda
sedang belajar di institusi-institusi yang telah ditubuhkan di bawah sistem yang
sama, sungguhpun mereka mempunyai nama-nama seperti ‘Kolej Islamiah’ atau
‘Universiti Muslim’ dan sebagainya.
Sikap dan pemikiran yang telah saya analisiskan itu muncul daripada
sikap jahiliah setulen-tulennya. Sikap dan pemikiran ini sama dengan keadaan
pemikiran seorang kanak-kanak yang bergantung semata-mata kepada
pandangan inderanya dan menganggap api itu sebagai mainan yang menarik.
Walau bagaimanapun, di sana terdapat suatu perbezaan. Ketidakbenaran
pandangan kanak-kanak itu tadi akan jelas terbukti melalui pengalaman. Api
yang dianggap oleh kanak-kanak itu sebagai barang mainan merupakan suatu
bahan yang panas. Oleh itu apabila dia menyentuhnya dengan tangan, akan
ketaralah bahawa api itu bukan barang mainan. Di sebaliknya pula, dalam kes
yang sebelum ini, pandangan yang salah itu hanya menjadi ketara selepas
berlalunya waktu yang panjang. Sesungguhnya kebanyakan manusia akan
berada dalam kejahilan terhadap kesilapan pandangan dan penglihatannya.
‘Api’ yang dipegang oleh mereka ini mempunyai kepanasan yang rendah. Ia
tidak terbakar dengan serta merta. Ia terus membakar berabad-abad lamanya.
Walau bagaimanapun jika seseorang itu berhasrat untuk belajar dari
pengalaman-pengalaman hariannya ia patut memikirkan kembali bahawa
disebabkan gaya berfikir beginilah, individu-individu sering melakukan
penipuan, pemerintah-pemerintah melakukan penindasan dan kezaliman,
hakim-hakim berlaku tidak adil, yang kaya menginginkan hak-hak orang lain,
- 15 -dan orang-orang biasa menjadi sesat. Sesungguhnya pengalaman hariannya
yang sedemikian rupa, banyak pengajarannya. Lebih dasyat lagi ialah
pengalaman-penglaman seperti api-api nasionalisma, materialisma, peperangan
yang membara dan konfrantasi, serangan-serangan serta kejadian-kejadian hebat
dan keterlaluan yang timbul dan gaya berfikir yang sama, yang mungkin
memaksanya untuk membuat kesimpulan bahawa gaya berfikir ini didasarkan
kepada jahiliah daripada didasarkan kepada pengetahuan yang sebenar tentang
Al Haq (kebenaran). Pandangan manusia terhadap sistem alam dan
kedudukannya dalam alam yang didasarkan di atas dogma jahiliah ini tidak
selaras dengan Al Haq, sebagaimana terbukti jelas dengan natijah-natijah
dahsyat yang lahir darinya.
- 16 -PENYELESAIAN KEDUA
Sekarang marilah kita meneliti jalan penyelesaian kedua. Jalan kedua
untuk menyelesaikan masalah-masalah asasi tentang hidup ini adalah dengan
menggabungkan pandangan dan andaian serta spekulasi, dan merumuskan
pendirian-pendirian tentang masalah-masalah hidup melalui cara-cara ini. Tiga
aliran pemikiran yang berbeza timbul dari jalan ini dan setiap aliran itu
menghasilkan suatu bentuk akhlaq tertentu.
1) SYIRIK
Suatu aliran pemikiran yang percaya bahawa alam ini sudah tentunya
tertakluk di bawah kuasa Tuhan, tetapi di sana bukan hanya ada satu Tuhan,
bahkan banyak. Kekuasaan yang berbeza-beza di alam ini dikendalikan oleh
Tuhan-tuhan yang berbeza. Kemakmuran atau kecelakaan manusia, kejayaan
atau kegagalan, keuntungan atau kerugian bergantung kepada kemurahan hati
atau kemarahan Tuhan-tuhan tadi. Berdasarkan kepada andaian-andaian serta
spekulasi-spekulasi mereka untuk mengenal kuasa-kuasa ketuhanan ini, para
pelopor pendapat ini cuba untuk mengenal-pasti kuasa-kuasa tersebut dan
kepada siapa kuasa tersebut diserahkan. Lantaran itu mereka telah mengambil
benda-benda yang menarik hati mereka sebagai tuhan-tuhan mereka.
Ciri-ciri Akhlaq Musyrik.
Ciri-ciri utama akhlaq manusia yang lahir dari pandangan hidup ini
adalah seperti berikut:
a) Kehidupan yang penuh dengan karut-marut dan tahyul.
Mula-mula sekali, keseluruhan kehidupan manusia menjadi sasaran
kepercayaan karut-marut. Ia percaya bahawa terdapat banyak benda-benda
yang mempengaruhi baik atau buruk nasib seseorang itu melalui cara-cara
ghaib. Ia sampai kepada kesimpulan ini berdasarkan kepada pemikiran subjektif
semata-mata; kepercayaanya tidak disokong oleh mana-mana bukti ilmiah. Oleh
itu, orang yang menumpukan perhatian penuh kepada kepercayaan ini
menghabiskan kebanyakan tenaganya melayani harapan-harapan palsu tentang
untung nasibnya atau melayani perasaan takutkan nasib yang tidak menimpa
dirinya. Kadang-kala, ia memusatkan harapannya kepada setengah-setengah
kubur demi mencapai hasratnya. Ada kalanya ia menaruh kepercayaan bahawa
sesuatu patung berhala itu akan memutarkan roda untung nasibnya kepada
kesudahan yang lebih baik; ada kalanya ia bersusah-payah untuk
menghindarkan kemarahan sesuatu Tuhan khayalannya; ia merasa kecewa
- 17 -tatkala melihat sesuatu perkara buruk; dan ada kalanya ia mula berangan-angan
kosong tatkala kelihatan apa yang ia sangkakan suatu petanda baik.
Kesemuanya ini menyimpangkan segala pemikiran dan usahanya daripada
landasan yang tabi’e kepada suatu landasan yang tidak secocok dengan
fitrahnya.
b) Pusingan-pusingan upacara ibadat yang tiada kesudahannya.
Keduanya. pandangan hidup ini mengakibatkan suatu talian campur-aduk upacara ibadat, penyembahan, persembahan-persembahan, doa-doa serta
upacara-upacara lain; dan terjerat di dalam jaringan yang kompleks ini, menjadi
sia-sialah sebahagian besar daripada usaha-usaha dan aktiviti-aktiviti manusia.
c) Penipuan-penipuan yang dilakukan oleh para penipu.
Ketiganya, para pelopor falsafah syirik dan kepercayaan karut-marut ini
dengan mudah menjadi mangsa kepada tipu muslihat manusia-manusia penipu.
Seorang lelaki mengangkat dirinya sebagai raja dan mendakwa berketurunan
matahari, bulan dan lain-lain ‘Tuhan’. Dengan itu ia membuat manusia percaya
bahawa ia adalah Tuhan dan manusia sekalian adalah hamba-hambanya.
Seorang lagi menjadi penjaga di suatu tempat keramat atau kuil dan mengangkat
dirinya sebagai orang tengah di antara manusia dengan suatu kuasa ghaib yang
menentukan takdir serta untung nasib manusia. Seorang yang lain pula menjadi
seorang ‘Pundit atau Pir’ (orang keramat), dan melalui strategi yang
menggunakan tangkal, jampi-jampi, ilmu sihir dan ilmu silap mata, menipu
orang ramai supaya percaya bahawa melalui cara-cara ghaib inilah setiap
kemahuan mereka dapat diperolehi. Anak-cucu para penipu ini kemudian
membentuk kumpulan-kumpulan keluarga dan kelas-kelas yang turun-temurun
di mana hak-hak, keistimewaan dan pengaruh mereka terus berkembang dan
menjadi kukuh serta berakar-umbi menurut peredaran masa. Oleh itu,
kepercayaan ini meletakkan ke atas leher orang ramai belenggu perhambaan
kepada keluarga-keluarga diraja, petugas agama dan pembimbing-pembimbing
kerohanian. Tuhan-tuhan ciptaan sendiri ini memperhambakan negara yang
penuh dengan “binatang-binatang tenusu” dan “haiwan pengangkut beban”.
d) Kehidupan yang penuh kesalahan dan kesilapan.
Keempatnya, doktrin ini tidak menyediakan asas yang kukuh untuk ilmu
dan seni, falsafah dan sastera serta budaya dan politik, dan manusia tidak juga
menerima dari Tuhan-tuhan bayangan ini apa-apa garis-panduan yang boleh
diikuti dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan manusia dengan Tuhan-tuhan
ini terhad kepada pelaksanaan beberapa upacara penyembahan dengan
matlamat untuk mendapatkan belas-kasihan dan pertolongan dari Tuhan-tuhan
- 18 -ini. Berhubung dengan urusan-urusan hidup, manusia dibiarkan kepada dirinya
sendiri untuk merangkakan undang-undang, peraturan-peraturan dan tatacara
akhlaq mereka.
Oleh itu sesuatu masyarakat yang percaya akan banyaknya Tuhan, pada
hakikatnya mengikut jalan-jalan yang sama yang telah saya terangkan sebelum
ini berhubung dengan masyarakat yang dipimpin oleh suatu kepercayaan
jahiliah semata-mata. Peraturan-peraturan moral, tatacara akhlaq, kebudayaan
politik, sistem ekonomi, ilmu pengetahuan dan sastera adalah lebih kurang sama
bagi kedua-dua masyarakat tersebut. Oleh itu tidak ada perbezaan pada
prinsipnya di antara kedua-dua doktrin tersebut.
2) AL-RUHBANIYYAH (Cara hidup rahib-rahib)
Doktrin kedua yang dihasilkan dengan menggabungkan penglihatan dan
andaian serta spekulasi menetapkan bahawa dunia ini adalah tempat penyiksaan
dan kewujudan fizikal sering dikenakan dengan kesakitan dan kesengsaraan.
Roh itu dipenjarakan di dalam badan manusia laksana tawaran yang terkutuk.
Segala perasaan keseronokan, keinginan-keinginan dan keperluan-keperluan
fizikal yang merupakan natijah-natijah tabi’e kewujudan di dunia ini adalah
pada hakikatnya belenggu-belenggu dan rantai-rantai yang mengikat manusia.
Dengan bertambahnya keinginan manusia terhadap dunia dan segala isinya,
akan bertambah ketatlah ikatan rantai-rantai ini, dan suatu siksaan yang amat
dasyat akan menimpanya. Kejayaan dan keselamatan bergantung kepada
keupayaan meninggalkan semua hubungan dengan urusan-urusan duniawi,
menahan segala keinginan, menjauhkan diri dari segala keseronokan,
menidakkan kesemua keperluan-keperluan fizikal dan kehendak-kehendak
hawa nafsu, membersihkan hati dan segala perasaan kasih sayang yang lahir
daripada pertalian darah daging dan meletakkan musuh ini (iaitu tubuh badan
dan hawa nafsu) menjalani satu ujian penyiksaan dan kepayahan yang hebat
supaya roh itu dibebaskan dari kuasa pengaruh tubuh badan. Dengan cara ini,
roh itu akan menjadi ringan serta murni dan akan mendapat kekuatan yang
diperlukan untuk terbang tinggi ke tingkat ‘Nirwana’ sehingga sampai ke
puncak kejayaan yang menguntungkan.
Kesan-kesan cara hidup Ruhbaniah
Ciri-ciri utama akhlaq yang dihasilkan oleh doktrin ini ialah:
- 19 -a) Individualisma sebagai ganti hidup secara kolektif.
Pada mulanya, doktrin ini menukarkan kesemua cenderungan manusia:
dari hidup secara kolektif (collectivism) kepada individualisma, dan daripada
hidup berbudaya kepada hidup dalam kekeliruan. Manusia memalingkan
mukanya dari kehidupan dunia dan lari daripada segala tanggungjawab. Sikap
tidak mahu bekerjasama serta meninggalkan segala hubungan peribadi menjadi
ciri utama kehidupannya. Singkatnya, ia mengambil nilai-nilai moral negatif.
b) Manusia-manusia yang baik menjadi orang-orang pertapaan.
Keduanya, doktrin mi mendorong manusia-manusia yang baik
meninggalkan kehidupan duniawi dan pergi mengasingkan din untuk
mendapat kejayaan. Ini membuka jalan kepada manusia-manusia zalim untuk
mengambil alih tampuk pemerintahan dalam setiap urusan duniawi.
c) ‘Makanan yang mudah’ untuk setiap penzalim.
Ketiganya, dengan terserapnya doktrin ini ke dalam masyarakat, orang
ramai akan mula mengambil nilai-nilai moral yang negatif. Mereka akan
mempamerkan kecenderungan-kecenderungan yang tidak sosial dan
individualistik, dan menjadi orang-orang yang tidak siuman. Daya-daya kreatif
mereka akan menjadi lemah. Mereka menjadi ‘makanan-makanan yang lembut’
kepada penzalim-penzalim dan menjadi mudah bagi setiap kerajaan yang zalim
untuk memaksa mereka memberikan ketaatan. Bahkan, doktrin ini bekerja
laksana ilmu sihir dalam menjinakkan orang-orang awam untuk menjadi hamba-hamba yang rela kepada penzalim-penzalim.
d) Pertentangan dengan tabiat manusia.
Keempatnya, suatu pertentangan sengit yang benterusan berlaku di
antara tabiat manusia dan doktrin ruhbaniah ini, yang mana doktrin ruhbaniah
terpaksa menyerah diri. Apabila ia menerima halangan, doktrin ruhbaniah ini
berselindung di sebalik kepura-puraan. Sebagai akibatnya, upacara ‘Penebusan
Dosa’ (Penance) diadakan; strategi ‘Cinta Kiasan’ (Allegorical Love) digunakan
dan akhirnya, berselindug di sebalik konsep menidakkan sesuatu (renuciation).
Para pelopor kepercayaan ini menunjukkan suatu bentuk kecintaan terhadap
dunia ini yang boleh memalukan mereka-mereka yang sangat cintakan dunia ini.
- 20 -3) AL WUJUDIAH (Kepercayaan semuanya Tuhan)
Pandangan yang ketiga yang lahir dari penggabungan penglihatan dan
andaian menganggap bahawa manusia dan alam ini tidak benar (unreal).
Mereka tidak mempunyai kewujudan sebenar secara tensendirinya. Bahkan, di
sana ada suatu Zat yang menciptakan kesemua benda-benda tadi sebagai bukti
yang jelas tentang kewujudan dirinya dan Zat yang sama itu bekerja dalam din
mereka. Jika kita pergi kepada perinciannya, kita akan dapati banyak cabang-cabang dan aspek-aspek yang berbagai rupa tentang doktrin ini. Walau
bagaimanapun, ada suatu jalan pemikiran yang sama bagi setiap cabang tersebut
iaitu: setiap benda adalah bayang-bayang kepada suatu Zat; hanya Zat ini yang
wujud, yang lain semuanya khayalan (illusory).
Doktrin ini menanam dalam din manusia sikap meragui kebenaran
kewujudannya sendiri; ia hilang segala inisiatif; ia menganggap dirinya hanya
sebagai patung yang bertindak atas arahan orang lain atau kemungkinan suatu
kuasa ghaib bertindak di dalamnya. Dalam keadaan mabuk dengan khayalan-khayalannya, ia lupa akan dirinya sendiri; hidupnya tidak berkemudi dan tidak
mempunyai landasan atau tujuan yang tetap. Aliran pemikirannya adalah
seperti ini: aku hanya suatu bayang-bayang, tidak ada kerja yang telah di
tugaskan kepadaku; dan aku tidak dapat membuat sesuatu dengan sendirinya.
Zat yang menyerap ke dalam setiap sesuatu itu, yang telah menjadikan
keseluruhan alam sebagai bayang-bayang melalui diriku, dan yang akan
berkuasa penuh dari awal hingga berakhirnya dunia ini adalah Penggerak setiap
sesuatu. Segala-galanya terlaksana hanya oleh Zat itu. Jika Zat itu berusaha ke
arah kesermpurnaan dan menuju ke arah puncaknya dengan mermbawa seluruh
alarm ini dalam perjalanannya, aku sebagai bayang-bayang, akan bergerak
bersamanya secara automatis. Aku hanya satu bahagian sahaja; bukanlah
tanggungjawab aku untuk mengetahui ke mana seluruhnya bergerak atau ke
mana id berhajat untuk pergi.
Natijah-natijah praktikal ini lebih kurang sama dengan apa yang telah
saya terangkan ketika membincangkan Doktrin Ruhbaniah. Dalam sudut-sudut
tertentu sikap para penganut kepercayaan ini adalah sama dengan para pelopor
Doktrin Jahiliah. Orang yang mempercayai bahawa dirinya hanya bayang-bayang tunduk kepada hawa nafsunya; ia memberikan hawa nafsunya
kebebasan untuk bertindak dan tidak memperdulikan arah mana mereka ambil,
kerana menurut pemikirannya, hanya benda (substance) yang menjadi
penggerak utama kepada hawa nafsunya, manakala beliau sendiri hanyalah
suatu patung.
- 21 -Ketiga-tiga konsep ini, seperti yang pertama dahulu, adalah berdasarkan
Jahiliah, dan bentuk akhlaq manusia yang lahir dari konsep-konsep ini juga
bercirikan Jahiliah setulen-tulennya. Tidak ada satu pun di antara konsep-konsep di atas yang dikuatkan dengan bukti-bukti ilmiah. Bahkan, pelbagai
konsep telah direkabentuk berasaskan khayalan dan andaian. Pengalaman telah
menidakkan konsep-konsep ini. Jika salah satu dari doktrin-doktrin ini benar,
pelaksanaanya sudah tentu tidak menghasilkan natijah-natijah yang buruk. Jika
kamu lihat sesuatu itu menyebabkan rasa sakit dalam perut, bila dan di mana
sahaja ia dimakan, kamu akan membuat kesimpulan yang benar dan percubaan
mi bahawa benda mi tidak selaras dengan anatomi dan tabiat sistem
penghadaman makanan manusia. Dengan cara yang sama. apabila telah menjadi
fakta yang sah bahawa doktrin-doktrin syirik, ruhbaniah dan wujudiah telah
banyak menyebabkan kerosakkan manusia pada keseluruhannya, ia merupakan
bukti yang positif bahawa tidak ada satu pun dari doktrin-doktrin fakta ini juga,
kesemuanya tidak sah.
- 22 -PENYELESAIAN KElIGA: AL ISLAM
Sekarang marilah kita pergi kepada jalan yang ketiga yang menjadi jalan
yang terakhir dalam membentuk sesuatu pandangan tentang masalah-masalah
asas kehidupan manusia. Jalan ini ialah dengan meletakkan keyakinan kita
kepada penyelesaian yang telah dibawa oleh Rasul-rasul Allah. Hal ini dapat
dijelaskan dengan mengambil contoh seorang lelaki yang mendapati dirinya
berada di suatu tempat yang asing. Ia tidak mempunyai pengetahuan tentang
tempat itu langsung. Ia meminta keterangan dari seorang lelaki dan pergi ke
merata tempat di situ di bawah bimbingan lelaki tersebut. Apabila anda
berdepan dengan sesuatu masalah seumpama ini, usaha pertama yang anda
akan buat ialah mencari seorang yang mendakwa ia tahu jalan selanjutnya.
Urusan anda yang kedua ialah untuk menaruh keyakinan tentang kebolehan si
penunjuk jalan tersebut berdasarkan bukti-bukti yang ada. Akhir sekali, dengan
mengambil ia sebagai penunjuk jalan, anda terus memulakan penjalanan.
Apabila telah terbukti melalui pengalaman bahawa keterangan yang diberikan
olehnya tidak menyesatkan anda, anda akan merasa yakin keterangan yang ia
berikan tentang tempat itu adalah benar. Ini adalah satu metod yang saintifik.
Apabila tidak terdapat metod saintifik yang lain, sudah pasti metod ini sahaja
yang benar dalam membentuk pandangan seseorang itu.
Lihatlah sekarang! Dunia ini menjadi tempat yang asing bagi anda. Anda
tidak mempunyai pengetahuan tentang hakikat yang sebenar. Anda tidak tahu
bagaimana dunia ini diuruskan? Anda tidak sedar di bawah peraturan apakah
‘bengkel’ yang besar ini dikelolakan. Apakah kedudukan anda di dunia ini? Dan
apakah sikap sebenar yang anda patut ambil terhadap dunia ini? Inilah soalan-soalan yang menjadi tandatanya kita. Pada mulanya anda berpendapat bahawa
apa yang dilihat adalah benar-benar wujud (real). Lalu anda bertindak menurut
pandangan tadi, tetapi hasilnya adalah suatu kegagalan. Selanjutnya, anda
membentuk berbagai pendapat berdasarkan kepada andaian serta sangkaan dan
bertindak menurut pendapat tadi’, tetapi pengalaman anda setiap kali adalah
negatif. Selepas kesemua ini, jalan terakhir yang tinggal untuk mendapat
petunjuk sebenar ialah dengan mengalihkan pandangan kepada Rasul-rasul
Allah. Para Rasul mendakwa bahawa mereka mempunyai ilmu pengetahuan
yang sahih. Setelah suatu penelitian yang dalam dibuat terhadap cara-cara
kehidupan mereka, ternyata mereka itu sangat benar, amanah, alim, tidak
mementingkan diri sendiri dan berfikiran waras tanpa sebarang keraguan.
Ternyata sekali bahawa di sana wujud asas yang kuat untuk mempercayai
kebenaran dakwaan mereka. Walau bagaimanapun, yang masih perlu
ditentukan ialah sejauh mana keterangan berhubung dengan dunia ini dan
kedudukan manusia di dalamnya itu benar dan samada wujud apa-apa bukti
yang praktikal yang boleh menidakkan dakwaan mereka? Seterusnya, sejauh
- 23 -manakah keterangan yang mereka berikan berjaya di dalam pengalaman sehari-hari? Jika selepas suatu pemeriksaan yang teliti, natijah daripada penelitian-penelitjan ini condong kepada pengiktirafan kebenaran para Rasul, kita
sepatutnya meletakkan kepercayaan kepada petunjuk mereka dan hanya
mengambil jalan hidup yang selaras dengan ajaran-ajaran mereka.
Seperti yang telah saya katakan dahulu, berbeza sekali dengan metod-metod lain yang berdasarkan Jahiliah, asas metod ini adalah saintifik. Jika
seorang lelaki menundukkan kepalanya bersetuju dengan ilmu pengetahuan ini,
dan ia buangkan kedegilan serta kesombongannya dan beramal menurut ilmu
pengetahuan ini, dan jika ia hadkan tindakan-tindakan dalam sempadan-sempadan yang telah ditetapkan oleh ilmu pengetahuan tadi, maka inilah yang
dinamakan sebagai tarikul-Isiami, yakni metod Islam.
- 24 – PANDANGAN PARA RASUL TENTANG MANUSIA DAN ALAM INI
Para Rasul berpegang kepada konsep-konsep. berikut tentang manusia dan áiam
semesta ini:
Hak wewinangan melakukan sesuatu terletak di tangan Allah.
Seluruh alam yang terhampar di hadapan manusia, yang ia sendiri
merupakan sebahagian darinya, bukanlah suatu fenomena yang berlaku secara
kebetulan. Ia merupakan suatu wilayah besar yang tersusun dan terurus dengan
baik. Allah swt. telah menciptakan alam ini. Ia sahajalah Tuan empunya dan
Pemerintahnya. Alam ini adalah suatu nidzam muhaimin (totalitarian system) di
mana seluruh kekuasaan terletak di bawah satu sultah markaziah (central
authority). Tidak ada sesiapa pun yang berkongsi dengan Kuasa tertinggi ini di
dalam pemerintahannya. Tidak ada suatu apa pun dalam alam ini yang
mengingkari perintahnya atau bertindak secara bersendirian tanpa
kebenarannya. Tidak ada suatu bahagian dari sistem yang meliputi segala-galanya ini yang dapat mencapai autonomi atau bertindak tanpa perasaan
tanggungjawab; dan memang pada tabi’enya ia tidak sepatutnya berbuat
demikian.
Pengabdian Manusia.
Manusia adalah hamba bagi mamlakah rabbaniyah ini. Ia tidak diangkat
menjadi hamba mamlakah (kingdom) ini dalam bentuk fizikalnya, bahkan ia
dilahirkan sebagai hamba dan tidak ada padanya kekuasaan untuk memegang
apa-apa kedudukan lain selain daripada seorang hamba. Oleh itu, manusia tidak
mempunyai hak untuk membuat sesuatu cara hidup atau untuk menentukan
tanggungjawab-tanggungjawabnya. Manusia tidak memiiki suatu apa pun
dalam dunia ini dan ia tidak berhak mencipta undang-undang untuk
menggunakan hartabenda yang bukan hakmiliknya. Tubuh badan manusia dan
setiap kekuasaannya adalah milik Allah dan pemberianNya. Oleh itu, hak untuk
menggunakan badannya atau kekuatan fizikalnya menurut kehendaknya tidak
dimiliki oleh manusia. Malah, ia sepatutnya menggunakan pemberian-pemberian Tuhan ini menurut kehendak Yang Maha Perkasa.
Samalah juga keadaannya bagi setiap benda seperti tanah, haiwan, air,
tanam-tanaman, bahan-bahan galian, yang menjadi alam sekeliling manusia,
adalah hakmilik Allah SWT. Mereka tidak dimiliki oleh manusia. Oleh itu ia
tidak berhak untuk mengambil benda-benda ini menurut peraturan-peraturan
yang telah ditentukan oleh Pemilik sebenarnya.
- 25 -Begitu juga setiap manusia yang menduduki bumi ini, di mana kehidupan
mereka terikat di antara satu sama lain, adalah hamba-hamba Allah juga. Oleh
itu, mereka tidak berhak untuk membentuk undang-undang dan peraturan-peraturan untuk mengatur hubungan di antara mereka. Setiap perhubungan
mereka mestilah diperintah oleh undang-undang ciptaan Tuhan.
Berhubung dengan persoalan ‘apakah undang-undang Tuhan’ itu, para
Rasul a.s. telah memberitahu kita bahawa sumber yang sama yang kita terima
ilmu pengetahuan tentang hakikat dunia ini dan diri-diri kita daripadanya, telah
menyampaikan kepada mereka ilmu pengetahuan tentang undang-undang
Rabbani. ‘Allah SWT sendiri telah mewahyukan ilmu pengetahuan ini kepada
kami dan mengangkat kami (sebagai RasulNya) untuk menyampaikannya
kepada kamu. Percayalah kepada kami; kenalilah kami sebagai perutusan Malik
kamu dan terimalah daripada kami undang-undang yang sebenar daripada
Malikmu.’
Batas-Batas ‘Amal
Para Rasul a.s. selanjutnya menerangkan kepada kita: “Kamu lihat
bahawa seluruh urusan alam ini berjalan menurut suatu sistem; padahal
Maliknya tidak kelihatan, dan tidak pula kita lihat pekerja-pekerjanya bekerja.
Kamu merasa bebas untuk bertindak sesuka hatimu; kamu boleh berkelakuan
seolah-olah kamu pemilik sebenar harta-benda kamu; kamu boleh tunduk
memperhambakan dari dan taat kepada mereka-mereka yang berlagak sebagai
Tuan; Kamu terima rezeki dalam apa keadaan pun; kamu diberi peluang dan
jalan untuk bekerja; mengingkari undang-undang Ilahi tidak mendatangkan
hukuman dengan serta-merta. Semuanya ini bertujuan untuk menguji kamu.
Tuan kamu (yakni Allah SWT) telah memberi kamu kebijaksanaan, keupayaan
membuat rumusan dan berkebolehan untuk memilih di antara yang benar atau
salah. Oleh sebab itu, Tuan kamu telah mencampakkan hijab di antara ZatNya,
sistem kerajaanNya dari mata kamu. Ia mahu kamu menjalani suatu ujian dan
melihat bagaimana kamu menggunakan kekuasaan yang dikurnianya kepada
kamu. Ia telah memberkati kamu dengan aqal, kebebasan memilih, serta sedikit
autonomi dan membiarkan kamu bertindak menurut kemahuan kamu. Jika
kamu sedar akan kedudukan kamu selaku hamba dan mengambil jalan ini
dengan hati yang terbuka tanpa paksaan, kamu akan keluar dengan kejayaan
dan ujian Tuanmu. Jika kamu gagal mengenali kedudukan kamu selaku hamba
Allah atau setelah mengenal kedudukan kamu selaku hamba, kamu mengikut
jalan pemberontakan, kamu akan gagal di dalam ujian ini. Kamu telah diberi
sedikit kekuasaan di dunia ini untuk tujuan meletakkan kamu di bawah suatu
ujian. Kamu telah diberi hak mengawal dan memerintah ke atas banyak perkara
di dunia ini dan telah diberi seumur hidupmu untuk membuktikan nilai dan
hargamu”.
- 26 -Dunia Adalah Tempat Ujian.
Para Rasul a.s. kemudiannya memberitahu kita bahawa kehidupan
duniawi ini adalah suatu jangka masa ujian; dengan itu tidak ada penghisaban
dan tidak pula ganjaran baik atau hukuman diberi di dunia ini (l). Apa-apa yang
diberi di sini tidak semestinya suatu balasan bagi sesuatu kebaikan; ia juga tidak
menandakan bahawa Tuhan redha dengan kamu atau Ia bersetuju dengan amal
perbuatan kamu sekarang. Semuanya ini pada hakikatnya, diberikan kepada
kamu sebagai suatu ujian. Barang-barang, harta-benda, anak-anak, pangkat dan
kedudukan dalam kerajaan, sumber nafkah hidup, semuanya adalah
dikurniakan kepada kamu untuk menguji amal perbuatan kamu dan untuk
membolehkan kamu menggunakan qualiti-qualiti baik atau buruk kamu. Setiap
kesusahan, kehilangan dan malapetaka yang menimpa kamu juga tidak
menandakan datangnya hukuman Tuhan ke atas kamu disebabkan sesuatu
perbuatan buruk. Sebahagian dari musibah-musibah ini adalah daripada
fenomena tabi’e tertentu (2) Dan sebahagian dari kesusahan-kesusahan ini
termasuk di bawah kategori ujian-ujian. (3) Dan setengah nasib malang berlaku
apabila seseorang itu berkelakuan menurut pandangan yang bercanggah dengan
Al Haq. Dalam hal sedemikian rupa, seseorang itu mengalami kejutan kasar
yang tidak dapat dielakkan (4).
Walaubagaimanapun, dunia ini bukan Tempat Balasan Baik atau
Hukuman, tetapi ia adalah ‘Tempat Ujian’, Natijah-natijah amalan yang timbul
di dunia ini tidak boleh diambil sebagai asas untuk menentukan sama ada
sesuatu metod atau ‘amal itu ‘adil, kejam, baik atau buruk dan sama ada haram
atau halal. Natijah amalan duniawi yang akan ditetapkan kedudukannya di
akhirat kelak akan menjadi asas sebenar sesuatu penilaian. Apabila tempoh
tangguhan (kehidupan dunia ini) berakhir, kehidupan yang kedua akan bermula
di mana segala amalan kamu akan dinilai dan keputusan akan diberi sama ada
kamu menghabiskan masa dengan baik atau dengan cara yang keji dan hina
ketika hidup di dunia ini. Satu-satunya asas yang dengannya kamu diputuskan
sama ada bersalah atau tidak di akhirat kelak, adalah:
• Pertamanya, sama ada kamu telah menggunakan fakulti-fakulti
penglihatan dan berfikir menurut jalan yang benar dan mengaku akan
Uluhiah Allah swt. dan kesucian Perintah-perintahnya;
• Keduanya, sama ada kamu setelah membuat pengakuan terhadap
kebenaran di atas, di samping mempunyai kebebasan memiih, tunduk
kepada Allah swt yang Maha Agung dan beramal menurut Perintah-perintahNya tanpa sebarang paksaan dan di atas kehendakmu sendiri.
- 27 -PENELITIAN TERHADAP PANDANGAN ISLAM
Suatu Konsep yang saintifik.
Konsep terhadap dunia dan manusia yang disampaikan oleh para Rasul
adalah lengkap dan sempurna. Setiap bahagian pandangan yang menyeluruh itu
tersusun secara logikal; tidak terdapat pertentangan di dalamnya. Ia
mengandungi intepretasi yang paling sempurna terhadap peristiwa-peristiwa
seluruh dunia dan menjelaskan sepenuhnya segala fenomena alam ini. Tidak ada
sesuatu pun yang berhubung dengan penglihatan atau pengalaman manusia
yang tidak dapat diberi intepretasi menurut konsep ini. Oleh itu ianya adalah
suatu doktrin saintifik dan ia adalah sah menurut setiap definisi perkataan
‘saintifik’. Lagi sekali ditegaskan, tidak ada penglihatan atau pengalaman yang
telah menidakkan sahnya doktrin ini. Oleh itu ia tetap benar. Ia tidak dapat
digolongkan di dalam kumpulan metos yang dibuktikan salah. (exploded
myths) (5). Penelitian kita terhadap sistem alam ini juga menjadikan pandangan
ini kelihatan sebagai yang paling besar kemungkinan kebenarannya. Fenomena
alam yang tersusun hebatnya ini memaksa kita merumuskan bahawa adalah
lebih rasional untuk kita mengimani kewujudan suatu Pentakbir Yang Agung,
daripada kita menidakkan kewujudannya. Di atas bukti yang sama juga, adalah
lebih munasabah untuk kita membuat kesimpulan bahawa ianya suatu nidzam
markazi (a centralised system) dan satu Pemerintah Yang Maha Berkuasa
mengawal sistem ini, daripada kita memikirkan bahawa alam ini suatu nidzam
lamarkazi (a decentralised system) yang diperintah oleh beberapa pemerintah.
Dengan cara yang sama juga, setelah melihat akan kebijaksanaan yang tinggi
yang bekerja di sebalik pentadbiran yang hebat terhadap alam ini adalah
rasional untuk rumusan bahawa sistem alam ini didirikan menurut rekabentuk
dan tujuan yang penuh hikmah, dan berdasarkan bukti yang sama, adalah jauh
dari kebenaran untuk kita mempercayai ianya hanya suatu permainan kanak-kanak. Apabila kita sekali lagi memikirkan sebaik-baiknya tentang fakta bahawa
sistem alam ini terdiri dari suatu mamlakah di mana manusia adalah sebahagian
daripada mamlakah ini, keithatan lebih munasabah untuk dipercayai bahawa
manusia tidak sepatutnya dilepaskan tanpa dipertanggungjawabkan dan tidak
seharusnya ada peruntukan untuk kebebasan sepenuhnya dalam sistem ini.
Kedudukan sebenar manusia adalah sebagai hamba. Di atas asas-asas inilah
pandangan ini kelihatan lebih munasabah bagi kita.
Satu Sistem Kepercayaan Yang Pratikal.
Dilihat dari sudut praktikalnya, pandangan ini dapat diterima juga. Suatu
skima hidup yang menyeluruh,yang lengkap dengan setiap perinciannya, terbit
daripada sistem kepercayaan ini. Falsafah dan Ilmu Kesusilaan, Sains dan
- 28 -Pertukangan, Kesusasteraan dan Kesenian, Politik dan Sistem Pemerintahan,
Kedamaian dan peperangan, dan Hubungan Internasional — bahkan sistem
kepercayaan ini melengkapi dengan asas-asas yang abadi untuk setiap aspek
keperluan hidup! Tidak ada satu bidang hidup di mana seseorang itu perlu
melihat di luar daripada sistem kepercayaan ini untuk mendapatkan garis-garis
panduan.
- 29 -KESAN CARA HIDUP ISLAM
Sekarang kita perlu lihat kepada apakah jenis sikap terhadap kehidupan
yang dibentuk oleh Islam dan apakah natijah-natijah yang lahir daripadanya.
Kesan terhadap kehidupan individu.
Berbeza sekali dengan doktrin-doktrin lain yang berdasarkan Jahiliah
semata-mata, Al Islam membentuk serta membina suatu sikap yang
bertanggungjawab dan berdisiplin terhadap hidup di kalangan individu-individu. Keyakinan terhadap doktrin Islam membawa erti bahawa manusia
tidak sepatutnya menganggap dirinya sebagai tuan empunya tubuh-badannya,
kekuatan-kekuatan fizikalnya atau apa saja di dunia ini, dan tidak sepatutnya ia
menganggap dirinya bebas untuk menggunakannya sesuka hati. Manusia
sepatutnya melihat akan benda-benda ini sebagai hakmilik Allah dan
mempergunakan mereka itu selaras dengan undang-undang Ilahi. Ia sepatutnya
mengambil hakmilikNya sebagai amanah dari Allah dan sewaktu
menggunakannya, ia tidak sepatutnya lupa bahawa ia mesti memberikan butir-butir lengkap mengenai penggunaannya kepada Pemenntah Yang Agung, yang
tidak ada suatu amalan individu pun tersembunyi darinya dan tidak pula ia lalai
dari apa yang berlaku dalam diri manusia. Jelaslah kepada kita bahawa seorang
yang memberi ketaatannya kepada Islam, akan mengikut suatu sistem peraturan
dalam keadaan apa sekalipun. Ia tidak akan membiarkan nafsunya mengamuk
laksana seekor haiwan yang liar. Ia tidak akan menjadi seorang penzalim atau
seorang yang rosak dirinya. Kewibawaannya lebih dari yang ditetapkan dan ia
seorang yang amanah. Tidak perlu lagi suatu tekanan dari luar untuk
memaksanya mentaati undang-undang itu. Jiwanya tunduk kepada suatu
disiplin moral yang tinggi, yang menetapkannya di atas jalan yang saleh dan adil
walaupun ia di dalam keadaan-keadaan di mana tidak wujud risiko hukuman di
tangan mana-mana kuasa dunia. Adalah mustahil untuk kita fikirkan cara-cara
lain yang dapat melahirkan individu-individu dalam sesebuah masyarakat yang
sempurna dan mempunyai akhlaq yang boleh dipercayai sedemikian rupa,
selain daripada penanaman sifat takutkan balasan Ilahi dan kesedaran bahawa
setiap benda-benda yang dimiliki oleh manusia adalah amanah daripada Allah.
Lagi pun, pandangan ini bukan saja merubah individu itu sehingga menjadi
seorang yang beramal tetapi juga, mengalih usaha-usahanya daripada
matalamat yang berbentuk kepentingan individu, hawa nafsu atau asabiah,
kepada pencapaian matalamat-matlamat keadilan dan moraliti yang luhur.
Adalah mustahil untuk kita berjumpa dengan seorang yang lebih dinamik, lebih
produktif dan lebih saleh dalam amalnya daripada orang yang mempunyai
pandangan-pandangan berikut terhadap dirinya:
- 30 -“Bahawasanya aku tidak dihantar ke dunia ini tanpa sebarang tujuan; bahkan
Allah telah menciptakan aku untuk melaksanakan suatu tugas; matlamat
hidupku ialah untuk melakukan amal-amal yang diredai Allah dan bukan untuk
menyukakan diriku atau saudaramaraku. Aku tidak akan biarkan begitu sahaja
sehingga aku telah menyerahkan keterangan yang lengkap tentang bagaimana
dan sejauh mana aku telah habiskan tenaga dan masaku.”
Pandangan hidup ini melahirkan individu-individu yang sangat baik
sehingga sukar untuk kita fikirkan bahawa ada pandangan lain yang dapat
menanamkan nilai-nilai dan perasaan yang lebih baik di kalangan penganut-penganutnya.
Kesan Terhadap Kehidupan Ijtimaie.
Sekarang marilah kita analisis kesan pandangan hidup Al Islam terhadap
kehidupan ijtimaie manusia seluruhnya. Mula-mula sekali Al Islam merubah
asas-asas masyarakat manusia. Menurut doktrin ini, setiap orang adalah hamba
Allah. Oleh itu, semua orang menikmati hak yang sama, status dan peluang
yang sama. Tidak ada individu, keluarga, kelas, negara atau bangsa yang
mempunyai hak-hak yang lebih, keutamaan-keutamaan tertentu atau hak-hak
untuk menguasai orang lain. Dengan cara ini konsep penguasaan manusia atau
ketinggiannya ke atas manusia-manusia lain dihapuskan hingga ke akar-umbinya. Setiap keburukan dan kejahatan yang timbul dari sistem Monarki,
Feudalisma, Aristokrasi, Brahmanisma, pemerintahan Pope dan pemerintahan
diktator di hapuskan terus. Doktrin Al Islam juga menghapuskan segala bentuk
prejudis qabilah, negara, bangsa, daerah atau warna kulit yang menjadi punca
utama pertumpahan darah di dunia ini. Menurut Al Islam seluruh bumi ini
adalah hakmilik Allah. Seluruh umat manusia adalah keturunan Adam a.s. dan
makhluk Allah swt. Kemuliaan dan ketinggian itu dicapai melalui kesucian
moral dan taqwa kepada Allah dan bukan disebabkan bangsa, asal-usul, barang
dagangan, harta, atau disebabkan putih atau merah-jambunya wama kulit
seseorang. Ketinggian darjat diberikan kepada mereka yang paling bertaqwa
kepada Allah dan mengamalkan amal saleh serta melakukan usaha memurnikan
jiwa-jiwa mereka.
Pandangan Al Islam juga menukar secara menyeluruh asas-asas ikatan
sosial, perhubungan, perbezaan atau ketinggian darjat di antara sesama
manusia. Prinsip-prinsip ciptaan manusia yang dijadikan dasar kehidupan sosial
atau pertentangan sosial, telah mewujudkan berbagai kumpulan dan telah
mendirikan halangan-halangan yang sukar diatasi di antara kumpulan-kumpulan ini. Bangsa, negara, kewarganegaraan atau warna kulit tidak boleh
diubah oleh manusia dan tidak pula ia membenarkan perpindahan sosial dari
satu kumpulan manusia kepada yang lain. Sebaliknya, pandangan Al Islam
- 31 -membina asas kehidupan sosial atau pertentangannya di atas asas-asas yang
kukuh iaitu keyakinan yang mendalam terhadap Allah dan ketaatan kepada
perintah-perintahnya. Mereka yang meninggalkan pergantungan kepada
makhluk-makhluk lain dan tunduk patuh kepada Khaliq mereka, serta
menerima syariatnya sebagai prinsip yang mengatur kehidupan mereka, akan
membentuk suatu kelompok masyarkat. Mereka-mereka yang berbuat
sebaliknya membentuk suatu kelompok masyarakat yang lain (iaitu selain dari
Hizbullah). Dengan ini, segala perbezaan dapat dihapuskan kecuali satu. Pada
setiap waktu ada kemungkinan seseorang itu menukar keyakinan serta cara
hidupnya dan keluar dari satu kumpulan untuk memasuki kumpulan lain. Jika
boleh dibentuk suatu masyarakat yang bersatu-padu daripada penduduk-penduduk dunia, ia hanya dapat dibentuk berasaskan prinsip-prinsip Islam.
Kesemua doktrin-doktrin lain memecah-belahkan umat manusia, tetapi Islam
mempersatukan mereka di dalam suatu persaudaraan yang padu.
Uluhiyyah Allah SWT.
Berikutan dari reformasi-reformasi ini, masyarakat yang lahir di atas
prinsip Al Islam adalah suatu masyarakat di mana sikap, roh dan struktur
sosialnya telah mengalami satu perubahan yang menyeluruh. Dalam masyarakat
ini, prinsip dasar yang di atasnya didirikan Daulah itu adalah: bahawa hak
wewinangan menentukan sesuatu itu kepunyaan Allah semata-mata, bukan
kepunyaan manusia. (6) Allah swt. adalah pemerintah Agung. Ia juga
merupakan sumber segala perundangan. Manusia berfungsi sebagai Khalifah
Allah di muka bumi. Sebagai permulaannya, sistem politik ini menghapuskan
segala keburukan dan kejahatan yang lahir dari suatu sistem di mana undang-undang dirangkakan oleh manusia dan manusia sendiri memerintah manusia
lain. Perbezaaan yang menonjol yang ditunjukkan oleh sistem daulah ini ialah
bahawa roh ketaqwaan dan pengabdian diri kepada Allah menyerap ke dalam
seluruh sistem itu. Pemerintah-pemerintah dan yang diperintah, sama-sama
memahami bahawa mereka bertanggungjawab terus kepada Allah swt., Yang
Maha Hadir dan Yang Maha Mengetahui segala sesuatu. Rakyat membayar
cukai sebagai sumbangan di jalan Allah swt; pemungut-pemungut cukai dan
orang-orang yang bertanggungjawab untuk menggunakan wang cukai
menganggap ianya sebagai harta hakmilik Allah swt. dan mereka sendiri adalah
pemegang-pemegang amanah. Dan seorang polis biasa hingga kepada Hakim
dan Gabenor, serta setiap Pegawai kerajaan, melaksanakan tugas-tugasnya
menurut rangka pemikiran yang sama, iaitu ia berkhidmat untuk Allah swt.,
kerana kedua-duanya adalah amal ibadat kepadaNya, dan dalam kedua-dua kes
tersebut roh ketaqwaan yang sama serta takutkan kuasa Allah diperlukan.
Kebaikan yang dicari dalam calon-calon yang dipilih oleh rakyat dari kalangan
mereka, untuk menjadi wakil-wakil Allah di atas muka bumi, adalah taqwallah,
amanah dan kewibawaan akhlaknya. Dalam proses ini hanya mereka-mereka
- 32 -yang melebihi rakyat lain dari sudut kebaikan moralnya diangkat memegang
tampuk kekuasaan dan pemerintahan. Islam menyerap ke dalam masyarakat
dan kebudayaannya dengan roh ketaqwaan dan kesucian moral yang sama.
Pokok perbincangan tamadun ini adalah berkhidmat kepada Allah dan
bukannya pengabdian kepada hawa nafsu. Allah yang Maha Kuasa adalah
Pendamai di antara sesama manusia; hubungan-hubangan di kalangan umat
manusia diaturkan oleh hukum-hukum Allah. Oleh kerana Pemberi undang-undang itu bersih daripada segala pengaruh hawa nafsu dan kepentingan diri
sendiri dan Maha Mengetahui serta Bijaksana, hukum-hukumnya akan
melenyapkan segala kemungkinan timbulnya kejahatan atau kezaliman dalam
masyarakat ini sehingga bila-bila masa sahaja. Walau bagaimanapun, syariat
Allah membuat perhitungan sewajarnya terhadap setiap aspek tabiat manusia
dan mengadakan peruntukan untuk segala keperluannya.
Masa tidak mengizinkan saya untuk menyampaikan kepada anda suatu
gambaran yang lengkap tentang struktur masyarakat yang boleh didirikan di
atas prinsip-prinsip Al Islam. Walau bagaimanapun, anda boleh membentuk
suatu idea tentang jenis sikap, natijah-natijahnya dan kemungkinan-kemungkinan yang lahir dari pandangan tentang manusia dan alam yang
disampaikan oleh Para Rasul Allah. Ianya bukan suatu negara utopia di mana
‘blueprint’nya berada di atas kertas sahaja. Wujudnya suatu masyarakat dan
negara yang didirikan di atas pandangan ini adalah suatu kenyataan sejarah.
Tidak pernah wujud di muka bumi ini rakyat dan negara berperikemanusiaan
yang lebih baik daripada yang pernah dibentuk oleh konsep Islam tentang alam
di sepanjang sejarah umat manusia. Perasaan tanggungjawab moral di kalangan
rakyat Daulah ini telah meningkat ke suatu tahap di mana seorang wanita
padang pasir yang telah hamil disebabkan perhubungan jenis yang haram,
sungguhpun ia mengetahui bahawa ia akan direjam sehingga mati kerana
kesalahannya itu, namum ia datang dengan sendirinya, mengaku salah dan
memohon supaya hukuman itu dijalankan ke atasnya. Ia telah dilepaskan tanpa
sebarang jaminan atau perjanjian dan telah diberitahu untuk datang semula
selepas melahirkan anaknya. Ia muncul kembali dari padang pasir selepas
kelahiran anaknya dan sekali lagi memohon supaya ia dihukum. Kali ini ia
diberitahu supaya menyusukan anaknya dan datang kembali setelah tamat
tempoh penyusuan. Wanita itu pulang ke padang pasir dan tidak dikenakan
apa-apa pemerhatian oleh pihak polis. Selepas berakhir tempoh penyusuan,
wanita itu datang sekali lagi dan meminta Hakim supaya membersihkan dirinya
daripada dosa zina dengan melaksanakan hukum itu ke atasnya. Ia telah direjam
dengan batu dan orang ramai berdoa agar Allah memberkatinya. Apabila
seorang lelaki dengan tidak sengaja berkata, “Alangkah jahatnya perempuan
itu!” ia telah ditegur (oleh Nabi Muhammad s.a.w) dengan keras sekali dan telah
dikatakan kepadanya:
- 33 -“Demi Allah! Sesungguhnya wanita ini telah membuat suatu taubat, sekiranya
seorang pemungut cukai yang tidak jujur telah membuat taubat yang sama, ia
pasti akan diampuni Allah.” (Sahih Muslim, Kitab Al Hudud, kisah
Ghamidiyyah).
Demikianlah kalibar moral rakyat Daulah tersebut. Dan bagaimana pula
dengan Daulah itu sendiri? Ianya suatu Daulah di mana kadar wang yang
diterimanya berjumlah berjuta-juta dinar. Khazanah-khazanah kerajaan itu
melimpah dengan harta penghasilan daripada Iran, Syria dan Mesir. Namun
demikian ketua Dualah ini hanya menerima tidak lebih daripada sepuluh junaih
(pound) sebulan sebagai pendapatannya. Di kalangan rakyat Daulah ini pula,
amat sukar untuk kita bertemu dengan seseorang yang layak menerima sedekah.
Jika masih ada lagi individu yang tidak bersedia untuk mempercayai kebenaran
pandangan para Rasul tentang tabiat alam dan kedudukan manusia selepas
tajribah (pengalaman) sejarah yang berjaya ini maka tidak ada jalan lain lagi di
mana individu tersebut boleh dipujuk dan diyakinkan. Tuhan, malaikat-malaikat
dan kehidupan akhirat tidak terbuka untuk dilihat terus oleh mana-mana
manusia. Dalam keadaan di mana penglihatan terus tidak wujud, pengalaman
adalah panduan terbaik untuk menentukan kebenaran dan kewujudan sesuatu
fenomena. Ambil suatu contoh: seorang doktor selepas memeriksa pesakitnya
tidak mampu untuk menentukan penyakit yang sebenar terdapat pada sistem
dalam badannya. Dalam hal ini si doktor memberikan berbagai jenis ubat dan
menunggu untuk melihat ubat manakah yang sampai kesasarannya di dalam
penjuru-penjuru gelap tubuh badan manusia dan menghapuskan penyakit itu.
Fakta yang menunjukkan bahawa suatu ubat tertentu, terbukti akan mujarabnya
dalam menyembuh sesuatu panyakit, merupakan suatu bukti positif bahawa
ubat ini adalah satu-satunya cara yang sesuai untuk menghapuskan sakit di
dalam sistem tubuh badan manusia. Samalah juga keadaannya jika kekurangan-kekurangan jentera kehidupan manusia tidak dapat dihapuskan oleh mana-mana ideologi dan hanya boleh dibetulkan oleh penyelesaian yang diberikan
oleh para Rasul, maka ia merupakan suatu bukti positif bahawa pandangan para
Rasul sesuai dengan realiti kes tersebut. Alam ini adalah miik Allah swt. dan
sudah pasti ada suatu kehidupan lain selepas kehidupan ini di mana manusia
akan diminta untuk menyerahkan seluruh keterangan tentang amalnya di dunia
ini.
- 34 -NOTA
1. Berhubung dengan hal ini, patut diingatkan bahawa dunia ini adalah ‘Dunia Fizikal’ (iaitu
yang berjalan menurut undang-undang sains fizikal) dan bukannya ‘Dunia Moral’ (iaitu yang
berjalan menurut undang-undang moral). Oleh itu, di bawah sistem alam yang wujud sekarang
ini, natijah-natijah moral perbuatan-perbuatan dan tindak-tanduk manusia tidak berlaku
sepenuhnya. Natijah-natijah ini boleh berlaku setakat mana undang-undang fizikal
membenarkan ianya berlaku. Kalau tidak, di mana sahaja undang-undang fizikal meletakkan
halangan, adalah mustahil untuk natijah-natijah moral berlaku. Ambil satu contoh: seorang lelaki
membunuh seorang lelaki lain. Natijah-natijah moral suatu pembunuhan akan berlaku sekiranya
undang-undang fizikal memberi bantuan dalam penyiasatan terhadap kesalahan itu,
menentukan dakwaan dan kemudiannya mengenakan hukuman ke atas pesalah tadi. Jika
undang-undang fizikal itu terbukti tidak berjaya, natijah moral sesuatu pembunuhan tidak akan
berlaku sepenuhnya di dunia ini. Dengan mengenakan hukuman bunuh ke atas seseorang
sebagai balasan terhadap yang dibunuh, belum lagi dapat memenuhi tuntutan undang-undang
moraliti. Oleh itu, dunia ini bukan tempat hukuman sebenarnya dan ia tidak akan jadi begitu.
Untuk menjadikan dunia ini suatu ‘Tempat Ganjaran’ atau ‘Hukuman’ kita perlukan suatu
sistem alam (yang berbeza dari sistem sekarang ini) yang diperintah oleh undang-undang moral,
di mana undang-undang fizikal bertugas sebagai pembantu-pembantu dalam pelaksanaan
undang-undang moral tersebut.
2. Sebagai contoh, apabila seorang penzina mendapat penyakit kelamin (venereal disease), ia
menjadi natijah fizikal tindakannya dan bukannya suatu hukuman moral ke atas perbuatan
kejinya itu. Jika ia berjaya dalam menghilangkan penyakit itu melalui rawatan perubatan, ia
mungkin selamat dari kesakitan fizikal penyakit itu, tetapi ia tidak dikecualikan daripada
hukuman moralnya. Jika ia bertaubat dari dosanya, ia akan bebas dan dikenakan hukuman
moral tetapi ini tidak akan menyembuhkan penyakitnya.
3. Sebagai contoh, apabila seorang lelaki ditimpa kemiskinan, ianya merupakan suatu ujian
terhadap ketulusan dan kejujurannya. Adakah ia tendorong untuk menggunakan cara-cara kotor
dan keji untuk mencari naflah hidupnya, atau ia tetap teguh menggunakan cara-cara yang sah?
Adakah ia tetap teguh dalam ketaqwaannya apabila ditindas oleh berbagai-bagai kesusahan atau
pendiriannya tergoncang dan ia tunduk kepada cara-cara yang keji?
4. Apabila seorang lelaki menidakkan wujudnya Tuhan sekalian alam dan bertindak seolah-olah
ia bebas dari segala pembatasan, ia bertindak melawan kebenaran dan pasti ditemui oleh
kesedihan, kerana pada hakikatnya Tuhan itu wujud dan manusia tidak bebas dari segala
pembatasan. Tindak-tanduk orang yang begitu, boleh disamakan dengan contoh seorang lelaki
setelah menganggap api itu adalah mainan, ia cuba memegangnya lantas membakar tangannya,
kerana tindakanya itu sudah tentu berlawanan dengan fakta sebenarnya.
5. Jika teori-teori sesuatu zaman itu enggan mengaku kebenaran sesuatu konsep, ia tidak
membuktikan bahawa konsep itu salah. Sesuatu doktrin saintifik hanya boleh dibuktikan salah
melalui fakta-fakta dan bukan melalui teori-teori semata-mata. Oleh itu, selagi belum disahkan
bahawa konsep alam dan manusia yang diutarakan oleh para Rasul itu salah kerana fakta-fakta
tertentu, adalah tidak saintifik dan sebesar-besar dengki untuk menganggap pandangan para
Rasul sebagai suatu metos yang dibuktikan salah (exploded myth).
6 Untuk keterangan lanjut, sila rujuk kepada buku ‘The Political Theory of Islam’, A.A. Maududi.
http://www.muslimdiary.com/downloads/islam%20dan%20jahiliyyah%20-%20Sayyid%20Abu%20al-Ala%20al-Mawdudi.pdf
EMPAT TANDA MUSLIM JAHILI
Salah satu konsekuensi seseorang menjadi muslim adalah meninggalkan segala bentuk nilai-nilai yang tidak Islami atau yang jahili. Karena itu setiap mu’min dituntut untuk masuk ke dalam Islam secara kaffah atau menyeluruh. Allah berfirman yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu kedalam Islam secara keseluruhannya, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu” (QS 2:208).
Ayat tersebut turun dengan sebab; ada sekelompok sahabat yang semula beragama Yahudi meminta kepada Nabi Saw agar dibolehkan merayakan atau memuliakan hari Sabtu dan menjalankan kitab Taurat. Maka turunlah ayat ini yang tidak membolehkan seseorang yang telah mengaku beriman tapi masih berprilaku sebagaimana prilakunya pada masa jahiliyah.
Meskipun demikian, masih banyak dari orang-orang yang mengaku beriman tapi tidak meninggalkan kebiasaan-kebiasaan lama yang jahiliyah sehingga kepribadiannya masih bercampur dengan kepribadian jahiliyah, karenanya orang seperti itu pantas kita sebut dengan muslim yang jahili. Dari sekian banyak tandanya, Rasulullah Saw menyebutkan dalam satu hadits: “Empat perkara pada umatku dari perkara jahiliyah yang mereka tidak meninggalkannya, yaitu: membanggakan derajat keturunan, mencela keturunan, meminta hujan dengan binatang dan maratapi mayat” (HR. Muslim).
Dari hadits di atas, kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dari sekian banyak tanda, ada empat tanda muslim jahiliyah yang disebutkan oleh Rasulullah Saw. Hal ini memang harus kita pahami dengan baik agar model kehidupan jahiliyah itu tidak kita jalani. Sahabat Umar bin Khattab pernah menyatakan: ‘Kalau engkau hendak menghindari jahiliyah, kenalilah jahiliyah itu’.
1. Membanggakan Keturunan.
Kemuliaan dan ketaqwaan seseorang bukanlah diukur dengan keturunan dalam arti secara otomatis. Karena itu, kalau kita ingin membanggakan atau memuliakan seseorang, bukanlah karena keturunan, tapi karena iman dan prestasi amal shalehnya. Namun yang kita saksikan justeru sebaliknya. Tak sedikit orang yang terpilih menjadi pemimpin secara otomatis dengan sebab keturunan. Kalau bapak raja, maka anak secara otomatis akan menjadi raja meskipun sang anak belum tentu mampu menjadi raja, bahkan sebenarnya ada orang lain yang lebih pantas untuk menjadi raja. Begitulah dalam negara yang menggunakan sistim kerajaan.
Disamping itu, membanggakan keturunan juga dalam bentuk tidak menghukum orang-orang keturunan ningrat atau yang “berdarah biru” bila mereka melakukan kesalahan, bahkan kesalahan itu cenderung ditutup-tutupi, sementara bila orang biasa melakukan kesalahan, maka hukuman yang ditimpakan kepadanya jauh lebih berat daripada kesalahan yang dilakukannya. Ketika para sahabat menanyakan soal ini, Rasulullah Saw menegaskan: Seandainya anakku, Fatimah mencuri, akan aku potong tangannya.
2. Mencela Keturunan.
Karena kemuliaan seseorang harus kita ukur dengan ketaqwaannya kepada Allah Swt, maka seorang muslim tidak dibenarkan mencela orang lain dengan sebab keturunan, misalnya kalau bapak atau ibunya tidak baik, maka kita menganggap anak-anaknya juga tidak baik, lalu kita mencelanya, dan begitulah seterusnya. Memang adakalanya bila orang tua tidak baik, anaknya juga ikut menjadi tidak baik, namun kita tidak bisa menganggap semuanya seperti itu.
Pada masa jahiliyah, mencela keturunan memang biasa terjadi, bahkan seringkali permusuhan seseorang dengan orang lain akan turun-temurun kepada anak cucunya. Islam sangat tidak membenarkan perlakuan mencela orang lain, apalagi hanya karena keturunan, karena bisa jadi yang dicela sebenarnya lebih baik daripada yang mencela. Allah berfirman yang artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah suatu kaum mengolok-olokkan kaum yang lain (karena) boleh jadi mereka (yang diolok-olokkan) itu lebih baik dari mereka (yang mengolok-olokkan) dan jangan pula wanita-wanita (mengolok-olokkan) wanita-wanita lain karena boleh jadi wanita-wanita (yang diolok-olokkan) lebih baik dari wanita-wanita (yang mengolok-olokkan) dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan adalah (panggilan) yang buruk sesudah iman, dan barangsiapa yang tidak bertaubat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim (QS 49:11). 3. Meminta Hujan Dengan Binatang.
Turunnya hujan yang cukup merupakan dambaan manusia dalam kehidupan di dunia ini, karena dengan demikian, disamping akan terpenuhinya kebutuhan air yang memang sangat penting bagi manusia, juga dapat terpenuhinya air bagi pertanian dan peternakan serta lingkungan hidup akan terasa lebih nyaman.
Manakala terjadi kemara panjang, maka akan berakibat pada semakin panasnya suhu udara dan menipisnya persediaan air bagi manusia, binatang dan tumbuh-tumbuhan. Karena itu, Islam mengajarkan kepada kita untuk meminta hujan kepada Allah Swt dengan melaksanakan shalat istisqa.
Namun dalam kehidupan masyarakat kita, terdapat budaya yang justeru bertentangan dengan ajaran Islam itu sendiri dalam kaitan meminta hujan, yakni meminta hujan melalui binatang, misalnya dengan menyiram kucing dengan air dan sebagainya. Perbuatan semacam ini bukan hanya mengganggu binatang, tapi juga dapat merusak keyakinan yang bersih, sesuatu yang harus selalu dipelihara oleh setiap muslim agar keyakinannya tidak bercampur dengan kemusyrikan. Karena itu, apalabila ada seorang muslim meminta hujan dengan perantaraan binatang, maka keyakinan dan prilakunya itu berarti masih bersifat jahiliyah. 4. Meratapi Mayat.
Mati merupakan suatu hal yang biasa. Setiap kita pasti akan mencapai kematian, cepat atau lambat. Ketika ada anggota keluarga kita, orang-orang yang kita cintai atau tokoh masyarakat yang menjadi penutan kita dalam kebaikan meninggal dunia, kesedihan atas kematian mereka merupakan sesuatu yang mungkin saja terjadi. Bahkan Umar bin Khattab ketika dikhabarkan bahwa Rasulullah Saw wafat beliau merasa tidak percaya, karenanya dengan pedang di tangan, beliau menyatakan bahwa kalau ada yang menyatakan bahwa Rasulullah Saw sudah wafat akan aku tebas batang lehernya. Menghadapi hal itu, maka sabahat Abu Bakar Ash Shidik menenangkan Umar bin Khattab dan menegaskan bahwa Rasulullah memang telah wafat.
Sedih atas kematian seseorang memang boleh saja, tapi kesedihan yang berlebihan sampai meratap dengan memukul-mukul badan, kepala, muka, menarik-narik rambut dan mengucapkan kata-kata yang menggambarkan tidak adanya rasa yakin atau percaya kepada Allah Swt merupakan sesuatu yang tidak bisa dibenarkan, karena itu, dala, kitab hadits Riyadush Shalihin, Rasulullah Saw menganggap orang seperti itu sebagai orang yang bukan umatnya, beliau bersabda yang artinya: “Bukan dari golonganku orang yang memukul-mukul pipi, merobek saku dan menjerit dengan suara kaum jahiliyah” (HR. Bukhari dan Muslim).
Meratapi mayat terjadi karena seseorang tidak menerima kematian orang yang diratapinya itu, akibatnya karena memang kematiannya sudah tidak bisa ditolak lagi, maka diapun diperlakukan seperti layaknya orang yang masih hidup, misalnya dengan membangun kuburannya meskipun harus dengan biaya yang besar, berdo’a dengan meminta bantuan kepada orang yang sudah mati, berandai-andai kalau dia masih hidup hingga tidak berani meninggalkan wasiat-wasiatnya yang tidak benar sekalipun, bahkan ada kuburan yang diberi kelambu dan disediakan air minum di atasnya. Ini semua merupakan sesuatu yang tidak bisa dibenarkan di dalam Islam. Karenanya bila ada kaum muslimin melakukan hal itu, dia berarti masih melakukan praktek-paktek kejahiliyahan yang sangat tidak dibenarkan.
Dengan demikian, harus kita sadari bahwa sebagai seorang muslim, semestinya kita menjauhi dan meninggalkan segala praktek kehidupan yang tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Bila hal itu tetap saja kita kerjakan, bisa jadi keimanan dan keislaman kita hanya sebatas pengakuan yang belum tentu diakui oleh Allah Swt dan Rasul-Nya
http://www.maqdis.s5.com/artikel9.htm
Hukum Allah Bukan Hukum Jahiliyah
(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Karimah Askari bin Jamal)
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50)
Sebab turunnya ayat
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas c, dia berkata: Dua kabilah Yahudi, Quraizhah dan Nadhir. Kabilah Nadhir lebih mulia dibanding kabilah Quraizhah. Apabila ada seseorang dari kabilah Quraizhah membunuh seseorang dari kabilah Nadhir, dia dibunuh pula karenanya. Namun, jika seseorang dari kabilah Nadhir membunuh seseorang dari kabilah Quraizhah, cukup ditebus dengan 100 wisq kurma (6000 sha’, pen.). Setelah Nabi n diutus, seseorang dari kabilah Nadhir membunuh seseorang dari kabilah Quraizhah. Kemudian orang-orang Bani Quraizhah berkata, “Serahkan pembunuh itu kepada kami, kami akan membunuhnya.” (Tatkala Bani Nadhir enggan menyerahkannya), Bani Quraizhah berkata, “Antara kami dan kalian ada nabi.” Mereka pun mendatangi beliau. Lalu turunlah firman Allah l:
“Jika engkau berhukum maka berhukumlah diantara mereka dengan adil.” (Al-Maidah: 42)
Keadilan di sini adalah jiwa dibalas dengan jiwa (qishas). Setelah itu turun pula ayat:
“Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah: 50) [HR. Abu Dawud no. 4494, An-Nasa’i no. 4732, Ibnu Abi Syaibah no. 27970, Ad-Daruquthni 3/198, Ibnu Hibban no. 5057, Al-Hakim 4/407, Al-Baihaqi 8/24, Ibnul Jarud dalam Al-Muntaqa no. 772. Hadits ini dishahihkan Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud]
Tafsir ayat
Firman Allah l:
“Apakah hukum jahiliah…”
Hamzah (yang berarti: apakah) yang disebut dalam ayat ini menunjukkan istifham inkari, bentuk pertanyaan namun yang dimaksud adalah pengingkaran dan menjelekkan orang yang melakukannya. (Lihat Fathul Qadir, Asy-Syaukani)
Yang dimaksud hukum jahiliah adalah setiap hukum yang menyelisihi apa yang diturunkan Allah l kepada Rasul-Nya, karena hukum hanya ada dua: hukum Allah l dan Rasul-Nya atau hukum jahiliah. Siapa yang berpaling dari hukum Allah l niscaya dia berhukum dengan hukum jahiliah yang dibangun di atas kejahilan, kezaliman, dan penyimpangan. Oleh karena itu, Allah l menisbahkannya kepada jahiliah. Sementara hukum Allah l dibangun di atas ilmu, keadilan, cahaya, dan petunjuk. (Lihat Taisir Al-Karim Ar-Rahman, karya As-Sa’di dalam tafsir ayat ini)
Ibnul Qayyim t berkata ketika menjelaskan tentang hukum jahiliah, “Setiap hukum yang menyelisihi apa yang dibawa oleh Rasul maka itu termasuk jahiliah. Jahiliah adalah nisbah kepada kejahilan. Setiap yang menyelisihi Rasul termasuk dari kejahilan.” (Al-Fawa’id, Ibnul Qayyim hlm. 109)
Ibnu Katsir t berkata ketika menjelaskan ayat ini: “Allah l mengingkari orang yang keluar dari hukum Allah k yang adil, yang mencakup segala kebaikan dan mencegah dari setiap kejahatan, beralih kepada hukum lain yang berupa pendapat manusia, hawa nafsu, dan berbagai istilah yang ditetapkan oleh manusia tanpa bersandar kepada syariat Allah l. Sebagaimana halnya kaum jahiliah yang berhukum dengan kesesatan dan kebodohan, yaitu hukum yang mereka tetapkan berdasarkan pendapat dan hawa nafsu mereka. Seperti bangsa Tartar yang berhukum dalam politik kekuasaan mereka yang diambil dari raja mereka yang bernama Jenghis Khan, yang menetapkan undang-undang Ilyasiq; sebuah kitab yang berisi hukum-hukum yang diambil dari syariat yang berbeda-beda; Yahudi, Nasrani, Islam, dan yang lainnya. Di dalamnya juga banyak hukum-hukum yang diambil dari pandangan dan hawa nafsunya semata. Akhirnya undang-undang ini menjadi syariat yang harus diikuti oleh keturunannya. Mereka lebih mengutamakannya daripada berhukum dengan kitab Allah l dan Sunnah Rasul-Nya. Siapa di antara mereka yang melakukan hal itu maka dia kafir, wajib diperangi sampai dia kembali kepada hukum Allah l dan Rasul-Nya, serta dia tidak berhukum dengan yang lainnya baik dalam urusan kecil maupun besar.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/68)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t berkata, “Sungguh Allah l telah memerintahkan Nabi-Nya untuk berhukum dengan apa yang diturunkan Allah l kepadanya. Allah l juga memperingatkan beliau agar tidak mengikuti hawa nafsu mereka, dan menjelaskan bahwa yang menyelisihi hukum-Nya adalah hukum jahiliah.” (Daqa’iq At-Tafsir, 2/55)
Diriwayatkan dari hadits Jabir z bahwa beliau berkata, “Suatu hari kami dalam satu peperangan. Lalu ada seorang dari kalangan Muhajirin memukul pantat seorang dari kalangan Anshar dengan tangannya. Orang Anshar itu pun berteriak sambil berkata, ‘Wahai kaum Anshar.’ Maka orang Muhajirin itu pun juga berteriak, ‘Wahai kaum Muhajirin.’ Akhirnya teriakan ini didengar oleh Nabi n beliau pun berkata:
أَبِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ؟ دَعُوهَا فَإِنَّهَا مُنْتِنَةٌ
‘Mengapa ada panggilan jahiliah? Tinggalkan karena sesungguhnya itu buruk (tercela).” (HR. Al-Bukhari no. 4622, Muslim no. 2584)
Muhammad bin Abi Nashr Al-Humaidi berkata dalam menjelaskan makna panggilan jahiliah: “Ucapan mereka ‘Wahai pengikut fulan’, hal ini termasuk fanatisme golongan dan keluar dari hukum Islam.” (Tafsir Gharib Ma fish Shahihain, Al-Humaidi: 85)
“Yang mereka kehendaki.”
Ini adalah bacaan jumhur (mayoritas) ahli qira’ah. Adapun bacaan Ibnu ‘Amir dengan ta’ (تَبْغُونَ) yang berbentuk khithab (artinya: kalian kehendaki). (Tafsir Al-Qurthubi, Tafsir Al-Baghawi)
Maknanya adalah, apakah mereka berpaling dari hukum yang telah Allah l turunkan kepadamu (kepada Muhammad n, pen.) dan meninggalkannya lalu mencari hukum jahiliah? (Fathul Qadir, Asy-Syaukani)
Ayat ini seperti apa yang disebutkan dalam ayat lainnya:
“Maka patutkah aku mencari hakim selain daripada Allah, padahal Dialah yang telah menurunkan kitab (Al-Qur’an) kepadamu dengan terperinci? Orang-orang yang telah Kami datangkan kitab kepada mereka, mereka mengetahui bahwa Al-Qur’an itu diturunkan dari Rabbmu dengan sebenarnya. Maka janganlah kamu sekali-kali termasuk orang yang ragu-ragu.” (Al-An’am: 114)
“Dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?”
Ini juga termasuk istifham inkari, bentuk pertanyaan yang mengandung pengingkaran, yang maknanya adalah: Tidak ada hukum yang lebih baik dari hukum Allah l bagi orang-orang yang memiliki keyakinan, bukan bagi orang yang jahil dan pengikut hawa nafsu. (Tafsir Fathul Qadir)
As-Sa’di t mengatakan: “Orang yang memiliki keyakinan itulah mengetahui perbedaan antara kedua hukum tersebut. Dengan keyakinannya, dia mampu membedakan apa yang terdapat di dalam hukum Allah l yaitu kebaikan dan keagungan, dan berdasarkan tinjauan akal maupun syariat wajib diikutinya. Al-yaqin adalah keyakinan yang sempurna yang melahirkan amalan.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Kewajiban berhukum dengan hukum Allah l
Ayat ini menjelaskan tentang kewajiban setiap hamba untuk berhukum dengan hukum Allah l dalam setiap urusan mereka serta larangan untuk menjadikan selain hukum Allah l sebagai hukum dan aturan dalam kehidupan manusia, sebab hal itu termasuk bentuk berhukum kepada hukum jahiliah.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t mengatakan, “Adapun orang-orang yang beriman, berislam, berilmu, dan beragama, mereka senantiasa berhukum dengan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Sebagaimana firman Allah l:
ﯜ ﯝ ﯞ ﯟ ﯠ ﯡ ﯢ ﯣ ﯤ ﯥ ﯦ ﯧ ﯨ ﯩ ﯪ ﯫ ﯬ ﯭ ﯮ ﯯ
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An-Nisa’: 65) [Majmu’ Fatawa, 35/386]
Al-‘Allamah As-Sa’di t berkata: “Berhukum dengan selain apa yang diturunkan Allah l merupakan perbuatan orang-orang kafir. Terkadang bentuk kekafirannya dapat mengeluarkan dari Islam, apabila dia meyakini halal dan bolehnya hal itu. Terkadang pula termasuk dosa besar dan termasuk perbuatan kekufuran (namun tidak mengeluarkan dari Islam) yang pelakunya berhak mendapatkan siksaan yang pedih.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman)
Begitu banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk berhukum dengan hukum Allah l dan mengharamkan berhukum dengan hawa nafsu yang merupakan hukum jahiliah. Diantaranya adalah:
“Maka putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (Al-Maidah: 48)
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan (agama) itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (Al-Jatsiyah: 18)
“Hai Dawud, sesungguhnya Kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, maka berilah keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat dari jalan Allah akan mendapat azab yang berat, karena mereka melupakan hari perhitungan.” (Shad: 26)
Katakanlah: “Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus.” (Al-Maidah: 77); dan yang lainnya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas c bahwa Rasulullah n bersabda:
أَبْغَضُ النَّاسِ إِلَى اللهِ ثَلَاثَةٌ: مُلْحِدٌ فِي الْحَرَمِ، وَمُبْتَغٍ في الْإِسْلَامِ سُنَّةَ الْجَاهِلِيَّةِ، وَمُطَّلِبُ دَمِ امْرِئٍ بِغَيْرِ حَقٍّ لِيُهْرِيقَ دَمَهُ
“Manusia yang paling dibenci Allah l ada tiga: seorang yang berbuat zalim di negeri haram, orang yang mencari hukum jahiliah dalam Islam, dan keinginan menumpahkan darah seseorang tanpa hak.” (HR. Al-Bukhari no. 6488)
Balasan bagi orang yang berhukum dengan selain hukum Allah l
Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar c, dia berkata: Rasulullah n mendatangi kami lalu bersabda:
يا مَعْشَرَ الْمُهَاجِرِينَ خَمْسٌ إذا ابْتُلِيتُمْ بِهِنَّ وَأَعُوذُ بِاللَّهِ أَنْ تُدْرِكُوهُنَّ لم تَظْهَرْ الْفَاحِشَةُ في قَوْمٍ قَطُّ حتى يُعْلِنُوا بها إلا فَشَا فِيهِمْ الطَّاعُونُ وَالْأَوْجَاعُ التي لم تَكُنْ مَضَتْ في أَسْلَافِهِمْ الَّذِينَ مَضَوْا ولم يَنْقُصُوا الْمِكْيَالَ وَالْمِيزَانَ إلا أُخِذُوا بِالسِّنِينَ وَشِدَّةِ الْمَئُونَةِ وَجَوْرِ السُّلْطَانِ عليهم ولم يَمْنَعُوا زَكَاةَ أَمْوَالِهِمْ إلا مُنِعُوا الْقَطْرَ من السَّمَاءِ وَلَوْلَا الْبَهَائِمُ لم يُمْطَرُوا ولم يَنْقُضُوا عَهْدَ اللَّهِ وَعَهْدَ رَسُولِهِ إلا سَلَّطَ الله عليهم عَدُوًّا من غَيْرِهِمْ فَأَخَذُوا بَعْضَ ما في أَيْدِيهِمْ وما لم تَحْكُمْ أَئِمَّتُهُمْ بِكِتَابِ اللَّهِ وَيَتَخَيَّرُوا مِمَّا أَنْزَلَ الله إلا جَعَلَ الله بَأْسَهُمْ بَيْنَهُمْ
“Wahai sekalian kaum muhajirin, ada lima hal yang apabila kalian diuji dengannya, aku berlindung kepada Allah l jangan sampai kalian: (1) Tidaklah satu perbuatan keji (zina) yang muncul hingga mereka melakukannya secara terang-terangan melainkan akan menyebar penyakit tha’un1 dan berbagai penyakit yang belum pernah muncul di masa sebelum mereka. (2) Tidaklah mereka mengurangi takaran dan timbangan melainkan mereka akan ditimpa paceklik, kesulitan hidup, dan kezaliman penguasa terhadap mereka. (3) Tidaklah mereka menahan zakat harta mereka melainkan akan ditahan pula dari mereka turunnya hujan dari langit. Kalaulah bukan karena hewan ternak, niscaya hujan tidak akan turun kepada mereka. (4) Tidaklah mereka membatalkan perjanjian Allah l dan Rasul-Nya melainkan Allah l akan memberi kekuasaan kepada musuh atas mereka lalu merampas sebagian apa yang mereka miliki. (5) Tidaklah para pemimpin mereka tidak berhukum dengan kitab Allah l dan memilah-milah hukum yang diturunkan Allah l melainkan Allah l akan menjadikan perselisihan di antara mereka sendiri.” (HR. Ibnu Majah no. 4019. Dishahihkan Al-Albani dalam Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1/106)
Wallahu a’lam.
http://www.asysyariah.com/syariah/tafsir/803-hukum-allah-bukan-hukum-jahiliyah-tafsir-edisi-60.html
KITA DAN PENDIDIKAN ANAK KITA DI MASA KINI
Kita, Ummat Islam yang hidup di abad ini terlahir di tengah budaya jahiliyah. Sadar atau tidak sadar, kita tak dapat menghindarinya. Kita memang terlahir sebagai anak muslim karena orangtua kita juga muslim, namun apakah kita sudah ’di-Islam-kan’ dengan baik oleh orangtua kita? Dengan segala hormat kepada mereka yang sangat kita cintai, namun tetap saja harus diakui bahwa kita belum diberikan pengajaran, pemahaman dan pembiasaan sebagai muslim sejati. -Atau mungkin ada sebagian (kecil) diantara kita ada yang telah mendapatkannya dari orangtua mereka namun diperkirakan pastilah jumlahnya tak banyak-. Sejak lahir hingga besar kita sangat dipengaruhi budaya jahiliyah Indonesia dengan segala versinya, ada versi tradisonal Indonesia, versi
Dapat dikatakan budaya Indonesia saat ini sama sekali tidak mencerminkan statistik pemeluk Islam yang mayoritas. Jumlahnya memang banyak (meskipun kini semakin turun rasionya dibandingkan dengan non muslim), namun apa yang di yakini, di jalankan, bahkan dijadikan hukum sama sekali bukan Islam. Kita bahkan tak tahu apa itu Islam lebih dari sekedar definisi rukun Islam yang 5 dan rukun Iman yang 6. Kita hanya mengetahui ”narasi”nya, tanpa pemahaman apalagi internalisasi dan sibghah [1].
Ketika kita sendiri menjadi orangtua dan mulai sadar akan nilai Iman serta ingin memilikinya secara kaafah [2], kita menjadi bingung. Di saat itu kita baru menyadari betapa telah ’berjarak’nya antara kita sebagai muslim/muslimah dengan Islam sebagai jalan hidup. Kita mengaku muslim, namun tidak hidup secara Islami, tidak berpakaian secara Islami, tidak mencari nafkah (baca:berbisnis) secara Islami, bahkan tidak berpandangan yang Islami. Jadi di mana letak ’ke-Islam-an’ kita? Tidak ada, selain di KTP.
Saat tersentak dengan kenyataan ini, barulah kita mulai gelisah dan mulailah tergopoh-gopoh belajar Islam dari nol lagi; bahkan seringkali dengan cara yang serabutan. Tidak heran, sebab selain memang jarak antara kita dan turunnya wahyu terakhir sudah berbilang belasan abad, kitapun sudah kehilangan banyak contoh. Di antara waktu itu, bukan hanya Nabi SAW yang telah wafat, namun para sahabat, tabi’in bahkan tabi’it tabi’in [3] semua sudah tiada. Peninggalan merekapun seringkali hilang karena perang atau disembunyikan atau terlupakan. Kita yang hidup saat ini harus mengais-ngais peninggalan kuno seraya mencoba mengartikannya dengan situasi zaman kita. Belum lagi kendala bahasa dan budaya. Situasi ini menimbulkan berbagai komplikasi penyakit ummat selain wahn, misalnya penyakit isti’jal, tasyaddud, tasahul, jumud dll.
Sebagian dari kesulitan kita juga disebabkan karena sudah ter-kooptasi-nya banyak tokoh yang dianggap ’ulama Islam’, bahkan lembaga-lembaga pendidikan Islam sudah berganti rupa menjadi sistem yang se-pola dangan sistem pendidikan jahiliyah, sehingga kita kehilangan tempat bertanya. Bagaikan anak ayam kehilangan induk.
Ketika seseorang menjadi orangtua, menurut para pakar psikologi ia akan cenderung mengambil pola pendidikan yang sama yang ia terima dari orangtua-nya. Kadang bagaikan copy-paste, sama persis tanpa di edit lagi. Jika si orangtua berpola permisif, si anak cenderung juga permisif terhadap anaknya sendiri. Selain gaya/pola pendidikan, kadang isinya-pun diambil tanpa di-edit lagi, terutama isi/konten moral (baca akhlaq) dan nilai-nilai luhur (agama/jalan hidup). Isi/konten dalam hal pengetahuan/ knowledge mungkin sudah diperbaharui atau ditambah sesuai zamannya, namun perilaku moral maupun nilai-nilai yang dijunjung tinggi diterima dan digunakan tanpa mempertanyakan apapun sama sekali. Jika kebetulan orangtua kita belum mengenal Islam, belum menjadikan Islam sebagai landasan/jalan hidup, maka kita-pun akan terjebak untuk mendidik anak-2 kita sebagaimana kita sendiri dididik dalam budaya jahiliyah.
Banyak sekali orangtua muslim masa kini seolah hanya mengulangi sejarah hidupnya sendiri. Jika ada yang menggugat mengapa demikian maka alasan kuno yang dikemukakan bahkan amat mirip dengan yang ada disindir dalam Al Qur’an: ”Kami hanya mengikuti apa yang kami dapati dari bapak-bapak kami”. Pengecualian hanya pada segelintir orang yang di Rahmati Allah dan mendapat petunjuk yang Benar.
Inilah yang kita -para orangtua yang ingin menegakkan Islam kembali dalam diri dan keluarganya- harus hadapi ketika kita harus mencari sekolah yang cocok bagi anak-anak kita, ketika kita coba melakukan riset pola asuh mana yang terbaik dlsb,…..maka 99% yang akan kita temui adalah metode pendidikan yang layak dianggap sampah dalam khazanah Islam. Pendidikan yang akan tampak baik di kulit luar, namun cepat atau lambat akan segera menunjukkan kebobrokannya sendiri. Sebagian merupakan warisan leluhur, sebagian lagi merupakan budaya impor dari luar dan sebagian lagi merupakan hasil rekayasa baru yang mengada-ada. Memang mungkin ada yang membawa satu atau dua nilai-nilai Islam, namun jika hal-hal yang mendasar (aqidah) tidak dijadikan sebagai landasannya, maka teori pendidikan anak yang manapun pada hakekatnya adalah sampah. Kesulitan mendapatkan sampel yang baik, mendapatkan metode yang tepat dan mendapatkan acuan yang benar…semua merupakan masalah nyata bagi ummat Islam di seluruh dunia.
Apa yang akan terjadi pada orang-orang seperti kita? Sebagian akan terus mencari sampai dapat ketenangan dengan resep-resep pilihannya yang dipilih dengan hati-hati dan penuh perjuangan, sebagian hanya berpikir sebentar kemudian mengambil jalan pragmatis: yaitu menyerahkan pilihan kepada tokoh yang menurut mereka adalah tokoh Islam teladan dan kemudian mulai memasang ”mode’ JUMUD atau asal ikut (sebuah penyakit yang cukup berbahaya di masa kini). Atau sekedar merasa cukup dengan menyerahkan anak kepada sekolah/lembaga pendidikan yang berlabel ”Islami”. Dan sebagian lagi kemudian salah arah dan terkecoh oleh ”du’at ila abwaabi jahannam” (para da’i yang memanggil ke pintu-pintu neraka) yang menyesatkan kini juga sedang aktif berperan dengan baju dan bahasa yang seolah sama dengan da’i yang jujur namun dengan hasil yang bertolak belakang. Merasa sudah berada di jalan yang benar dengan sangat yakin, padahal sebenarnya sedang terseret ke neraka. Na’udzu billahi min dzalik.
SIFAT/ NATURE DARI PENDIDIKAN SEKARANG DI SINI
Negara ini (Indonesia) dalam peringkat negara-negara di dunia saat ini masih dikatagorikan sebagai ’negara yang sedang berkembang’. Indonesia belum dianggap sebagai negara maju karena dianggap belum dapat menerapkan seluruh sistem jahiliyah secara 100%. Di dunia sekarang ini, kasta negara-negara ditentukan oleh sederet angka sebagai tolok ukur. Angka-angka tersebut sebenarnya merupakan angka-angka mati yang bisa saja berarti baik atau buruk tergantung bagaimana mengartikannya. Namun angka-angka tersebut kemudian dimunculkan untuk menciptakan pencitraan tertentu sebagaimana yang dikehendaki oleh pemakainya. Angka kematian penduduk (salah satu tolok ukur) masih tinggi, angka korupsi masih termasuk ranking sepuluh besar, income per-kapita masih rendah dan perolehan pajak masih kecil dan sejumlah tolok ukur jahiliyah lainnya, baik yang dapat dikatagorikan termasuk ma’ruf atau mungkar secara Islam maupun jelek atau bagus menurut nilai jahiliyah sendiri.
Di negeri ini, dalam masalah pendidikan, kasus kisruh UAN merupakan contoh yang menarik untuk kita analisa baik dengan kacamata Islam maupun tolok ukur jahiliyah. Sebagaimana diketahui, UAN diadakan dengan maksud melakukan standardisasi mutu pendidikan. Karena dilakukan dengan semangat ”terburu-buru karena takut di cap sebagai negera terbelakang”, maka UAN diberlakukan sebelum pembenahan seluruh sekolah di seluruh Indonesia di lakukan. Standardisasi dulu, benahi kemudian…..Kisruh-pun terjadi. Tidak meratanya kesempatan pendidikan di berbagai daerah dan kota menjadi mencolok pada tahun awal UAN. Ada banyak daerah dan sekolah yang angka gagalnya sangat tinggi…seolah guru-guru mereka sama sekali tidak mengajarkan apa-apa selama anak didik bersekolah. Para kanwil pendidikan merasa malu karena wilayahnya di cibiri Pusat dan kemudian balik menekan pihak sekolah dan menyalahkan mereka tidak serius mendidik. Pihak sekolah meradang karena selama ini fasilitas amat minim dan problema gaji merupakan masalah kronis. Input dan output sebenarnya sesuai dengan rumus, namun tidak sesuai ”pesanan’ dan ”keinginan” Pusat. Tahun berikutnya sudah dapat dipastikan yang muncul adalah fenomena bocor UAN merebak. Semua pihak, baik itu anak murid, guru, sekolah, kanwil diknas dst ingin mendapatkan atau melihat hasil yang bagus. Oleh karena realitanya belum dapat dicapai dengan jujur, maka bermain curang merupakan keharusan.
Penulis pernah menyekolahkan anak di wilayah luar Jakarta (pesantren). Pada akhir tahun ajaran, setelah pengumuman UAN, pak guru terpaksa ”buka kartu” dihadapan para orangtua bahwa sebelum UAN sekolah mereka diajak oleh diknas setempat untuk gotong royong bersama para guru sekolah lain untuk mendongkrak peringkat wilayah dengan cara para gurulah yang melakukan koreksi (sebelum dikumpulkan ke panitia UAN) kertas UAN anak didik. Para guru memperbaiki jawaban-jawaban yang salah dari para murid berdasarkan kunci jawaban dan berdasarkan pengetahuan si guru. Sekolah pesantren ini menolak, sebagai akibatnya, selain dikucilkan, sejumlah muridpun jatuh di nilai UAN dan bahkan peringkat sekolah mereka jatuh di bawah sekolah lain se-wilayah tsb padahal selama ini pesantren tsb dikenal sebagai sekolah terbaik di sana. Tragis, ketika ada guru yang berusaha berpegang pada nilai-nilai kejujuran, anak murid dan sekolahnya malah menjadi korban. Ini sangat sesuai dengan hadis yang memperediksi keadaan di akhir zaman dimana org baik dijatuhkan dan org jahat dianggap baik. Sampai saat ini sinetron UAN masih berlangsung. Tahun ini bahkan percetakan soal UAN sudah terdeteksi ada yang menjual soal UAN,….keuntungan tambahan di luar dari tender mencetak soal UAN. Siapa lagi yang peduli bagaimana mutu pendidikan anak-anak kita?
BEBERAPA PERSOALAN MENDASAR YANG ADA
(1) Pertama adalah soal paradigma pendidikan
Pendidikan jahiliyah berlandaskan paradigma sukses materialisme. Semua yang dianggap sebagai ”achievement” bersifat kuantitatif atau dikuantitatifkan. Anak sukses jika dapat gelar sarjana, anak sukses jika dapat kerja dengan gaji tinggi, rumah mewah, mobil mewah dlsb tolok ukur kebendaan. Anak sholeh dianggap abstrak dan utopia. Berapa nilai pemahamannya terhadap hidup, kedalaman Imannya dan keindahan akhlaqnya tak perlu dipedulikan, selama nilai-nilai kebendaan belum terpenuhi. Benda dulu, baru yang lain. Orang pandai (sarjana) yang kaya dan santun….sangat dihormati. Yang pandai tapi kurang ajar-pun di berikan tempat lebih baik daripada yang ’biasa-biasa-saja” namun berakhlaq mulia.
Paradigma mendasar tentang kesuksesan orang beriman melampaui batas hidup dan mati, melampaui batas dunia, rujukannya: 3:185 [1]. Ya, jika kita sudah sampai ’di sana’, maka siapa lagi yang akan membantah kesuksesan kita? Ayah dan ibu barulah dapat merasa sukses tanpa ragu jika telah berhasil mengantarkan anaknya ke sana. Sepintas ini akan dianggap utopia/mimpi, sebab ”hasil”nya tak dapat dilihat sekarang….BETUL 100%. Memang hasil pendidikan yang baik bukan untuk dilihat orang lain, namun untuk dinilai Allah SWT. Kapan kita tahu itu berhasil atau tidak? Ya nanti jika sudah di akhirat. Sebelum itu, tak ada orangtua maupun pendidik yang boleh merasa tenang dan puas dan menganggap dirinya telah berhasil. Kita sebagai orangtua maupun guru harus selalu dalam keadaan waspada bahwa kita masih harus terus memperbaiki diri dan metode kita dalam memberikan pendidikan kepada anak. Paradigma sukses di QS 3:185 bukan hanya penting di akhirat dan berarti di dunia kita tidak perlu mendapatkan apa-apa, sebab di atas dunia ini kita juga harus mewujudkan kekuasaan Allah (sebagai khalifah Allah di atas dunia) dan kita ummat Islam harus merangkainya dalam amal-amal bermanfaat.
(2)Persoalan kedua adalah persoalan standar penilaian yang selain mereduksi nilai-nilai yang utuh juga melakukan kompartementalisasi dan sekularisasi.
Cara penilaian sistem pendidikan jahiliyah adalah dengan meredusir nilai- yang utuh menjadi nilai-nilai kuantitatif yang kosong makna. Rangking ke 1 di kelas yang mayoritas bodoh adalah anak terpandai diantara yang bodoh. Rangking terbawah di kelas unggulan adalah anak yang masih di atas rata-rata statistik. Angka hanya menampilkan skala yang kaku dari kemampuan anak, angka sangat dipengaruhi oleh situasi kondisi saat penilaian dengan angka tsb dilakukan (ujian atau ulangan). Apa yang dinilai merupakan sebagian kecil saja dari apa yang keseluruhan. Apakah yang dinilai tsb dapat mewakili kualitas sesungguhnya dari intelektualitas anak? Dengan meredusir penilaian yang utuh tentang seorang anak menjadi sederet angka rapor, kualitas moral, kualitas pemahaman, kualitas interaksi sosial anak tak lagi dapat di’baca’.
Kesenjangan antara penilaian di ruang kelas dengan apresiasi lapangan pekerjaan merupakan bukti nyata problem ini. Sekian banyak angkatan kerja yang S1 tak terserap lapangan pekerjaan. Sementara ada saja yang non sarjana dapat melakukan sesuatu yang bahkan menciptakan lapangan pekerjaan bagi orang lain ( para enterpreneur). Apalagi jika kita coba menilai hasil pendidikan jahiliyah tsb dengan timbangan nilai moral agama. Berapa banyak para sarjana S1, 2, 3 bahkan profesor malah memberi contoh akhlaq buruk. Profesor selingkuh dengan sesama profesor, doktor yang melakukan plagiat, mengajak kepada dosa dan kemunkaran dlsb. Itu semua merupakan cerita lama. Penilaian intelektualitas yang ada sama sekali tidak melibatkan aspek lain selain kemampuan berpikir di bidang tertentu.
Sudah menjadi anekdot umum bahwa profesor adalah orang yang pelupa dan seringkali bertingkah bodoh. Adakah seorang Ulama mumpuni akan bertingkah ”absent minded?” sebagaimana ”absent minded professors? Sebab setiap proesor mendapat gelarnya yang tertinggi tersebut hanya untuk penilaian atas salah satu dari sejumlah besar cabang ilmu yang ada. Seorang prof yang membacakan pidato pengukuhan di bidang eksakta, isi pidatonya bisa sangat menggelikan ketika ia sedang menyebutkan apa rekomendasi/ kontribusi ilmunya untuk masyarakat luas (bidang sosial kemasyarakatan). Terasa kedangkalan berpikir di bidang yang bukan bidangnya. Ulama bukanlah ulama jika ia hanya mengusai salah satu saja cabang Ilmu Islam. Seorang yang boleh berfatwa hanyalah yang mampu meninjau seluruh aspek yang berkaitan dengan persoalan yang sedang dibahas.
Pandangan hidup sekularis dan serba terpecah-lah yang telah menyebabkan standar penilaian pendidikan jahiliyah menjadi kosong nilai yang utuh. Bagaimana seseorang hanya dinilai untuk aspek-aspek kecil dari keseluruhan dirinya dan melupakan nilai yang utuh. Persoalan kompartementalisasi dan sekularisasi merasuk ke seluruh bidang kehidupan. Bidang pendidikan kedokteran mencetak para dokter spesialis yang seringkali mereka ”mengeroyok” pasien yang sudah ”komplikasi” dengan sejumlah obat resep masing-masing. sehingga seorang dengan penyakit menjadi konsumen sejumlah obat para spesialis yang saling bertentangan cara kerjanya. Masing-masing dokter spesialis hanya mementingkan bagian tubuh yang merupakan bidang spesialisasinya, padahal yang menjadi obyek adalah SATU orang manusia dengan sistem tubuh yang saling berkaitan. Jika kita merujuk pasien yang sama kepada herbalis yang berdasarkan thibbun Nabawi [2], maka mungkin segera dapat diketahui bahwa semua penyakit orang tersebut bersumber pada satu organ saja, yaitu perut. Bidang farmasi menghasilkan sejumlah obat kimia hasil ekstrak yang telah meniadakan keseimbangan bahan herbal yang di ekstrak sehingga efek sampingnya menjadi besar. Apa bidang yang tidak di kompertementalisasikan ? Semua bidang dibangun sekat-sekatnya, pembagian-pembagiannya, sehingga keseimbangan dalam harmonisasi keutuhan menghilang. Orang mulai merindukan untuk menjadi ”manusia se-utuhnya” tanpa tahu lagi bagaimana caranya.
Keseimbangan alam telah lama terusik dan kini nyata-nyata telah menjadi korban kebodohan dan kezaliman manusia. Pemanasan global merupakan kisah tragis kemajuan ilmu pengetahuan yang di bangga-banggakan dunia barat. Penemuan brillian atas bahan CFC (freon), plastik, teknologi nuklir dll merupakan bukti nyata zholuman jahula [3]-nya manusia. Masih terlalu banyak contoh yang tak disebutkan di sini, contoh di bidang kemajuan ilmu pertanian, genetika, antariksa dll.
Sebenarnya sejak akhir abad 19 awal abad 20 sudah ada sejumlah manusia dari masyarakat kafir jahiliyah yang mengkritisi kemajuan yang belum seberapa saat itu, yaitu para pem-protes revolusi Industri. Misalnya filsafat eksitensialisme. Meskipun kritikan mereka masih sebatas kulit masalah dan ungkapan keresahan belaka, bahkan sebagian dari mereka jelas-jelas tersesat menjadi ateis nyata, namun kegelisahan jiwa manusia sudah terdeteksi sejak lama. Saat itu, mayoritas umat Islam belum terlalu terpengaruh kemajuan ilmu barat sebab belum terlalu ”modern”.
(3) Persoalan lain dari sistem pendidikan jahiliyah modern adalah masalah proses belajar mengajar secara klasikal massal.
Kelas menjadi ruang-ruang peng-generalisasi individu anak didik. Bekerja sama dengan sistem penilaian kuantitatif, penegakkan dinding ruang kelas telah menghilangkan kemampuan anak didik melihat dunia nyata. Simulasi persoalan yang disederhanakan agar dapat dibungkus dan di bawa ke ruang kelas telah menyebabkan ada jarak antara pengajaran teori dengan pemahaman realita. Khusus Indonesia kita, sistem soal jawab yang sering mengandalkan multiple choice telah memunculkan bisnis bimbel dengan sukses. Cara seperti ini telah dengan amat berhasil membungkus berbagai soal jawab dalam lingkup kurikulum yang melebar (seolah banyak, dan memang banyak topiknya, namun dangkal pemahaman).
Kita, orangtua sangat kagum betapa anak-anak kita telah disuguhkan soal dari topik bahasan matematika yang biasa diberikan di tingkat dua fak teknik justru ketika anak kita masih kelas dua SMA. Seolah ada kemajuan beberapa tahun. Tapi apakah lompatan ini bermanfaat? Itu soal lain, yang penting ketika evaluasi kurikulum dilakukan, para pembuat kurikulum dapat dengan bangga mengatakan bahwa mereka telah ”advance” dalam mendidik murid dengan materi bahasan yang lebih tinggi. Benarlah anak murid dapat menjawab dengan pilihan jawaban yang benar, sebab mereka telah pernah diberikan soal bahasan tsb dalam bentuk bahasan soal multiple choice, bukan dalam konteks topik tsb sebenarnya berada. Anak tinggal menghafalkan apa jawaban yang benar. Seorang anak kelas 3 SMA di sekolah terpadu dalam 3-6 bulan terakhir tak lagi diberikan materi pelajaran yang utuh. 3-6 bulan terakhir mereka hanya bertugas menjawab ribuan soal jawab multiple choice yang terlepas-lepas dari topik bahasan masing-masing. Bahkan ada yang mengadakan program pesantren kilat bimbel, tempat murid dikarantina selama 1 bulan untuk menjawab ribuan soal sambil dipompa motivasi ”belajar”nya dengan berbagai teknik training motivasi layaknya seorang calon manajer kantoran. Saya melihatnya sebagai sebuah kamp konsentrasi untuk cuci otak, dan untuk itu ortu harus bayar jutaan rupiah. Ujilah hasilnya sebagaimana kami pernah menguji anak kami dengan persoalan sederhana berikut ini (;…..soal phytagoras).
Dengan meredusir setiap topik bahasan kedalam sejumlah soal multiple choce, para pembuat kurikulum telah berhasil mendapatkan evaluasi ”baik” (secara statistik dan kuantitatif) dari pencapaian murid di ruang kelas yang massal. Dalam ruang kelas seperti ini, seorang murid tak perlu berkonsentrasi secara penuh saat belajar, dalam kelas ada waktu untuk main HP, main game, dan bercanda bahkan melamun dan tidur, sebab kesuksesannya dapat dikejar nanti, saat ia habis-habisanan menghafal huruf a.b,c,d yang mewakili jawaban yang benar. Mengapa demikian? Mengapa ketika beban kurikulum ditambah anak murid malah lebih banyak kesempatan bermain dalam kelas? Alasannya karena cara belajar seperti ini pada hakekatnya tidak menambah kecerdasan. Murid tidak dibuat tambah pandai berpikir, dan mereka tak perlu bekerja keras berpikir. Cukup melibatkan proses berbikir sederhana yaitu mix and match antara soal dan huruf (abcd) yang mewakili jawaban yang benar. Ini proses pengenalan sederhana yang anak TK-pun sudah mampu mencapainya dengan kapasitas otak mereka. Sebagaimana soal jawab di buku TK, hanya saja anak SMA bukannya harus melakukan mix and match antara badan ayam dan dan kaki ayam, badan sapi dan kaki sapi, tapi antara soal tsb dengan jawabannya.
Bagaimana jawaban tsb sampai kesana, itu tak lagi penting. Persis anak TK yang tak perlu tahu bahwa sapi adalah mamalia dan ayam adalah aves. Yang penting adalah anak murid harus menghafal sebanyak-banyaknya soal jawab, dan semua itu hanya untuk mengisis angka raport. Setelah nilai-nilai ujian dan raport dibagikan, anak murid-pun tak akan ingat lagi semua soal jawab itu sama sekali. Bagaimana mungkin ingat jika mereka hanya menghafal soal jawab tanpa mengerti apa yang dibicarakan?
http://bolehjadikiamatsudahdekat.com/index.php?option=com_content&view=article&id=111:antara-pendidikan-jahiliyah-modern-dan-pendidikan-islami-bag-3&catid=35:kolom-keluarga&Itemid=62
Kaum jahiliyah menganggap bahwa menentang pemerintah merupakan keuatamaan
Written by Abdurrahman
Sunday, 06 June 2010 06:30
Diantara perkara jahiliyah adalah tidak mau tunduk kepada pemerintah. Orang-orang jahiliyah memandang bahwa taat kepada pemerintah adalah suatu kerendahan. Sedangkan menentang pemerintah, mereka anggap sebagai suatu bentuk keutamaan dan kebebasan. Oleh karena itu, mereka tidak dapat dikumpulkan di atas satu kepemimpinan disebabkan oleh sikap mereka yang tidak mau tunduk (kepada pemimpin) dan kesombongan yang ada pada mereka.
Kemudian datanglah agama Islam untuk menyelisihi mereka. Islam memerintah untuk mendengar dan taat kepada pemerintah yang muslim, karena di dalamnya terdapat kemaslahatan. Allah swt berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan taatlah kepada rasul serta pemimpin dari kalian” (An-Nisa’:59)
Di dalam ayat ini diperintahkan untuk menaati pemerintah. Dan Rasulullah memerintahkan untuk taat dalam perkara yang baik. Beliau bersabda:
لا طاعة لمخلوق في معصية الخالق
“Tidak ada ketaatan kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Sang Khalik” (HR. Ahmad, dishahihkan oleh Syaikh Al-Bany dalam Shahih Al-Jami’)
Dan Beliau juga bersabda:
إنما الطاعة في المعروف
“Sesungguhnya ketaatan itu hanya di dalam perkara yang baik saja” (HR. Bukhari dan Muslim)
Wajib menaati pemerintah di selain perkara yang mengandung kemaksiatan kepada Allah. Jika pemerintah memerintahkan untuk berbuat maksiat, maka tidak perlu untuk ditaati, akan tetapi tidak boleh menentangnya di dalam perkara-perkara yang lain. Jadi ketidaktaatan ini khusus untuk perkara yang didalamnya mengandung kemaksiatan. Dan tidaklah bai’at kepada pemerintah digugurkan dengan sebab ini. Maka janganlah menentang pemerintah selama ia (pemerintah) seorang muslim. Sebab dengan menaati pemerintah (muslim), akan terjaga persatuan dan darah (kaum muslimin akan terjaga), serta menjadi sebab munculnya keamanan.
Selain itu juga, orang yang didzalimi dapat meminta keadilan (kepada pemerintah) atas orang yang mendzaliminya, mengembalikan hak kepada pemiliknya, dan meletakkan hukum di tengah manusia dengan penuh keadilan. Walaupun pemerintah tersebut tidak lurus agamanya, bahkan bila ia seorang yang fasik (ahli maksiat) sekalipun. Dengan catatan, selama kefasikannya itu belum sampai ke tingkat kekufuran, sebagaimana sabda Nabi saw
اسمعوا وأطيعوا، إلا أن تروا كفراً بواحاً عندكم عليه من الله برهان
“Mendengar dan taatlah kalian (kepada pemerintah kalian), kecuali bila kalian melihat kekafiran yang nyata dan kalian memiliki buktinya di hadapan Allah” (HR. Bukhari dan Muslim)
Selama kemaksiatan yang dilakukan bukan kekufuran, maka pemerintah berhak untuk didengar dan ditaati. Adapun kefasikannya, merupakan tanggung jawab dirinya sendiri. Sedangkan loyalitas dan ketaatan kepadanya adalah untuk kebaikan kaum muslimin.
Oleh karena itu, ketika ditanyakan kepada sebagian imam, “Sesungguhnya si Fulan fasik (ahli maksiat), akan tetapi dia seorang yang mempunyai kekuatan. Dan sesungguhnya si ‘Allan itu seorang yang shalih akan tetapi dia lemah. Mana yang diantara keduanya yang layak menjadi penguasa?” Maka mereka menjawab, “Seorang fasik tetapi kuat (lebih layak menjadi penguasa). Sebab kefasikannya akan kembali pada dirinya sendiri, sedangkan kekuatannya akan membawa manfaat untuk kaum muslimin. Adapun seorang yang shalih, sesungguhnya kesalihannya untuk dirinya sendiri, dan kelemahannya akan membawa kejelekan bagi kaum muslimin”
Maka tetap didengar dan ditaati pemimpin itu, walaupun dia seorang yang fasik (ahli maksiat), bahkan walaupun berbuat jahat dan dzalim. Rasulullah saw bersabda
أطع وإن أخذ مالك وضرب ظهرك
“Taatilah (penguasa) itu, walaupun dia merampas hartamu dan memukul punggungmu” (HR. Muslim)
Karena di dalam menaatinya, ada manfaat yang lebih banyak daripada kerusakannya. Dan kerusakannya yang akan ditimbulkan dari sikap penentangan kepada pemerintah lebih besar daripada kerusakan yang timbul akibat taat kepadanya, walaupun dia dalam keadaan sedang berbuat maksiat. Dampak negatif yang akan timbul dari sikap menentang kepada pemerintah adalah tertumpahnya darah, hilangnya keamanan dan bercerai-berainya persatuan.
Dan apa akibat yang diperoleh oleh orang-orang yang keluar dari ketaaan kepada para pemerintah, sebagaimana yang telah dikisahkan dalam sejarah? Apa akibat yang diperoleh tatkala terjadi fitnah dari orang-orang yang menentang Utsman ra?, ketika mereka bangkit dan memberontak serta membunuh Amirul Mukminin Utsman ra? Akibat yang diperoleh oleh mereka adalah kerendahan dan kehinaan, disebabkan mereka memberontak kepada Amirul Mukminin dan membunuhnya. Dan kaum musliminpun (sampai sekarang) senantiasa ditimpa berbagai kerendahan, kehinaan, dan kerusakan.
Dan demikian juga haknya sebagian pemerintah (yang wajib kita tunaikan) adalah kita tetap bersabar dalam menaatinya, walaupun terdapat kerusakan yang sifatnya parsial. Hal ini lebih ringan daripada keluar dari ketaatan kepadanya. Oleh karena itu, Nabi saw mewajibkan untuk menaati para pemerintah, selama belum murtad dari Islam, walaupun ia seorang yang fasik dan dzalim. Kerena bersabar di atas kerusakan yang sifatnya parsial merupakan tindakan preventif terhadap munculnya kerusakan yang lebih besar. Dan mengerjakan yang paling ringan diantara dua perkara yang berbahaya untuk menolak perkara yang paling berat dari keduanya, maka ini adalah perkara yang paling ma’ruf (baik).
Inilah perbedaan antara orang-orang jahiliyah dan orang-orang Islam di dalam bersikap kepada pemerintah. Orang-orang jahiliyah berprinsip, tidak akan taat kepada pemerintah. Mereka menilai bahwa menaatinya adalah suatu kerendahan dan kehinaan. Sedangkan ajaran Islam memerintahkan untuk menaati pemerintah muslimin, walaupun pada mereka terdapat kefasikan dan kedzaliman. Islam memerintahkan agar kaum muslimin tetap bersabar terhadap sikap mereka, karena di dalamnya terdapat kemaslahatan bagi kaum muslimin.
Adapun keluar dari ketaatan kepadanya, akan mendatangkan kemudharatan bagi kaum muslimin itu sendiri. Bahkan kerusakannya lebih besar daripada kerusakan yang ditimbulkan oleh sikap tetap berada diatas ketaatan kepada mereka. Hal ini dengan catatan, penyimpangan yang mereka lakukan tidak mengeluarkan mereka (penguasa) dari Islam. Ini merupakan kaidah yang agung yang dibawa oleh Islam di dalam menyikapi perkara yang besar ini.
Adapun orang-orang jahiliyah, sebagaimana penjelasan yang telah lalu, tidak berpandangan akan wajibnya taat dan patuh serta terikat kepada pemerintah. Contohnya, orang-orang kafir yang menggembor-gemborkan kebebaasan dan demokrasi, apa yang terjadi pada masyarakat mereka saat ini? Di dalam masyarakat mereka terjadi tindakan kebiadaban dan kebinatangan, pembunuhan, perampokan, dekadensi moral, tindak kejahatan dan rawannya keamanan. Padahal mereka ini kategori negara-negara besar yang memiliki kekuatan di bidang senjata penghancur. Akan tatapi keadaan mereka seperti keadaan binatang, wal ‘iyyadzu billah’. Hal ini dikarenakan mereka tetap berada di atas apa yang dipegang dan dilakukan oleh orang-orang jahiliyah dahulu.
Nabi saw memerintahkan umatnya agar mendengar dan taat kepada pemerintah. Beliau memerintahkan untuk memberikan nasihat kepada mereka dengan cara rahasia, yaitu antara mereka (penguasa) dengan orang yang menasehatinya saja.
Adapun membicarakan kejelekan mereka, mencaci maki mereka dan membicarakan mereka di belakang mereka (ghibah), maka hal ini merupakan perbuatan khianat kepada mereka. Karena hal ini akan membangkitkan kebencian rakyat kepada mereka dan membuat senang orang-orang jahat. Inilah sikap pengkhianatan kepada pemerintah.
Adapun mendoakan kebaikan untuk mereka, tidak menyebutkan kejelekan dan kekurangan mereka di majelis-majelis, maka hal ini merupakan nasihat buat mereka.
Barangsiapa mempunyai keinginan untuk menasehati seorang pemimpin, maka dia bisa menyampaikannya secara pribadi baik dengan lisan maupun tertulis. Atau dengan cara melalui orang yang mempunyai jalur dengan si pemimpin tersebut agar disampaikan kepadanya. Dan jika penyampaian nasihat itu tidak memungkinkan, maka dia dalam hal ini ma’dzur, memiliki udzur.
Adapun bila ia di majelis-majelis, atau di atas mimbar, atau di depan studio rekaman, lalu ia mencela dan menjelek-jelekkan pemerintah, maka ini bukan nasihat, akan tetapi ini adalah suatu bentuk pengkhianatan kepadanya. Yang dimaksud nasihat untuk mereka meliputi berdoa kebaikan untuk mereka, menutupi aib dan kekurangan yang ada, dan tidak mengungkapkannya di depan umum. Dan termasuk nasihat untuk pemerintah adalah menjalankan pekerjaan yang dibebankan pemerintah kepada para pegawai dan pekerja, serta berjanji untuk menjalankannya dengan baik
Diambil dari Syarh Masail Jahiliyah, Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-Fauzan
http://perpustakaan-islam.com/index.php?option=com_content&view=article&id=282:kaum-jahiliyah-menganggap-bahwa-menentang-pemerintah-merupakan-keuatamaan&catid=35:aqidah
Tinggalkan Jahiliyah,Kembalilah ke Jalan Islam
Sebentar lagi memasuki pergantian tahun. Kita akan meninggalkan tahun 1430 hijriyah,dan masuk ke tahun 1431 hijriyah. Kita dapat melakukan muhasabah perjalanan (mereview) hidup kita, selama setahun yang lalu, apakah lebih berat timbangan kebaikannya, atau lebih berat timbangan keburukannya?
Umur kita akan terus bertambah dan semakin mendekati datangnya kematian. Kematian adalah kepastian. Tak ada satupun makhluk di muka bumi yang selamat dari kematian. Dan, manusia harus bersiap-siap menyongsong kehidupan baru, yang lebih lama, lebih panjang, kekal, selama-lamanya, yaitu kehidupan akhirat.
Dalam kehidupan ini kita akan memilih. Kita memilih kebahagian di dunia atau memilih kebahagiaan di akhirat? Atau kita memilih keduanya, seperti dalam doa yang selalu kita ucapkan : “ Ya Rabb anugerahilah aku kehidupan di dunia yang bahagia, dan kehidupan di akhirat yang mulia”. Inilah jalan para anbiya’ (nabi), khulafaur rasyididn, dan para generasi shalaf, yang senantiasa mencintai Rabbnya, dan tidak pernah berpaling selama-lamanya dari-Nya. Generasi ini yang terus menapaki kehidupan dengan segala amal kebaikan.
Mereka senantiasa menolak dengan tegas perbuatan yang bathil dan fasad, yang dapat menjerumuskan diri mereka kedalam bencana. Ghirahnya (kecemburuannya) terus menyala-nyala, tak pernah padam, selalu marah ketika melihat segala penyimpangan, penolakan manusia atas segala ajaran-Nya, dan tidak pernah mau menerima segala bentuk kekafiran, kemusyrikan, dan kemunafikan. Karena, sifat-sifat itu, tak layak dimiliki oleh orang-orang yang senantiasa bertaqwa kepada Rabbnya. Sifat-sifat itu yang sangat dibenci oleh Allah Azza Wa Jalla.
Tapi, kita memasuki kehidupan modern, yang penuh dengan tarikan dunia, yang senantiasa menggoada manusia menjadi lalai. Manusia tidak ingat akan datangnya kematian. Kehidupannya terus disibukkan dengan berbagai ambisi dan angan-angan, yang tak pernah habis-habis. Sampai datangnya hari tua, dan kematian merenggutnya. Adakah penyesalan? Segalanya menjadi terlambat. Segala penyesalan tak ada gunanya.
Seperti halnya, Fir’aun, yang saat ditenggelamkan di laut Merah, baru menyadari kemahakuasaan Allah Rabbul Jallal. Apakah sifat dan sikap manusia seperti itu? Datangnya kesadaran selalu terlambat. Datangnya penyesalan selalu terlambat. Ketika manusia sudah memasuki kehidupan di akhirat, dan masing-masing harus mempertanggungjawabkan kehadapan sang Khaliq, selalu mereka mengatakan, ketika di dunia belum mendapatkan keterangan tentang hakikat al-haq.
Bagaimana nasib manusia hari ini yang senantiasa menggantungkan hidupnya kepada materi? Ketika krisis datang dan menghampiri mereka, maka mereka banyak yang merasa kehilangan keseimbangan, merasakan kehampaan, dan kehilangan motivasi, serta semangat hidup. Kesalahan yang mendasar manusia modern adalah menjadikan benda sebagai sesembahan, dan makhluk sebagai sesembahan.
Kehidupan modern sekarang ini, tak ubahnya seperti ketika kehidupan di masa lalu, pada masa Nabi Ibrahim alaihis salam, mereka menyembah patung-patung, benda, matahari, rembulan, dan sesama manusia, yang mereka kira dapat memberikan manfaat bagi kehidupan mereka. Sama antara jahiliyah di masa lalu dengan kehidupan di zaman sekarang. Mungkin hanya suasananya yang berbeda.
Manusia modern yang sangat berkecenderungan pada kehidupan materialisme, hanya menghabiskan seluruh waktu dan umurnya, mengumpulkan materi dengan bekerja. Waktunya, dari pagi hingga malam, hanya digunakan bekerja. Tujuannya mendapat materi. Lalu, mereka bersenang-senang, mengunjungi tempat-tempat hiburan, cape, hotel, tempat wisata, dan segala yang berbau ‘luxury’, yang dapat memberikan kenikmatan bagi kehidupan mereka.
Manusia betul-betul sebagai pemuja kenikmatan. Kenikmatan kehidupan di dunia, yang sengaja mereka ciptakan sendiri. Seakan mereka berkekalan atas segala kehidupan di dunia, yang tak pernah bakal berakhir. Mereka adalah orang-orang yang memanipulasi kehidupannya sendiri, membodohi kehidupan sendiri, dan akhirnya mereka menjadi korban dari pilihan hidup mereka sendiri. Mereka mengejar fatamorgana, yang mereka sangka sebagai kehidupan yang nyata.
Ketamakan manusia modern dalam menggunakan materi, dipertontonkan dengan telanjang oleh masyarakat Barat. Mereka menghabiskan sumber daya alam dari negara-negara Dunia Ketiga, yang sengaja diekploitasi habis-habisan, harta benda mereka dikeruk di bawa ke Barat, dan mereka menikmati. Mereka membiarkan kehidupan yang sangat menyakitkan bagi rakyat di Dunia Ketiga, yang miskin papa, dan tidak memiliki apa. Bahkan, masyarakat Barat, sengaja melanggengkan kemiskinan dan ketidak adilan, dan hancurnya sendi-sendi kehidpan di dalam masyarakat. Semua itu, tak lain adalah akibat orientasi masyarakat modern yang sangat menuhankan materi.
Seperti dikatakan oleh Sayid Qutb rahimahumullah,yang mengatakan masyarakat modern, nantinya akan menghadapi kehancuran dari akibat budaya jahiliyah yang mereka bangun. Ibn Taimiyah berpendapat, ‘Sebuah negeri dikatakan sebagai daarul kufri, daarul iman atau daaru fasik, bukan karena hakikat yang ada pada negeri itu, tetapi karena sifat para penduduknya’. Maka, bagaimana kehidupan masyarakat itu, yang akan menentukan status sebuah negeri. Apakah negeri itu daarul kufri atau daarul iman? Kalau kehidupan jahiliyah yang mendominasi kehidupan mereka, maka layak sebuah negeri mendapatkan status sebagai : ‘daarul kufri’, meskipun penduduknya sebagian besar adalah muslim.
Marilah kita tinggalkan kehidupan jahiliyah yang penuh dengan dosa dan maksiat, dan kita gantikan dengan kehidupan yang lebih menuju jalan yang diridhai oleh Allah Azza wa Jalla. Mari kita masuki tahun 1431 hijriyah ini dengan memperbaharui tekad dan niat menuju jalan yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala, jalan Islam. Wallahu ‘alam.
http://akhdian.net/2009/12/18/tinggalkan-jahiliyahkembalilah-ke-jalan-islam/

Ditulis dalam Uncategorized
Tags:

EPISTEMOLOGI: FILSAFAT PENGETAHUAN

Agustus 3, 2011
6 Komentar
PENGANTAR
artikel di bawah ini merupakan kumpulan artikel dari internet.
FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU
I. ANTARAN
Filsafat seringkali disebut oleh sejumlah pakar sebagai induk semang dari ilmu-ilmu . Filsafat merupakan disiplin ilmu yang berusaha untuk menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat dan lebih memadai. Filsafat telah mengantarkan pada sebuah fenomena adanya siklus pengetahuan sehingga membentuk sebuah konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekar-bercabang secara subur sebagai sebuah fenomena kemanusiaan. Masing-masing cabang pada tahap selanjutnya melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri.
Perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru dengan berbagai disiplin yang akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Ilmu pengetahuan hakekatnya dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan dengan patokan-patokan serta tolok ukur yang mendasari kebenaran masing-masing bidang.
Dalam kajian sejarah dapat dijelaskan bahwa perjalanan manusia telah mengantarkan dalam berbagai fase kehidupan . Sejak zaman kuno, pertengahan dan modern sekarang ini telah melahirkan sebuah cara pandang terhadap gejala alam dengan berbagai variasinya. Proses perkembangan dari berbagai fase kehidupan primitip–klasik dan kuno menuju manusia modern telah melahirkan lompatan pergeseran yang sangat signifikan pada masing-masing zaman. Disinilah pemikiran filosofis telah mengantarkan umat manusia dari mitologi oriented pada satu arah menuju pola pikir ilmiah ariented, perubahan dari pola pikir mitosentris ke logosentris dalam berbagai segmentasi kehidupan.
Corak dari pemikiran bersifat mitologis (keteranganya didasarkan atas mitos dan kepercayaan saja) terjadi pada dekade awal sejarah manusia. Namun setelah adanya demitologisasi oleh para pemikir alam seperti Thales (624-548 SM), Anaximenes (590-528 SM), Phitagoras (532 SM), Heraklitos (535-475 SM), Parminides (540-475 SM) serta banyak lagi pemikir lainnya, maka pemikiran filsafat berkembang secara cepat kearah kemegahanya diikuti oleh proses demitologisasi menuju gerakan logosentrisme . Demitologisasi tersebut disebabkan oleh arus besar gerakan rasionalisme , empirisme dan positivisme yang dipelopori oleh para pakar dan pemikir kontemporer yang akhirnya mengantarkan kehidupan manusia pada tataran era modernitas yang berbasis pada pengetahuan ilmiah.
Pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat umum. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya Ilmu (Pengetahuan). Permasalahan yang akan kita jelajahi dalam penulisan makalah ini difokuskan pada pembahasan tentang: “Filsafat dan Filsafat Ilmu Sebagai upaya konseptualisasi dan identifikasi”. Disini dipaparkan deskripsi awal tentang sejumlah kajian yang menyangkut tentang subbab-subbab yakni : Pengertian Filsafat, Definisi filsafat ilmu, Obyek material dan formal filsafat ilmu, Lingkup filsafat ilmu dan subsatnsi permasalahan problem – problem filsafat ilmu
II. Pengertian Filsafat
Problem identifikasi untuk memberikan pengertian dalam khazanah intelektual seringkali melahirkan perdebatan-perdebatan yang cukup rumit dan melelahkan. Hampir dalam setiap diskusi berbagai ilmu seringkali terdapat penjelasan – penjelasan pengertian yang tidak jarang memunculkan pengertian-pengertian yang beragam. Keberagaman pengertian ini disebabkan berbagai arah sudut pandang dan focus yang berbeda-beda diantara para pakar dalam memberikan identifikasi . Dan ini merupakan sebuah kemakluman sebab kajian ilmu adalah kajian abstraksi konseptual maka sangat dimungkinkan masing-masing subyek (para pemikir ) memiliki perbedaan dalam menggunakan paradigma identifikasinya atau proses menemukan makna dalam sebuah kajian keilmuan. Peradigma tersebut akan menjadi acuan bagi pemikir untuk menentukan sebuah tolok ukur kebenaran dari asumsi-asumsi pembentuk dari konsepnya tersebut. Termasuk dalam persoalan ini adalah apakah yang dimaksud dengan filsafat? Berbagai jawaban yang sangat beragam dapat ditemukan dalam berbagai literatur.
Arti bahasa
Kata falsafah atau filsafat dalam bahasa Indonesia merupakan kata serapan dari bahasa Arab, yang juga diambil dari bahasa Yunani; Φιλοσοφία philosophia. Dalam bahasa ini, kata ini merupakan kata majemuk dan berasal dari kata-kata philia (= persahabatan, cinta dsb.) dan sophia (= “kebijaksanaan”). Sehingga arti lughowinya (semantic) adalah seorang “pencinta kebijaksanaan” atau “ilmu”. Sejajar dengan kata filsafat, kata filosofi juga dikenal di Indonesia dalam maknanya yang cukup luas dan sering digunakan oleh semua kalangan..
Ada juga yang mengurainya dengan kata philare atau philo yang berarti cinta dalam arti yang luas yaitu “ingin” dan karena itu lalu berusaha untuk mencapai yang diinginkan itu. Kemudian dirangkai dengan kata Sophia artinya kebijakan, pandai dan pengertian yang mendalam. Dengan mengacu pada konsepsi ini maka dipahami bahwa filsafat dapat diartikan sebagai sebuah perwujudan dari keinginan untuk mencapai pandai dan cinta pada kabijakan .
Seseorang yang mendalami bidang falsafah disebut “filsuf”. Definisi kata filsafat bisa dikatakan merupakan sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis , mendeteksi problem secara radikal, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses kerja ilmiah.
Berkaitan dengan konsep filsafat Harun Nasution tanpa keraguan memberikan satu penegasan bahwa filsafat dalam khazanah islam menggunakan rujukan kata yakni falsafah . Istilah filsafat berasal dari bahasa arab oleh karena orang arab lebih dulu datang dan sekaligus mempengaruhi bahasa Indonesia dibanding dengan bahasa- bahasa lain ke tanah air Indonesia. Oleh karenanya konsistensi yang patut dibangun adalah penyebutan filsafat dengan kata falsafat.
Pada sisi yang lain kajian filsafat dalam wacana muslim juga sering menggunakan kalimat padanan Hikmah sehingga ilmu filsafat dipadankan dengan ilmu hikmah. Hikmah digunakan sebagai bentuk ungkapan untuk menyebut makna kearifan, kebijaksanaan. sehingga dalam berbagai literature kitab-kitab klasik dikatakan bahwa orang yang ahli kearifan disebut Hukama’. Seringkali pula ketika dikaji dalam berbagai literature kitab-kitab pesantren muncul ungkapan-ungkapan dalam sebuah tema dengan konsep yang dalam bahasa arabnya misalnya kalimat ‘wa qala min ba’di al hukama….” . dan juga sejajar dengan kata al-hakim yang mengandung arti bijaksana. Misalnya ayat yang berbunyi
Artinya: mereka menjawab: “Maha suci Engkau, tidak ada yang Kami ketahui selain dari apa yang telah Engkau ajarkan kepada kami; Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana [al baqarah 2: 32].”
Artinya: serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmahdan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.(An Nahl:125)
Dalam terjemahan Depag ditafsiri bahwa Hikmah ialah Perkataan yang tegas dan benar yang dapat membedakan antara yang hak dengan yang bathil . Sementara Al Jurjani –sebagaimana dikutip oleh Amsal Bakhtiar—memberikan penjelasan tentang hikmah, yaitu ilmu yang mempelajari segala sesuatu yang ada menurut kadar kemampuan manusia.
Perkataan filsafat dalam bahasa Inggris digunakan istilah philosophy yang juga berarti filsafat yang lazim diterjemahkan sebagai cinta kearifan. Unsur pembentuk kata ini adalah kata philos dan sophos. Philos maknanya gemar atau cinta dan sophos artinya bijaksana atau arif (wise). Menurut pengertiannya yang semula dari zaman Yunani Kuno itu filsafat berarti cinta kearifan. Namun, cakupan pengertian sophia ternyata luas sekali,sophia tidak hanya berarti kearifan saja, melainkan meliputi pula kebenaran pertama, pengetahuan luas, kebajikan intelektual, pertimbangan sehat sampai kepandaian pengrajin dan bahkan kecerdikkan dalam memutuskan soal-soal praktis yang bertumpu pangkal pada konsep-konsep aktivitas –aktivitas awal yang disebut pseudoilmiah dalam kajian ilmu.
Secara lughowi (semantic) filsafat berarti cinta kebijaksanaan dam kebenaran. Maksud sebenarnya adalah pengetahuan tentang ada dari kenyataan-kenyataan yang paling umum dan kaidah-kaidah realitas serta hakekat manusia dalam segala aspek perilakunya seperti: logika, etika, estetika dan teori pengetahuan. Maka problem pengertian filsafat dalam hakekatnya memang merupakan problem falsafi yang kaya dengan banyak konsep dan pengertian.
Arti istilah
Sejumlah literatur mengungkapkan, orang yang pertama memakai istilah philosophia dan philosophos ialah Pytagoras (592-497 S.M.), yakni seorang ahli matematika yang kini lebih terkenal dengan dalilnya dalam geometri yang menetapkan a2 + b2 = c2. Pytagoras menganggap dirinya “philosophos” (pencinta kearifan). Baginya kearifan yang sesungguhnya hanyalah dimiliki semata-mata oleh Tuhan. Kemudian, orang yang oleh para penulis sejarah filsafat diakui sebagai Bapak Filsafat ialah Thales (640-546 S.M.). Ia merupakan seorang Filsuf yang mendirikan aliran filsafat alam semesta atau kosmos dalam perkataan Yunani. Menurut aliran filsafat kosmos, filsafat adalah suatu penelaahan terhadap alam semesta untuk mengetahui asal mulanya, unsur-unsurnya dan kaidah-kaidahnya.
Menurut sejarah kelahirannya istilah filsafat terwujud sebagai sikap yang ditauladankan oleh Socrates. Yaitu sikap seorang yang cinta kebijaksanaan yang mendorong pikiran seseorang untuk terus menerus maju dan mencari kepuasan pikiran, tidak merasa dirinya ahli, tidak menyerah kepada kemalasan, terus menerus mengembangkan penalarannya untuk mendapatkan kebenaran.
Timbulnya filsafat karena manusia merasa kagum dan merasa heran. Pada tahap awalnya kekaguman atau keheranan itu terarah pada gejala-gejala alam. Dalam perkembangan lebih lanjut, karena persoalan manusia makin kompleks. Sekalipun bertanya tentang seluruh realitas, filsafat selalu bersifat “filsafat tentang” sesuatu: tentang manusia, tentang alam, tentang tuhan (akhirat), tentang kebudayaan, kesenian, bahasa, hukum, agama, sejarah, dsb.. Semua selalu dikembalikan ke empat bidang induk: Pertama, filsafat tentang pengetahuan; obyek materialnya,: pengetahuan (“episteme”) dan kebenaran, epistemologi; logika; dan kritik ilmu-ilmu; Kedua, filsafat tentang seluruh keseluruhan kenyataan, obyek materialnya: eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat), metafisika umum (ontologi); metafisika khusus: antropologi (tentang manusia); kosmologi (tentang alam semesta); teologi (tentang tuhan); Ketiga filsafat tentang nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah tindakan: obyek material : kebaikan dan keindahan,etika; dan estetika; Keempat . sejarah filsafat; menyangkut dimensi ruang dan waktu dalam sebuah kajian .
Jika dikelompokkan secara kerakterisitik cara pendekatannya, dalam filsafat dikenal ada banyak aliran filsafat. Ciri pemikiran filsafat mengacu pada tiga konsep pokok yakni persoalan filsafat bercorak sangat umum, persoalan filsafat tidak bersifat empiris, dan menyangkut masalah-masalah asasi. Kemudian Kattsoff menyatakan karakteristik filsafat dapat diidentifikasi sebagai berikut.
1) Filsafat adalah berpikir secara kritis.
2) Filsafat adalah berpikir dalam bentuknya yang sistematis.
3) Filsafat menghasilkan sesuatu yang runtut.
4) Filsafat adalah berpikir secara rasional.
5) Filsafat bersifat komprehensif.
Jadi berfikir filsafat mengandung makna berfikir tentang segala sesuatu yang ada secara kritis, sistematis,tertib,rasional dan komprehensip
III. Definisi Filsafat Ilmu
Rosenberg menulis “ Philosophy deals with two sets of questions: First, the questions that science – physical, biological, social, behavioral –. Second, the questions about why the sciences cannot answer the first lot of questions”. Dikatakan bahwa filsafat dibagi dalam dua buah pertanyaan utama, pertanyaan pertama adalah persoalan tentang ilmu (fisika,biologi, social dan budaya) dan yang kedua adalah persoalan tentang duduk perkara ilmu yang itu tidak terjawab pada persoalan yang pertama. Dari narasi ini ada dua buah konsep filsafat yang senantiasa dipertanyakan yakni tentang apa dan bagaimana. Apa itu ilmu dan bagaimana ilmu itu disusun dan dikembangkan. Ini hal sangat mendasar dalam kajian dan diskusi ilmiah dan ilmu pengetahuan pada umumnya.yang satu terjawab oleh filsafat dan yang kedua dijawab oleh kajian filsafat ilmu.
Beberapa penjelasan mengenai filsafat tentang pengetahuan. Dipertanyakanlah hal-hal misalnya : Apa itu pengetahuan? Dari mana asalnya? Apa ada kepastian dalam pengetahuan, atau semua hanya hipotesis atau dugaan belaka? Teori pengetahuan menjadi inti diskusi, apa hakekat pengetahuan, apa unsur-unsur pembentuk pengetahuan, bagaimana menyusun dan mengelompokkan pengetahuan, apa batas-batas pengetahuan, dan juga apa saja yang menjadi sasaran dari ilmu pengetahuan. Disinilah filsafat ilmu memfokuskan kajian dan telaahnya. Yakni pada sebuah kerangka konseptual yang menyangkut sebuah system pengetahuan yang di dalamnya terdapat hubungan relasional antara, pengetahu /yang mengetahui (the Knower) dan yang terketahui /yang diketahui (the known) dan juga antara pengamat (the observer) dengan yang diamati (the observed).
Pengertian-pengertian tentang filsafat ilmu, telah banyak dijumpai dalam berbagai buku maupun karangan ilmiah. Filsafat ilmu adalah segenap pemikiran reflektif terhadap persoalan-persoalan mengenai segala hal yang menyangkut landasan ilmu maupun hubungan ilmu dengan segala segi dari kehidupan manusia. Filsafat ilmu merupakan suatu bidang pengetahuan integrative yang eksistensi dan pemekarannya bergantung pada hubungan timbal-balik dan saling-pengaruh antara filsafat dan ilmu.
Filsafat ilmu merupakan penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Objek dari filsafat ilmu adalah ilmu pengetahuan. Oleh karena itu setiap saat ilmu itu berubah mengikuti perkembangan zaman dan keadaan. Pengetahuan lama menjadi pijakan untuk mencari pengetahuan baru. I
Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam sejumlah literatur kajian Filsafat Ilmu.
• Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
• Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
• Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
• Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
• May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
• Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may be offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the elimination of inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan
• Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbincangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika).
Dari paparan pendapat para pakar dapat disimpulkan bahwa pengertian filsafat ilmu itu mengandung konsepsi dasar yang mencakup hal-hal sebagai berikut:
1) sikap kritis dan evaluatif terhadap kriteria-kriteria ilmiah
2) sikap sitematis berpangkal pada metode ilmiah
3) sikap analisis obyektif, etis dan falsafi atas landasan ilmiah
4) sikap konsisten dalam bangunan teori serta tindakan ilmiah
Selanjutnya John Losee dalam bukunya yang berjudul,A Historical Introduction to the Philosophy of Science, Fourth edition, mengungkapkan bahwa : The philosopher of science seeks answers to such questions as:
• What characteristics distinguish scientific inquiry from other types of investigation?
• What procedures should scientists follow in investigating nature?
• What conditions must be satisfied for a scientific explanation to be correct?
• What is the cognitive status of scientific laws and principles?
Dari ungkapan tersebut terdapat sebuah konsep bahwa tugas dari pemikir filsafat ilmu itu untuk menjawab dan menyelesaikan persoalan persoalan yang menyangkut: pertama, apa yang menjadi perbedaaan ilmiah karakteristik type masing – masing ilmu ntara satu ilmu dengan ilmu lainnya melalu penelitian. Kedua Prosedur apa yang harus dilakukan secara ilmiah dalam melakukan penelitian atas kenyataan yang terjadi di alam?, Ketiga apa yang mestinya dilakukan dalam mendapatkan penjelasan ilmiah untuk melakukan penelitian dan eksperimen itu ? Dan keempat apakah teori itu dapat diambil sebagai konsep dan prinsip-prinsip ilmiah?.
Sehingga sketsa filsafat ilmu dapat di gambarkan dalam bentuk tabel sebagai berikut:
Level Disciplin Subject-matter
2 Philosophy of Science Analysis of the Procedures and Logic of Scientific Explanation
1 Science Explanation of Facts
0 Facts
Dengan memperhatikan tabel diatas secara jelas ditampilkan bahwa filsafat ilmu menempati level ke-2 sedangkan ilmu (science) pada level pertama dan semuanya pada satu pangkal pokok yakni fakta (kenyataan) menjadi basis utama bangunan segala disiplin ilmu. Kalau ilmu itu menjelaskan Fakta sementara filsafat ilmu itu subyek materinya adalah menganalisa prosedur-prosedur logis dari ilmu (Analysis of the Procedures and Logic of Scientific Explanation).
IV. Lingkup Filsafat Ilmu
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
• Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
• Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
• Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis).
Sedangkan di dalam introduction-nya Stathis Psillos and martin Curd menjelaskan bahwa filsafat ilmu secara umum menjawab pertanyaan – pertanyaan yang meliputi :
• apa tujuan dari ilmu dan apa itu metode ? jelasnya apakah ilmu itu bagaimana membedakan ilmu dengan yang bukan ilmu (non science) dan juga pseudoscience?
• bagaimana teori ilmiah dan hubungannya dengan dunia secara luas ? bagaiman konsep teoritik itu dapat lebih bermakna dan bermanfaat kemudian dapat dihubungkan dengan penelitian dan observasi ilmiah?
• apa saja yang membangun struktur teori dan konsep-konsep seperti misalnya causation(sebab-akibat dan illat), eksplanasi (penjelasan), konfirmasi, teori, eksperimen, model, reduksi dan sejumlah probabilitas-probalitasnya?.
• apa saja aturan – aturan dalam pengembangan ilmu? Apa fungsi eksperimen ? apakah ada kegunaan dan memiliki nilai (yang mencakup kegunaan epistemic atau pragmatis) dalam kebijakan dan bagaimana semua itu dihubungkan dengan kehidupan social, budaya dan factor-faktor gender?
Dari paparan ini dipertegas bahwa filsafat ilmu itu memiliki lingkup pembahasan yang meliputi: cakupan pembahasan landasan ontologis ilmu, pembahasan mengenai landasan epistemologi ilmu, dan pembahasan mengenai landasan aksiologis dari sebuah ilmu.
V. Obyek Material dan Obyek Formal Filsafat Ilmu
Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan. Objek material adalah objek yang di jadikan sasaran menyelidiki oleh suatu ilmu, atau objek yang dipelajari oleh ilmu itu. Objek material filsafat illmu adalah pengetahuan itu sendiri, yakni pengetahuan ilmiah (scientific knowledge) pengetahuan yang telah di susun secara sistematis dengan metode ilmiah tertentu, sehingga dapat di pertanggung jawabkan kebenarannya secara umum.
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat ilmu.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.
Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. “Segala manusia ingin mengetahui”, itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala “manusia tahu”. Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali “kebenaran” (versus “kepalsuan”), “kepastian” (versus “ketidakpastian”), “obyektivitas” (versus “subyektivitas”), “abstraksi”, “intuisi”, dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
Jadi, dapat dikatakan bahwa Objek formal adalah sudut pandang dari mana sang subjek menelaah objek materialnya. Yang menyangkut asal usul, struktur, metode, dan validitas ilmu . Objek formal filsafat ilmu adalah hakikat (esensi) ilmu pengetahuan artinya filsafat ilmu lebih menaruh perhatian terhadap problem mendasar ilmu pengetahuan, seperti apa hakikat ilmu pengetahuan, bagaimana cara memperoleh kebenaran ilmiah dan apa fungsi ilmu itu bagi manusia.
VI Problema Filsafat Ilmu
Problem filsafat Ilmu dibicarakan sejajar dengan diskusi yang berkaitan dengan landasan pengembangan ilmu pengetahuan yakni landasan ontologis, epistemologis dan aksiologis. Untuk Telaah tentang problema substansi Filsafat Ilmu, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.
Permasalahan atau problema filsafat ilmu mancakup ; pertama Problem ontologi ilmu; perkembangan dan kebenaran ilmu sesungguhnya bertumpu pada landasan ontologis (‘apa yang terjadi’ – eksistensi suatu entitas) Kedua, Problem epistemologi; adalah bahasan tentang asal muasal, sifat alami, batasan (konsep), asumsi, landasan berfikir, validitas, reliabilitas sampai soal kebenaran (bagaimana ilmu diturunkan – metoda untuk menghasilkan kebenaran) Ketiga, Problem aksiologi; implikasi etis, aspek estetis, pemaparan serta penafsiran mengenai peranan (manfaat) ilmu dalam peradaban manusia. Ketiganya digunakan sebagai landasan penelaahan ilmu
VII. Fungsi dan Manfaat Filsafat Ilmu
Cara kerja filsafat ilmu memiliki pola dan model-model yang spesifik dalam menggali dan meneliti dalam menggali pengetahuan melalui sebab musabab pertama dari gejala ilmu pengetahuan. Di dalamnya mencakup paham tentang kepastian , kebenaran, dan obyektifitas. Cara kerjanya bertitik tolak pada gejala – gejala pengetahuan mengadakan reduksi ke arah intuisi para ilmuwan, sehingga kegiatan ilmu – ilmu itu dapat dimengerti sesuai dengan kekhasannya masing-masing disinilah akhirnya kita dapat mengerti fungsi dari filsafat ilmu.
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
• Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
• Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
• Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
• Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
• Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya.
Jadi, Fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana. Manfaat lain mengkaji filsafat ilmu adalah
• Tidak terjebak dalam bahaya arogansi intelektual
• Kritis terhadap aktivitas ilmu/keilmuan
• Merefleksikan, menguji, mengkritik asumsi dan metode ilmu terus-menerus sehingga ilmuwan tetap bermain dalam koridor yang benar (metode dan struktur ilmu)
• Mempertanggungjawabkan metode keilmuan secara logis-rasional
• Memecahkan masalah keilmuan secara cerdas dan valid
• Berpikir sintetis-aplikatif (lintas ilmu-kontesktual)
VII. KESIMPULAN
1. Hakekat Filsafat
• Secara bahasa Philo/philia/philare yang artinya cinta, ingin, senang dan kata Sophia/sophos yang artinya ilmu, kebijaksanaan atau pengetahuan. Jadi idzofahnya menjadi filsafat/falsafah/filosofi yang artinya mencintai kebijaksanan pengetahuan dan kenginan yang kuat akan ilmu pengetahuan. Jadi berfikir filsafat mengandung makna berfikir tentang segala sesuatu yang ada secara kritis, sistematis,tertib,rasional dan komprehensip
2. Hakikat Filsafat Ilmu
a. Pengertian Filsafat Ilmu
• merupakan cabang dari filsafat yang secara sistematis menelaah sifat dasar ilmu, khususnya mengenai metoda, konsep- konsep, dan praanggapan-pra-anggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang-cabang pengetahuan intelektual.
• filsafat ilmu pada dasarnya adalah ilmu yang berbicara tentang ilmu pengetahuan (science of sciences) yang kedudukannya di atas ilmu lainnya. Dalam menyelesaikan kajiannya pada konsep ontologis. ,secara epistemologis dan tinjauan ilmu secara aksiologis.
b. Karakteristik filsafat ilmu
• Filsafat ilmu merupakan cabang dari filsafat.
• Filsafat ilmu berusaha menelaah ilmu secara filosofis dari berbagai sudut pandang dengan sikap kritis dan evaluatif terhadap kriteria-kriteria ilmiah, sitematis berpangkal pada metode ilmiah , analisis obyektif, etis dan falsafi atas landasan ilmiah dan sikap konsisten dalam membangun teori serta tindakan ilmiah
3. Objek filsafat ilmu
• Objek material filsafat ilmu adalah ilmu dengan segala gejalanya manusia untuk tahu.
• Objek formal filsafat ilmu adalah ilmu atas dasar tinjauan filosofis, yaitu secara ontologis, epistemologis, dan aksiologis dengan berbagai gejala dan upaya pendekatannya.
4. Lingkup dan problema substansi filsafat ilmu
• Cakupannya pembahasan tentang problema substansi landasan ontologis ilmu, epistemologi ilmu, dan pembahasan mengenai landasan aksiologis dari sebuah ilmu.
5. Manfaat mempelajari filsafat ilmu
• Semakin kritis dalam sikap ilmiah dan aktivitas ilmu/keilmuan
• Menambah pemahaman yang utuh mengenai ilmu dan mampu menggunakan pengetahuan tersebut sebagai landasan dalam proses pembelajaran dan penelitian ilmiah.
• Memecahkan masalah dan menganalisis berbagai hal yang berhubungan dengan masalah yang dihadapi.
• Tidak terjebak dalam bahaya arogansi intelektual
• Merefleksikan, menguji, mengkritik asumsi dan metode ilmu terus-menerus sehingga ilmuwan tetap bermain dalam koridor yang benar (metode dan struktur ilmu)
• Mempertanggungjawabkan metode keilmuan secara logis-rasional
• Memecahkan masalah keilmuan secara cerdas dan valid
• Berpikir sintetis-aplikatif (lintas ilmu-kontesktual)
SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN FILSAFAT :
SUATU PENGANTAR KEARAH FILSAFAT ILMU
1. Sejarah Perkembangan Pemikiran Yunani Kuno: Dari Mitos ke Logos
Secara historis kelahiran dan perkembangan pemikiran Yunani Kuno(sistem berpikir) tidak dapat dilepaskan dari keberadaan kelahiran dan perkembangan filsafat, dalam hal ini adalah sejarah filsafat. Dalam tradisi sejarah filsafat mengenal 3 (tiga) tradisi besar sejarah, yakni tradisi: (1) Sejarah Filsafat India (sekitar2000 SM – dewasa ini), (2) Sejarah Filsafat Cina (sekitar 600 SM – dewasa ini), dan (3) Sejarah Filsafat Barat (sekitar 600 SM – dewasa ini).
Dari ketiga tradisi sejarah tersebut di atas, tradisi Sejarah Filsafat Barat adalah basis kelahiran dan perkembangan ilmu (scientiae/science/sain) sebagaimana yang kita kenal sekarang ini. Titik-tolak dan orientasi sejarah filsafat baik yang diperlihatkan dalam tradisi Sejarah Filsafat India maupun Cina disatu pihak dan Sejarah Filsafat Barat dilain pihak, yakni semenjak periodesasi awal sudah memperlihatkan titik-tolak dan orientasi sejarah yang berbeda. Pada tradisi Sejarah Fisafat India dan Cina, lebih memperlihatkan perhatiannya yang besar pada masalah-masalah keagamaan, moral/etika dan cara-cara/kiat untuk mencapai keselamatan hidup manusia di dunia dan kelak keselamatan sesudah kematian.
Sedangkan pada tradisi Sejarah Filsafat Barat semenjak periodesasi awalnya (Yunani Kuno/Klasik: 600 SM – 400 SM), para pemikir pada masa itu sudah mulai mempermasalahkan dan mencari unsur induk (arché) yang dianggap sebagai asal mula segala sesuatu/semesta alam Sebagaimana yang dikemukakan oleh Thales (sekitar 600 SM) bahwa “air” merupakan arché, sedangkan Anaximander (sekitar 610 -540 SM) berpendapat arché adalah sesuatu “yang tak terbatas”, Anaximenes (sekitar 585 – 525 SM berpendapat “udara” yang merupakan unsur induk dari segala sesuatu. Nama penting lain pada periode ini adalah Herakleitos (± 500 SM) dan Parmenides (515 – 440 SM), Herakleitos mengemukakan bahwa segala sesuatu itu “mengalir” (“panta rhei”) bahwa segala sesuatu itu berubah terus-menerus/perubahan sedangkan Parmenides menyatakan bahwa segala sesuatu itu justru sebagai sesuatu yang tetap (tidak berubah).
Lain lagi Pythagoras (sekitar 500 SM) berpendapat bahwa segala sesuatu itu terdiri dari “bilangan-bilangan”: struktur dasar kenyataan itu tidak lain adalah “ritme”, dan Pythagoraslah orang pertama yang menyebut/memperkenalkan dirinya sebagai sorang “filsuf”, yakni seseorang yang selalu bersedia/mencinta untuk menggapai kebenaran melalui berpikir/bermenung secara kritis dan radikal (radix) secara terus-menerus.
Yang hendak dikatakan disini adalah hal upaya mencari unsur induk segala sesuatu (arche), itulah momentum awal sejarah yang telah membongkar periode myte (mythos/mitologi) yang mengungkung pemikiran manusia pada masa itu kearah rasionalitas (logos) dengan suatu metode berpikir untuk mencari sebab awal dari segala sesuatu dengan merunut dari hubungan kausalitasnya (sebab-akibat).
Jadi unsur penting berpikir ilmiah sudah mulai dipakai, yakni: rasio dan logika (konsekuensi). Meskipun tentu saja ini arché yang dikemukakan para filsuf tadi masih bersifat spekulatif dalam arti masih belum dikembangkan lebih lanjut dengan melakukan pembuktian (verifikasi) melalui observasi maupun eksperimen (metode) dalam kenyataan (empiris), tetapi prosedur berpikir untuk menemukannya melalui suatu bentuk berpikir sebab-akibat secara rasional itulah yang patut dicatat sebagai suatu arah baru dalam sejarah pemikiran manusia. Hubungan sebab-akibat inilah yang dalam ilmu pengetahuan disebut sebagai hukum (ilmiah). Singkatnya, hukum ilmiah atau hubungan sebab-akibat merupakan obyek material utama dari ilmu pengetahuan. Demikian pula kelak dengan tradisi melakukan verifikasi melalui observasi dan eksperimen secara berulangkali dihasilkan teori ilmiah.
Zaman keemasan/puncak dari filsafat Yunani Kuno/Klasik, dicapai pada masa Sokrates (± 470 – 400 SM), Plato (428-348 SM) dan Aristoteles (384-322 SM). Sokrates sebagai guru dari Plato maupun tidak meninggalkan karya tulis satupun dari hasil pemikirannya, tetapi pemikiran-pemikirannya secara tidak langsung banyak dikemukakan dalam tulisan-tulisan para pemikir Yunani lainnya tetapi terutama ditemukan dalam karya muridnya Plato. Filsafat Plato dikenal sebagai ideal (isme) dalam hal ajarannya bahwa kenyataan itu tidak lain adalah proyeksi atau bayang-bayang/bayangan dari suatu dunia “ide” yang abadi belaka dan oleh karena itu yang ada nyata adalah “ide” itu sendiri. Filsafat Plato juga merupakan jalan tengah dari ajaran Herakleitos dan Parmenides. Dunia “ide” itulah yang tetap tidak berubah/abadi sedangkan kenyataan yang dapat diobservasi sebagai sesuatu yang senantiasa berubah. Karya-Karya lainnya dari Plato sangat dalam dan luas meliputi logika, epistemologi, antropologi (metafisika), teologi, etika, estetika, politik, ontologi dan filsafat alam.
Sedangkan Aristoteles sebagai murid Plato, dalam banyak hal sering tidak setuju/berlawanan dengan apa yang diperoleh dari gurunya (Plato). Bagi Aristoteles “ide” bukanlah terletak dalam dunia “abadi” sebagaimana yang dikemukakan oleh Plato, tetapi justru terletak pada kenyataan/benda-benda itu sendiri. Setiap benda mempunyai dua unsur yang tidak dapat dipisahkan, yaitu materi (“hylé”) dan bentuk (“morfé”). Lebih jauh bahkan dikatakan bahwa “ide” tidak dapat dilepaskan atau dikatakan tanpa materi, sedangkan presentasi materi mestilah dengan bentuk. Dengan demikian maka bentuk-bentuk “bertindak” di dalam materi, artinya bentuk memberikan kenyataan kepada materi dan sekaligus adalah tujuan (finalis) dari materi. Aristoteles menulis banyak bidang, meliputi logika, etika, politik, metafisika, psikologi dan ilmu alam. Pemikiran-pemikirannya yang sistematis tersebut banyak menyumbang kepada perkembangan ilmu pengetahuan
2. Jaman Patristik dan Skolastik: Filsafat Dalam dan Untuk Agama
Pada jaman ini dikenal sebagai Abad Pertengahan (400-1500 ). Filsafat pada abad ini dikuasai dengan pemikiran keagamaan (Kristiani). Puncak filsafat Kristiani ini adalah Patristik (Lt. “Patres”/Bapa-bapa Gereja) dan Skolastik Patristik sendiri dibagi atas Patristik Yunani (atau Patristik Timur) dan Patristik Latin (atau Patristik Barat). Tokoh-tokoh Patristik Yunani ini anatara lain Clemens dari Alexandria (150-215), Origenes (185-254), Gregorius dari Naziane (330-390), Basilius (330-379). Tokoh-tokoh dari Patristik Latin antara lain Hilarius (315-367), Ambrosius (339-397), Hieronymus (347-420) dan Augustinus (354-430). Ajaran-ajaran dari para Bapa Gereja ini adalah falsafi-teologis, yang pada intinya ajaran ini ingin memperlihatkan bahwa iman sesuai dengan pikiran-pikiran paling dalam dari manusia. Ajaran-ajaran ini banyak pengaruh dari Plotinos. Pada masa ini dapat dikatakan era filsafat yang berlandaskan akal-budi “diabdikan” untuk dogma agama.
Jaman Skolastik (sekitar tahun 1000), pengaruh Plotinus diambil alih oleh Aristoteles.
Pemikiran-pemikiran Ariestoteles kembali dikenal dalam karya beberapa filsuf Yahudi maupun Islam, terutama melalui Avicena (Ibn. Sina, 980-1037), Averroes (Ibn. Rushd, 1126-1198) dan Maimonides (1135-1204). Pengaruh Aristoteles demikian besar sehingga ia (Aristoteles) disebut sebagai “Sang Filsuf” sedangkan Averroes yang banyak membahas karya Aristoteles dijuluki sebagai “Sang Komentator”. Pertemuan pemikiran Aristoteles dengan iman Kristiani menghasilkan filsuf penting sebagian besar dari ordo baru yang lahir pada masa Abad Pertengahan, yaitu, dari ordo Dominikan dan Fransiskan.. Filsafatnya disebut “Skolastik” (Lt. “scholasticus”, “guru”), karena pada periode ini filsafat diajarkan dalam sekolah-sekolah biara dan universitas-universitas menurut suatu kurikulum yang baku dan bersifat internasional. Inti ajaran ini bertema pokok bahwa ada hubungan antara iman dengan akal budi. Pada masa ini filsafat mulai ambil jarak dengan agama, dengan melihat sebagai suatu kesetaraan antara satu dengan yang lain (Agama dengan Filsafat) bukan yang satu “mengabdi” terhadap yang lain atau sebaliknya.
Sampai dengan di penghujung Abad Pertengahan sebagai abad yang kurang kondusif terhadap perkembangan ilmu, dapatlah diingat dengan nasib seorang astronom berkebangsaan Polandia N. Copernicus yang dihukum kurungan seumur hidup oleh otoritas Gereja, ketika mengemukakan temuannya tentang pusat peredaran benda-benda angkasa adalah matahari (Heleosentrisme). Teori ini dianggap oleh otoritas Gereja sebagai bertentangan dengan teori geosentrisme (Bumi sebagai pusat peredaran benda-benda angkasa) yang dikemukakan oleh Ptolomeus semenjak jaman Yunani yang justru telah mendapat “mandat” dari otoritas Gereja. Oleh karena itu dianggap menjatuhkan kewibawaan Gereja.
3. Jaman Modern: Lahir dan Berkembangan Tradisi Ilmu Pengetahuan
Jembatan antara Abad pertengahan dan Jaman Modern adalah jaman “Renesanse”, periode sekitar 1400-1600. Filsuf-filsuf penting dari jaman ini adalah N. Macchiavelli (1469-1527), Th. Hobbes (1588-1679), Th. More (1478-1535) dan Frc. Bacon (1561-1626). Pembaharuan yang sangat bermakna pada jaman ini ((renesanse) adalah “antroposentrisme”nya. Artinya pusat perhatian pemikiran tidak lagi kosmos seperti pada jaman Yunani Kuno, atau Tuhan sebagaimana dalam Abad Pertengahan.
Setelah Renesanse mulailah jaman Barok, pada jaman ini tradisi rasionalisme ditumbuh-kembangkan oleh filsuf-filsuf antara lain; R. Descartes (1596-1650), B. Spinoza (1632-1677) dan G. Leibniz (1646-1710). Para Filsuf tersebut di atas menekankan pentingnya kemungkinan-kemungkinan akal-budi (“ratio”) didalam mengembangkan pengetahuan manusia.
Pada abad kedelapan belas mulai memasuki perkembangan baru. Setelah reformasi, renesanse dan setelah rasionalisme jaman Barok, pemikiran manusia mulai dianggap telah “dewasa”. Periode sejarah perkembangan pemikiran filsafat disebut sebagai “Jaman Pencerahan” atau “Fajar Budi” (Ing. “Enlightenment”, Jrm. “Aufklärung”. Filsuf-filsuf pada jaman ini disebut sebagai para “empirikus”, yang ajarannya lebih menekankan bahwa suatu pengetahuan adalah mungkin karena adanya pengalaman indrawi manusia (Lt. “empeira”, “pengalaman”). Para empirikus besar Inggris antara lain J. Locke (1632-1704), G. Berkeley (1684-1753) dan D. Hume (1711-1776). Di Perancis JJ. Rousseau (1712-1778) dan di Jerman Immanuel Kant (1724-1804)
Secara khusus ingin dikemukakan disini adalah peranan filsuf Jerman Immanuel Kant, yang dapat dianggap sebagai inspirator dan sekaligus sebagai peletak dasar fondasi ilmu, yakni dengan “mendamaikan” pertentangan epistemologik pengetahuan antara kaum rasionalisme versus kaum empirisme. Immanuel Kant dalam karyanya utamanya yang terkenal terbit tahun 1781 yang berjudul Kritik der reinen vernunft (Ing. Critique of Pure Reason), memberi arah baru mengenai filsafat pengetahuan.
Dalam bukunya itu Kant memperkenalkan suatu konsepsi baru tentang pengetahuan. Pada dasarnya dia tidak mengingkari kebenaran pengetahuan yang dikemukakan oleh kaum rasionalisme maupun empirisme, yang salah apabila masing-masing dari keduanya mengkalim secara ekstrim pendapatnya dan menolak pendapat yang lainnya. Dengan kata lain memang pengetahuan dihimpun setelah melalui (aposteriori) sistem penginderaan (sensory system) manusia, tetapi tanpa pikiran murni (a priori) yang aktif tidaklah mungkin tanpa kategorisasi dan penataan dari rasio manusia. Menurut Kant, empirisme mengandung kelemahan karena anggapan bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia hanya lah rekaman kesan-kesan (impresi) dari pengalamannya. Pengetahuan yang dimiliki manusia merupakan hasil sintesis antara yang apriori (yang sudah ada dalam kesadaran dan pikiran manusia) dengan impresi yang diperoleh dari pengalaman. Bagi Kant yang terpenting bagaimana pikiran manusia mamahami dan menafsirkan apa yang direkam secara empirikal, bukan bagaimana kenyataan itu tampil sebagai benda itu sendiri
4. Masa Kini: Suatu Peneguhan Ilmu Yang Otonom
Pada abad ketujuh belas dan kedelapan belas perkembangan pemikiran filsafat pengetahuan memperlihatkan aliran-aliran besar: rasionalisme, empirisme dan idealisme dengan mempertahankan wilayah-wilayah yang luas. Dibandingkan dengan filsafat abad ketujuh belas dan abad kedelapan belas, filsafat abad kesembilan belas dan abad kedua puluh banyak bermunculan aliran-aliran baru dalam filsafat tetapi wilayah pengaruhnya lebih tertentu. Akan tetapi justru menemukan bentuknya (format) yang lebih bebas dari corak spekulasi filsafati dan otonom. Aliran-aliran tersebut antara laian: positivisme, marxisme, eksistensialisme, pragmatisme, neo-kantianisme, neo-tomisme dan fenomenologi.
Berkaitan dengan filosofi penelitian Ilmu Sosial, aliran yang tidak bisa dilewatkan adalah positivisme yang digagas oleh filsuf A. Comte (1798-1857). Menurut Comte pemikiran manusia dapat dibagi kedalam tiga tahap/fase, yaitu tahap: (1) teologis, (2) Metafisis, dan (3) Positif-ilmiah. Bagi era manusia dewasa (modern) ini pengetahuan hanya mungkin dengan menerapkan metode-metode positif ilmiah, artinya setiap pemikiran hanya benar secara ilmiah bilamana dapat diuji dan dibuktikan dengan pengukuran-pengukuran yang jelas dan pasti sebagaimana berat, luas dan isi suatu benda. Dengan demikian Comte menolak spekulasi “metafisik”, dan oleh karena itu ilmu sosial yang digagas olehnya ketika itu dinamakan “Fisika Sosial” sebelum dikenal sekarang sebagai “Sosiologi”. Bisa dipahami, karena pada masa itu ilmu-ilmu alam (Natural sciences) sudah lebih “mantap” dan “mapan”, sehingga banyak pendekatan dan metode-metode ilmu-ilmu alam yang diambil-oper oleh ilmu-ilmu sosial (Social sciences) yang berkembang sesudahnya.
Pada periode terkini (kontemporer) setelah aliran-aliran sebagaimana disebut di atas munculah aliran-aliran filsafat, misalnya : “Strukturalisme” dan “Postmodernisme”. Strukturalisme dengan tokoh-tokohnya misalnya Cl. Lévi-Strauss, J. Lacan dan M. Faoucault. Tokoh-tokoh Postmodernisme antara lain. J. Habermas, J. Derida. Kini oleh para epistemolog (ataupun dari kalangan sosiologi pengetahuan) dalam perkembangannya kemudian, struktur ilmu pengetahuan semakin lebih sistematik dan lebih lengkap (dilengkapi dengan, teori, logika dan metode sain), sebagaimana yang dikemukakan oleh Walter L.Wallace dalam bukunya The Logic of Science in Sociology. Dari struktur ilmu tersebut tidak lain hendak dikatakan bahwa kegiatan keilmuan/ilmiah itu tidak lain adalah penelitian (search dan research). Demikian pula hal ada dan keberadaan (ontologi/metafisika) suatu ilmu /sain berkaitan dengan watak dan sifat-sifat dari obyek suatu ilmu /sain dan kegunaan/manfaat atau implikasi (aksiologi) ilmu /sain juga menjadi bahasan dalam filsafat ilmu. Setidak-tidaknya hasil pembahasan kefilsafatan tentang ilmu (Filsafat Ilmu) dapat memberikan perspektif kritis bagi ilmu /sain dengan mempersoalkan kembali apa itu:pengetahuan?, kebenaran?, metode ilmiah/keilmuan?, pengujian/verifikasi? dan sebaliknya hasil-hasil terkini dari ilmu /sain dan penerapannya dapat memberikan umpan-balik bagi Filsafat Ilmu sebagai bahan refleksi kritis dalam pokok bahasannya (survey of sciences) sebagaimana yang dikemukakan oleh Whitehead dalam bukunya Science and the Modern World (dalam Hamersma, 1981:48)
Setiap pemikir mempunyai definisi berbeda tentang makna filsafat karena pengertiannya yang begitu luas dan abstrak. Tetapi secara sederhana filsafat dapat dimaknai bersama sebagai suatu sistim nilai-nilai (systems of values) yang luhur yang dapat menjadi pegangan atau anutan setiap individu, atau keluarga, atau kelompok komunitas dan/atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara tertentu. Pendidikan sebagai upaya terorganisasi, terencana, sistimatis, untuk mentransmisikan kebudayaan dalam arti luas (ilmu pengetahuan, sikap, moral dan nilai-nilai hidup dan kehidupan, ketrampilan, dll.) dari suatu generasi ke generasi lain. Adapun visi, misi dan tujuannya yang ingin dicapai semuanya berlandaskan suatu filsafat tertentu. Bagi kita sebagai bangsa dalam suatu negara bangsa (nation state) yang merdeka, pendidikan kita niscaya dilandasi oleh filsafat hidup yang kita sepakati dan anut bersama.
Dalam sejarah panjang kita sejak pembentukan kita sebagai bangsa (nation formation) sampai kepada terbentuknya negara bangsa (state formation dan nation state) yang merdeka, pada setiap kurun zaman, pendidikan tidak dapat dilepaskan dari filsafat yang menjadi fondasi utama dari setiap bentuk pendidikan karena menyangkut sistem nilai-nilai (systems of values) yang memberi warna dan menjadi “semangat zaman” (zeitgeist) yang dianut oleh setiap individu, keluarga, anggota¬-anggota komunitas atau masyarakat tertentu, atau pada gilirannya bangsa dan negara nasional. Landasan filsafat ini hanya dapat dirunut melalui kajian sejarah, khususnya Sejarah Pendidikan Indonesia.
Sebagai komparasi, di negara-negara Eropa (dan Amerika) pada abad ke-19 dan ke-20 perhatian kepada Sejarah Pendidikan telah muncul dari dan digunakan untuk maksud-maksud lebih lanjut yang bermacam-macam, a.l. untuk membangkitkan kesadaran berbangsa, kesadaran akan kesatuan kebudayaan, pengembangan profesional guru-guru, atau untuk kebanggaan terhadap lembaga¬-lembaga dan tipe-tipe pendidikan tertentu. (Silver, 1985: 2266).
Substansi dan tekanan dalam Sejarah Pendidikan itu bermacam-macam tergantung kepada maksud dari kajian itu: mulai dari tradisi pemikiran dan para pemikir besar dalam pendidikan, tradisi nasional, sistim pendidikan beserta komponen-komponennya, sampai kepada pendidikan dalam hubungannya dengan sejumlah elemen problematis dalam perubahan sosial atau kestabilan, termasuk keagamaan, ilmu pengetahuan (sains), ekonomi, dan gerakan-gerakan sosial. Sehubungan dengan MI semua Sejarah Pendidikan erat kaitannya dengan sejarah intelektual dan sejarah sosial. (Silver, 1985: Talbot, 1972: 193-210)
Esensi dari pendidikan itu sendiri sebenarnya ialah pengalihan (transmisi) kebudayaan (ilmu pengetahuan, teknologi, ide-ide dan nilai-nilai spiritual serta (estetika) dari generasi yang lebih tua kepada generasi yang lebih muda dalam setiap masyarakat atau bangsa. Oleh sebab itu sejarah dari pendidikan mempunyai sejarah yang sama tuanya dengan masyarakat pelakunya sendiri, sejak dari pendidikan informal dalam keluarga batih, sampai kepada pendidikan formal dan non-formal dalam masyarakat agraris maupun industri.
Selama ini Sejarah Pendidikan masih menggunakan pendekatan lama atau “tradisional” yang umumnya diakronis yang kajiannya berpusat pada sejarah dari ide¬-ide dan pemikir-pemikir besar dalam pendidikan, atau sejarah dan sistem pendidikan dan lembaga-lembaga, atau sejarah perundang-undangan dan kebijakan umum dalam bidang pendidikan. (Silver, 1985: 2266) Pendekatan yang umumnya diakronis ini dianggap statis, sempit serta terlalu melihat ke dalam. Sejalan dengan perkembangan zaman dan kemajuan dalam pendidikan beserta segala macam masalah yang timbul atau ditimbulkannya, penanganan serta pendekatan baru dalam Sejarah Pendidikan dirasakan sebagai kebutuhan yang mendesak oleh para sejarawan pendidikan kemudian. (Talbot, 1972: 206-207)
Para sejarawan, khususnya sejarawan pendidikan melihat hubungan timbal balik antara pendidikan dan masyarakat; antara penyelenggara pendidikan dengan pemerintah sebagai representasi bangsa dan negara yang merumuskan kebijakan (policy) umum bagi pendidikan nasional. Produk dari pendidikan menimbulkan mobilitas sosial (vertikal maupun horizontal); masalah-masalah yang timbul dalam pendidikan yang dampak-dampaknya (positif ataupun negatif) dirasakan terutama oleh masyarakat pemakai, misalnya, timbulnya golongan menengah yang menganggur karena jenis pendidikan tidak sesuai dengan pasar kerja; atau kesenjangan dalam pemerataan dan mutu pendidikan; pendidikan lanjutan yang hanya dapat dinikmati oleh anak-anak orang kaya dengan pendidikan terminal dari anak-¬anak yang orang tuanya tidak mampu; komersialisasi pendidikan dalam bentuk yayasan-yayasan dan sebagainya. Semuanya menuntut peningkatan metodologis penelitian dan penulisan sejarah yang lebih baik danipada sebelumnya untuk menangani semua masalah kependidikan ini.
Sehubungan dengan di atas pendekatan Sejarah Pendidikan baru tidak cukup dengan cara-cara diakronis saja. Perlu ada pendekatan metodologis yang baru yaitu a.l, interdisiplin. Dalam pendekatan interdisiplin dilakukan kombinasi pendekatan diakronis sejarah dengan sinkronis ilmu-ihmu sosial. Sekarang ini ilmu-ilmu sosial tertentu seperti antropologi, sosiologi, dan politik telah memasuki “perbatasan” (sejarah) pendidikan dengan “ilmu-ilmu terapan” yang disebut antropologi pendidikan, sosiologi pendidikan, dan politik pendidikan. Dalam pendekatan ini dimanfaatkan secara optimal dan maksimal hubungan dialogis “simbiose mutualistis” antara sejarah dengan ilmu-ilmu sosial.
Sejarah Pendidikan Indonesia dalam arti nasional termasuk relatif baru. Pada zaman pemerintahan kolonial telah juga menjadi perhatian yang diajarkan secara diakronis sejak dari sistem-sistem pendidikan zaman Hindu, Islam, Portugis, VOC, pemerintahan Hindia-Belanda abad ke-19. Kemudian dilanjutkan dengan pendidikan zaman Jepang dan setelah Indonesia merdeka model diakronis ini masih terus dilanjutkan sampai sekarang.
Perkuliahan dilakukan dengan pendekatan interdisiplm (diakronik dan/atau sinkronik). Untuk Sejarah Pendidikan Indonesia mutakhir, substansinya seluruh spektrum pendidikan yang secara temporal pernah berlaku dan masih berlaku di Indonesia; hubungan antara kebijakan pendidikan dengan politik nasional pemerintah, termasuk kebijakan penyusunan dan perubahan kurikulum dengan segala aspeknya yang menyertainya; lembaga-lembaga pendidikan (pemerintah maupun swasta); pendidikan formal dan non-formal; pendidikan umum, khusus dan agama. Singkatnya segala macam makalah yang dihadapi oleh pendidikan di Indonesia dahulu dan sekarang dan melihat prosepeknya ke masa depan. Sejarah sebagai kajian reflektif dapat dimanfaatkan untuk melihat prosepek ke depan meskipun tidak punya pretensi meramal. Dalam setiap bahasan dicoba dilihat filosofi yang melatarinya.
FILSAFAT ILMU
Filsafat ilmu merupakan bagian dari filsafat yang menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu. Bidang ini mempelajari dasar-dasar filsafat, asumsi dan implikasi dari ilmu, yang termasuk di dalamnya antara lain ilmu alam dan ilmu sosial. Di sini, filsafat ilmu sangat berkaitan erat dengan epistemologi dan ontologi. Filsafat ilmu berusaha untuk dapat menjelaskan masalah-masalah seperti: apa dan bagaimana suatu konsep dan pernyataan dapat disebut sebagai ilmiah, bagaimana konsep tersebut dilahirkan, bagaimana ilmu dapat menjelaskan, memperkirakan serta memanfaatkan alam melalui teknologi; cara menentukan validitas dari sebuah informasi; formulasi dan penggunaan metode ilmiah; macam-macam penalaran yang dapat digunakan untuk mendapatkan kesimpulan; serta implikasi metode dan model ilmiah terhadap masyarakat dan terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
A. Konsep dan pernyataan ilmiah
Ilmu berusaha menjelaskan tentang apa dan bagaimana alam sebenarnya dan bagaimana teori ilmu pengetahuan dapat menjelaskan fenomena yang terjadi di alam. Untuk tujuan ini, ilmu menggunakan bukti dari eksperimen, deduksi logis serta pemikiran rasional untuk mengamati alam dan individual di dalam suatu masyarakat.
1. Empirisme
Salah satu konsep mendasar tentang filsafat ilmu adalah empirisme, atau ketergantungan pada bukti. Empirisme adalah cara pandang bahwa ilmu pengetahuan diturunkan dari pengalaman yang kita alami selama hidup kita. Di sini, pernyataan ilmiah berarti harus berdasarkan dari pengamatan atau pengalaman. Hipotesa ilmiah dikembangkan dan diuji dengan metode empiris, melalui berbagai pengamatan dan eksperimentasi. Setelah pengamatan dan eksperimentasi ini dapat selalu diulang dan mendapatkan hasil yang konsisten, hasil ini dapat dianggap sebagai bukti yang dapat digunakan untuk mengembangkan teori-teori yang bertujuan untuk menjelaskan fenomena alam.
2. Falsifiabilitas
Salah satu cara yang digunakan untuk membedakan antara ilmu dan bukan ilmu adalah konsep falsifiabilitas. Konsep ini digagas oleh Karl Popper pada tahun 1919-20 dan kemudian dikembangkan lagi pada tahun 1960-an. Prinsip dasar dari konsep ini adalah, sebuah pernyataan ilmiah harus memiliki metode yang jelas yang dapat digunakan untuk membantah atau menguji teori tersebut. Misalkan dengan mendefinisikan kejadian atau fenomena apa yang tidak mungkin terjadi jika pernyataan ilmiah tersebut memang benar.
A. Pengertian Filsafat Ilmu
B. Untuk memahami arti dan makna filsafat ilmu, di bawah ini dikemukakan pengertian filsafat ilmu dari beberapa ahli yang terangkum dalam Filsafat Ilmu, yang disusun oleh Ismaun (2001)
• Robert Ackerman “philosophy of science in one aspect as a critique of current scientific opinions by comparison to proven past views, but such aphilosophy of science is clearly not a discipline autonomous of actual scientific paractice”. (Filsafat ilmu dalam suatu segi adalah suatu tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini dengan perbandingan terhadap kriteria-kriteria yang dikembangkan dari pendapat-pendapat demikian itu, tetapi filsafat ilmu jelas bukan suatu kemandirian cabang ilmu dari praktek ilmiah secara aktual.
• Lewis White Beck “Philosophy of science questions and evaluates the methods of scientific thinking and tries to determine the value and significance of scientific enterprise as a whole. (Filsafat ilmu membahas dan mengevaluasi metode-metode pemikiran ilmiah serta mencoba menemukan dan pentingnya upaya ilmiah sebagai suatu keseluruhan)
• A. Cornelius Benjamin “That philosopic disipline which is the systematic study of the nature of science, especially of its methods, its concepts and presuppositions, and its place in the general scheme of intellectual discipines. (Cabang pengetahuan filsafati yang merupakan telaah sistematis mengenai ilmu, khususnya metode-metodenya, konsep-konsepnya dan praanggapan-praanggapan, serta letaknya dalam kerangka umum cabang-cabang pengetahuan intelektual.)
• Michael V. Berry “The study of the inner logic if scientific theories, and the relations between experiment and theory, i.e. of scientific methods”. (Penelaahan tentang logika interen dari teori-teori ilmiah dan hubungan-hubungan antara percobaan dan teori, yakni tentang metode ilmiah.)
• May Brodbeck “Philosophy of science is the ethically and philosophically neutral analysis, description, and clarifications of science.” (Analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan dan penjelasan mengenai landasan – landasan ilmu.
• Peter Caws “Philosophy of science is a part of philosophy, which attempts to do for science what philosophy in general does for the whole of human experience. Philosophy does two sorts of thing: on the other hand, it constructs theories about man and the universe, and offers them as grounds for belief and action; on the other, it examines critically everything that may be offered as a ground for belief or action, including its own theories, with a view to the elimination of inconsistency and error. (Filsafat ilmu merupakan suatu bagian filsafat, yang mencoba berbuat bagi ilmu apa yang filsafat seumumnya melakukan pada seluruh pengalaman manusia. Filsafat melakukan dua macam hal : di satu pihak, ini membangun teori-teori tentang manusia dan alam semesta, dan menyajikannya sebagai landasan-landasan bagi keyakinan dan tindakan; di lain pihak, filsafat memeriksa secara kritis segala hal yang dapat disajikan sebagai suatu landasan bagi keyakinan atau tindakan, termasuk teori-teorinya sendiri, dengan harapan pada penghapusan ketakajegan dan kesalahan
• Stephen R. Toulmin “As a discipline, the philosophy of science attempts, first, to elucidate the elements involved in the process of scientific inquiry observational procedures, patens of argument, methods of representation and calculation, metaphysical presuppositions, and so on and then to veluate the grounds of their validity from the points of view of formal logic, practical methodology and metaphysics”. (Sebagai suatu cabang ilmu, filsafat ilmu mencoba pertama-tama menjelaskan unsur-unsur yang terlibat dalam proses penyelidikan ilmiah prosedur-prosedur pengamatan, pola-pola perbinacangan, metode-metode penggantian dan perhitungan, pra-anggapan-pra-anggapan metafisis, dan seterusnya dan selanjutnya menilai landasan-landasan bagi kesalahannya dari sudut-sudut tinjauan logika formal, metodologi praktis, dan metafisika).
Berdasarkan pendapat di atas kita memperoleh gambaran bahwa filsafat ilmu merupakan telaah kefilsafatan yang ingin menjawab pertanyaan mengenai hakikat ilmu, yang ditinjau dari segi ontologis, epistemelogis maupun aksiologisnya. Dengan kata lain filsafat ilmu merupakan bagian dari epistemologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengakaji hakikat ilmu, seperti :
• Obyek apa yang ditelaah ilmu ? Bagaimana ujud yang hakiki dari obyek tersebut? Bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia yang membuahkan pengetahuan ? (Landasan ontologis)
• Bagaimana proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar mendakan pengetahuan yang benar? Apakah kriterianya? Apa yang disebut kebenaran itu? Adakah kriterianya? Cara/teknik/sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang berupa ilmu? (Landasan epistemologis)
• Untuk apa pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral ? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/profesional ? (Landasan aksiologis). (Jujun S. Suriasumantri, 1982)
B. Fungsi Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu merupakan salah satu cabang dari filsafat. Oleh karena itu, fungsi filsafat ilmu kiranya tidak bisa dilepaskan dari fungsi filsafat secara keseluruhan, yakni :
• Sebagai alat mencari kebenaran dari segala fenomena yang ada.
• Mempertahankan, menunjang dan melawan atau berdiri netral terhadap pandangan filsafat lainnya.
• Memberikan pengertian tentang cara hidup, pandangan hidup dan pandangan dunia.
• Memberikan ajaran tentang moral dan etika yang berguna dalam kehidupan
• Menjadi sumber inspirasi dan pedoman untuk kehidupan dalam berbagai aspek kehidupan itu sendiri, seperti ekonomi, politik, hukum dan sebagainya. Disarikan dari Agraha Suhandi (1989)
Sedangkan Ismaun (2001) mengemukakan fungsi filsafat ilmu adalah untuk memberikan landasan filosofik dalam memahami berbagi konsep dan teori sesuatu disiplin ilmu dan membekali kemampuan untuk membangun teori ilmiah. Selanjutnya dikatakan pula, bahwa filsafat ilmu tumbuh dalam dua fungsi, yaitu: sebagai confirmatory theories yaitu berupaya mendekripsikan relasi normatif antara hipotesis dengan evidensi dan theory of explanation yakni berupaya menjelaskan berbagai fenomena kecil ataupun besar secara sederhana.
C.Substansi Filsafat Ilmu
Telaah tentang substansi Filsafat Ilmu, Ismaun (2001) memaparkannya dalam empat bagian, yaitu substansi yang berkenaan dengan: (1) fakta atau kenyataan, (2) kebenaran (truth), (3) konfirmasi dan (4) logika inferensi.
1.Fakta atau kenyataan
Fakta atau kenyataan memiliki pengertian yang beragam, bergantung dari sudut pandang filosofis yang melandasinya.
• Positivistik berpandangan bahwa sesuatu yang nyata bila ada korespondensi antara yang sensual satu dengan sensual lainnya.
• Fenomenologik memiliki dua arah perkembangan mengenai pengertian kenyataan ini. Pertama, menjurus ke arah teori korespondensi yaitu adanya korespondensi antara ide dengan fenomena. Kedua, menjurus ke arah koherensi moralitas, kesesuaian antara fenomena dengan sistem nilai.
• Rasionalistik menganggap suatu sebagai nyata, bila ada koherensi antara empirik dengan skema rasional, dan
• Realisme-metafisik berpendapat bahwa sesuatu yang nyata bila ada koherensi antara empiri dengan obyektif.
• Pragmatisme memiliki pandangan bahwa yang ada itu yang berfungsi.
Di sisi lain, Lorens Bagus (1996) memberikan penjelasan tentang fakta obyektif dan fakta ilmiah. Fakta obyektif yaitu peristiwa, fenomen atau bagian realitas yang merupakan obyek kegiatan atau pengetahuan praktis manusia. Sedangkan fakta ilmiah merupakan refleksi terhadap fakta obyektif dalam kesadaran manusia. Yang dimaksud refleksi adalah deskripsi fakta obyektif dalam bahasa tertentu. Fakta ilmiah merupakan dasar bagi bangunan teoritis. Tanpa fakta-fakta ini bangunan teoritis itu mustahil. Fakta ilmiah tidak terpisahkan dari bahasa yang diungkapkan dalam istilah-istilah dan kumpulan fakta ilmiah membentuk suatu deskripsi ilmiah.
2. Kebenaran (truth)
Sesungguhnya, terdapat berbagai teori tentang rumusan kebenaran. Namun secara tradisional, kita mengenal 3 teori kebenaran yaitu koherensi, korespondensi dan pragmatik (Jujun S. Suriasumantri, 1982). Sementara, Michel William mengenalkan 5 teori kebenaran dalam ilmu, yaitu : kebenaran koherensi, kebenaran korespondensi, kebenaran performatif, kebenaran pragmatik dan kebenaran proposisi. Bahkan, Noeng Muhadjir menambahkannya satu teori lagi yaitu kebenaran paradigmatik. (Ismaun; 2001)
a. Kebenaran koherensi
Kebenaran koherensi yaitu adanya kesesuaian atau keharmonisan antara sesuatu yang lain dengan sesuatu yang memiliki hirarki yang lebih tinggi dari sesuatu unsur tersebut, baik berupa skema, sistem, atau pun nilai. Koherensi ini bisa pada tatanan sensual rasional mau pun pada dataran transendental.
b.Kebenaran korespondensi
Berfikir benar korespondensial adalah berfikir tentang terbuktinya sesuatu itu relevan dengan sesuatu lain. Koresponsdensi relevan dibuktikan adanya kejadian sejalan atau berlawanan arah antara fakta dengan fakta yang diharapkan, antara fakta dengan belief yang diyakini, yang sifatnya spesifik
c.Kebenaran performatif
Ketika pemikiran manusia menyatukan segalanya dalam tampilan aktual dan menyatukan apapun yang ada dibaliknya, baik yang praktis yang teoritik, maupun yang filosofik, orang mengetengahkan kebenaran tampilan aktual. Sesuatu benar bila memang dapat diaktualkan dalam tindakan.
d.Kebenaran pragmatik
Yang benar adalah yang konkret, yang individual dan yang spesifik dan memiliki kegunaan praktis.
e.Kebenaran proposisi
Proposisi adalah suatu pernyataan yang berisi banyak konsep kompleks, yang merentang dari yang subyektif individual sampai yang obyektif. Suatu kebenaran dapat diperoleh bila proposisi-proposisinya benar. Dalam logika Aristoteles, proposisi benar adalah bila sesuai dengan persyaratan formal suatu proposisi. Pendapat lain yaitu dari Euclides, bahwa proposisi benar tidak dilihat dari benar formalnya, melainkan dilihat dari benar materialnya.
f.Kebenaran struktural paradigmatik
Sesungguhnya kebenaran struktural paradigmatik ini merupakan perkembangan dari kebenaran korespondensi. Sampai sekarang analisis regresi, analisis faktor, dan analisis statistik lanjut lainnya masih dimaknai pada korespondensi unsur satu dengan lainnya. Padahal semestinya keseluruhan struktural tata hubungan itu yang dimaknai, karena akan mampu memberi eksplanasi atau inferensi yang lebih menyeluruh.
3.Konfirmasi
Fungsi ilmu adalah menjelaskan, memprediksi proses dan produk yang akan datang, atau memberikan pemaknaan. Pemaknaan tersebut dapat ditampilkan sebagai konfirmasi absolut atau probalistik. Menampilkan konfirmasi absolut biasanya menggunakan asumsi, postulat, atau axioma yang sudah dipastikan benar. Tetapi tidak salah bila mengeksplisitkan asumsi dan postulatnya. Sedangkan untuk membuat penjelasan, prediksi atau pemaknaan untuk mengejar kepastian probabilistik dapat ditempuh secara induktif, deduktif, ataupun reflektif.
4.Logika inferensi
Logika inferensi yang berpengaruh lama sampai perempat akhir abad XX adalah logika matematika, yang menguasai positivisme. Positivistik menampilkan kebenaran korespondensi antara fakta. Fenomenologi Russel menampilkan korespondensi antara yang dipercaya dengan fakta. Belief pada Russel memang memuat moral, tapi masih bersifat spesifik, belum ada skema moral yang jelas, tidak general sehingga inferensi penelitian berupa kesimpulan kasus atau kesimpulan ideografik.
Post-positivistik dan rasionalistik menampilkan kebenaran koheren antara rasional, koheren antara fakta dengan skema rasio, Fenomena Bogdan dan Guba menampilkan kebenaran koherensi antara fakta dengan skema moral. Realisme metafisik Popper menampilkan kebenaran struktural paradigmatik rasional universal dan Noeng Muhadjir mengenalkan realisme metafisik dengan menampilkan kebenaranan struktural paradigmatik moral transensden. (Ismaun,200:9)
Di lain pihak, Jujun Suriasumantri (1982:46-49) menjelaskan bahwa penarikan kesimpulan baru dianggap sahih kalau penarikan kesimpulan tersebut dilakukan menurut cara tertentu, yakni berdasarkan logika. Secara garis besarnya, logika terbagi ke dalam 2 bagian, yaitu logika induksi dan logika deduksi.
D. Corak dan Ragam Filsafat Ilmu
Ismaun (2001:1) mengungkapkan beberapa corak ragam filsafat ilmu, diantaranya:
• Filsafat ilmu-ilmu sosial yang berkembang dalam tiga ragam, yaitu : (1) meta ideologi, (2) meta fisik dan (3) metodologi disiplin ilmu.
• Filsafat teknologi yang bergeser dari C-E (conditions-Ends) menjadi means. Teknologi bukan lagi dilihat sebagai ends, melainkan sebagai kepanjangan ide manusia.
• Filsafat seni/estetika mutakhir menempatkan produk seni atau keindahan sebagai salah satu tri-partit, yakni kebudayaan, produk domain kognitif dan produk alasan praktis.
Produk domain kognitif murni tampil memenuhi kriteria: nyata, benar, dan logis. Bila etik dimasukkan, maka perlu ditambah koheren dengan moral. Produk alasan praktis tampil memenuhi kriteria oprasional, efisien dan produktif. Bila etik dimasukkan perlu ditambah human.manusiawi, tidak mengeksploitasi orang lain, atau lebih diekstensikan lagi menjadi tidak merusak lingkungan.
http://getuk.wordpress.com/2006/11/16/ruang-lingkup-filsafat-ilmu
PEMBAGIAN PENGETAHUAN
Saat ini pembagian pengetahuan yang dianggap baku boleh dikatakan tidak ada yang memuaskan dan diterima semua pihak. Pembagian yang lazim dipakai dalam dunia keilmuan di Barat terbagi menjadi dua saja, sains (pengetahuan ilmiah) dan humaniora. Termasuk ke dalam sains adalah ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences), dengan cabang-cabangnya masing-masing. Termasuk ke dalam humaniora adalah segala pengetahuan selain itu, misalnya filsafat, agama, seni, bahasa, dan sejarah.
Penempatan beberapa jenis pengetahuan ke dalam kelompok besar humaniora sebenarnya menyisakan banyak kerancuan karena besarnya perbedaan di antara pengetahuan-pengetahuan itu, baik dari segi ontologi, epistemologi, maupun aksiologi. Kesamaannya barangkali terletak pada perbedaannya, atau barangkali sekadar pada fakta bahwa pengetahuan-pengetahuan humaniora itu tidak dapat digolongkan sebagai sains. Humaniora itu sendiri, pengindonesiaan yang tidak persis dari kata Inggris humanities, berarti (segala pengetahuan yang) berkaitan dengan atau perihal kemanusiaan. Tetapi kalau demikian, maka ilmu-ilmu sosial pun layak dimasukkan ke dalam humaniora karena sama-sama berkaitan dengan kemanusiaan.
Perlu diketahui bahwa akhir-akhir ini kajian epistemologi di Barat cenderung menolak kategorisasi pengetahuan (terutama dalam humaniora dan ilmu sosial) yang ketat. Pemahaman kita akan suatu permasalahan tidak cukup mengandalkan analisis satu ilmu saja. Oleh karena itu muncullah gagasan pendekatan interdisiplin atau multidisplin dalam memahami suatu permasalahan. Bidang-bidang kajian yang ada di perguruan tinggi-perguruan tinggi Barat tidak lagi hanya berdasarkan jenis-jenis keilmuan tradisional, tetapi pada satu tema yang didekati dari gabungan berbagai disiplin. Misalnya program studi Timur Tengah, studi Asia Tenggara, studi-studi keislaman (Islamic studies), studi budaya (cultural studies), dll.
Tema-tema yang dahulu menjadi monopoli satu ilmu pun kini harus didekati dari berbagai macam disiplin agar diperoleh pemahaman yang lebih komprehensif. Wilayah-wilayah geografis tertentu, misalnya Jawa, suku Papua, pedalaman Kalimantan, atau Maroko dan Indian, yang dahulu dimonopoli ilmu antropologi, kini harus dipahami dengan menggunakan berbagai macam disiplin (sosiologi, psikologi, semiotik, bahkan filsafat).
Pendekatan interdisiplin ini pun kini menguat dalam kajian-kajian keislaman, termasuk dalam fikih. Untuk menentukan status hukum terutama dalam permasalahan kontemporer, pemakaian ilmu fikih murni tidak lagi memadai. Apalagi jika fikih dimengerti sebagai fikih warisan zaman mazhab-mazhab. Ilmu-ilmu modern saat ini menuntut untuk lebih banyak dilibatkan dalam penentuan hukum suatu masalah. Sekadar contoh, untuk menentukan hukum pembuatan bayi tabung, diperlukan pemahaman akan biologi dan kedokteran. Untuk menghukumi soal berbisnis di bursa saham, ilmu ekonomi harus dipahami. Dll.
TIGA ASPEK PENGETAHUAN
Ada tiga aspek yang membedakan satu pengetahuan dengan pengetahuan lainnya, yakni ontologi, epistemologi, dan aksiologi.
Ontologi
Ontologi adalah pembahasan tentang hakekat pengetahuan. Ontologi membahas pertanyaan-pertanyaan semacam ini: Objek apa yang ditelaah pengetahuan? Adakah objek tersebut? Bagaimana wujud hakikinya? Dapatkah objek tersebut diketahui oleh manusia, dan bagaimana caranya?
Epistemologi
Epistemologi adalah pembahasan mengenai metode yang digunakan untuk mendapatkan pengetahuan. Epistemologi membahas pertanyaan-pertanyaan seperti: bagaimana proses yang memungkinkan diperolehnya suatu pengetahuan? Bagaimana prosedurnya? Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang benar? Lalu benar itu sendiri apa? Kriterianya apa saja?
Aksiologi
Aksiologi adalah pembahasan mengenai nilai moral pengetahuan. Aksiologi menjawab pertanyaan-pertanyaan model begini: untuk apa pengetahuan itu digunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan pengetahuan tersebut dengan kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan objek yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara metode pengetahuan dengan norma-norma moral/profesional?
Perbedaan suatu pengetahuan dengan pengetahuan lain tidak mesti dicirikan oleh perbedaan dalam ketiga aspek itu sekaligus. Bisa jadi objek dari dua pengetahuan sama, tetapi metode dan penggunaannya berbeda. Filsafat dan agama kerap bersinggungan dalam hal objek (sama-sama membahas hakekat alam, baik-buruk, benar-salah, dsb), tetapi metode keduanya jelas beda. Sementara perbedaan antar sains terutama terletak pada objeknya, sedangkan metodenya sama.
SUMBER PENGETAHUAN
Indera
Indera digunakan untuk berhubungan dengan dunia fisik atau lingkungan di sekitar kita. Indera ada bermacam-macam; yang paling pokok ada lima (panca indera), yakni indera penglihatan (mata) yang memungkinkan kita mengetahui warna, bentuk, dan ukuran suatu benda; indera pendengaran (telinga) yang membuat kita membedakan macam-macam suara; indera penciuman (hidung) untuk membedakan bermacam bau-bauan; indera perasa (lidah) yang membuat kita bisa membedakan makanan enak dan tidak enak; dan indera peraba (kulit) yang memungkinkan kita mengetahui suhu lingkungan dan kontur suatu benda.
Pengetahuan lewat indera disebut juga pengalaman, sifatnya empiris dan terukur. Kecenderungan yang berlebih kepada alat indera sebagai sumber pengetahuan yang utama, atau bahkan satu-satunya sumber pengetahuan, menghasilkan aliran yang disebut empirisisme, dengan pelopornya John Locke (1632-1714) dan David Hume dari Inggris. Mengenai kesahihan pengetahuan jenis ini, seorang empirisis sejati akan mengatakan indera adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang dapat dipercaya, dan pengetahuan inderawi adalah satu-satunya pengetahuan yang benar.
Tetapi mengandalkan pengetahuan semata-mata kepada indera jelas tidak mencukupi. Dalam banyak kasus, penangkapan indera seringkali tidak sesuai dengan yang sebenarnya. Misalnya pensil yang dimasukkan ke dalam air terlihat bengkok, padahal sebelumnya lurus. Benda yang jauh terlihat lebih kecil, padahal ukuran sebenarnya lebih besar. Bunyi yang terlalu lemah atau terlalu keras tidak bisa kita dengar. Belum lagi kalau alat indera kita bermasalah, sedang sakit atau sudah rusak, maka kian sulitlah kita mengandalkan indera untuk mendapatkan pengetahuan yang benar.
Akal
Akal atau rasio merupakan fungsi dari organ yang secara fisik bertempat di dalam kepala, yakni otak. Akal mampu menambal kekurangan yang ada pada indera. Akallah yang bisa memastikan bahwa pensil dalam air itu tetap lurus, dan bentuk bulan tetap bulat walaupun tampaknya sabit. Keunggulan akal yang paling utama adalah kemampuannya menangkap esensi atau hakikat dari sesuatu, tanpa terikat pada fakta-fakta khusus. Akal bisa mengetahui hakekat umum dari kucing, tanpa harus mengaitkannya dengan kucing tertentu yang ada di rumah tetangganya, kucing hitam, kucing garong, atau kucing-kucingan.
Akal mengetahui sesuatu tidak secara langsung, melainkan lewat kategori-kategori atau ide yang inheren dalam akal dan diyakini bersifat bawaan. Ketika kita memikirkan sesuatu, penangkapan akal atas sesuatu itu selalu sudah dibingkai oleh kategori. Kategori-kategori itu antara lain substansi, kuantitas, kualitas, relasi, waktu, tempat, dan keadaan.
Pengetahuan yang diperoleh dengan akal bersifat rasional, logis, atau masuk akal. Pengutamaan akal di atas sumber-sumber pengetahuan lainnya, atau keyakinan bahwa akal adalah satu-satunya sumber pengetahuan yang benar, disebut aliran rasionalisme, dengan pelopornya Rene Descartes (1596-1650) dari Prancis. Seorang rasionalis umumnya mencela pengetahuan yang diperoleh lewat indera sebagai semu, palsu, dan menipu.
Hati atau Intuisi
Organ fisik yang berkaitan dengan fungsi hati atau intuisi tidak diketahui dengan pasti; ada yang menyebut jantung, ada juga yang menyebut otak bagian kanan. Pada praktiknya, intuisi muncul berupa pengetahuan yang tiba-tiba saja hadir dalam kesadaran, tanpa melalui proses penalaran yang jelas, non-analitis, dan tidak selalu logis. Intuisi bisa muncul kapan saja tanpa kita rencanakan, baik saat santai maupun tegang, ketika diam maupun bergerak. Kadang ia datang saat kita tengah jalan-jalan di trotoar, saat kita sedang mandi, bangun tidur, saat main catur, atau saat kita menikmati pemandangan alam.
Intuisi disebut juga ilham atau inspirasi. Meskipun pengetahuan intuisi hadir begitu saja secara tiba-tiba, namun tampaknya ia tidak jatuh ke sembarang orang, melainkan hanya kepada orang yang sebelumnya sudah berpikir keras mengenai suatu masalah. Ketika seseorang sudah memaksimalkan daya pikirnya dan mengalami kemacetan, lalu ia mengistirahatkan pikirannya dengan tidur atau bersantai, pada saat itulah intuisi berkemungkinan muncul. Oleh karena itu intuisi sering disebut supra-rasional atau suatu kemampuan yang berada di atas rasio, dan hanya berfungsi jika rasio sudah digunakan secara maksimal namun menemui jalan buntu.
Hati bekerja pada wilayah yang tidak bisa dijangkau oleh akal, yakni pengalaman emosional dan spiritual. Kelemahan akal ialah terpagari oleh kategori-kategori sehingga hal ini, menurut Immanuel Kant (1724-1804), membuat akal tidak pernah bisa sampai pada pengetahuan langsung tentang sesuatu sebagaimana adanya (das ding an sich) atau noumena. Akal hanya bisa menangkap yang tampak dari benda itu (fenoumena), sementara hati bisa mengalami sesuatu secara langsung tanpa terhalang oleh apapun, tanpa ada jarak antara subjek dan objek.
Kecenderungan akal untuk selalu melakukan generalisasi (meng-umumkan) dan spatialisasi (meruang-ruangkan) membuatnya tidak akan mengerti keunikan-keunikan dari kejadian sehari-hari. Hati dapat memahami pengalaman-pengalaman khusus, misalnya pengalaman eksistensial, yakni pengalaman riil manusia seperti yang dirasakan langsung, bukan lewat konsepsi akal. Akal tidak bisa mengetahui rasa cinta, hatilah yang merasakannya. Bagi akal, satu jam di rutan salemba dan satu jam di pantai carita adalah sama, tapi bagi orang yang mengalaminya bisa sangat berbeda. Hati juga bisa merasakan pengalaman religius, berhubungan dengan Tuhan atau makhluk-makhluk gaib lainnya, dan juga pengalaman menyatu dengan alam.
Pengutamaan hati sebagai sumber pengetahuan yang paling bisa dipercaya dibanding sumber lainnya disebut intuisionisme. Mayoritas filosof Muslim memercayai kelebihan hati atas akal. Puncaknya adalah Suhrawardi al-Maqtul (1153-1192) yang mengembangkan mazhab isyraqi (iluminasionisme), dan diteruskan oleh Mulla Shadra (w.1631). Di Barat, intuisionisme dikembangkan oleh Henry Bergson.
Selain itu, ada sumber pengetahuan lain yang disebut wahyu. Wahyu adalah pemberitahuan langsung dari Tuhan kepada manusia dan mewujudkan dirinya dalam kitab suci agama. Namun sebagian pemikir Muslim ada yang menyamakan wahyu dengan intuisi, dalam pengertian wahyu sebagai jenis intuisi pada tingkat yang paling tinggi, dan hanya nabi yang bisa memerolehnya.
Dalam tradisi filsafat Barat, pertentangan keras terjadi antara aliran empirisisme dan rasionalisme. Hingga awal abad ke-20, empirisisme masih memegang kendali dengan kuatnya kecenderungan positivisme di kalangan ilmuwan Barat. Sedangkan dalam tradisi filsafat Islam, pertentangan kuat terjadi antara aliran rasionalisme dan intuisionisme (iluminasionisme, ‘irfani), dengan kemenangan pada aliran yang kedua. Dalam kisah perjalanan Nabi Khidir a.s. dan Musa a.s., penerimaan Musa atas tindakan-tindakan Khidir yang mulanya ia pertanyakan dianggap sebagai kemenangan intuisionisme. Penilaian positif umumnya para filosof Muslim atas intuisi ini kemungkinan besar dimaksudkan untuk memberikan status ontologis yang kuat pada wahyu, sebagai sumber pengetahuan yang lebih sahih daripada rasio.
LOGIKA
Logika adalah cara berpikir atau penalaran menuju kesimpulan yang benar. Aristoteles (384-322 SM) adalah pembangun logika yang pertama. Logika Aristoteles ini, menurut Immanuel Kant, 21 abad kemudian, tidak mengalami perubahan sedikit pun, baik penambahan maupun pengurangan.
Aristoteles memerkenalkan dua bentuk logika yang sekarang kita kenal dengan istilah deduksi dan induksi. Logika deduksi, dikenal juga dengan nama silogisme, adalah menarik kesimpulan dari pernyataan umum atas hal yang khusus. Contoh terkenal dari silogisme adalah:
- Semua manusia akan mati (pernyataan umum, premis mayor)
- Isnur manusia (pernyataan antara, premis minor)
- Isnur akan mati (kesimpulan, konklusi)
Logika induksi adalah kebalikan dari deduksi, yaitu menarik kesimpulan dari pernyataan-pernyataan yang bersifat khusus menuju pernyataan umum. Contoh:
- Isnur adalah manusia, dan ia mati (pernyataan khusus)
- Muhammad, Asep, dll adalah manusia, dan semuanya mati (pernyataan antara)
- Semua manusia akan mati (kesimpulan)
TEORI-TEORI KEBENARAN
Korespondensi
Sebuah pernyataan dikatakan benar bila sesuai dengan fakta atau kenyataan. Contoh pernyataan “bentuk air selalu sesuai dengan ruang yang ditempatinya”, adalah benar karena kenyataannya demikian. “Kota Jakarta ada di pulau Jawa” adalah benar karena sesuai dengan fakta (bisa dilihat di peta). Korespondensi memakai logika induksi.
Koherensi
Sebuah pernyataan dikatakan benar bila konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Contoh pernyataan “Asep akan mati” sesuai (koheren) dengan pernyataan sebelumnya bahwa “semua manusia akan mati” dan “Asep adalah manusia”. Terlihat di sini, logika yang dipakai dalam koherensi adalah logika deduksi.
Pragmatik
Sebuah pernyataan dikatakan benar jika berguna (fungsional) dalam situasi praktis. Kebenaran pragmatik dapat menjadi titik pertemuan antara koherensi dan korespondensi. Jika ada dua teori keilmuan yang sudah memenuhi kriteria dua teori kebenaran di atas, maka yang diambil adalah teori yang lebih mudah dipraktikkan. Agama dan seni bisa cocok jika diukur dengan teori kebenaran ini. Agama, dengan satu pernyataannya misalnya “Tuhan ada”, adalah benar secara pragmatik (adanya Tuhan berguna untuk menopang nilai-nilai hidup manusia dan menjadikannya teratur), lepas dari apakah Tuhan ada itu sesuai dengan fakta atau tidak, konsisten dengan pernyataan sebelumnya atau tidak.
***
Setelah mengemukakan hal-hal penting yang menjadi dasar pengetahuan, berikutnya kita akan meninjau aspek ontologis, epistemologis, dan aksiologis dari tiga macam pengetahuan yang paling berpengaruh dalam kehidupan manusia, yakni filsafat, agama, dan sains.
FILSAFAT
Sering dikatakan bahwa filsafat adalah induk segala ilmu. Pernyataan ini tidak salah karena ilmu-ilmu yang ada sekarang, baik ilmu alam maupun ilmu sosial, mulanya berada dalam kajian filsafat. Pada zaman dulu tidak dibedakan antara ilmuwan dengan filosof. Isaac Newton (1642-1627) menulis hukum-hukum fisikanya dalam buku yang berjudul Philosophie Naturalis Principia Mathematica (terbit 1686). Adam Smith (1723-1790) bapak ilmu ekonomi menulis buku The Wealth of Nations (1776) dalam kapasitasnya sebagai Professor of Moral Philosophy di Universitas Glasgow. Kita juga mengenal Ibnu Sina (w.1037) sebagai bapak kedokteran yang menyusun ensiklopedi besar al-Qanun fi al-Thibb sekaligus sebagai filosof yang mengarang Kitab al-Syifa’.
Definisi filsafat tidak akan diberikan karena para ahli sendiri berbeda-beda dalam merumuskannya. Cukup di sini disinggung mengenai ciri-ciri dari filsafat, sebagaimana diuraikan Suriasumantri (1998), yaitu menyeluruh (membahas segala hal atau satu hal dalam kaitannya dengan hal-hal lain), radikal (meneliti sesuatu secara mendalam, mendasar hingga ke akar-akarnya), dan spekulatif (memulai penyelidikannya dari titik yang ditentukan begitu saja secara apriori). Spekulatif juga bermakna rasional.
Objek kajian filsafat sangat luas, bahkan boleh dikatakan tak terbatas. Filsafat memelajari segala realitas yang ada dan mungkin ada; lebih luas lagi, segala hal yang mungkin dipikirkan oleh akal. Sejauh ini, terdapat tiga realitas besar yang dikaji filsafat, yakni Tuhan (metakosmos), manusia (mikrokosmos), dan alam (makrokosmos). Sebagian objek filsafat telah diambil-alih oleh sains, yakni objek-objek yang bersifat empiris.
Objek-objek kajian filsafat yang luas itu coba dikelompokkan oleh para ahli ke dalam beberapa bidang. Berbeda-beda hasil pembagian mereka. Jujun Suriasumantri (1998) membagi bidang kajian filsafat itu ke dalam empat bagian besar, yakni logika (membahas apa yang disebut benar dan apa yang disebut salah), etika (membahas perihal baik dan buruk), estetika (membahas perihal indah dan jelek), dan metafisika (membahas perihal hakikat keberadaan zat atau sesuatu di balik yang fisik). Empat bagian ini bercabang-cabang lagi menjadi banyak sekali. Hampir tiap ilmu yang dikenal sekarang ada filsafatnya, misalnya filsafat ilmu, filsafat ekonomi, filsafat hukum, filsafat pendidikan, dan filsafat sejarah.
Epistemologi filsafat adalah rasional murni (bedakan dengan rasionalisme). Artinya pengetahuan yang disebut filsafat diperoleh semata-mata lewat kerja akal. Sumber pengetahuan filsafat adalah rasio atau akal. Sumber pengetahuan lain yang mungkin memengaruhi pikiran seorang filosof ditekan seminimal mungkin, dan kalau bisa hingga ke titik nol. Atau pengetahuan-pengetahuan itu diverifikasi oleh akalnya, apakah rasional atau tidak. Misalnya seorang filosof yang beragama Islam tentu telah memeroleh pengetahuan dari ajaran agamanya. Dalam hal ini ada dua hal yang bisa ia lakukan: menolak ajaran agama yang menurutnya tidak rasional, atau mencari pembenaran rasional bagi ajaran agama yang tampaknya tidak rasional.
Filsafat bertujuan untuk mencari Kebenaran (dengan K besar), artinya kebenaran yang sungguh-sungguh benar, kebenaran akhir. Sifat aksiologis filsafat ini tampak dari asal katanya philos (cinta) dan sophia (pengetahuan, kebijaksanaan, kebenaran). Seorang filosof tidak akan berhenti pada pengetahuan yang tampak benar, melainkan menyelidiki hingga ke baliknya. Ia tidak akan puas jika dalam pemikirannya masih terdapat kontradiksi-kontradiksi, kesalahan-kesalahan berpikir, meskipun dalam kenyataannya tidak ada seorang filosof pun yang filsafatnya bebas dari kontradiksi. Dengan kata lain, tidak ada filosof yang berhasil sampai pada Kebenaran atau kebenaran akhir itu. Semuanya hanya bisa disebut mendekati Kebenaran.
Kebenaran yang diperoleh dari filsafat itu sebagian ada yang berkembang menjadi ajaran hidup, isme. Filsafat yang sudah menjadi isme ini difungsikan oleh penganutnya sebagai sumber nilai yang menopang kehidupannya. Misalnya ajaran Aristotelianisme banyak dipakai oleh kaum agamawan gereja; ajaran neoplatonisme banyak dipakai oleh kaum mistik; materialisme, komunisme, dan eksistensialisme bahkan sempat menjadi semacam padanan agama (the religion equivalen), yang berfungsi layaknya agama formal.
AGAMA
Agama kerap “berebutan” lahan dengan filsafat. Objek agama dalam banyak hal hampir sama dengan filsafat, hanya lebih sempit dan lebih praktis. Seperti filsafat, agama juga membahas Tuhan, manusia, dan alam. Seperti filsafat, agama juga menyoal metafisika, namun jawabannya sudah jelas: hakikat segala sesuatu adalah Tuhan. Selain Tuhan, objek pokok dari agama adalah etika khususnya yang bersifat praktis sehari-hari.
Yang membedakan agama dari filsafat terutama adalah epistemologi atau metodenya. Pengetahuan agama berasal dari wahyu Tuhan yang diberikan kepada Nabi, dan kita memerolehnya dengan jalan percaya bahwa Nabi benar. Pada agama, yang harus kita lakukan adalah beriman, baru berpikir. Kita boleh memertanyakan kebenaran agama, setelah menerima dan memercayainya, dengan cara lain (rasional atau empiris). Tapi ujung-ujungnya kita tetap harus percaya meskipun apa yang disampaikan agama itu tidak masuk akal atau tidak terbukti dalam kenyataan.
Jawaban yang diberikan agama atas satu masalah bisa sama, berbeda, atau bertentangan dengan jawaban filsafat. Dalam hal ini, latar belakang keberagamaan seorang filosof sangat memengaruhi. Jika ia beragama, biasanya ia cenderung mendamaikan agama dengan filsafat, seperti tampak pada filsafat skolastik, baik filsafat Yahudi, Kristen, maupun Islam. Jika ia tidak beragama, biasanya filsafatnya berbeda atau bertentangan dengan agama.
Secara praktis, agama sangat fungsional dalam kehidupan manusia. Fungsi utama agama adalah sebagai sumber nilai (moral) untuk dijadikan pegangan dalam hidup budaya manusia. Agama juga memberikan orientasi atau arah dari tindakan manusia. Orientasi itu memberikan makna dan menjauhkan manusia dari kehidupan yang sia-sia. Nilai, orientasi, dan makna itu terutama bersumber dari kepercayaan akan adanya Tuhan dan kehidupan setelah mati. (Coba perhatikan, dalam Alquran, objek iman yang paling banyak disebut bahkan selalu disebut beriringan adalah iman kepada Allah dan hari kemudian).
SAINS
Ontologi
Sains (dalam bahasa Indonesia disebut juga ilmu, ilmu pengetahuan, atau pengetahuan ilmiah) adalah pengetahuan yang tertata (any organized knowledge) secara sistematis dan diperoleh melalui metode ilmiah (scientific method). Sains memelajari segala sesuatu sepanjang masih berada dalam lingkup pengalaman empiris manusia.
Objek sains terbagi dua, objek material dan objek formal. Objek material terbatas jumlahnya dan satu atau lebih sains bisa memiliki objek material yang sama. Sains dibedakan satu sama lain berdasarkan objek formalnya. Sosiologi dan antropologi memiliki objek material yang sama, yakni masyarakat. Namun objek formalnya beda. Sosiologi memelajari struktur dan dinamika masyarakat, antropologi memelajari masyarakat dalam budaya tertentu.
Sains atau ilmu dibedakan secara garis besar menjadi dua kelompok, yaitu ilmu-ilmu alam (natural sciences) dan ilmu-ilmu sosial (social sciences). Ilmu-ilmu alam memelajari benda-benda fisik, dan secara garis besar dibedakan lagi menjadi dua, yaitu ilmu alam (fisika, kimia, astronomi, geologi, dll) dan ilmu hayat (biologi, anatomi, botani, zoologi, dll). Tiap-tiap cabang ilmu itu bercabang-cabang lagi menjadi banyak sekali. Ilmu kimia saja, menurut Jujun Suriasumantri, memiliki 150 disiplin.
Ilmu-ilmu sosial memelajari manusia dan masyarakat. Perkembangan ilmu sosial tidak sepesat ilmu alam, dikarenakan manusia tidak seempiris benda-benda alam, juga karena benturan antara metodologi dengan norma-norma moral. Namun saat ini pun ilmu-ilmu sosial sudah sangat beragam dan canggih. Yang paling utama adalah sosiologi, antropologi, psikologi, ekonomi, dan politik.
Epistemologi
Sains diperoleh melalui metode sains (scientific method) atau biasa diterjemahkan menjadi metode ilmiah. Metode ini menggabungkan keunggulan rasionalisme dan empirisisme, kekuatan logika deduksi dan induksi, serta mencakup teori kebenaran korespondensi, koherensi, dan pragmatik. Karena penggabungan ini, sains memenuhi sifat rasional sekaligus empiris. Sains juga bersifat sistematis karena disusun dan diperoleh lewat suatu metode yang jelas. Bagi kaum positivis, sains juga bersifat objektif, artinya berlaku di semua tempat dan bagi setiap pengamat. Namun sejak munculnya teori relativitas Einstein, apalagi pada masa postmodern ini, klaim objektivitas sains tidak bisa lagi dipertahankan.
Secara ringkas, metode ilmiah disusun menurut urutan sebagai berikut:
• Menemukan dan merumuskan masalah
• Menyusun kerangka teoritis
• Membuat hipotesis
• Menguji hipotesis dengan percobaan (observasi, eksperimen, dll).
• Menarik kesimpulan.
Kesimpulan yang diperoleh itu disebut teori. Untuk benar-benar dianggap sahih dan bisa bertahan, sebuah teori harus diuji lagi berkali-kali dalam serangkaian percobaan, baik oleh penemunya maupun oleh ilmuwan lain. Pengujian ini disebut verifikasi (pembuktian benar). Sebuah teori bisa juga diuji dengan cara sebaliknya, yaitu sebagaimana diusulkan Karl Popper, falsifikasi (pembuktian salah). Dengan falsifikasi, jika untuk sebuah teori dilakukan 1000 percobaan, 1 saja dari 1000 percobaan itu menunjukkan adanya kesalahan, maka teori itu tidak perlu dipertahankan lagi. Contoh, jika dinyatakan kepada kita bahwa semua burung gagak hitam, dan di suatu tempat kita menemukan satu burung gagak yang tidak hitam, berarti pernyataan itu salah.
Namun dalam sebuah teori, sebetulnya yang lebih penting bukanlah ketiadaan salah sama sekali, karena itu sangat berat bahkan tidak mungkin untuk teori ilmu sosial, namun seberapa besar kemungkinan teori itu benar (probabilitas). Probabilitas benar 95 persen dianggap sudah cukup untuk men-sahihkan sebuah teori dan memakainya untuk memecahkan masalah.
Aksiologi
Pengetahuan yang diperoleh lewat metode sains bukanlah terutama untuk pengetahuan itu sendiri, melainkan sebagai alat untuk membantu manusia dalam memecahkan masalah sehari-hari. Kegunaan ini diperoleh dengan tiga cara, description (menjelaskan), prediction (meramal, memerkirakan), dan controling (mengontrol). Penjelasan diperoleh dari teori. Dihadapkan pada masalah praktis, teori akan memerkirakan apa yang akan terjadi. Dari perkiraan itu, kita memersiapkan langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk mengontrol segala hal yang mungkin timbul, entah itu merugikan atau menguntungkan.
Satu sisi yang sering diperdebatkan adalah menyangkut netralitas sains, kaitannya dengan agama atau ideologi tertentu. Pada dasarnya sains itu netral, atau setidaknya bermaksud untuk netral, dalam arti ia hanya bermaksud menjelaskan sesuatu secara apa adanya. Tetapi sains dapat mengilhami suatu pandangan dunia tertentu, dan ini tidak netral. Misalnya teori evolusi Darwin dapat menjadi pandangan dunia yang mekanistik dan ateistik. Dan hal ini sangat mencemaskan bagi kaum agamawan.
Lahirnya suatu teori juga ternyata tidak bisa dilepaskan dari konteks tempat teori itu dilahirkan. Konteks meliputi pandangan dunia yang dianut ilmuwan, latar belakang budaya, bahasa, dll. Pengaruh konteks ini terutama sangat terasa pada sains sosial sehingga suatu sains bisa menghasilkan beragam aliran dan perspektif. []
Referensi pokok:
Kartanegara, Mulyadhi, Menyibak Tirai Kejahilan: Pengantar Epistemologi Islam, Bandung: Mizan, 2003.
Suriasumantri, Jujun S., Filsafat Ilmu Suatu Pengantar Populer, Jakarta: Sinar Harapan, 1998.
Catatan:
Tulisan ini pada awalnya dibuat untuk memenuhi kebutuhan penulis ketika sering diundang mengisi materi Filsafat Ilmu di Latihan Kader 1 (Basic Training) HMI.
http://bermenschool.wordpress.com/2008/12/04/epistemologi-filsafat-pengetahuan/
BAB 1
ILMU, FILSAFAT DAN TEOLOGI
“Aku datang – entah dari mana,
aku ini – entah siapa,
aku pergi – entah kemana,
aku akan mati – entah kapan,
aku heran bahwa aku gembira”.
(Martinus dari Biberach,
tokoh abad pertengahan).
1. Manusia bertanya
Menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia kagum atas apa yang dilihatnya, manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama:
“Manusia mengharapkan dari berbagai agama jawaban terhadap rahasia yang tersembunyi sekitar keadaan hidup manusia. Sama seperti dulu, sekarang pun rahasia tersebut menggelisahkan hati manusia secara mendalam: apa makna dan tujuan hidup kita, apa itu kebaikan apa itu dosa, apa asal mula dan apa tujuan derita, mana kiranya jalan untuk mencapai kebahagiaan sejati, apa itu kematian, apa pengadilan dan ganjaran sesudah maut, akhirnya apa itu misteri terakhir dan tak terungkapkan, yang menyelimuti keberadaan kita, darinya kita berasal dan kepadanya kita menuju?” — Zaman Kita (no.1), Deklarasi Konsili Vatikan II tentang Sikap Gereja Katolik terhadap Agama-agama bukan Kristen, 1965.
Salah satu hasil renungan mengenai hal itu, yang berangkat dari sikap iman yang penuh taqwa kepada Allah, terdapat dalam Mazmur 8:
“Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulianya namaMu diseluruh bumi!
KeagunganMu yang mengatasi langit dinyanyikan.
Mulut bayi-bayi dan anak-anak yang menyusu berbicara bagiMu, membungkam musuh dan lawanMu.
Jika aku melihat langitMu, buatan jariMu, bulan dan bintang yang Kautempatkan;
apakah manusia, sehingga Engkau mengingatnya?
Siapakah dia sehingga Engkau mengindahkannya? — Namun Engkau telah membuatnya hampir sama seperti Allah, dan telah memahkotainya dengan kemuliaan dan hormat.
Engkau membuat dia berkuasa atas buatan tanganMu; segalanya telah Kauletakkan dibawah kakinya:
kambing domba dan lembu sapi sekalian,
juga binatang-binatang di padang;
burung-burung di udara dan ikan-ikan di laut,
dan apa yang melintasi arus lautan.
Ya Tuhan, Allah kami, betapa mulia namaMu di seluruh bumi!”
2. Manusia berfilsafat
Tetapi sudah sejak awal sejarah ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pengetahuan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang (1) disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang (2) dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).
Filsafat adalah pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan (realitas). Filsafat merupakan refleksi rasional (fikir) atas keseluruhan realitas untuk mencapai hakikat (= kebenaran) dan memperoleh hikmat (= kebijaksanaan).
Al-Kindi (801 – 873 M) : “Kegiatan manusia yang bertingkat tertinggi adalah filsafat yang merupakan pengetahuan benar mengenai hakikat segala yang ada sejauh mungkin bagi manusia … Bagian filsafat yang paling mulia adalah filsafat pertama, yaitu pengetahuan kebenaran pertama yang merupakan sebab dari segala kebenaran”.
Unsur “rasional” (penggunaan akal budi) dalam kegiatan ini merupakan syarat mutlak, dalam upaya untuk mempelajari dan mengungkapkan “secara mendasar” pengembaraan manusia di dunianya menuju akhirat. Disebut “secara mendasar” karena upaya itu dimaksudkan menuju kepada rumusan dari sebab-musabab pertama, atau sebab-musabab terakhir, atau bahkan sebab-musabab terdalam dari obyek yang dipelajari (“obyek material”), yaitu “manusia di dunia dalam mengembara menuju akhirat”. Itulah scientia rerum per causas ultimas — pengetahuan mengenai hal ikhwal berdasarkan sebab-musabab yang paling dalam.
Karl Popper (1902-?) menulis “semua orang adalah filsuf, karena semua mempunyai salah satu sikap terhadap hidup dan kematian. Ada yang berpendapat bahwa hidup itu tanpa harga, karena hidup itu akan berakhir. Mereka tidak menyadari bahwa argumen yang terbalik juga dapat dikemukakan, yaitu bahwa kalau hidup tidak akan berakhir, maka hidup adalah tanpa harga; bahwa bahaya yang selalu hadir yang membuat kita dapat kehilangan hidup sekurang-kuran gnya ikut menolong kita untuk menyadari nilai dari hidup”. Mengingat berfilsafat adalah berfikir tentang hidup, dan “berfikir” = “to think” (Inggeris) = “denken” (Jerman), maka – menurut Heidegger (1889-1976 ), dalam “berfikir” sebenarnya kita “berterimakasih” = “to thank” (Inggeris) = “danken” (Jerman) kepada Sang Pemberi hidup atas segala anugerah kehidupan yang diberikan kepada kita.
Menarik juga untuk dicatat bahwa kata “hikmat” bahasa Inggerisnya adalah “wisdom”, dengan akar kata “wise” atau “wissen” (bahasa Jerman) yang artinya mengetahui. Dalam bahasa Norwegia itulah “viten”, yang memiliki akar sama dengan kata bahasa Sansekerta “vidya” yang diindonesiakan menjadi “widya”. Kata itu dekat dengan kata “widi” dalam “Hyang Widi” = Tuhan. Kata “vidya” pun dekat dengan kata Yunani “idea”, yang dilontarkan pertama kali oleh Socrates/Plato dan digali terus-menerus oleh para filsuf sepanjang segala abad.
Menurut Aristoteles (384-322 sM), pemikiran kita melewati 3 jenis abstraksi (abstrahere = menjauhkan diri dari, mengambil dari). Tiap jenis abstraksi melahirkan satu jenis ilmu pengetahuan dalam bangunan pengetahuan yang pada waktu itu disebut filsafat:
Aras abstraksi pertama – fisika. Kita mulai berfikir kalau kita mengamati. Dalam berfikir, akal dan budi kita “melepaskan diri” dari pengamatan inderawi segi-segi tertentu, yaitu “materi yang dapat dirasakan” (“hyle aistete”). Dari hal-hal yang partikular dan nyata, ditarik daripadanya hal-hal yang bersifat umum: itulah proses abstraksi dari ciri-ciri individual. Akal budi manusia, bersama materi yang “abstrak” itu, menghasilan ilmu pengetahuan yang disebut “fisika” (“physos” = alam).
Aras abstraksi kedua – matesis. Dalam proses abstraksi selanjutnya, kita dapat melepaskan diri dari materi yang kelihatan. Itu terjadi kalau akal budi melepaskan dari materi hanya segi yang dapat dimengerti (“hyle noete”). Ilmu pengetahuan yang dihasilkan oleh jenis abstraksi dari semua ciri material ini disebut “matesis” (“matematika” – mathesis = pengetahuan, ilmu).
Aras abstraksi ketiga – teologi atau “filsafat pertama”. Kita dapat meng-”abstrahere” dari semua materi dan berfikir tentang seluruh kenyataan, tentang asal dan tujuannya, tentang asas pembentukannya, dsb. Aras fisika dan aras matematika jelas telah kita tinggalkan. Pemikiran pada aras ini menghasilkan ilmu pengetahuan yang oleh Aristoteles disebut teologi atau “filsafat pertama”. Akan tetapi karena ilmu pengetahuan ini “datang sesudah” fisika, maka dalam tradisi selanjutnya disebut metafisika.
Secara singkat, filsafat mencakup “segalanya”. Filsafat datang sebelum dan sesudah ilmu pengetahuan; disebut “sebelum” karena semua ilmu pengetahuan khusus mulai sebagai bagian dari filsafat dan disebut “sesudah” karena ilmu pengetahuan khusus pasti menghadapi pertanyaan tentang batas-batas dari kekhususannya.
3. Manusia berteologi
Teologi adalah: pengetahuan metodis, sistematis dan koheren tentang seluruh kenyataan berdasarkan iman. Secara sederhana, iman dapat didefinisikan sebagai sikap manusia dihadapan Allah, Yang mutlak dan Yang kudus, yang diakui sebagai Sumber segala kehidupan di alam semesta ini. Iman itu ada dalam diri seseorang antara lain melalui pendidikan (misalnya oleh orang tua), tetapi dapat juga melalui usaha sendiri, misalnya dengan cermat merenungkan hidupnya di hadapan Sang pemberi hidup itu. Dalam hal ini Allah dimengerti sebagai Realitas yang paling mengagumkan dan mendebarkan. Tentulah dalam arti terakhir itu berteologi adalah berfilsafat juga.
Iman adalah sikap batin. Iman seseorang terwujud dalam sikap, perilaku dan perbuatannya, terhadap sesamanya dan terhadap lingkungan hidupnya. Jika iman yang sama (apapun makna kata “sama” itu) ada pada dan dimiliki oleh sejumlah atau sekelompok orang, maka yang terjadi adalah proses pelembagaan. Pelembagaan itu misalnya berupa (1) tatacara bagaimana kelompok itu ingin mengungkapkan imannya dalam doa dan ibadat, (2) tatanilai dan aturan yang menjadi pedoman bagi penghayatan dan pengamalan iman dalam kegiatan sehari-hari, dan (3) tatanan ajaran atau isi iman untuk dikomunikasikan (disiarkan) dan dilestarikan. Jika pelembagaan itu terjadi, lahirlah agama. Karena itu agama adalah wujud sosial dari iman.
Catatan.
(1) Proses yang disebut pelembagaan itu adalah usaha yang sifatnya metodis, sistematis dan koheren atas kenyataan yang berupa kesadaran akan kehadiran Sang Realitas yang mengatasi hidup. Dalam konteks inilah kiranya kata akal (“‘aql”) dan kata ilmu (“‘ilm”) telah digunakan dalam teks Al Qur’an. Kedekatan kata ‘ilm dengan kata sifat ‘alim kata ulama kiranya juga dapat dimengerti. Periksalah pula buku Yusuf Qardhawi, “Al-Qur’an berbicara tentang akal dan ilmu pengetahuan”, Gema Insani Press, 1998. Namun sekaligus juga harus dikatakan, bahwa kata “ilmu” itu dalam pengertian umum dewasa ini meski serupa namun tetap tak sama dengan makna kata “ilmu” dalam teks dan konteks Al-Qur’an itu.
(2) Proses terbentuknya agama sebagaimana diungkapkan disini pantas disebut sebagai pendekatan “dari bawah”. Inisiatif seakan-akan berasal dari manusia, yang ingin menemukan hakekat hidupnya di dunia ini dikaitkan dengan Sang sumber hidup dan kehidupan. Manusia meniti dan menata hidupnya sesuai dengan hasil penemuannya. Pendekatan “dari atas” nyata pada agama-agama samawi: Allah mengambil inisiatif mewahyukan kehendakNya kepada manusia, dan oleh karena itu iman adalah tanggapan manusia atas “sapaan” Allah itu.
Sebagai ilmu, teologi merefleksikan hubungan Allah dan manusia. Manusia berteologi karena ingin memahami imannya dengan cara lebih baik, dan ingin mempertanggungjawabkannya: “aku tahu kepada siapa aku percaya” (2Tim 1:12). Teologi bukan agama dan tidak sama dengan Ajaran Agama. Dalam teologi, adanya unsur “intellectus quaerens fidem” (akal menyelidiki isi iman) diharapkan memberi sumbangan substansial untuk integrasi akal dan iman, iptek dan imtaq, yang pada gilirannya sangat bermanfaat bagi hidup manusia masa kini.
4. Obyek material dan obyek formal
Ilmu filsafat memiliki obyek material dan obyek formal. Obyek material adalah apa yang dipelajari dan dikupas sebagai bahan (materi) pembicaraan, yaitu gejala “manusia di dunia yang mengembara menuju akhirat”. Dalam gejala ini jelas ada tiga hal menonjol, yaitu manusia, dunia, dan akhirat. Maka ada filsafat tentang manusia (antropologi), filsafat tentang alam (kosmologi), dan filsafat tentang akhirat (teologi – filsafat ketuhanan; kata “akhirat” dalam konteks hidup beriman dapat dengan mudah diganti dengan kata Tuhan). Antropologi, kosmologi dan teologi, sekalipun kelihatan terpisah, saling berkaitan juga, sebab pembicaraan tentang yang satu pastilah tidak dapat dilepaskan dari yang lain. Juga pembicaraan filsafat tentang akhirat atau Tuhan hanya sejauh yang dikenal manusia dalam dunianya.
Obyek formal adalah cara pendekatan yang dipakai atas obyek material, yang sedemikian khas sehingga mencirikan atau mengkhususkan bidang kegiatan yang bersangkutan. Jika cara pendekatan itu logis, konsisten dan efisien, maka dihasilkanlah sistem filsafat.
Filsafat berangkat dari pengalaman konkret manusia dalam dunianya. Pengalaman manusia yang sungguh kaya dengan segala sesuatu yang tersirat ingin dinyatakan secara tersurat. Dalam proses itu intuisi (merupakan hal yang ada dalam setiap pengalaman) menjadi basis bagi proses abstraksi, sehingga yang tersirat dapat diungkapkan menjadi tersurat.
Dalam filsafat, ada filsafat pengetahuan. “Segala manusia ingin mengetahui”, itu kalimat pertama Aristoteles dalam Metaphysica. Obyek materialnya adalah gejala “manusia tahu”. Tugas filsafat ini adalah menyoroti gejala itu berdasarkan sebab-musabab pertamanya. Filsafat menggali “kebenaran” (versus “kepalsuan”), “kepastian” (versus “ketidakpastian”), “obyektivitas” (versus “subyektivitas”), “abstraksi”, “intuisi”, dari mana asal pengetahuan dan kemana arah pengetahuan. Pada gilirannya gejala ilmu-ilmu pengetahuan menjadi obyek material juga, dan kegiatan berfikir itu (sejauh dilakukan menurut sebab-musabab pertama) menghasilkan filsafat ilmu pengetahuan. Kekhususan gejala ilmu pengetahuan terhadap gejala pengetahuan dicermati dengan teliti. Kekhususan itu terletak dalam cara kerja atau metode yang terdapat dalam ilmu-ilmu pengetahuan.
5. Cabang-cabang filsafat
5.1. Sekalipun bertanya tentang seluruh realitas, filsafat selalu bersifat “filsafat tentang” sesuatu: tentang manusia, tentang alam, tentang akhirat, tentang kebudayaan, kesenian, bahasa, hukum, agama, sejarah, … Semua selalu dikembalikan ke empat bidang induk:
1. filsafat tentang pengetahuan:
obyek material : pengetahuan (“episteme”) dan kebenaran
epistemologi;
logika;
kritik ilmu-ilmu;
2. filsafat tentang seluruh keseluruhan kenyataan:
obyek material : eksistensi (keberadaan) dan esensi (hakekat)
metafisika umum (ontologi);
metafisika khusus:
antropologi (tentang manusia);
kosmologi (tentang alam semesta);
teodise (tentang tuhan);
3. filsafat tentang nilai-nilai yang terdapat dalam sebuah tindakan:
obyek material : kebaikan dan keindahan
etika;
estetika;
4. sejarah filsafat.
5.2. Beberapa penjelasan diberikan disini khusus mengenai filsafat tentang pengetahuan. Dipertanyakan: Apa itu pengetahuan? Dari mana asalnya? Apa ada kepastian dalam pengetahuan, atau semua hanya hipotesis atau dugaan belaka?
Pertanyaan tentang kemungkinan-kemungkinan pengetahuan, batas-batas pengetahuan, asal dan jenis-jenis pengetahuan dibahas dalam epistemologi. Logika (“logikos”) “berhubungan dengan pengetahuan”, “berhubungan dengan bahasa”. Disini bahasa dimengerti sebagai cara bagaimana pengetahuan itu dikomunikasikan dan dinyatakan. Maka logika merupakan cabang filsafat yang menyelidiki kesehatan cara berfikir serta aturan-aturan yang harus dihormati supaya pernyataan-pernyataan sah adanya.
Ada banyak ilmu, ada pohon ilmu-ilmu, yaitu tentang bagaimana ilmu yang satu berkait dengan ilmu lain. Disebut pohon karena dimengerti pastilah ada ibu (akar) dari semua ilmu. Kritik ilmu-ilmu mempertanyakan teori-teori dalam membagi ilmu-ilmu, metode-metode dalam ilmu-ilmu, dasar kepastian dan jenis keterangan yang diberikan.
5.3. Menurut cara pendekatannya, dalam filsafat dikenal ada banyak aliran filsafat: eksistensialisme, fenomenologi, nihilisme, materialisme, … dan sebaginya.
5.4. Pastilah ada filsafat tentang agama, yaitu pemikiran filsafati (kritis, analitis, rasional) tentang gejala agama: hakekat agama sebagai wujud dari pengalaman religius manusia, hakikat hubungan manusia dengan Yang Kudus (Numen): adanya kenyataan trans-empiris, yang begitu mempengaruhi dan menentukan, tetapi sekaligus membentuk dan menjadi dasar tingkah-laku manusia. Yang Kudus itu dimengerti sebagai Mysterium Tremendum et Fascinosum; kepadaNya manusia hanya beriman, yang dapat diamati (oleh seorang pengamat) dalam perilaku hidup yang penuh dengan sikap “takut-dan-taqwa”, wedi-lan-asih ing Panjenengane.
Sebegitu, maka tidak ada filsafat agama X; yang ada adalah filsafat dalam agama X, yaitu pemikiran menuju pembentukan infrastruktur rasional bagi ajaran agama X. Hubungan antara filsafat dengan agama X dapat diibaratkan sebagai hubungan antara jemaah haji dengan kendaraan yang ditumpangi untuk pergi haji ke Tanah Suci, dan bukan hubungan antara jemaah haji dengan iman yang ada dalam hati jemaah itu.
Catatan lain.
1. Iman dapat digambarkan mirip dengan gunung es di lautan. Yang tampak hanya sekitar sepersepuluh saja dari keseluruhannya. Karena iman adalah suasana hati, maka berlakulah peribahasa: “dalam laut dapat diduga, dalam hati siapa yang tahu”. Tahukah saudara akan kadar keimanan saya?
2. Sekaligus juga patut ditanyakan “dimanakah letak hati yang dimaksudkan disini? Pastilah “hati” itu (misalnya dalam kata “sakit hati” jika seorang pemudi dibuat kecewa oleh sang pemuda yang menjadi pacarnya) bukan organ hati (dan kata “sakit hati” karena liver anda membengkak) yang diurus oleh para dokter di rumah sakit. Periksa pula apa yang tersirat dalam kata “batin”, “kalbu”, “berhati-hatilah”, “jantung hati”, “jatuh hati”, “hati nurani”, dan “suara hati”.
3. Menurut Paul A Samuelson tirani kata merupakan gejala umum dalam masyarakat. Sering ada banyak kata dipakai untuk menyampaikan makna yang sama dan ada pula banyak makna terkait dalam satu kata. Manusia ditantang untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah (“clearly and distinctly”), sekurang-kurangnya untuk menghindarkan miskomunikasi dan menegakkan kebenaran. Itulah nasehat dari Rene Descrates. Bahkan kedewasaan seseorang dalam menghadapi persoalan (termasuk persoalan-persoalan dalam hidupnya) erat hubungannya dengan kemampuannya untuk berfikir dan berbicara dengan jelas dan terpilah-pilah tersebut.
6. Refleksi rasional dan refleksi imani
Ketika bangsa Yunani mulai membuat refleksi atas persoalan-persoalan yang sekarang menjadi obyek material dalam filsafat dan bahkan ketika hasil-hasil refleksi itu dibukukan dalam naskah-naskah yang sekarang menjadi klasik, bangsa Israel telah memiliki sejumlah naskah (yang sekarang dikenal sebagai bagian dari Alkitab yang disebut Perjanjian Lama). Naskah-naskah itu pada hakekatnya merupakan hasil refleksi juga, oleh para bapa bangsa itu tentang nasib dan keberuntungan bangsa Israel — bagaimana dalam perjalanan sejarah sebagai “bangsa terpilih”, mereka sungguh dituntun (bahkan sering pula dihardik dengan keras serta dihukum) oleh YHWH (dibaca: Yahwe), Allah mereka. Ikatan erat dengan tradisi dan ibadat telah menjadikan naskah-naskah itu Kitab Suci agama mereka (Agama Yahudi). Pada gilirannya, Kitab Suci itu pun memiliki posisi unik dalam Agama Kristiani.
Catatan.
Bangsa Israel (dan Israel dalam Alkitab) sebagaimana dimaksudkan diatas tidak harus dimengerti sama dengan bangsa Israel yang sekarang ada di wilayah geografis yang sekarang disebut “negara Israel”.
Kedua refleksi itu berbeda dalam banyak hal. Refleksi tokoh-tokoh Yunani itu (misal Plato dan Aristoteles) mengandalkan akal dan merupakan cetusan penolakan mereka atas mitologi (faham yang menggambarkan dunia sebagai senantiasa dikuasai oleh para dewa dan dewi). Sebaliknya, refleksi para bapa bangsa Israel itu (misal: Musa yang umumnya diterima sebagai penulis 5 kitab pertama Perjanjian Lama) merupakan ditopang oleh kalbu karena merupakan cetusan penerimaan bangsa Israel atas peran Sang YHWH dalam keseluruhan nasib dan sejarah bangsa itu. Refleksi imani itu sungguh merupakan pernyataan universal pengakuan yang tulus, barangkali yang pertama dalam sejarah umat manusia, akan kemahakuasaan Allah dalam hidup dan sejarah manusia.
Sekarang ada yang berpendirian, bahwa hasil refleksi rasional para tokoh Yunani itu, berasimilasi dengan tradisi refleksi hidup keagamaan yang monoteistis, ternyata menjadi bibit bagi lahirnya ilmu-ilmu pengetahuan yang dikenal dewasa ini. Oleh karena itu sering filsafat dikatakan mengatasi setiap ilmu.
Sementara itu, harus dicatat bahwa dalam lingkungan kebudayaan India dan Cina berkembang pula refleksi bernuansa lain: wajah Asia. Refleksi itu nyata dalam buah pengetahuan yang terkumpul (misalnya dalam wujud “ilmu kedokteran alternatif” tusuk jarum), dan dalam karya-karya sastra “kaliber dunia” dari anak benua India. Karya-karya sastra itu sering diperlakukan sebagai kitab suci, atau dihormati sebagai Kitab Suci, karena diterima sebagai kitab yang penuh dengan hal-hal yang bernilai suci untuk menjadi pedoman hidup sehari-hari.
Misalnya saja Bhagavadgita (abad 4 seb Masehi). Bhagawadgita (atau Gita) diangkat dari epik Mahabharata, dari posisi sekunder (bagian dari sebuah cerita) ke posisi primer (sumber segala inspirasi untuk hidup). Pada abad 8 Masehi, Sankara (seorang guru) menginterpretasi Gita bukan sebagai pedoman untuk aksi, tetapi sebagai pedoman untuk “mokhsa”, pembebasan dari keterikatan kepada dunia ini. Ramanuja (abad 12 Masehi) melihatnya sebagai sumber devosi atas kerahiman Tuhan yang hanya bisa dihayati melalui cinta. Pada masa perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 40-an, Gita dilihat sebagai pedoman untuk ber-”dharma yuddha”, perang penuh semangat menegakkan kebenaran terhadap penjajah yang tak adil. Bagi Tilak, Arjuna adalah “a man of action” (“karma yogin”), dan Gita mendorong seseorang untuk bertindak sedemikian sehingga ia menjadi “mokhsa” melalui “perjuangan” yang ditempuhnya. Aurobindo, Mahatma Gandhi, Bhave, Radhakrishnan, dan tokoh-tokoh lain membuat komentar yang kurang lebih sama. Tanpa interpretasi Tilak, misalnya, pergolakan di India pada waktu itu mudah dinilai sebagai bersifat politis murni (atau kriminal murni?), yaitu tanpa landasan ideal, spiritual, teologis dan etis.
Sesungguhnya, berefleksi merupakan ciri khas manusia sebagai pribadi dan dalam kelompok. Refleksi merupakan sarana untuk mengembangkan spiritualitas dan aktualisasi menjadi manusia yang utuh, dewasa dan mandiri. Melalui refleksi pula, manusia dan kelompok-kelompok manusia (yaitu suku dan bangsa) menemukan jati dirinya, menyadari tempatnya dalam dimensi ruang dan waktu (dalam sejarah), serta melaksanakan panggilannya untuk membuat sejarah bagi masa depan.
Catatan.
Adakah refleksi tentang realitas yang khas Indonesia? Suatu kajian berdasar naskah-naskah sastra Jawa masa lalu terdapat dalam disertasi doktor P J Zoetmulter SJ: “Manunggaling Kawula Gusti” (1935), yang telah diterjemahkan oleh Dick Hartoko SJ dan diterbitkan oleh PT Gramedia.
Pengertian Epistemologi
Epistemologi, (dari bahasa Yunani episteme (pengetahuan) dan logos (kata/pembicaraan/ilmu) adalah cabang filsafat yang berkaitan dengan asal, sifat, dan jenis pengetahuan. Topik ini termasuk salah satu yang paling sering diperdebatkan dan dibahas dalam bidang filsafat, misalnya tentang apa itu pengetahuan, bagaimana karakteristiknya, macamnya, serta hubungannya dengan kebenaran dan keyakinan.
Epistomologi atau Teori Pengetahuan berhubungan dengan hakikat dari ilmu pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya serta pertanggung jawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia. Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai metode, diantaranya; metode induktif, metode deduktif, metode positivisme, metode kontemplatis dan metode dialektis.
Secara historis, istilah epistemologi digunakan pertama kali oleh J.F. Ferrier, untuk membedakan dua cabang filsafat, epistemologi dan ontologi. Sebagai sub sistem filsafat, epistemologi ternyata menyimpan “misteri” pemaknaan atau pengertian yang tidak mudah dipahami. Pengertian epistemologi ini cukup menjadi perhatian para ahli, tetapi mereka memiliki sudut pandang yang berbeda ketika mengungkapkannya, sehingga didapatkan pengertian yang berbeda-beda, buka saja pada redaksinya, melainkan juga pada substansi persoalannya.
Substansi persoalan menjadi titik sentral dalam upaya memahami pengertian suatu konsep, meskipun ciri-ciri yang melekat padanya juga tidak bisa diabaikan. Lazimnya, pembahasan konsep apa pun, selalu diawali dengan memperkenalkan pengertian (definisi) secara teknis, guna mengungkap substansi persoalan yang terkandung dalam konsep tersebut. Hal iini berfungsi mempermudah dan memperjelas pembahasan konsep selanjutnya. Misalnya, seseorang tidak akan mampu menjelaskan persoalan-persoalan belajar secara mendetail jika dia belum bisa memahami substansi belajar itu sendiri. Setelah memahami substansi belajar tersebut, dia baru bisa menjelaskan proses belajar, gaya belajar, teori belajar, prinsip-prinsip belajar, hambatan-hambatan belajar, cara mengetasi hambatan belajar dan sebagainya. Jadi, pemahaman terhadap substansi suatu konsep merupakan “jalan pembuka” bagi pembahasan-pembahsan selanjutnya yang sedang dibahas dan substansi konsep itu biasanya terkandung dalam definisi (pengertian).
Demikian pula, pengertian epistemologi diharapkan memberikan kepastian pemahaman terhadap substansinya, sehingga memperlancar pembahasan seluk-beluk yang terkait dengan epistemologi itu. Ada beberapa pengertian epistemologi yang diungkapkan para ahli yang dapat dijadikan pijakan untuk memahami apa sebenarnya epistemologi itu.
epistemologi juga disebut teori pengetahuan (theory of knowledge). Secara etimologi, istilah epistemologi berasal dari kata Yunani episteme berarti pengetahuan, dan logos berarti teori. Epistemologi dapat didefinisikan sebagai cabang filsafat yang mempelajari asal mula atau sumber, struktur, metode dan sahnya (validitasnya) pengetahuan. Dalam Epistemologi, pertanyaan pokoknya adalah “apa yang dapat saya ketahui”? Persoalan-persoalan dalam epistemologi adalah: 1.Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu?; 2). Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh?; 3). Bagaimanakah validitas pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman) (Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, 2003, hal.32).
Pengertian lain, menyatakan bahwa epistemologi merupakan pembahasan mengenai bagaimana kita mendapatkan pengetahuan: apakah sumber-sumber pengetahuan ? apakah hakikat, jangkauan dan ruang lingkup pengetahuan? Sampai tahap mana pengetahuan yang mungkin untuk ditangkap manuasia (William S.Sahakian dan Mabel Lewis Sahakian, 1965, dalam Jujun S.Suriasumantri, 2005).
Menurut Musa Asy’arie, epistemologi adalah cabang filsafat yang membicarakan mengenai hakikat ilmu, dan ilmu sebagai proses adalah usaha yang sistematik dan metodik untuk menemukan prinsip kebenaran yang terdapat pada suatu obyek kajian ilmu. Sedangkan, P.Hardono Hadi menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang mempelajari dan mencoba menentukan kodrat dan skope pengetahuan, pengandaian-pengendaian dan dasarnya, serta pertanggungjawaban atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki. Sedangkan D.W Hamlyn mendefinisikan epistemologi sebagai cabang filsafat yang berurusan dengan hakikat dan lingkup pengetahuan, dasar dan pengendaian-pengendaiannya serta secara umum hal itu dapat diandalkannya sebagai penegasan bahwa orang memiliki pengetahuan.
Inti pemahaman dari kedua pengertian tersebut hampir sama. Sedangkan hal yang cukup membedakan adalah bahwa pengertian yang pertama menyinggung persoalan kodrat pengetahuan, sedangkan pengertian kedua tentang hakikat pengetahuan. Kodrat pengetahuan berbeda dengan hakikat pengetahuan. Kodrat berkaitan dengan sifat yang asli dari pengetahuan, sedang hakikat pengetahuan berkaitan dengan ciri-ciri pengetahuan, sehingga menghasilkan pengertian yang sebenarnya. Pembahasan hakikat pengetahuan ini akhirnya melahirkan dua aliran yang saling berlawanan, yaitu realisme dan idealisme.
Selanjutnya, pengertian epistemologi yang lebih jelas daripada kedua pengertian tersebut, diungkapkan oleh Dagobert D.Runes. Dia menyatakan, bahwa epistemologi adalah cabang filsafat yang membahas sumber, struktur, metode-metode dan validitas pengetahuan. Sementara itu, Azyumardi Azra menambahkan, bahwa epistemologi sebagai “ilmu yang membahas tentang keasliam, pengertian, struktur, metode dan validitas ilmu pengetahuan”. Kendati ada sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini sedikit perbedaan dari kedua pengertian tersebut, tetapi kedua pengertian ini telah menyajikan pemaparan yang relatif lebih mudah dipahami.
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2082651-pengertian-epistemologi/#ixzz1TvrB2vrp
ARTI EPISTEMOLOGI
Epistemologi adalah teori pengetahuan
1. Salah satu cabang filsafat yang mempermasalahkan hakikat pengetahuan, sumber-sumbernya, syarat-syarat memperoleh pengetahuan, kebenaran dan kepastian pengetahuan serta hakikat kehendak dan kebebasan manusia dalam pengetahuan.
2. Cabang filsafat yang khusus menggeluti pertanyaan-pertanyaan yang bersifat menyeluruh dan mendasar tentang pengetahuan.
3. Suatu upaya rasional untuk menimbang dan menentukan nilai kognitif pengalaman manusia dalam interaksinya dengan diri, dan lingkungan sekitarnya.
4. Suatu disiplin ilmu yang bersifat evaluatif (menilai), normatif (tentukan tolak ukur) dan kritis (mempertanyakan dan menguji)
PEMBAHASAN DALAM EPISTEMOLOGI
1. Membahas tentang sumber-sumber pengetahaun
2. Membahas tentang apa yang kelihatan versus hakikatnya
3. Membahas tentang ke-valid-an pengetahuan.
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2105449-filsafat-ilmu/#ixzz1TvryqDYS
Berbagai Pengertian Filsafat Ilmu
Filsafat ilmu adalah sebuah tinjauan kritis tentang pendapat-pendapat ilmiah dewasa ini yang dibandingkan dengan pendapat-pendapat terdahulu yang telah dibuktikan. (Robert Ackermann)
Filsafat ilmu itu mempertanyakan dan menilai metode-metode pemikiran ilmiah, serta menetapkan nilai dan usaha ilmiah sebagai suatu keseluruhan. (Lewis White Beck)
Filsafat ilmu merupakan cabang pengetahuan filsafati yang menelaah sistematis mengenai sifat dasar ilmu, metode-metodenya, konsep-konsepnya, dan praanggapan-praanggapannya, serta letaknya dalam kerangka umum dari cabang pengetahuan intelektual. (Cornelius Benjamin)
Filsafat ilmu sebagai analisis yang netral secara etis dan filsafati, pelukisan, dan penjelasan mengenai landasan-landasan ilmu. (May Brodbeck)
Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2090480-pengertian-filsafat-ilmu/#ixzz1TvtDWHFf
PERBANDINGAN FILSAFAT PENGETAHUAN DAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
1. Filsafat Pengetahuan, adalah keseluruhan pemikiran, gagasan, ide, konsep dan pemahaman yang dimiliki manusia tentang dunia dan segala isinya. (Spontan)
2. Sedangkan
3. Filsafat Ilmu Pengetahuan adalah keseluruhan sistem pengetahuan manusia yang telah dibakukan secara sistematis. (Sistematis dan Reflektif)
DASAR-DASAR PENGETAHUAN
1. Bahasa, merupakan salah satu hal yang mendasari dan memungkinkan pengetahuan pada manusia. Bahasa Tertulis dan Tidak Tertulis.
2. Kebutuhan hidup manusia, memperoleh pengetahuan yang dibutuhkan untuk dapat hidup merupakan suatu bagian dari cara berada manusia. Pengetahuan merupakan suatu alat, strategi dan kebijakan dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2105451-perbandingan-filsafat-pengetahuan-dan-filsafat/#ixzz1TvskBjnT
Epistemologi Ilmu
Filsafat Ilmu terutama diarahkan pada komponen komponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu, yaitu ontologi, epistemologi, dan aksiologi. 1. Ontologi (hakikat apa yang dikaji) Ontologi membahas keberadaan sesuatu yang bersifat kongkrit secara kritis. Beberapa aliran dalam bidang ontologi, yakni realisme, naturalsime dan empirisme. Secara ontologis, objek dibahas dari keberadaannya, apakah ia materi atau bukan, guna membentuk konsep tentang alam nyata (universal ataupun spesifik). Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu itu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat tentang apa dan bagai¬mana (yang) “Ada”. Persoalan yang didalami oleh ontologi ilmu misalnya apakah objek yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud hakiki objek tersebut? Bagaimana hubungan objek tersebut dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindra) yang membuahkan pengetahuan? Pemahaman ontologik meningkatkan pemahaman manusia tentang sifat dasar berbagai benda yang akhimya akan menentukan pendapat bahkan ke¬yakinannya mengenai apa dan bagaimana (yang) ada sebagaimana manifestasi kebenaran yang dicarinya. 2. Epistemologi (filsafat ilmu) Epistemologi adalah pengetahuan sistematik mengenai pengetahuan. Ia merupakan cabang filsafat yang membahas tentang terjadinya pengetahuan, sum-ber pengetahuan, asal mula pengetahuan, sarana, metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran pengetahuan (ilmiah). Perbedaan landasan ontologik menyebabkan perbedaan dalam menentukan metode yang dipilih dalam upaya memperoleh pengetahuan yang benar. Akal, akal budi, pengalaman, atau kombinasi akal dan pengalaman, intuisi, merupakan sarana mencari pengetahuan yang dimaksud dalam epistemologik, sehingga dikenal model model epistemologik seperti rasionalisme, empirisme, rasionalisme kritis, positivisme, feno¬menologi dan sebagainya. Epistemologi juga membahas bagaimana menilai kelebihan dan kelemahan suatu model epistemologik be¬serta tolok ukurnya bagi pengetahuan (ilmiah), seperti teori ko¬herensi, korespondesi pragmatis, dan teori intersubjektif. Pengetahuan merupakan daerah persinggungan antara benar dan diperca-ya. Pengetahuan bisa diperoleh dari akal sehat yaitu melalui pengalaman secara tidak sengaja yang bersifat sporadis dan kebetulan sehingga cenderung bersifat kebiasaan dan pengulangan, cenderung bersifat kabur dan samar dan karenanya merupakan pengetahuan yang tidak teruji. Ilmu pengetahuan (sains) diperoleh berdasarkan analisis dengan langkah-langkah yang sistematis (metode ilmiah) menggunakan nalar yang logis. Sarana berpikir ilmiah adalah bahasa, matematika dan statistika. Metode ilmiah mengga-bungkan cara berpikir deduktif dan induktif sehingga menjadi jembatan penghu-bung antara penjelasan teoritis dengan pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara rasional, ilmu menyusun pengetahuannya secara konsisten dan kumulatif, sedangkan secara empiris ilmu memisahkan pengetahuan yang sesuai dengan fakta dari yang tidak. Dengan metode ilmiah berbagai penjelasan teoritis (atau ju-ga naluri) dapat diuji, apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Kebenaran pengetahuan dilihat dari kesesuaian artinya dengan fakta yang ada, dengan putusan-putusan lain yang telah diakui kebenarannya dan tergantung kepada berfaedah tidaknya teori tersebut bagi kehidupan manusia. Jika seseorang ingin membuktikan kebenaran suatu pengetahuan maka cara, sikap, dan sarana yang digunakan untuk membangun pengetahuan tersebut harus benar. Apa yang diyakini atas dasar pemikiran mungkin saja tidak benar karena ada sesuatu di dalam nalar kita yang salah. Demikian pula apa yang kita yakini karena kita amati belum tentu benar karena penglihatan kita mungkin saja mengalami penyimpangan. Itulah sebabnya ilmu pengetahan selalu berubah-ubah dan berkembang. 3. Aksiologi ilmu (nilai kegunaan ilmu) Meliputi nilai nilai kegunaan yang bersifat normatif dalam pemberian makna terhadap kebenaran atau ke¬nyataan yang dijumpai dalam seluruh aspek kehidupan. Nilai-nilai kegunaan ilmu ini juga wajib dipatuhi seorang ilmuwan, baik dalam melakukan penelitian maupun di dalam menerapkan ilmu.
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/1786495-epistemologi-ilmu/#ixzz1TvsATtEd
Filsafat Ilmu Pengetahuan mempelajari esensi
Filsafat Ilmu Pengetahuan mempelajari esensi atau hakikat ilmu pengetahuan tertentu secara rasional, disamping itu Filsafat Ilmu Pengetahuan : Cabang filsafat yang mempelajari teori pembagian ilmu, metode yang digunakan dalam ilmu, tentang dasar kepastian dan jenis keterangan yang berkaitan dengan kebenaran ilmu tertentu. Untuk memperoleh kebenaran, perlu dipelajari teori-teori kebenaran. Beberapa alat/tools untuk memperoleh atau mengukur kebenaran ilmu pengetahuan adalah sbb. :
Rationalism; Penalaran manusia yang merupakan alat utama untuk mencari kebenaran
Empirism; alat untuk mencari kebenaran dengan mengandalkan pengalaman indera sebagai pemegang peranan utama
Logical Positivism; Menggunakan logika untuk menumbuhkan kesimpulan yang positif benar
Pragmatism; Nilai akhir dari suatu ide atau kebenaran yang disepakati adalah kegunaannya untuk menyelesaikan masalah-masalah praktis.
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2105457-filsafat-ilmu-pengetahuan-mempelajari-esensi/#ixzz1TvsvurkY
Apa itu ilmu pengetahuan ? Apa beda ilmu dengan pengetahuan ?
Karena ilmu pengetahuan melahirkan keyakinan filosofis yaitu yang disebut sebagai asumsi, postulat, aksioma.
Filsafat ilmu adalah hal yang mendasari atau makna yang terkandung dalam sebuah ilmu. Pemahaman akan filsafat ilmu disebut epistemologis. Filsafat adalah suatu wacana atau argumentasi mengenai segala hal yang bersifat universal yang dilakukan secara reflektif hingga sampai pada akar masalah yaitu suatu konsekuensi radikal, terakhir, dan sistematis guna mencapai suatu hakikat permasalahan.
Bagian yang dibicarakan dalam filsafat ilmu mengenai ilmu pengetahuan dan kebenaran. Craig (2005) melihat epistemologi adalah inti dari permasalahan filsafat mengenai hakikat, sumber, batas-batas ilmu pengetahuan. Artinya bahwa pengetahuan adalah keyakinan akan kebenaran, tetapi bukan semata-mata keyakinan yang benar. Misalnya keyakinan yang benar berdasarkan terkaan, tidak termasuk pengetahuan.
Bagian utama permasalahan filsafat adalah untuk mengetahui segala sesuatu yang ada, yaitu :
1. Masalah logika formal yang mendasari wacana ilmu pengetahuan.
2. Epistemologi mencari hubungan antara kebenaran dengan luasnya pengetahuan.
3. Berbeda, sama, serta hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan
4. Klasifikasi ilmu pengetahuan
5. Masalah metodologi
6. Kesatuan ilmu pengetahuan
7. Pengembangan ilmu pengetahuan.
Epistemologis merupakan proses menyusun pendapat mengenai sesuatu hal yang berhubungan dengan mengetahui,
Sumber : Pengantar Filsafat, Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja, Psi. PT. Refika Aditama, 2006.
http://kelascmpd.blog.com/2009/12/28/epistemologi-filsafat-ilmu/
BEBERAPA PENGERTIAN PENGETAHUAN (KNOWLADGE)
• Knowledge is relation between object and subject (James K. Feibleman)
• Adapun pengethaun itu ialah kesatuan subyek yang mengetahui dan obyek yang diketahui. Satu kesatuan dalam mana obyek itu dipandang oleh subyek sebagai diketahui (M.J. Langeveld)
• Menurut epistemologi setiap pengetahuan manusia itu adalah hasil dari berkontaknya dua macam besaran, yaitu a. benda atau yang diperiksa, diselidiki, dan akhirnya diketahui (obyek), b.manusia yang melakukan pelbagai pemeriksaan, penyelidikan,dan akhirnya mengetahui (mengenal) benda atau hal tadi (Ensiklopedi Indonesia)
• Pengetahuan dapat dirumuskan sebagai partisipasi oleh suatu realita dalam suatu realita yang lain, tetapi tanpa terjadinya modifikasi-modifikasi dalam kualitas yang lain itu, sebaliknya subyek yang mengetahui dipengaruhi (Max Scheler 1874-1928)
Sumber: http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2090466-pengertian-pengetahuan-knowladge/#ixzz1TvtL6pAo
FUNGSI ILMU PENGETAHUAN
Drs R.B.S. FUDYARTANTA, dosen psikologi universitas gajah mada
menyebutkan 4 tujuan ilmu pengetahuan
(1) Fungsi deskriptif: menggambarkan ,melukiskan dan memaparkan suatu
obyek atau masalah sehingga mudah dipelajari
(2) Fungsi pengembangan, menemukan hasil ilmu yang baru
(3) Fungsi prediksi, meramalkan kejadian yang besar kemungkinan terjadi
sehingga dapat dicari tindakan percegahannya
(4) Fungsi Kontrol, mengendalikan peristiwa yang tidak dikehendaki.
V. AGAMA DAN ILMU PENGETAHUAN
J.I.G.M DROST S.J Dalam karangannya Agama dan ilmu pengetahuan alam
menulis :”ilmu pengetahuan alam adala ilmu tentang semesta alam sejauh berada dalam
waktu dan ruang, tetapi ruang dan waktu baru ada pada waktu alam ada. Maka titik dan
saat terjadinya terletak di luar sudut pandangan ilmu pengetahuan alam.
Prof Harsojo memperingatkan : tetapi perlu diingatkan bahwa ilmu pengetahuan
yang dimiliki oleh umat manusia dewasa ini belumlah seberapa dibandingkan dengan
rahasia alam semesta yang melindungi amanusi. Ilmuwan besar biasanya diganggu
dengan perasaan agung semacam kegelisahan batin untuk ingin tahu lebih banyak. Bahwa
yang diketahui itu masih meragukan
Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2114500-fungsi-ilmu-pengetahuan/#ixzz1TvrqD31y
EPISTEMOLOGI FILSAFAT AL-GHOZALI
Tidaklah berlebihan ketika Nicholson menyampaikan angan-angannya bahwa seandainya ada seorang nabi setelah Muhammad, maka Al-Ghozali-lah orangnya (R.A Nicholson,1976), pernyataan ini meskipun tak sepenuhnya dapat dibenarkan, tetapi setidaknya jika salah satu sifat seorang nabi itu adalah cinta akan ilmu pengetahuan dan kebenaran, maka keterlibatan Al-Ghozali dalam hampir semua diskursus keilmuan, seperti; ilmu kalam, filsafat, dan tasawuf, cukup bisa dijadikan sebagai salah satu alasan untuk menguatkan pernyataan tersebut . Sebab, dengan alasan serupa yang membuat Al-Ghozali tak pernah lepas dari pertimbangan siapapun yang berusaha memahami Agama Islam secara luas dan mendalam (Nurcholis Madjid, 1996).
Kendati demikian, ibarat kata pepatah tiada gading yang tak retak, kebesaran reputasi Al Ghozali itu bukan tanpa cacat. Justru keterlibatannya dalam berbagai disiplin ilmu-ilmu keislaman tersebut dipandang oleh sebagian pengamat sejarah sebagai salah satu faktor penyebab hilangnya rasionalisme, yang pada gilirannya nanti menjadi faktor penting bagi kemunduran dunia Islam. Misalnya, pertama, usahanya dalam mempertahankan afiliasi kalamnya (Asy’ariah) sebagai ideologi resmi penguasa Abbasyiah, paling tidak semakin menambah kebencian umat Islam terhadap aliran Mu’tazilah, kalau bukan justru menegasikan sama sekali terhadap aliran teologi Islam yang rasionalis tersebut, sehingga semangat rasional yang terdapat didalamnya dengan sendirinya juga ditinggalkan oleh umat Islam. Kedua, magnum opusnya dibidang filsafat, Tahafut al Falasifah, sering dipahami oleh beberapa pengamat sebagai penyebab hilangnya rasionalisme di dunia Islam, sehingga meskipun perlahan tapi pasti, Islam berangsur-angsur mulai mengalami kemunduran. Ketiga, dua penilaian diatas semakin lengkap dengan lahirnya karya sensasional Al-Ghozali dibidang sufisme, Ihya’ Ulum Al-Din, yang pada kenyataannya memang telah menjadi teman akrab umat Islam dalam melaksanakan praktek-praktek romantisme dengan Tuhan melalui pemberdayaan rasa (Dzauq) dan bukan nalar (akal). Dari sudut pandang ini, bila rasio itu memang dapat dipahami sebagai salah satu kunci kejayaan Islam, maka tak mengherankan bila ada beberapa pengamat seringkali melekatkan nama Al-Ghozali dengan kemunduran dunia Islam.
Walaupun begitu, terlepas dari penilaian kontroversial terhadap hujjatul Islam tersebut, yang pasti dia telah ikut aktif dalam mengisi lembaran sejarah umat ini. Karya-karya besar yang diciptakannya dalam berbagai diskursus ke-Islaman merupakan bukti penting bahwa Al-Ghozali, baik dalam kapasitasnya sebagai teolog , filosof, mapun seorang sufi. Sebab jangan-jangan kemunduran dunia Islam itu bukan semata-mata disebabkan olehnya, tetapi justru dikarenakan umat Islam sendiri yang terlalu fanatik terhadap Al-Ghozali, sehingga yang diwarisi bukan bangunan epistemologinya dan semangat pencariannya akan kebenaran yang hakiki, tetapi sekedar produk pemikirannya secara taken for granterd .
Sekilas tentang Epistemologi
Sebagai derivasi dari kata Yunani Episteme: pengetahuan dan logos: ilmu, maka secara sederhana epistemologi dapat dimaknai dengan teori pengetahuan. Epistemologi, sebagai ditegaskan Amin Abdullah, sedikitnya membahas tiga persoalan mendasar; pertama, sumber pengetahuan; dari mana dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan yang benar. Kedua, sifat pengetahuan ;apakah segala sesuatu itu bersifat fenomenal (tampak) ataukah essensial (hakiki)?. Ketiga, validitas (kebenaran) suatu pengetahuan; bagaimana pengetahuan yang benar dan yang salah dapat dibedakan.
Sedikitnya ada dua paradigma pemikiran dalam menjawab persoalan epistemlogi tersebut. Pertama, idealisme atau nasionalisme menitikberatkan pada pentingnya peranan ide, kategori atau bentuk-bentuk yang terdapat pada akal sebagai sumber ilmu pengetahuan. Plato ( 427-347 SM), seorang bidan bagi lahirnya janin idealisme ini, menegaskan bahwa hasil pengamatan inderawi tidak dapat memberikan pengetahuan yang kokoh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah (Amin Abdullah;1996). Sesuatu yang berubah-ubah tidak dapat dipercayai kebenarannya. Karena itu suatu ilmu pengetahuan agar dapat memberikan kebenaran yang kokoh, maka ia mesti bersumber dari hasil pengamatan yang tepat dan tidak berubah-ubah. Hasil pengamatan yang seperti ini hanya bisa datang dari suatu alam yang tetap dan kekal. Alam inilah yang disebut oleh guru Aristoteles itu sebagai “alam ide”, suatu alam dimana manusia sebelum ia lahir telah mendapatkan ide bawaannya (S.E Frost;1966). Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala sesuatu sehingga lahirlah ilmu pengetahuan. Orang tinggal mengingat kembali saja ide-ide bawaan itu jika ia ingin memahami segala sesuatu. Karena itu, bagi Plato alam ide inilah alam realitas, sedangkan alam inderawi bukanlah alam sesungguhnya.
Paradigma selanjutnya adalah empirisme atau realisme, yang lebih memperhatikan arti penting pengamatan inderawi sebagai sumber sekaligus alat pencapaian pengetahuan (Harold H. Titus dkk.;1984). Aristoteles (384-322 SM) yang boleh dikata sebagai bapak empirisme ini, dengan tegas tidak mengakui ide-ide bawaan yang dibawakan oleh gurunya, Plato. Bagi Aristoteles, hukum-hukum dan pemahaman itu dicapai melalui proses panjang pengalaman empirik manusia. (Amin Abdullah;1996).
Dalam paradigma empirisme ini, sungguhpun indra merupakan satu-satunya instrumen yang paling absah untuk menghubungkan manusia dengan dunianya, bukan berarti bahwa rasio tidak memiliki arti penting. Hanya saja, nilai rasio itu tetap diletakkan dalam kerangka empirisme (Harun Hadiwiyoto;1995). Artinya keberadaan akal di sini hanyalah mengikuti eksperimentasi karena ia tidak memiliki apapun untuk memperoleh kebenaran kecuali dengan perantaraan indra, kenyataan tidak dapat dipersepsi (Ali Abdul Adzim;1989). Berawal dari sinilah, John Locke berpendapat bahwa manusia pada saat dilahirkan, akalnya masih merupakan tabula (kertas putih). Di dalam kertas putih inilah kemudian dicatat hasil pengamatan Indrawinya (Louis O. Katsof;1995).
Epistemologi Filsafat Al-Ghazali
Al-Ghazali, seperti telah disinggung sekilas di atas, sering secara tidak adil dituduh sebagai biang keladi kemunduran Islam hanya karena ia lebih mengedepankan afiliasi dalam ‘tradisional’ Asy’ariahnya dibanding aliran ‘nasionalnya’ Mu’tazilah, dan terutama karena serangan terhadap filsafat melalui kitabnya, Tahafut al-Falasifah,serta keberpihakannya terhadap tasawuf yang lebih mengutamakan olah rasa daripada nalar sebagai satu-satunya jalan yang paling absah menuju kebenaran hakiki.
Dengan pola pemahaman yang sangat sederhana, barangkali, Al-Ghazali memang memberikan kesan seperti itu, namun dalam telaah yang lebih luas dan mendalam, Al-Ghazali bukanlah penyebab kemunduran dunia Islam. Orang telah lupa bahwa sesungguhnya Asy’ariah seringkali dinilai sebagai suatu bentuk aliran teologi yang bersifat tradisional, bukan berarti dia menafikan akal atau penalaran dalam berbagai pemahamannya. Sedangkan terkait dengan serangannya terhadap filsafat, kalau kita mengetahui sisi filsafat mana yang diserangnya , maka akan kita dapati bahwa tuduhan di atas sangatlah tidak mendasar. Sebab, Al-Ghazali bukannya menyerang keseluruhan bangunan filsafat, tetapi hanya bagian metafisikanya saja. Itupun, yang diserangnya bukan objek kajiannya, tetapi lebih pada kesalahan struktur argumentasi para filosof.
Kecuali itu, apabila kita lihat apa yang mendorong Al-Ghazali mempelajari falsafah dan kemudian menulis bukunya, Maqodis Al Falasifah dan Tahafut Al Falasifah, maka kita dapati bahwa adanya aliran dan madhab dalam Islam serta pengakuannya masing-masing bahwa pendapatnyalah yang paling benar sedangkan pendapat lain yang salah inilah yang memotivasi Al-Ghazali semenjak muda senantiasa mencari kebenaran yang hakiki. (Harun Nasution, 1996).
Yang dimaksud Al-Ghazali dengan kebenaran hakiki adalah pengetahuan yang diyakini betul kebenarannya; tak terdapat sedikitpun keraguan di dalamnya. Demikian tegas Al-Ghazali :
Jika kuketahui bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga, lantas ada orang yang mengatakan sebaliknya dengan bukti tongkat dapat diubah menjadi ular dan hal itu memang terjadi, bahwa memang kusaksikan sendiri, maka kejadian itu tidak akan membuatku ragu terhadap pengetahuanku bahwa sepuluh adalah lebih banyak dari tiga; aku hanya akan merasa kagum terhadap kemampuan orang tersebut. Hal itu sekali-kali tidak akan pernah membuat aku bimbang terhadap pengetahuanku”. (Al-Ghazali, 1961).
Itulah bentuk kebenaran hakiki sebagai suatu hasil pengetahuan yang meyakinkan, yang oleh Al-Ghazali keyakinan itu disimbolkan sampai ke tingkat yang sangat matematis, sehingga ia tidak akan tergoyahkan lagi oleh bentuk intimidasi apapun. (Dzurkani Jahja, 1996).
Seseorang, demikian Al-Ghazali berpendapat, tidak akan bisa sampai pada pengetahuan yang meyakinkan tersebut bila ia bersumber dari hasil pengamatan indrawi (hissiyat) dan pemikiran yang pasti (dzaruriyat). (Al-Ghazali, 1961). Dari sini terlihat dengan jelas bahwa Al-Ghazali telah menggabungkan paradigma empirisme dan rasionalisme. Tetapi, bentuk pemaduan itu tetap dilakukan secara hierarkis, bukan dalam rangka melahirkan sintesa diantar keduanya.
Terhadap hasil pengamatan indrawi, Al-Ghazali akhirnya berkesimpulan bahwa :
“Tentang hal ini aku ragu-ragu, karena hatiku berkata : bagaimana mungkin indra dapat dipercaya, penglihatan mata yang merupakan indera terkuat adakalanya seperti menipu. Engkau misalnya, melihat bayang-bayang seakan diam, padahal setelah lewat sesaat ternyata ia bergerak sedikit demi sedikit, tidak diam saja. Engkau juga melihat bintang tampaknya kecil, padahal bukti-bukti berdasarkan ilmu ukur menunjukkan bahwa bintang lebih besar daripada bumi. Hal-hal seperti itu disertai dengan contoh-contoh yang lain dari pendapat indera menunjukkan bahwa hukum-hukum inderawi dapat dikembangkan oleh akal dengan bukti-bukti yang tidak dapat disangkal lagi”. (Al-Ghazali,1961).
Dari pernyatan tersebut jelas sekali di mata Al-Ghazali paradigma empirisme yang lebih bertumpu pada hasil penglihatan inderawi, tidak dapat dijadikan sebagai bentuk pengetahuan yang menyakinkan lagi, sebab kebenaran yang ditawarkan bersifat tidak tetap atau berubah-ubah.
Kredibilitas akal, karena itu, juga tidak luput dari kuriositas Al-Ghazali terhadap hakikat yang sedang dicari-carinya. Kredibilitas akal diragukan, karena kekhawatirannya, jangan-jangan pengetahuan aqliyah itu tidak ada bedanya dengan seseorang yang sedang bermimpi, seakan-akan ia mengalami sesuatu yang sesungguhnya, tetapi ketika ia siuman nyatalah bahwa pengalamannya tadi bukanlah yang sesungguhnya terjadi.” (Al-Ghazali,1961).
Sampai di sini, dikarenakan kebenaran hakiki yang dicari-carinya belum juga ketemu, akhirnya Al-Ghazali dihinggapi oleh sikap skeptis, suatu keadaan dimana hujjatul Islam ini didera oleh keadaan yang luar biasa, sehingga ia tidak mampu lagi untuk mengingat pengetahuan-pengetahuan yang pernah diperolehnya, bahkan untuk sekedar berbicarapun ia tak mampu. Masa-masa kritis bagi pengembangan pengetahuannya ini berlangsung selama dua bulan hingga ia menemukan kesadarannya kembali. Dengan dipenuhi segala rasa aman dan yakin, Al-Ghazali akhirnya dapat menerima pengertian aksiomatis (awalli) dari akal.
“Mungkin tidak ada yang dapat dipercaya selain pengertian-pengertian aksiomatis (pengetahuan yang bersifat asasi), seperti pengertian bahwa sepuluh lebih banyak dari tiga; atau
bahwa negasi dan afirmasi tidak akan dapat berkumpul dalam satu perkara; tidak ada yang baru dan pada saat yang sama ia juga dahulu; tidak ada sesuatu yang ada dan pada saat itu juga ia tidak ada; atau sesuatu yang bersifat pasti dan ia juga bersifat mustahil pada saat yang sama.” (Al-Ghazali, 1961). “……dengan perasaan sama dan yakin ia dapat menerima kembali segala pengertian aksiomatis dari akal. Semua itu tidak terjadi dengan mengatur alasan ataupun menyusun penjelasan, tetapi dengan nur yang dipancarkan Allah kedalam batinku……kita hendaklah mencari sekuat tenaga apa yang harus dicari sampai pada sesuatu yang tidak usah kita cari lagi, karena ia memang sudah ada. Kalau kita mencari terus sesuatu yang telah ada niscaya ia akan menjadi samar dan membingungkan.” (Al-Ghazali, 1961).
Dengan berbekal keyakinan aksiomatis inilah Al-Ghazali mencoba meneliti kebenaran hakiki yang ditawarkan melalui jalan kalam, batiniyah, filsafat dan sufisme. Selama pengembaraannya didunia ilmu kalam, batiniyah ataupun filsafat tidak ada yang didapatnya kecuali hanya pengetahuan-pengetahuan yang akan mengantarnya kepada kebenaran yang masih menimbulkan keraguan-keraguan dan pertanyaan-pertanyaan baru.
Akhirnya hanya di jalan sufisme-lah, Al-Ghazali mulai mendapatkan jalan terang menuju pengetahuan tentang hakikat segala sesuatu seperti yang dicarinya selama ini, yakni dibukakannya rahasia ke-Tuhanan dan aturan-aturan tentang segala yang ada, sehingga tampaklah secara langsung Al-Ghazali sesuatu yang tidak pernah dilihat oleh mata ataupun tidak pernah terdengar oleh telinga.
“……Apa yang dikatakan orang tentang suatu jalan yang dimulai dengan membersihkan hati, sebagai syarat pertama, mengosongkan sama sekali dari segala sesuatu selain Allah, dan kunci pintunya laksana takbirotul ihrom dalam sholat ialah tenggelamnya hati dalam dzikir kepada Allah dan akhirnya fana sama sekali dengan-Nya……Diawal perjalan ini dimulailah peristiwa-peristiwa mukasyafah (terbukanya rahasia-rahasia) dan musyahadah (penyaksian langsung)……”(Al-Ghazali, 1961).
Pengetahuan terakhir inilah yang Al-Ghazali disebut dengan Al-Kasyf, yang merupakan puncak dari bangunan epistomologis. Hanya melalui Al-Kasyf inilah seseorang akan mencapai hakikat pengetahuan yang kokoh, karena apa yang diperolehnya melalui jalan kasyf ini sekali-kali tidak akan pernah membuatnya bimbang ataupun ragu, sebab pengetahuan ini dilahirkan dari suatu sikap (tingkah laku dan pemahaman yang selalu diterangi oleh cahaya kenabian).
Catatan Akhir
Dari sekilas uraian tentang epistemologis Al-Ghazali diatas, agaknya pengaruh paradigma rasionalisme dan empirisme memiliki ruang yang cukup luas dalam bangunan epistemologis hujjatul Islam tersebut, walaupun akhirnya ia sendiri tetap menempatkan secara hierarkis kedua paradigma pengetahuan Yunani itu, dari yang paling bawah empirisme, menyusul rasionalisme, dan akhirnya kasyf sebagai puncak tangga epistemologinya.
Berbeda halnya dengan Al-Ghazali, Imanuel Kant (1724-1804), meskipun ia juga melakukan beberapa kritik terhadap sikap eksklusif dari kedua arus pemikiran (empirisme dan rasionalisme) yang bersifat antagonis tersebut, Kant mampu memberikan perspektif baru dalam kajian epistemologinya, sehingga melahirkan filsafat ilmu (philosophy of science) yang sangat mempunyai arti penting bagi lahirnya ilmu pengetahuan yang multi dimensional di Barat dewasa ini.
Sementara kajian epistemologi dalam literatur Barat terus berkembang, didunia Islam sendiri, khususnya yang berbasis massa Sunni, kecenderungan arah epistemologinya justeru beringsut lebih tajam kepada batas wilayah idealisme dan kasyf, serta tidak peduli lagi dengan masukan-masukan yang diberikan oleh empirisme, sehingga semangat kritis dan pluralisme yang tersimpan dibalik paradigma empirisme tersebut tidak terwarisi masyarakat muslim. Sebaliknya mereka justru mendapatkan watak idealisme yang monistik. Karena itu, tidak berlebihan kesan yang ditangkap Amin Abdullah dari implikasi paradigma epistemologi yang seperti itu membuat alam pemikiran muslim menjadi terlalu rigid, puritan dan dikotomis dalam memecahkan masalah.
http://www.goodreads.com/story/show/12243-epistemologi-filsafat-al-ghozali
Epistemologi Islam
Kajian epistemologi Islam penting untuk dilakukan mengingat saat ini sudah menyebar apa yang disebut oleh Syamsuddin Arif, “kanker epistemologis”. Kanker jenis ini telah melumpuhkan kemampuan menilai (critical power) serta mengakibatkan kegagalan akal (intellectual failure), yang pada gilirannya mengerogoti keyakinan dan keimanan, dan akhirnya menyebabkan kekufuran. Gejala dari orang yang mengidap kanker ini, di antaranya suka berkata: “Di dunia ini, kita tidak pernah tahu Kebenaran Absolut. Yang kita tahu hanyalah kebenaran dengan “k” kecil.” “Kebenaran itu relatif.” “Agama itu mutlak, sedang pemikiran keagamaan relatif.” “Semua agama benar dalam posisi dan porsinya masing-masing.” Dll.
Epistemologi secara sederhana bisa dimaknai teori pengetahuan. Mungkinkah mengetahui, apa itu pengetahuan, dan bagaimana mendapatkan pengetahuan, merupakan tema-tema pembahasan epistemologi. Menurut Milton D. Hunnex, epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episçmç yang bermakna knowledge, pengetahuan, dan logos yang bermakna teori. Istilah ini pertama kali digunakan pada tahun 1854 oleh J.F. Ferrier yang membuat perbedaan antara dua cabang filsafat yaitu ontologi (Yunani: on = being, wujud, apa + logos = teori) dan epistemologi. Jika ontologi mengkaji tentang wujud, hakikat, dan metafisika, maka epistemologi membandingkan kajian sistematik terhadap sifat, sumber, dan validitas pengetahuan. Menurut Mulyadhi Kartanegara, ada dua pertanyaan yang tidak bisa dilepaskan dari epistemologi, yaitu: (1) apa yang dapat diketahui dan (2) bagaimana mengetahuinya. Yang pertama mengacu pada teori dan isi ilmu, sedangkan yang kedua pada metodologi.
Mungkinkah Mengetahui?
Pertanyaan itu sudah mengemuka dari sejak zaman Yunani kuno. Pada zaman ini lahir aliran yang bernama sofisme (السوفسطائية). Menurut kaum sofis, semua kebenaran relatif. Ukuran kebenaran itu manusia (man is the measure of all things). Karena manusia berbeda-beda, jadi kebenaran pun berbeda-beda tergantung manusianya. Menurut anda mungkin benar, tetapi menurut saya tidak, demikian kurang lebih argumentasi kaum sofis. Akibatnya, mudah diterka, terjadi semacam kekacauan kebenaran. Semua teori sains diragukan, semua aqidah dan kaidah agama dicurigai. Manusia menjadi hidup tanpa pegangan “kebenaran”, dan hal seperti itu telah menyebabkan manusia terasing di dunianya sendiri.
Maka kemudian, muncullah Socrates, yang jejaknya diikuti oleh Plato dan Aristoteles. Menurut mereka tidak semua kebenaran relatif, ada kebenaran yang umum, yang mutlak benar bagi siapapun. Kebenaran ini disebut idea oleh Plato, dan definisi oleh Aristoteles.
Sofisme klasik ini kemudian berreinkarnasi (terlahir kembali) pada zaman modern dengan nama skeptisisme. Seseorang yang skeptis akan senantiasa meragukan kebenaran dan membenarkan keraguan. Baginya, semua pendapat tentang semua perkara (termasuk yang qath’i dalam agama) harus selalu terbuka untuk diperdebatkan. Pada tahap ekstrem dia akan mengklaim bahwa kebenaran hanya bisa dicari dan didekati, tetapi mustahil ditemukan.
Wujud lain dari sofisme modern adalah relativisme. Pengidap relativisme epistemologis menganggap semua orang dan golongan sama-sama benar, semua pendapat (agama, aliran, sekte, kelompok, dan lain sebagainya) sama benarnya, tergantung dari sudut pandang masing-masing. Jika seorang skeptis menolak semua klaim kebenaran, maka seorang relativis menerima dan menganggap semuanya benar. Aliran ini yang kemudian berkembang menjadi paham pluralisme agama.
Islam tentu saja menentang paham sofisme dengan segala macam bentuk reinkarnasinya. Dari sejak awal surat, al-Qur`an mengajarkan agar manusia mencari kebenaran, karena kebenaran itu ada, dan kesalahan pun beserta orang-orang yang salahnya juga ada.
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat.
Dalam awal surat al-Baqarah, lagi-lagi al-Qur`an menolak paham relativisme:
Alif laam miim, Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa.
Nabi Muhammad saw, sebagai insan biasa, yang terkadang ragu dengan propaganda sofisme dari musuh-musuhnya pun diingatkan Allah swt:
Kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang-orang yang ragu.
Artinya, kebenaran itu ada, sumbernya dari Tuhanmu, yakni yang disampaikannya kepadamu melalui wahyu. Jadi jangan pernah bersikap sofis, karena pegangan kebenaran jelas dan ada, yakni wahyu.
Sebagai bukti lain bahwa Islam memerangi sofisme, Islam mewajibkan pencarian ilmu pengetahuan. Nabi Muhammad saw menegaskan dalam sebuah hadits yang terkenal:
طلب العلم فريضة على كل مسلم
Menuntut ilmu itu wajib bagi setiap Muslim.
Hadits-hadits dan ayat-ayat lainnya yang mengutamakan ilmu, semuanya menolak mentah-mentah paham sofisme, skeptisisme, relativisme, dan semua bentuk reinkarnasinya.
Dalam berbagai tempat Allah swt juga suka mengingatkan bahwa dalam hidup ini akan selalu ada dua pilihan; haqq dan bathil, benar (shawab) dan keliru (khatha`), sejati (shadiq) dan palsu (kadzib), baik (thayyib) dan busuk (khabits), bagus (hasanah) dan jelek (sayyi`ah), lurus (hidayah) dan tersesat (dlalalah). Semuanya itu mengajarkan nilai kepada manusia bahwa kebenaran itu ada dan mungkin untuk diraih.
Terkait dengan adanya ikhtilaf di antara ulama yang sering dijadikan pembenar bahwa tidak ada kebenaran yang pasti, maka tentu harus dibedakan dulu mana yang qath’i dan mana yang zhanni, mana yang ushul dan mana yang furu’. Karena pastinya para ulama tidak mungkin berikhtilaf dalam masalah yang ushul dan qath’i. Kalaupun masih ada juga yang berbeda dalam kedua masalah tersebut, maka itulah orang-orang yang masuk kategori sayyi`ah dan dlalalah. Jika pemikir seperti Socrates, Plato dan Aristotels saja mengakui adanya kebenaran yang bersifat umum, maka sangat aneh jika para ulama yang terbimbing dengan al-Qur`an dan sunnah tidak mengakui adanya kebenaran tersebut. Padahal, al-Qur`an dan sunnah dengan sangat jelas telah memberikan bimbingan dalam masalah tersebut.
Bagaimana Kita Bisa Mengetahui?
Ilmu diperoleh oleh manusia dengan berbagai cara dan dengan menggunakan berbagai alat. Menurut Jujun S. Suriasumantri, pada dasarnya terdapat dua cara pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah mendasarkan diri kepada rasio, dan yang kedua mendasarkan diri kepada pengalaman. Yang pertama disebut paham rasionalisme, dan yang kedua disebut paham empirisme. Pengetahuan jenis pertama disebut logis, dan pengetahuan jenis kedua disebut empiris.
Kerjasama rasionalisme dan empirisme melahirkan metode sains (scientific method), dan dari metode ini lahirlah pengetahuan sains (scientific knowledge) yang dalam bahasa Indonesia sering disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan. Pengetahuan sains ini adalah jenis pengetahuan yang logis dan memiliki bukti empiris. Jadi tidak hanya logis saja yang menjadi andalan kaum rasionalis, tapi juga harus empiris yang menjadi andalan kaum empiris. Kalau ternyata pengetahuan tersebut hanya bersifat logis, tidak empiris, pengetahuan tersebut akan disebut pengetahuan filsafat, bukan pengetahuan sains/ilmiah.
Kerjasama dari rasionalisme-empirisme ini kemudian melahirkan paham positivisme, yakni paham yang menyatakan bahwa segala pengetahuan yang ilmiah harus dan pasti dapat “terukur”. Panas diukur dengan derajat panas, jauh diukur dengan meteran, berat diukur dengan timbangan.
Di samping rasionalisme dan empirisme, masih terdapat cara untuk mendapatkan pengetahuan yang lain. Yang penting dari semua itu, menurut Jujun, adalah intuisi dan wahyu. Intuisi merupakan pengetahuan yang didapatkan tanpa melalui proses penalaran tertentu. Seseorang yang sedang terpusat pemikirannya pada suatu masalah tiba-tiba saja menemukan jawaban atas permasalahan tersebut. Tanpa melalui proses berpikir yang berliku-liku tiba-tiba saja dia sudah sampai di situ. Inilah yang disebut intuisi.
Sementara wahyu merupakan pengetahuan yang disampaikan oleh Tuhan kepada manusia. Pengetahuan ini disalurkan lewat nabi-nabi yang diutus-Nya di setiap zaman. Menurut Jujun, agama merupakan pengetahuan bukan saja mengenai kehidupan manusia sekarang yang terjangkau pengalaman, namun juga mencakup masalah-masalah yang bersifat transendental seperti latar belakang penciptaan manusia dan hari kemudian di akhirat nanti. Pengetahuan ini didasarkan kepada kepercayaan akan hal-hal yang gaib (supernatural). Akan tetapi pengetahuan jenis ini banyak tidak diakui oleh para ilmuwan yang kurang berpihak pada agama, seiring dibatasinya pengetahuan ilmiah pada logis-empiris.
Menurut Ahmad Tafsir, terdapat aliran lain yang mirip sekali dengan intuisionisme, yaitu iluminasionisme. Aliran ini berkembang di kalangan tokoh-tokoh agama; di dalam Islam disebut teori kasyf. Teori ini menyatakan bahwa manusia yang hatinya telah bersih, maka ia telah siap dan sanggup menerima pengetahuan dari Tuhan. Aliran ini lebih terfokus pada ilhâm yang diturunkan Allah swt kepada manusia. Menurut Ahmad Tafsir, aliran ini terbentang juga di dalam sejarah pemikiran Islam, boleh dikatakan dari sejak awal dan memuncak pada Mulla Shadra.
Jika kita menilik pemikiran para ulama Islam tentang sumber pengetahuan, akan didapati bahwa di antara mereka tidak ada yang hanya membatasi pada salah satu dari empat saluran pengetahuan sebagaimana dijelaskan Jujun di atas. Tidak seperti halnya di dunia Barat yang membatasi keilmiahan pada logis-empiris saja misalnya, dalam khazanah pemikiran Islam aliran semacam itu hampir tidak ditemukan.
Lihat misalnya pemikiran al-Nasafi yang menyatakan terdapat tiga saluran yang menjadi sumber ilmu, yaitu perspesi indera (idrâk al-hawâs), proses akal sehat (ta’âqul) serta intuisi hati (qalb), dan melalui informasi yang benar (khabar shâdiq). Oleh al-Attas, penguraian seperti al-Nasafi di atas dihitung empat, dengan memisahkan proses akal sehat dan intuisi hati.
Ibn Taimiyyah sendiri tidak jauh berbeda dalam menjelaskan saluran-saluran pengetahuan ini. Dari tiga yang pokok: khabar, akal dan indera, Ibn Taimiyyah kemudian membagi indera pada indera lahir, yakni panca indera yang kita maklumi, dan indera batin, yakni intuisi hati. Terhadap teori kasyf sebagaimana disinggung oleh Ahmad Tafsir di atas, Ibn Taimiyyah juga memberikan kemungkinannya. Hanya menurutnya pengetahuan yang diperoleh lewat ilhâm tersebut tidak boleh bertentangan dengan khabar yang statusnya lebih kuat. Karena selain sama-sama berasal dari Allah swt, khabar ini juga disampaikan kepada manusia pilihan-Nya, yaitu para Nabi. Sehingga jelas apa yang disampaikan Allah swt kepada para Nabi lebih kuat kedudukannya ketika berbenturan dengan ilhâm yang banyak di antaranya hanya berupa lintasan-lintasan hati biasa dan tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Al-Ghazali menyampaikan pendapat yang sama. Menurutnya, hâkim dalam makna pemutus benar tidaknya sesuatu itu ada tiga, yaitu hissî (indera), wahmî (intuisi), dan ‘aqlî (akal). Menurut al-Ghazali, ketika hâkim wahmî itu terkadang bertentangan dengan akal dan indera yang kuat, padahal di sisi lainnya terdapat peringatan tentang adanya yang melintas di dalam hati ini berupa bisikan syetan, maka al-Ghazali hanya mengakui saluran wahmî dari orang yang dikuatkan oleh Allah swt dengan taufiq-Nya, yakni orang yang dimuliakan Allah swt disebabkan orang yang bersangkutan hanya menempuh jalan yang haqq. Tidak menyebutkannya al-Ghazali kedudukan wahyu secara tegas, bukan berarti ia tidak mengakuinya. Karena di dalam berbagai karyanya, termasuk dalam menentang para filosof melalui Tahâfut al-Falâsifah, al-Ghazali melandaskannya pada dalil-dalil wahyu. Itu semua dikarenakan yang menjadi titik tekan al-Ghazali dalam pembahasannya ini adalah hâkim dari diri manusia sendiri, bukan dari luar.
Adapun al-Qadi Abu Bakar al-Baqillani, dengan konsep yang sama membagi sumber pengetahuan ini ke dalam enam bagian. Lima di antaranya adalah jenis-jenis indera, yaitu hâssat al-bashar (indera melihat), hâssat al-sam’ (indera mendengar), hâssat al-dzauq (indera mengecap), hâssat al-syamm (indera mencium), dan hâssat al-lams (indera merasa dan meraba). Adapun yang keenamnya, al-Baqillani menjelaskan: “Jenis yang keenam adalah sesuatu keharusan yang timbul di dalam jiwa secara langsung tanpa melalui indera-indera yang disebutkan tadi.” Al-Baqillani kemudian menyebutkan contoh-contoh pengetahuan yang diperoleh lewat (1) intuisi, seperti seseorang yang mengenali dirinya sendiri, (2) lewat akal, seperti memahami omongan, dan (3) lewat khabar khususnya yang mutawâtir, seperti tentang kehidupan yang ada di luar negeri. Termasuk tentunya khabar-khabar keagamaan, karena sifatnya yang sama sebagai khabar.
Penjelasan al-Baqillani ini menguatkan kesimpulan bahwa pemahaman para ulama terhadap sumber pengetahuan dalam Islam sama. Tidak ada pemilahan di antara mereka antara yang logis, empiris, dan intuitif. Semuanya diakui asalkan berdasar pada dalil-dalil yang kuat. Baik itu yang revelational/wahyu (naqlî), rasional (‘aqlî) ataupun empirikal (hissî).
Apa Itu Pengetahuan?
Peradaban Barat membedakan pengetahuan ke dalam dua istilah teknis, yaitu science dan knowledge. Istilah yang pertama diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu fisik atau empiris, sedangkan istilah kedua diperuntukkan bagi bidang-bidang ilmu nonfisik seperti konsep mental dan metafisika. Istilah yang pertama diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan ilmu pengetahuan, sementara istilah kedua diterjemahkan dengan pengetahuan saja. Dengan kata lain, hanya ilmu yang sifatnya fisik dan empiris saja yang bisa dikategorikan ilmu, sementara sisanya, seperti ilmu agama, tidak bisa dikategorikan ilmu (ilmiah).
Fenomena seperti ini baru terjadi pada abad modern. Karena sampai abad pertengahan, pengetahuan belum dibeda-bedakan ke dalam dua istilah teknis di atas, istilah pengetahuan (knowledge) masih mencakup semua jenis ilmu pengetahuan. Baru ketika memasuki abad modern yang ditandakan dengan positivisme, maka pengetahuan yang terukur secara empiris dikhususkan dengan penyebutan scientific knowledge atau science saja.
Islam tentu saja tidak mengenal pemenggalan zaman menjadi abad klasik, pertengahan dan modern. Karena di Islam tidak pernah terjadi tarik-ulur yang dahsyat antara akal dan iman, atau antara kekuasaan dunia dan kekuasaan agama. Islam juga tidak mengenal renaissance yang ditandakan dengan terbebasnya alam pikiran manusia dari kungkungan penguasa agama. Karena dari sejak awal kelahirannya, antara agama, akal dan indera, ketiganya berjalin kelindan dengan sangat baik. Konsekuensinya, tidak akan ditemukan dalam khazanah pemikiran Islam pergeseran definisi ilmu seperti yang terjadi di dunia Barat. Dari sejak awal dan sampai sekarang, ilmu dalam Islam mencakup bidang-bidang fisik juga bidang-bidang nonfisik.
Istilah yang digunakannya pun dari sejak awal tidak berubah, yakni ‘ilm. Menurut Wan Mohd Nor Wan Daud, penggunaan istilah ‘ilm itu sendiri, sangat terpengaruh oleh pandangan dunia Islam (Islamic worldview):
Pengetahuan dalam bahasa Arab digambarkan dengan istilah al-’ilm, al-ma’rifah dan al-syu’ûr (kesadaran). Namun, dalam pandangan dunia Islam, yang pertamalah yang terpenting, karena ia merupakan salah satu sifat Tuhan. Julukan-julukan yang dikenakan kepada Tuhan adalah al-’Âlim, al-’Alîm dan al-’Allâm, yang semuanya berarti Maha Mengetahui; tetapi Dia tidak pernah disebut al-’Ârif atau al-Syâ’ir.
Akan tetapi berkaitan dengan pertanyaan apa itu pengetahuan, menurut Wan Daud, sekarang ini umat Islam menyadari bahwa mendefinisikan ilmu (pengetahuan) secara hadd adalah mustahil. al-Attas dalam hal ini menjelaskan bahwa ilmu merupakan sesuatu yang tidak terbatas (limitless) dan karenanya tidak memiliki ciri-ciri spesifik dan perbedaan khusus yang bisa didefinisikan. Lagi pula, al-Attas menjelaskan, pemahaman mengenai istilah ‘ilm selalu diukur oleh pengetahuan seseorang mengenai ilmu dan oleh sesuatu yang jelas baginya. Ketika medan ilmu pada faktanya sangat luas, maka pengetahuan seseorang terhadapnya sangat terbatas. Oleh karena itu pasti pemahaman ilmu dari masing-masing orang akan terbatas.
Ketika menyadari bahwa mendefinisikan ilmu secara hadd adalah mustahil, maka Al-Attas hanya mengajukan definisi deskriptif (rasm). Dengan premis bahwa ilmu itu datang dari Allah swt dan diperoleh oleh jiwa yang kreatif, ia membagi pencapaian dan pendefinisian ilmu ke dalam dua bagian. Pertama, sebagai sesuatu yang berasal dari Allah swt, bisa dikatakan bahwa ilmu itu adalah datangnya (hushûl) makna sesuatu atau objek ilmu ke dalam jiwa pencari ilmu; kedua, sebagai sesuatu yang diterima oleh jiwa yang aktif dan kreatif, ilmu bisa diartikan sebagai datangnya jiwa (wushûl) pada makna sesuatu atau objek ilmu.
Yazdi adalah tokoh lainnya yang menyatakan ilmu tidak mungkin didefinisikan. Hal itu disebabkan konsep pengetahuan merupakan salah satu konsep paling jelas dan swanyata (badîhî). Bukan saja tidak membutuhkan definisi, pengetahuan tidak mungkin didefinisikan, lantaran tidak ada kata atau istilah lain yang lebih jelas untuk dipakai mendefinisikannya. Frase atau tuturan yang lazim dipakai dalam buku-buku filsafat dan logika sebagai definisi pengetahuan atau ilmu hanyalah memberikan contoh-contoh (mishdâq/instance) pengetahuan yang ada dalam ilmu atau bidang kajian tertentu, bukan definisi dalam arti sesungguhnya. Contohnya definisi yang disebutkan oleh para ulama dan ahli logika seperti: “penangkapan bentuk (shûrah atau form) sesuatu dalam pikiran”, “hadirnya maujud nonmaterial dalam maujud nonmaterial lainnya”, atau “hadirnya sesuatu pada maujud nonmaterial”.
Yazdi pun kemudian menjelaskan tentang ilmu ini sebagaimana halnya al-Attas. Cuma istilah yang digunakannya ada perbedaan. Untuk ilmu yang datang secara langsung dari Allah swt Yazdi menamakannya al-’ilm al-hudûrî (pengetahuan dengan kehadiran, presentational knowledge, knowledge by presence). Sementara untuk ilmu yang didapatkan lewat usaha manusia Yazdi menyebutnya al-’ilm al-hushûlî (pengetahuan tangkapan atau perolehan, acquired knowledge).
Dr. Rajih ‘Abd al-Hamid al-Kurdi, adalah tokoh lainnya yang menyatakan hal serupa. Dalam karyanya tentang perbandingan epistemologi antara al-Qur`an dan filsafat (nazariyyat al-ma’rifah baina al-Qur`ân wa al-falsafah) ia menguraikan definisi ilmu menurut para pemikir Mu’tazilah, filosof Yunani, dan para ulama Ahl al-Sunnah. Hasilnya, ia menyimpulkan bahwa ilmu cukup jelas untuk tidak didefinisikan. Karena semua definisi yang diajukan oleh masing-masing pakar berbeda-beda dan hanya terfokus pada beberapa aspek yang menjadi titik perhatiannya saja. Sehingga bisa dipastikan tidak ada definisi ilmu yang hadd.
Uraian keempat ulama di atas mengindikasikan dengan jelas bahwa ilmu dalam Islam mencakup dua pengertian; pertama, sampainya ilmu dari Allah ke dalam jiwa manusia, dan kedua, sampainya jiwa manusia terhadap objek ilmu melalui penelitian dan kajian. Dalam hal ini, mutlak disimak firman Allah swt berikut ini:
Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam, Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya. (QS. Al-’Alaq [96] : 1-5)
Secara jelas, ayat di atas menginformasikan bahwa ilmu bisa diperoleh dengan aktivitas iqra`, juga bisa diperoleh dengan anugerah Allah swt langsung kepada manusia.
Klasifikasi Pengetahuan, Bukan Dikotomi
Konsekuensinya, Islam tidak mengenal dikotomi ilmu; yang satu diakui, yang lainnya tidak. Yang logis-empiris dikategorikan ilmiah, sedangkan yang berdasarkan pada wahyu tidak dikategorikan ilmiah. Semua jenis pengetahuan, apakah itu yang logis-empiris, apalagi yang sifatnya wahyu (revelational), diakui sebagai sesuatu yang ilmiah. Dalam khazanah pemikiran Islam yang dikenal hanya klasifikasi (pembedaan) atau diferensiasi (perbedaan), bukan dikotomi seperti yang berlaku di Barat.
Al-Ghazali misalnya membagi ilmu dari aspek ghard (tujuan/kegunaan) pada syar’iyyah dan ghair syar’iyyah. Syar’iyyah yang dimaksudkan al-Ghazali adalah yang berasal dari Nabi saw, sedangkan ghair syar’iyyah adalah yang dihasilkan oleh akal seperti ilmu hitung, dihasilkan oleh eksperimen seperti kedokteran, atau yang dihasilkan oleh pendengaran seperti ilmu bahasa.
Ibn Taimiyyah membagi ilmu dari aspek yang sama dengan pola yang sama. Cuma penamaannya, syar’iyyah dan ‘aqliyyah. Syar’iyyah yang dimaksudkan Ibn Taimiyyah adalah yang berurusan dengan persoalan agama dan ketuhanan, adapun ‘aqliyyah adalah yang tidak diperintahkan oleh syara’ dan tidak pula diisyaratkan olehnya.
Sementara syaikh al-’Utsaimin membahasakannya dengan ilmu syar’î dan nazarî. Ilmu syar’î adalah fiqh (pemahaman) terhadap kitab Allah dan sunnah Rasulullah saw, sementara ilmu nazarî adalah ilmu shinâ’ah (perindustrian) dan yang berkaitan dengannya.
Berkaitan dengan pembagian ilmu dalam Islam seperti di atas, Oliver Leaman menjelaskan, umat Islam membagi ilmu ke dalam model seperti itu disebabkan al-Qur`an menjelaskan bahwa bidang pengetahuan itu ada dua; yang tampak dan yang gaib. Yang tampak dapat diketahui oleh manusia dan juga merupakan objek kajian sains, sedangkan alam gaib, meskipun dapat diketahui dengan cara yang berbeda, merupakan wilayah wahyu. Hal ini dapat dimengerti mengingat tidak adanya bukti fisik yang bisa diterima ihwal alam gaib.
Oliver Leaman menjelaskan lebih lanjut, berdasar pada acuan al-Qur`an inilah maka kemudian ilmu pengetahuan dalam Islam ada dua jenis: ‘Ilm yang mengungkap ‘âlam syahâdah atau alam yang sudah diakrabi dan terpapar dalam sains alam; dan ma’rifah yang mendedahkan ‘âlam al-ghâ`ib atau alam yang tersembunyi dan karenanya lebih dari sekadar pengetahuan proposisional (propositional knowledge). Cara memperoleh pengetahuan jenis kedua ini adalah melalui wahyu.
Klasifikasi seperti ini penting untuk diterapkan agar tidak terjadi “kekacauan ilmu”. Ketika agama diukur oleh akal dan indera (induktif), maka yang lahir adalah sofisme modern. Sehingga adanya Ahmadiyah dan aliran-aliran sesat tidak dipahami sebagai sebuah “kesalahan”, melainkan sebuah pembenaran bahwa Islam itu warna-warni. Demikian juga, ketika sains dicari-cari pembenarannya dari dalil-dalil agama, maka yang lahir kelak pembajakan dalil-dalil agama. Sehingga langit yang tujuh dipahami sebagai planet yang jumlahnya tujuh, seperti pernah dikemukakan oleh sebagian filosof Muslim di abad pertengahan. Wal-’Llahu a’lam bis-shawab.
http://pemikiranislam.net/2010/04/epistemologi-islam/
Epistemologi Menurut Perspektif Islam : Beberapa Isu Pilihan untuk Diskusi
Osman Bakar, PhD
1. Mana-mana epistemologi – teori ilmu – semestinya berkemampuan menghubungkaitkan dengan jelas antara dua perkara, iaitu obiek yang dikethui dan subjek yang mengetahui.Yang membedakan sesuatu epistemology dengan epistemology yang lain adalah tanggapan terhadap ruanglingkup realitas objek dan ruanglingkup realitas subjek yang dapat diterima sebagai meyakinkan. Aliran utama epistemology modern umpamanya yang sebenarnya merupakan ciptaan pemikiran Barat didapati berbeda dengan epistemologi Islam pada umumnya dari segi tanggapan terhadap kedua dua ruanglingkup ini. Di Barat terdapat sebilangan ilmuwan dan pemikir yang berpegang pada epistemologi yang hampir serupa dengan epistemologi Islam. Tetapi mereka ini merupakan golongan minoritas.
2. Adalah jelas bahawa konsep realitas sangat mempengaruhi epistemologi. Bagi ajoritas ilmuwan dan pemikir dalam peradaban Barat modern, yang diakui sebagai ealitas adalah terbatas kepada apa yang dapat disaksikan oleh pancaindera atau yang apat disahkan oleh metode empiris. Yang tidak dapat dibuktikan dengan menggunakan metode ini disangsikan eksistensinya atau pun ditolak sarna sekali. ‘Metode ilmiah dijadikan penentu tunggal eksistensi sesuatu. Isunya, konsep pembuktian kebenaran terbatas kepada penggunasuaian metode ilmiah tetapi makna dan pengertiani lmiah itu sendiri disempitkan kepada pengetahuan empiris. Tegasnya, ruanglingkup realitas objek menurut aliran pemikiran ini adalah terbatas kepada alam fisik.
3. Seperti mana terjadi penyempitan realitas objek yang dapat diketahui oleh manusia epada realitas fisik maka demikian juga terjadinya pengecilan wilayah realitas subyek ang mengetahui kepada diri yang sekadar memiliki fakultas pancaindera dan fakultas
akal yang hanya pandai berfikir secara logika tentang data-data empiris sahaja. Dengan ata lain, diri manusia yang ingin menjadi subyek yang mengetahui mempunyai tahap esadaran yang rendah. Di kalangan ilmuwan modem bukan sedikit yang berpendapat
bahawa akal pikiran manusia itu sendiri adalah konsekuensi proses evolusi yang bersifat fisik. Maksudnya, akal manusia disamakan sahaja dengan otak. Maka ia dilihat sebagai produk proses fisik yang dapat dipahami dengan hanya perlu merujuk kepada realitas alam materi. Apabila manusia seperti ini merujuk kepada dirinya sebagai “aku” maka kesadaran “aku”nya itu sekadar kesadaran yang dimiliki oleh ego empirisnya.Ternyata bahawa epistemologi yang dimiliki oleh aliran utama pemikiran ilmiah di Barat moden adalah didasarkan kepada hubungan antara objek dan subyek pada tahap kesadaran manusia yang paling rendah.
4. Berbeda kedudukannya dengan konsep realitas dalam pemikiran Islam. Menurut l-Qur’an realitas objek yang dapat diketahui mencakupi seluruh alam semesta dan enciptanya yakni Allah s.w.t. Alam semesta yang wujud di luar diri manusia bersifat irarkis. Maksudnya, ia memiliki berbagai tingkat wujud atau eksistensi. Selain alam isik wujud alam bukan fisik yang juga dapat diketahui oleh manusia. Alam semesta atau kosmos yang diperlihatkan oleh al-Qur’an terbahagi secara kasarnya kepada tiga tingkat wujud dengan sifat realitas masing-masing. Realitas tingkat terendah adalah realitas fisik atau dunia materi. Realitas tingkat teratas adalah realitas spiritual. Dalam al-Qur’an realitas ini merujuk kepada dunia malaikat yang menurut hadis adalah dicipta daripada cahaya. Realitas tingkat tengah adalah realitas psikis atau animistik yang juga disebut sebagai dunia halus. Dari segi peristilahan keagamaan di dalam al-Qur’an realitas ini merujuk kepada dunia jinn yang dicipta daripada api yang bukan fisik.
5. Juga menurut al-Qur’an, realitas subyek yang dapat diketahui mencakupi seluruh apa ang disebut oleh Sayyidina Ali r.a. sebagai alam kecil (al- ‘alam al-saghir). Di Barat ia ikenali dengan istilah microcosm. Alam ini merujuk kepada alam diri manusia yang juga terbahagi kepada beberapa tingkat wujud dengan sifat realitas masing-masing. AI-Qur’an menegaskan: “Dia memulai penciptaan manusia dari tanah. Kemudian Dia enyempurnakannya dan meniupkan ruh-Nya ke dalam (tubuh manusia) dan Dia enjadikan bagi kamu (fakultas) pendengaran, pengelihatan dan hati tetapi kamu sedikit sekali bersyukur.” (32:7-9). Fakultas pengetahuan manusia meliputi pancainderanya, fakultas-fakultas batin (internal) seperti fakultas pengingatan dan daya khayal, fakultas rasional dan spiritualnya, yakni akal dan hati (qalb). Fakultas-fakultas yang membentuk realitas subyek inilah yang memungkinkan manusia mengetahui realitas alam semesta yang bertingkat-tingkat wujudnya dalam suatu hirarkis.
6. Epistemologi Islam menegaskan bahawa setiap disiplin ilmu atau sains dicirikan oleh mpat perkara berikut: [1] ada mauduk (“subject matter”) yang diberi definisi yang jelas; 2] ada premis-premis( muqadammat) yang diandaikan benar tetapi kebenarannya tidak isa dibuktikan dalam ilmu tersebut; kebenaran premis-premis disiplin ilmu itu perlu ibuktikan dalam displin ilmu yang dikira lebih tinggi kedudukannya dari segi tahap ebenaran yang dibicarakan; [3] ada metode (tariqah) yang khusus baginya; [4] ada bjektif-objektif (ahdaf) khusus bagi disiplin berkenaan.
Dibentangkan pada: Diskusi Pakar “Krisis Epistemologi di Perguruan Tinggi” FUF UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta Indonesia, 23 Mei 2008.
http://i-epistemology.net/osman-bakar/32-epistemologi-menurut-perspektif-islam–beberapa-isu-pilihan-untuk-diskusi.html
Zainal Abidin Bagir
Center for Religious and Cross-cultural Studies
Gadjah Mada University, Yogyakarta, Indonesia
1. “Islam Yes, Sains Islam No”?
Banyak Muslim kini tak lagi alergi dengan ajakan lama Nurcholish Madjid, “Islam Yes, Partai Islam No”, karena politik nyatanya memang tak perlu dipandang sebagai sesuatu yang sakral. Urusan pengaturan negara dan politik adalah urusan manajemen, yang mesti ditangani manajer profesional, secara (seharusnya) rasional—lebih-lebih dalam konteks masyarakat yang pluralistik. Tujuan-tujuan universal Islam bisa dicapai tanpa harus membentuk institusi-institusi dengan embel-embel Islam—yang justru kerap menjadi sumber penyalahgunaan. Bagaimana dengan institusi sains? [1] Perlukah slogan semacam itu: “Islam Yes, Sains Islam No”? Analogi ini ditarik karena ada kesamaan penting antara negara dan sains: keduanya adalah institusi sosial (publik) yang hidup dalam komunitas pluralistik. Di akhir makalah ini, saya akan kembali ke analogi ini.
Gagasan “sains Islam” sudah berada di percaturan intelektual Islam selama lebih dari 20 tahun, di berbagai belahan dunia Muslim, termasuk Indonesia. Gagasan ini jugalah yang rupanya sebagiannya mengilhami diadakannya seminar ini pada hari ini. Dalam proposal seminar ini, dinyatakan bahwa salah satu tujuan penciptaan epistemologi Islam adalah untuk “membangun sains yang berdaya guna bagi kehidupan manusia dan kemanusiaan.” Sains Barat modern didasarkan pada epistemologi Barat, maka epistemologi Islam—yang keberadaannya sulit dipungkiri—sudah sewajarnyalah mampu melahirkan sains yang Islami. Di sini, epistemologi dianggap sebagai dasar sains; epistemologi memiliki prioritas (yaitu, keterdahuluan) baik secara konseptual maupun temporal. Namun sejarah sains, baik di Barat mapun Islam, saya kira menunjukkan bahwa kaitan epistemologi dengan sains tak serapi itu. Kaitan yang rapi hanya muncul dalam rekonstruksi rasional atas sejarah, yang tak mesti mewakili gerak sejarah yang sebenarnya. Nyatanya, sains kerap memiliki dinamikanya sendiri. Sains berkembang bukan karena epistemologi yang baik, tapi justru epistemologi kerap dipaksa menyesuaikan diri dengan temuan-temuan—dan kegagalan-kegagalan—sains.
Dengan begitu, anggapan bahwa perumusan epistemologi Islam akan otomatis menghasilkan jenis model sains alternatif yang berbeda pula menjadi patut dipertanyakan. “Jenis sains yang berbeda” ini disebut oleh banyak Muslim sebagai “sains Islam” ( Islamic science ). Dalam makalah ini saya tak akan membahas kaitan epistemologi dengan sains, tapi langsung beranjak dari problematik gagasan “sains Islam”.
Apa itu “sains Islam”? Definisi awal dan paling mudah yang bisa diberikan untuk “sains Islam” adalah bahwa ia adalah sistem sains yang diilhami oleh nilai-nilai Islami, atau manifestasi ajaran-ajaran/nilai-nilai Islam dalam sistem sains. Definisi ini jelas amat luas cakupannya, namun justru karena itu saya kira akan disepakati oleh para penganjur sains Islam seperti dalam kelompok yang dipelopori oleh Seyyed Hossein Nasr, Isma’il Faruqi, maupun Ziaduddin Sardar. Tanpa menafikan perbedaan-perbedaan yang terkadang cukup radikal, bisa saya katakan bahwa gagasan sains Islam tercakup dalam definisi ini. Perbedaan di antara mereka terutama menyangkut pemahaman mereka atas sains dan Islam, dan strategi pembentukannya. Di luar itu, dapat dikatakan bahwa gagasan mereka tercakup dalam definisi ini.
2. Netralitas religius sains
Salah satu premis terpenting penganjur sains Islam adalah bahwa sains itu tak bebas nilai, karena memiliki asumsi-asumsi metafisis yang mendahului aktifitas sains, sehingga sistem nilai-nilai tertentu (termasuk di dalamnya nilai-nilai religius) bisa mewarnai aktifitas dan hasil (teori-teori) sains. Namun argumen-argumen untuk premis ini seringkali didasarkan pada gambaran usang dan tak akurat tentang sejarah dan filsafat sains, dan kadang-kadang bahkan ditampilkan dalam semacam teori konspirasi.
Di antaranya, yang kerap disebut adalah kisah standar tentang pembentukan pandangan dunia mekanis, yang diajukan secara substantif pertama kali oleh Descartes, lalu diturunkan menjadi alat analisis yang digunakan Boyle sebagai dasar sainsnya, dan konon dijadikan basis kosmologi oleh Newton. Pandangan dunia mekanis inilah yang kemudian menjadi basis sekularisasi peradaban modern, hingga berujung pada peminggiran agama. Namun kisah ini terlalu sederhana.
Seperti terungkap dalam kajian-kajian sejarah sains, kuatnya keberagamaan ketiga tokoh itu tak dapat dipungkiri. Tuhan menempati posisi yang sentral dan esensial dalam sistem yang dibangun ketiga ilmuwan modern awal itu. Yang tampak nyata dalam pemikiran mereka adalah ketegangan yang nyata antara keinginan menampilkan sistem yang naturalistik tapi tetap memberikan tempat yang sentral untuk Tuhan. Ketegangan yang serupa tampak pula dalam sistem-sistem yang dibangun oleh ilmuwan dan filosof Muslim beberapa abad sebelumnya, seperti Ibn Sina dan Ibn Rusyd. Bahwa kemudian sains berkembang ke arah yang menjauh dari semangat religius mereka adalah persoalan lain. Yang jelas, sulit menuduh mereka sebagai agen-agen sekularisme dan marjinalisasi agama.
Argumen lain untuk menunjukkan tak bebas nilainya sains merupakan analisis filosofis struktur sains. Dari sisi ini, sesungguhnya tak sulit diterima bahwa sains itu tak bebas-nilai, bahwa teori-teori sains itu lahir dari proses dimana nilai-nilai atau asumsi metafisis tertentu, dan bukan hanya data-data empiris, juga terlibat. Pertanyaannya adalah: apakah kaum beragama, khususnya Islam, perlu keberatan dengan nilai-nilai tersebut? Yang menjadi keberatan kita sesungguhnya bukanlah adanya nilai-nilai per se , tapi nilai-nilai yang memecah-belah komunitas sains. Yaitu, nilai-nilai yang mungkin tak bisa diterima Muslim atau Kristen, atau juga ateis, sehingga menjadikan mereka tak bisa terlibat dalam komunitas sains tersebut.
Apakah sains memiliki nilai-nilai semacam itu? Menurut saya, tidak. Jika pun ada, biasanya itu akan dikoreksi dalam perkembangan selanjutnya. Misalnya, keyakinan akan keteraturan alam; bahwa alam ini teratur, peristiwa-peristiwa alam terjadi karena adanya hukum-hukum yang pasti. Ini menjadi basis induksi, karena tanpanya kita tak bisa menyimpulkan bahwa eksperimen yang kita lakukan hari ini akan memberikan hasil yang sama jika dilakukan besok. Seorang Muslim atau Kristen bisa saja mengutip ayat-ayat dalam kitab sucinya untuk menunjukkan bahwa keyakinan seperti itu ada dalam agama mereka, tapi seorang ilmuwan tak perlu menjadi Muslim atau Kristen untuk memiliki keyakinan seperti itu. Ini lebih merupakan “keimanan operasional-pragmatis”, yang dipegang secara tentatif untuk tujuan pragmatis merumuskan teori. (Dengan menyatakan ini, saya tak ingin mengingkari bahwa dalam sejarahnya, bisa jadi konteks teistik yang menjadi habitat perkembangan sains itulah yang memungkinkan sains berkembang, seperti diajukan banyak sejarawan sains.)
Bagaimana dengan materialisme, yang konon juga mendasari sains? Materialisme ini pun saya kira hanya merupakan keimanan operasional-pragmatis, yang sifatnya tentatif. Kalaupun seorang materialis meyakini bahwa yang ada hanyalah materi, pertanyaan lanjutannya adalah: apa itu materi? Nyatanya, yang disebut materi dalam sains berubah-ubah. Kalau materi didefinisikan sebagai sesuatu yang menempati ruang dan dapat diindera, maka elektron mesti dianggap tak ada. Elektron yang tak bisa dilihat langsung dianggap sebagai materi hanya karena jejak-jejaknya bisa ditemukan di laboratorium. Elektron sendiri awalnya diajukan sebagai entitas teoretis (yaitu: fiktif), namun kini ilmuwan menerima keberadaannya tanpa ragu-ragu. Bagaimana dengan quark? Adakah quark? Ada banyak pertanyaan-pertanyaan lain yang bisa diajukan. Namun ringkasnya, kandungan materialisme berubah terus, menuruti perkembangan sains. Ia bukanlah doktrin yang kaku, berhadap-hadapan secara langsung dengan agama, tapi berevolusi terus.
Saya percaya, asumsi-asumsi metafisis lain bisa ditunjukkan memiliki karakter serupa. Di sisi lain, dalam sejarah sains dan filsafat modern, kita bisa memberikan banyak contoh asumsi metafisis yang direvisi atau bahkan dibuang, untuk mengakomodasi sains. Contohnya, keyakinan Kant bahwa sistem geometri Euklid adalah sesuatu yang “given”; syarat mutlak bagi pengalaman empiris, yang tanpanya kita tak dapat mengalami alam di luar diri kita. Namun ketika ditunjukkan bahwa ada sistem geometri non-Euklidian yang justru digunakan dalam perumusan teori relatifitas umum Einstein, asumsi itu pun gugur.
Contoh lain adalah perdebatan mengenai karakter ruang antara penganut substantivalisme dan relasionalisme. Dalam sistem Newton ruang dipahami bersifat substantivalis. Dalam perdebatan Newton dengan Leibniz, kedua alternatif ini ramai dibincangkan. Lalu teori relatifitas umum Einstein dianggap menggugurkan substantivalisme. Namun, nyatanya, sampai kini perdebatan itu tak kunjung berakhir, karena teori Einstein itu bisa ditampilkan dengan latar belakang pandangan substantivalisme maupun relasionalisme. Ini contoh pandangan yang bisa memecah-belah. Namun yang kita lihat, ilmuwan tak perlu memiliki komitmen terhadap salah satu dari dua pandangan tentang ruang ini. Teori relatifitas umum bisa diterima kelompok substantivalis maupun relasionalis.
Dalam sejarah sains dalam Islam, ada contoh mirip. Ketika sekelompok astronom Muslim memutuskan untuk membuang asumsi metafisis Ptolemy bahwa bumi tak bergerak dan merupakan pusat alam semesta, mereka mampu mengajukan sistem astronomi yang lebih akurat, mirip dengan yang kelak diajukan Copernicus. Pertimbangan para astronom Muslim itu bukanlah pertimbangan metafisis tapi semata-mata pertimbangan matematis dan empiris. Menurut sejarawan sains Jamil Ragep, salah satu sumbangan terbesar Muslim terletak pada upaya mereka untuk membebaskan astronomi dari filsafat, atau dari asumsi-asumsi metafisis yang tak jelas dasar empirisnya.
Secara umum, gerakan sains sesungguhnya bisa dipahami sebagai gerakan ke arah objektifitas yang lebih tinggi, dengan sebisa mungkin membebaskan sains dari asumsi-asumsi metafisis yang tak diperlukan. Yang ingin saya simpulkan sampai di sini: jika suatu asumsi metafisis diperlukan, ia harus bisa diterima seluruh anggota komunitas sains; dan jika ia memecah belah, maka ia tak diperlukan dalam perumusan teori-teori sains. Sekali lagi, ini karena sifat publik sains yang mementingkan kesepakatan. [2]
Kesimpulan berikutnya: Sains tidak bebas nilai, tapi netral secara religius ( religiously-neutral ), karena nilai-nilai yang terlibat di dalamnya bukanlah nilai-nilai yang diyakini kebenarannya, tapi lebih berfungsi sebagai asumsi operasional yang dianut secara tentatif. Dengan demikian, urgensi untuk mengajukan “sains Islam” sebagai jawaban atas kelemahan-kelemahan yang dipersepsi ada dalam sains modern (yaitu ketaksesuaiannya dengan agama, atau Islam khususnya) hilang dengan sendirinya.
3. Ambiguitas sains
Sebagai ilustrasi dari kesimpulan ini, saya ingin membahas pandangan Mehdi Golshani, fisikawan Iran (yang sempat popular di sini berkat bukunya Filsafat Sains menurut al-Qur’an ). Dalam tulisannya “How to Make Sense of Islamic Science” yang diterbitkan belum lama ini ( American Journal of Islamic Social Sciences , v. 17, no. 3, 2002), ia membela gagasan sains Islam, namun mengkritik beberapa versinya. Menurutnya, sains Islam bukanlah usulan untuk melakukan aktifitas sains (eksperimentasi, observasi, teorisasi) dengan cara yang baru, atau “secara Islami”. Namun ia meyakini adanya apa yang disebut “presuposisi metafisis” sains yang dapat didasarkan atau menentang pandangan dunia religius; ruang untuk presuposisi itulah yang baginya mesti diisi dengan premis-premis Islami.
Ada beberapa contoh spesifik yang diajukannya, yang menurut saya justru mendukung kesimpulan di atas bahwa sains itu religiously-neutral . Misalnya, penjelasan untuk prinsip antropik (bahwa hukum-hukum fisika beroperasi sedemikian hingga kehidupan bisa muncul di semesta ini). Dua alternatif penjelasan untuk prinsip ini: ada amat banyak alam semesta, sehingga tak mengherankan jika salah satunya kebetulan memiliki syarat-syarat yang memungkinkan adanya kehidupan; atau, penjelasan lain, hanya ada satu alam semesta, tempat kita hidup ini, yang sengaja dirancang oleh suatu pencipta (yang amat dekat dengan teisme, karena si pencipta itu bisa segera diidentifikasi dengan Tuhan). Ilmuwan ateis seperti Peter Atkins cenderung kepada tafsiran banyak-alam ( many-worlds interpretation ), yang logikanya mirip dengan evolusi makhluk hidup melalui seleksi alam. Namun penjelasan pertama ini pun, seperti ditunjukkan Golshani sendiri, bisa diberikan tafsir teistik: “kewujudan banyak alam dengan konstanta yang amat berbeda sejalan dengan teisme: Tuhan mungkin saja menciptakan banyak alam dengan karakteristik-karakteristik yang berbeda”.
Contoh lain Golshani adalah teori evolusi Darwin. Tafsir yang amat populer, seperti diajukan Richard Dawkins atau Daniel Dennett, adalah bahwa teori ini telah menghilangkan keperluan merujuk kepada Tuhan sebagai pencipta alam semesta. Namun sebagaimana Dawkins bisa memberi tafsiran ateistik terhadap teori evolusi, ilmuwan Arthur Peacocke yang beragama Kristen dapat pula memanfaatkan teori yang sama untuk mendukung panenteismenya, yang menekankan kontinuitas tanpa henti dalam aktifitas penciptaan Tuhan (melalui evolusi). Filosof Muslim Iqbal juga memiliki pandangan yang mirip tentang aktifitas tanpa henti Tuhan yang terwujud dalam evolusi ini.
Maka contoh-contoh Golshani semuanya sesungguhnya justru menunjukkan ambiguitas sains: ia bisa diberi tafsiran ateistik, bisa pula diberi tafsiran religius. Dengan kata lain, sains itu religiously-neutral. Secara umum, kita bisa menemukan dalam setiap teori ilmiah yang fundamental, yang mungkin memiliki implikasi religius, ambiguitas semacam itu. Lalu mana yang benar dari berbagai penafsiran itu? Sampai di sini sains sendiri tak bisa menjawabnya. Persis sebagaimana mekanika kuantum bisa ditafsirkan sebagai mendukung determinisme (dalam tafsir David Bohm), ia juga bisa dianggap menghancurkannya (penafsiran Kopenhagen), dan secara prinsipil observasi empiris semata tak dapat memutuskan tafsiran mana yang benar. Ketakmampuan sains berpihak pada salah satu dari banyak alternatif, bagi saya, justru menunjukkan bahwa ia bebas-nilai, sejauh menyangkut kepercayaan agama. Karena itu, cukup mengherankan kalau Golshani kemudian membela gagasan “sains Islam”.
Pelajaran yang bisa ditarik di sini adalah pentingnya pembedaan antara teori-teori sains dengan tafsiran filosofisnya. Ini perlu ditegaskan karena beberapa hal. Pertama, di kalangan penganjur maupun penentang gagasan “sains Islam” keduanya kerap jumbuh, sehingga memunculkan gambaran yang keliru tentang sains. Termasuk di dalamnya adalah kesan bahwa sains modern (yaitu satu-satunya jenis sains yang diajarkan di universitas-universitas Indonesia) sifatnya tak Islami. Kalau saja gagasan ini tersebar luas, tak akan mengherankan jika ini menimbulkan problem psikologis yang serius di kalangan pelajar Muslim.
Dalam hal ini, salah satu tantangan terhadap umat Islam dalam bidang sains bukanlah dari (teori-teori atau kandungan) sains itu sendiri, tapi dari tafsiran filosofisnya. Khususnya, ini berkaitan dengan pemahaman yang keliru bahwa sains itu secara inheren bersifat sekular-anti agama (sehingga perlu di-desekularisasi) atau bahwa sains modern itu tidak Islami (sehingga perlu diislamisasikan). Maraknya tafsiran ateistik dari ilmuwan seperti Dawkins dan Dennett atau Peter Atkins tak menunjukkan perlunya kita “memerangi” sains. Upaya-upaya menciptakan sains alternatif justru mengesankan bahwa seolah-olah tafsiran ateistik tersebut adalah satu-satunya tafsiran yang sah, yang identik dengan sains itu sendiri. Religiusitas ilmuwan-ilmuwan seperti Einstein, Schrodinger, Bohm yang begitu kentara lalu menjadi sekadar “sempalan”. Padahal penulis sejarah lain di masa depan bisa saja memandang kecenderungan religius ini, yang tak pernah hilang dalam setiap periode sejarah sains, justru sebagai mainstream .
Lebih jauh, jika memang tafsiran ateistik itu yang merupakan ”musuh” kita, sesungguhnya kita punya sekutu penting yang bisa hilang kalau kita melulu berbicara soal “sains Islam”. Yaitu umat-umat beragama lain yang memiliki keprihatinan yang sama, dan yang, dalam beberapa hal, sudah maju cukup jauh dalam diskursus sains dan agama. Dalam konteks ini, saya melihat gagasan “sains Islam” lebih sebagai upaya penegasan identitas yang tak terlalu perlu. Penegasan identitas adalah proyek ideologis untuk menarik garis yang tegas antara “kita” dan kelompok-kelompok lain—bukan proyek pemberdayaan.
Sejalan dengan aspirasi objektifitas yang disinggung di atas, kalaupun sains dianggap tak objektif karena mengandung ideologi tertentu (positifisme, naturalisme, dan sebagainya), yang kita perlukan adalah de-ideologisasi sains. Sains perlu dibebaskan dari segala ideologi—baik ideologi religius ataupun yang anti-religius. Dalam menjalankan upaya ini kita bisa dengan mudah mendapatkan banyak kawan beragam dari kelompok-kelompok lain
4. De-ideologisasi sains dan objektifikasi Islam
Untuk mengakhiri makalah ini, saya ingin mengajukan gagasan Kuntowijoyo tentang objektifikasi Islam, yang diajukannya sebagai jalan tengah dalam perdebatan antara Islam dan sekularisme politik. ( Selamat Tinggal Mitos, Selamat datang Realitas , Mizan, Juli 2002) Saya melihat, tak hanya dalam politik, dalam sains pun gagasan Kunto itu dapat diberlakukan.
Seperti disinggung di awal makalah ini, analogi negara dengan sains bisa ditarik, karena keduanya memiliki satu karakteristik penting yang sama: keduanya adalah upaya publik. Dalam pemahaman pasca-positifis, sains dipahami terutama sebagai aktifitas sosial. Sains disebut objektif bukan karena ia merepresentasikan objek sebagaimana adanya ( noumena ), namun karena ilmuwan yang satu bersepakat atas hasil-hasil observasi yang dilakukan ilmuwan lain. Data-data empiris adalah sesuatu yang sifatnya publik, karena itu bisa diverifikasi bersama-sama. Kesepakatan komunitas ini jelas tak identik dengan kebenaran, dan karena itulah teori-teori sains bisa jatuh bangun. Jatuh bangunnya teori-teori sains itu merupakan bukti bahwa sistem ini, dengan segala ketaksempurnaannya, bisa bekerja cukup baik.
Dalam tulisan-tulisannya sejak beberapa tahun silam, Kuntowijoyo kerap berbicara tentang peralihan dari periode ideologi ke periode ilmu. Aspirasi negara atau partai Islam adalah indikasi umat Islam berada dalam periode ideologi. Gagasan Nurcholish “Islam Yes, Partai Islam No” 30 tahun yang silam adalah upaya transisi ke periode ilmu (yang tak sepenuhnya berhasil). Peralihan ke periode ilmu, menurut Kunto, ditandai dengan upaya objektifikasi, yang mengandung tiga hal: (a) artikulasi politik dikemukakan melalui kategori-kategori objektif; (b) pengakuan penuh kepada keberadaan segala sesuatu yang ada secara objektif; dan (c) tak lagi berpikir kawan-lawan, tapi perhatian ditujukan pada permasalahan bersama.
Seperti saya singgung di atas, aspirasi “sains Islam” pun tampaknya juga lebih merupakan proyek ideologis. Bagaimana menerapkan gagasan Kunto dalam konteks ini? Point (a): Di atas saya telah menyebutkan bahwa sains tak bebas-nilai, tapi nilai-nilai yang dianutnya adalah nilai-nilai yang disepakati bersama, yang tak memecah belah komunitas sains. Karena itu, nilai-nilai apapun, termasuk nilai-nilai Islam, jika ia ingin dimasukkan sebagai bagian sains, mesti tampil sebagai sesuatu yang objektif, yang bisa disepakati bersama, dan sebagai sesuatu yang memang diperlukan. Caranya adalah dengan menampilkannya sebagai sesuatu yang rasional, yang sumber justifikasinya bukan hanya berasal dari wahyu atau kitab suci secara langsung. Karena komunitas sains adalah suatu komunitas sosial, meyakinkan anggota-anggota lain dalam komunitas dilakukan melalui komunikasi rasional. Membawa label-label Islam dalam komunitas pluralistik (ateis, Kristen, Yahudi, Islam, dan sebagainya) seperti itu tak akan efektif. Komunitas pluralistik inilah yang keberadaannya harus diakui dalam point (b) di atas.
Sebagai penjelasan point (c), Kunto menyarankan untuk, “melepaskan diri dari pikiran ‘kita versus mereka’”. Penempelan label-label eksklusif seperti “Islami” memang akan mengarah pada identifikasi ‘kita versus mereka’, dan kerap justru melupakan kita dari persoalan yang sesungguhnya. Khususnya di saat umat Islam tertinggal amat jauh dalam perkembangan sains, eksklusifitas “sains Islam” sungguh tak menguntungkan.
Sesungguhnya, karena keragaman Muslim dan keragaman epistemologi Islam, seperti saya singgung di awal makalah ini, perlu diingatkan bahwa di antara sesama Muslim pun, ada keragaman luar biasa dalam memahami Islam. “Sains Islam” suatu kelompok Muslim bisa berbeda jauh dengan “sains Islam” kelompok Muslim lain. Sementara label Islam tak menjamin kebenarannya (atau kesetiaannya terhdap ajaran Islam yang sesungguhnya), jalan komunikasi satu-satunya adalah melalui objektifikasi, melalui percakapan dalam kategori-kategori objektif, yang bisa disepakati bersama.
Dengan demikian, kembali ke gagasan Kunto, kalau kita perlu slogan, bisa dikatakan yang diperlukan adalah objektifisasi atau rasionalisasi Islam, bukan “Islamisasi sains”. Namun slogan tak perlu, karena ia biasanya lebih efektif sebagai sarana provokasi, dan sekaligus lebih mudah memancing kesalahpahaman. Yang penting adalah inti ajakan itu: Bahwa yang diperlukan Muslim saat ini bukanlah menempatkan diri di luar komunitas sains dunia (seraya mengritiknya habis-habisan), tapi masuk ke dalam komunitas itu. [3]
Sebagaimana saat ini tampaknya sudah disadari banyak Muslim bahwa keislaman kita tak kurang kaaffah tanpa memiliki negara Islam, demikian pula, keislaman kita tak kurang kaaffah tanpa memiliki sains Islam. “Islam adalah rahmat bagi alam semesta” mesti dipahami sebagai prinsip universalitas Islam: Bahwa ajaran-ajaran Islam dapat dipahami dan dirasakan manfaatnya untuk semua orang. Objektifikasi adalah jalan ke arah itu.
[1] Sebagai disclaimer awal, perlu dikemukakan di sini bahwa ketika “sains” disebut dalam makalah ini, yang terutama dimaksudkan adalah ilmu-ilmu alam. Argumen-argumen yang diajukan di sini sampai tingkat tertentu berlaku pula untuk ilmu-ilmu sosial, namun ada perbedaan-perbedaan penting di antara keduanya, yang tak akan dibahas di sini. Pendeknya, ketika “sains” disebut, yang mesti dibayangkan adalah ilmu-ilmu alam. Untuk keperluan menunjukkan tak bebas nilainya ilmu-ilmu, ilmu alam biasanya dianggap sebagai kasus yang lebih sulit ketimbang ilmu sosial, sehingga jika bisa ditunjukkan bahwa ilmu-ilmu alam pun, khususnya fisika, tak bebas nilai, apalagi ilmu-ilmu sosial, di mana keterlibatan subjek pengamat dengan objeknya lebih intens.
[2] Kasus adanya beberpa penafsiran atas mekanika kuantum merupakan ilustrasi lain untuk kesimpulan ini. Mekanika kuantum diterima fisikawan tanpa mensyaratkan komitmen kepada salah satu penafsirannya.
[3] Dalam konteks ini, amat menarik mencatat pernyataan Munawar Ahmad Anees, yang sempat dikenal sebagai pengajur sains Islam bersama Ziauddin Sardar. Dalam kolomnya di Civilization belum lama ini (February/March 2000), ia menyebut bahwa dilihat dengan lebih teliti, upaya-upaya Islamisasi dan penciptaan sains Islami “tampak setengah matang dan parokial ( cliquish) .” Selanjutnya: “Isyarat jelas untuk kondisi yang patut disesalkan ini [lemahnya gerakan ilmiah Muslim] adalah absennya negara-negara Muslim dalam salah satu upaya ilmiah terbesar umat manusia sepanjang sejarah, Projek Genome Manusia.”
http://www.crcs.ugm.ac.id/staffile/zab/makalah_untuk_seminar_epistemologi_islam.htm
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights
0901P-EPISTEMOLOGI ISLAM DAN INTEGRASI ILMU PENGETAHUAN PADA
UNIVERSITAS ISLAM: Epistemologi Islam dan Proyek Reformasi Kurikulum1
Dipresentasikan pada seminar yang diselenggarakan hari Sabtu, tanggal 7 Pebruari 2009, di Universitas
Muhammadiyah Makassar oleh Professor Dr. Omar Hasan Kasule Sr. MB ChB (MUK), (MPH) Harvard,
DrPH(Harvard) Professor Epidemiologi dan Kedokteran Islam Universitas Brunei Darussalam dan Profesor
Tamu Epidemiologi Universitas Malaya. EM omarkasule@yahoo.com WEB: http://omarkasule.tripod.com
ABSTRAK
Makalah ini berdasarkan tesis bahwa reformasi epistemologis sangat penting untuk
pendidikan yang bermutu. Makalah ini dimulai dengan meringkas konsep dasar dan
paradigma epistemologi Islam dan metodologi penelitian. Selanjutnya membahas krisis
terkini menyangkut pengetahuan dan pendidikan umat, yaitu rendahnya motivasi belajar,
serta kurangnya rasa cinta dan penghargaan terhadap ilmu pengetahuan. Solusi dari krisis
pendidikan akan diawali dengan perbaikan epistemologis dalam setiap disiplin ilmu
pengetahuan. Perbaikan epistemologis didefinisikan sebagai identifikasi bias-bias paradigma
dasar dan metodologi penelitian yang mencerminkan cara pandang dunia yang tidak tauhid.
Hal ini diikuti pula dengan pembentukan kembali konsep dasar epistemologis dan paradigma
dari berbagai disiplin ilmu dari paradigma tauhid yang bercirikan objektivitas, istiqamat al
ma’arifat, dan penyeragaman, ‘aalamiyyat al ma’arifat dari pengetahuan. Makalah ini
mendeskripsikan dengan jelas pendekatan-pendekatan penting dalam setiap disiplin ilmu
pengetahuan. Kesimpulan makalah ini adalah bahwa kualitas belajar dan penelitian akan
tercapai setelah ada perbaikan epistemologis, yang dapat mendorong peserta didik dan
pengajar untuk mengejar pengetahuan dalam bingkai tauhid yang membentuk cara pandang
terhadap dunia dan nilai-nilai dalam diri mereka.
KONSEP EPISTEMOLOGIS DASAR
Apakah yang Dimaksud dengan Epistemologi Islam ?. nadhariyat al ma’arifat al islamiyyat
Epistemologi adalah ilmu pengetahuan, ‘ilm al ‘ilm. Mempelajari asal-usul, hakikat dan
metode sebuah ilmu pengetahuan dengan tujuan mendapatkan keyakinan. Epistemologi
Islam, nadhariyyat ma’rifiyyat Islamiyyat, didasarkan pada paradigma tauhid. Parameter
tetapnya adalah dari wahyu, wahy. Parameter tidak tetapnya disesuaikan oleh keadaan waktutempat
yang bervariasi. Sumbernya adalah wahyu (Al Qur’an dan As Sunnah), observasi dan
percobaan empiris, serta alasan kemanusiaan. Sekarang ini, tantangan utamanya adalah
meraih obyektivitas, al istiqamat, yaitu tetap pada jalan kebenaran dan tidak dapat
digoyahkan oleh tingkah laku dan hawa nafsu. Istiqamat hanya datang setelah iman, seperti
sabda Rasulullah qul amantu bi al laahi thumma istaqim’.
1.2 Hakikat Ilmu Pengetahuan, tabi’at al ma’arifat al insaniyyat
Istilah Al Qur’an untuk ilmu pengetahuan adalah: ‘ilm, ma’arifat, hikmat, basiirat, ra’ay,
dhann, yaqeen, tadhkirat, shu’ur, lubb, naba’, burhan, dirayat, haqq, dan tasawwur. Istilah
1 Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Ummi Ashim Azzahra dan Anisa Eka Trihastuti, Mahasiswa
Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris, Universitas Negeri Semarang,
cp : 081318681994, e‐mail : yusibnuyassin@yahoo.com
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights
2
untuk kekurangan ilmu pengetahuan adalah: jahl, raib, shakk, dhann, dan ghalabat al dhann.
Tingkatan ilmu pengetahuan adalah: ‘ilm al yaqeen, ‘ayn al yaqeen, dan haqq al yaqeen.
Pengetahuan dihubungkan dengan iman, ‘aql, qalb, and taqwah. Al Qur’an menegaskan
dasar pengetahuan yang nyata, hujjiyat al burhan. Tempat ilmu pengetahuan adalah akal dan
kalbu. Pengetahuan Allah adalah tidak terbatas, sedangkan pengetahuan manusia sangat
terbatas. Setiap orang memiliki pengetahuan yang berbeda-beda. Pengetahuan adalah milik
umum yang tidak bisa disembunyikan atau dimonopoli. Manusia, malaikat, jin dan makhluk
hidup lainnya mempunyai jumlah pengetahuan yang bervariasi. Pengetahuan bisa menjadi
abadi, contohnya ilmu yang diwahyukan. Jenis-jenis lain pengetahuan bersifat relatif, nisbiyat
al haqiqat. Hakikat yang mungkin dari ilmu pengetahuan muncul dari keterbatasan
pengamatan manusia dan interpretasi dari fenomena fisik.
1.3 Sumber-Sumber Ilmu Pengetahuan, masadir al ma’arifat:
Wahyu, wahy, kesimpulan, akal, dan pengamatan empiric dari alam semesta, kaun, adalah
sumber-sumber umum dari pengetahuan yang diterima oleh orang-orang beriman. Dalam
pengertian kuantitas, yang pertama adalah pengetahuan empiric, ‘ilm tajriibi. Dalam
pengertian kualitas, yang pertama adalah ilmu yang diwahyukan ilmu dan wahyu,. Ada
hubungan erat dan ketergantungan antara wahyu, pengamatan empiris, dan kesimpulan. Akal
dibutuhkan untuk memahami wahyu dan mencapai kesimpulan dari pengamatan empiris.
Wahyu melindungi akal dari kesalahan dan menyediakan informasi tentang suatu hal yang
tidak kasat mata. Akal tidak bisa memahami secara penuh dunia yang empiris tanpa bantuan.
1.4 Klasifikasi Ilmu Pengetahuan, tasnif al marifat
Pengetahuan bisa diwariskan atau dipelajari. Bisa aqli atau naqli. Bisa berupa pengetahuan
yang terlihat, ‘ilm al syahadat, dan pengetahuan yang tidak terlihat, ‘ilm al ghaib. Yang tidak
terlihat bisa mutlak, ghaib mutlaq, atau relative, ghaib nisbi. Mempelajari ilmu pengetahuan
bisa berupa kewajiban individu, fard ‘ain, sedangkan yang lain adalah kewajinban kolektif,
fard kifayat. Pengetahuan bisa sangat berguna, ‘ilmu nafiu, menjadi dasar, atau diaplikasikan.
Ada banyak disiplin ilmu yang berbeda. Disiplin-disiplin tersebut terus berubah seiring
dengan pengembangan pemahaman dan ilmu pengetahuan. Sebuah disiplin didefinisikan dan
dibatasi oleh metodologinya.
1.5 Keterbatasan Pengetahuan Manusia, mahdudiyat al marifat al bashariyyat
Al Qur’an dalam banyak ayat telah mengingatkan manusia bahwa pengetahuan mereka dalam
semua lingkungan dan disiplin ilmu sangat terbatas. Akal manusia bisa dengan mudah
diperdaya. Kecerdasan manusia memiliki keterbatasan dalam menginterpretasikan persepsipersepsi
sensorik yang benar. Manusia tidak bisa mengetahui hal-hal tak kasat mata, ghaib.
Manusia bisa berfungsi dalam waktu yang terbatas. Masa lalu dan masa depan diyakini tidak
dapat diketahui. Manusia menjalankan fungsi dalam kecepatan yang terbatas baik pada level
konseptual maupun sensorik. Ide-ide tidak dapat dikeluarkan dan diproses jika mereka
dihasilkan terlalu lambat atau terlalu cepat. Manusia tidak mampu memvisualisasikan
peristiwa-peristiwa yang sangat lambat atau terlalu cepat. Peristiwa yang sangat lambat
seperti revolusi bumi atau rotasi bumi tidak dapat dirasakan kejadiannya. Memori manusia
sangat terbatas. Pengetahuan yang dipelajari bisa saja hilang atau mungkin lenyap secara
keseluruhan. Manusia akan menjadi sangat berpengetahuan jika mereka mempunyai memori
yang sempurna.
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights
3
2.0 METODOLOGI ILMU PENGETAHUAN, manhaj al ma’arifat
2.1 Konsep-Konsep
Metodologi dimulai dengan penamaan Adam dan pengklasifikasian semua benda yang diikuti
oleh penemuan hasil percobaan-percobaan dan investigasi metodologis sistematis terkini.
Terinspirasi oleh Al Qur’an, umat Muslim mengembangkan metodologi empiris ilmiah yang
menyebabkan timbulnya reformasi Eropa, Renaissance, serta revolusi ilmiah dan teknologi
yang dimulai pada awal abad 16. Francis Bacon (1561-1626), orang Eropa yang pertama kali
menulis secara sistematis tentang metodologi empiris yang diinspirasi oleh kaum Muslim di
Eropa pada masanya. Orang-orang Eropa meniru metodologi empiris tanpa konteks
ketauhidan, menolak wahyu sebagai sumber pengetahuan, dan nantinya memaksakan hasil
tiruan buruk berupa ilmu pengetahuan sekuler kepada umat Islam di seluruh dunia. Ahli
Muslim kuno telah menunjukkan bahwa wahyu, akal dan pengalaman sangatlah tepat dan
telah menggunakan peralatan metodologis dari Al Qur’an untuk mengoreksi dan
mengembangkan ilmu pengetahuan Yunani sebelum menyebarkannya ke Eropa. Mereka
mengganti logika deduktif Aristoteles dan definisinya dengan sebuah logika induktif Islam
yang diinspirasi oleh Al Qur’an.
2.2 Metodologi dari Al Qur’an, manhaj qur’ani
Al Qur’an menyediakan prinsip-prinsip umum yang membimbing dan bukan pengganti
penelitian empiris. Kitab ini menggabungkan pengamatan empiris; membebaskan pikiran dari
keragu-raguan, taklid buta, ketergantungan intelektual, dan hawa nafsu. Paradigma tauhidnya
menjadi dasar dari hubungan sebab akibat (kausalitas), rasionalitas, perintah, prediksi,
penemuan, obyektivitas, dan hukum alam. Hukum bisa diketahui melalui wahyu, pengamatan
empiris dan eksperimen. Para ahli Qur’an mengajarkan metodologi induktif, pengamatan
empiris, nadhar & tabassur; interpretasi, tadabbur, tafakkur, i’itibaar & tafaquhu; dan
pengetahuan yang terbukti, bayyinat & burhan. Al Qur’an melarang asal ikut-ikutan, taqliid,
prasangka, , dhann; dan keinginan pribadi, hawa nafsu. Konsep Al Qur’an dari istiqomat
menghasilkan kepercayaan dan pengetahuan yang tidak bias. Konsep Al Qur’an dari istikhlaf,
taskhir, dan isti’imar adalah dasar dari teknologi. Konsep dari ‘ilm nafei menggarisbawahi
perintah untuk mengubah pengetahuan dasar menjadi teknologi yang bermanfaat.
2.3 Metodologi dari Sains Islam Klasik
Ilmu pengetahuan klasik beserta konsepnya dapat diaplikasikan ke dalam IPTEK. Tafsir ilmu
dan tafsir mawdhu’e interpretasi data paralel pada penelitian empiris. ‘Ilm al nasakh
menjelaskan bagaimana data-data baru memperbaharui teori-teori yang lama tanpa
membuatnya tidak berguna sama sekali. ‘Ilm al rijaal dapat menguatkan keyakinan para
peneliti. ‘Ilm naqd al hadith menanamkan perilaku ‘membaca kritis’ literatur sains. Qiyaas
adalah analogi alasan-alasan. Istihbaab aplikasi berkelanjutan dari sebuah hipotesis atau
hukum ilmu pengetahuan sampai menemukan bukti. Istihsan dapat dibandingkan dengan
intuisi ilmiah. Istislah adalah penggunaan kepentingan umum untuk membuat keputusan atas
banyak pilihan, contohnya teknologi pengobatan. Ijma adalah kesepakatan yang ditetapkan
oleh para ilmuwan empiris. Maqasid as syari’ah adalah alat konsep untuk menyeimbangakan
penggunaan S&T. Qawaid as syari’ah adalah aksioma yang menyederhanakan operasi logika
kompleks dengan membangun aksioma tanpa melewati derivasi detail.
2.4 Kritik Islami Mengenai Metode Empiris, naqd al manhaj al tajribi
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights
4
Dengan alat metodologis berupa Al Qur’an dan Sains Islam klasik, umat Muslim
mengembangkan sebuah metodologi empiris dan induktif baru dalam bentuk qiyaas usuuli
dan juga mengawali metode empiris dengan eksperimen dan pengamatan sistematis, seperti
yang dicontohkan oleh hasil kerja Ibn Hazm tentang mata. Mereka mengkritik metodologi
Yunani Kuno adalah metodologi yang abstrak, hipotetis, meremehkan pengetahuan mudah,
dan berdasarkan logika deduktif. Mereka menerima metode ilmiah Eropa dari pembentukan
dan pengujian hipotesis, tetapi menolak asumsi filosofisnya: materialisme, pragmatisme,
atheisme, penolakan wahyu sebagai sumber pengetahuan, kekurangseimbangan, penolakan
dualitas raga dan jiwa, kurangnya manfaat manusia, kurangnya penyatuan paradigma seperti
tauhid, dan menjadi Euro-centric (condong ke Eropa) dan tidak menyeluruh. Orang-orang
Eropa menyatakan metodologinya akan lebih terbuka, akurat, tepat, objektif, dan netral
secara moral, tetapi hanya sebatas pengamatan dan tidak dipraktekkan. Dengan angkuhnya,
hal tersebut dianggap sebagai kemungkinan absolut dan pengetahuan empiris yang relative
berdasar pada kelemahan pengamatan dan interpretasi manusia.
3.0 KRISIS PENGETAHUAN dan PENDIDIKAN, azmat al ma’arifat wa al ta’aliim
3.1 Manifestasi Krisis
Ada anggapan pemisahan antara uluum al diin dan uluum al dunia . Perhatian terhadap
terhadap beasiswa sangatlah kecil. Kekayaan dan kekuasaan dianggap lebih penting dari
beasiswa. Ada banyak hal yang dilalaikan oleh sains empiris. Terdapat dikotomi dalam
sistem pendidikan: Islam Tradisional vs. Eropa, ulum al diin vs ulum al dunia. Integrasi dari
2 sistem itu sangat sulit atau bahkan telah gagal karena bersifat mekanis bukan konseptual.
Proses sekulerisasi dalam pendidikan telah menggeser dimensi moral dari pendidikan dan
merusak tujuan pendidikan Islami untuk mencipatakan individu yang utuh dan sempurna,
insan kaamil. Kegagalan otak Negara-negara Islam telah bercampur aduk menjadi krisis
pendidikan.
3.2 Ketidakberdayaan Umat karena Krisis Ilmu Pengetahuan
Kurangnya pengetahuan dan kelemahan intelektual adalah wujud nyata yang paling
signifikan dari keterbelakangan ummat. Krisis intelektual ummat diperparah oleh peniruan
dan penggunaan ide-ide serta konsep asing yang disusun secara buruk. Rasulullah
memperingatkan umat tentang fenomena lubang kadal (lizard-hole) di mana ummat nantinya
akan mengikuti / mengekor musuhnya tanpa bertanya, bagai kadal menuju lubangnya.
Contoh-contoh wujud ketidakberdayaan ummat adalah berupa kemiskinan, kelemahan
politik, ketergantungan ekonomi, kelemahan militer, ketergantungan pada iptek, dan
pengikisan identitas keIslaman dalam gaya hidup.
3..3 Latar Belakang Sejarah
Generasi Rasulullah saw adalah generasi yang terbaik. Guru terbaik bertemu dengan murid
terbaik dan menghasilkan kesempurnaan. Para Shahabat memiliki pengetahuan dan
pemahaman yang luar biasa. Benih dari krisis yang sedang terjadi akhir-akhir ini muncul
sejak akhir khilafat rashidat. Serangan sosial dan politik meruntuhkan khilafat rashidat dan
prinsip-prinsip ideal yang merepresentasikannya dihentikan atau bahkan diganti. Kenudian,
ajaran ulama dan opini pemimpin yang melanjutkan perjuangan kebenaran prinsip-prinsip
Islam dibatasi dan dipenjara. Stagnansi intelektual mulai muncul. Proses sekularisasi Negara
Muslim mengalami kemajuan. Kelalaian dan buta huruf yang tersebar luas menjadi hal biasa.
Banyak ide dan fakta dari kaum non-Muslim tanpa bukti yang bisa dipercaya telah
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights
5
menemukan jalan mereka merasuki warisan intelektual dan agama ummat, hingga
menciptakan krisis intelektual yang semakin bertambah parah.
4.0 LANGKAH AWAL MENUJU REFORMASI EPISTEMOLOGIS
4.1 Pengetahuan, sebuah Syarat Wajib untuk tajdid
Reformasi dan kebangkitan ummat akan terjadi melalui reformasi pendidikan dan
pengetahuan. Tajdid adalah sebuah fenomena penyelamatan ummat sekaligus menjadi tanda
sehat dan dinamisnya ummat ini. Hal tersebut merupakan karakteristik dasar ummat masa
reformasi/kebangkitan yang menggeser masa kemunduran ke zaman jahiliyah. Tajdid
mensyaratkan pengetahuan, ide-ide dan tindakan yang dirumuskan dengan persamaan
matematika berikut ini: tajdid = ide + tindakan. Tindakan tanpa pengetahuan dan akal yang
dibimbing tidak akan membawa perubahan yang baik. Gagasan tanpa tindakan tidak akan
merubah apapun. Tajdid mensyaratkan dan diikuti oleh sebuah reformasi ilmu pengetahuan
untuk menyediakan gagasan dan motivasi untuk membangun. Semua reformasi sosial yang
sukses dimulai dengan perubahan ilmu pengetahuan. Masyarakat ideal tidak bisa diciptakan
tanpa ada dasar pengetahuan. Dasar pengetahuan harus benar, relevan, dan bermanfaat.
Sejarah pergerakan kebangkitan Muslim yang sukses selalu dipimpin oleh para akademisi.
4.2 Sebuah Strategi Pengetahuan Baru, nahwa istratijiyyat ma’arifiyyat jadiidat
Umat Muslim merupakan aset ekonomi dan politik yang mempunyai potensi besar namun
belum terealisasi. Perkembangan tajdid modern memiliki banyak kelebihan, tetapi juga
mempunyai kekurangan dasar yang harus diperbaiki. Krisis pengetahuan dan intelektual
masih menjadi sebuah penghalang. Pergerakan reformasi yang tidak diarahkan oleh
pengetahuan dan pemahaman yang benar akan lenyap dan gagal atau disingkirkan dari jalan
mereka. Perubahan sosial menuntut adanya perubahan perilaku, nilai, kepercayaan dan
tingkah laku dari sebuah massa kritis dalam populasi. Perilaku, nilai, kepercayaan dan
tingkah laku ditentukan oleh dasar pengetahuan. Visi dari strategi pengetahuan adalah
seorang manusia yang kokoh mengenal Sang Penciptanya, memahami kedudukannya,
perannya, haknya, dan kewajibannya dalam tata alam semesta (cosmic order). Misi dari
strategi pengetahuan adalah transformasi konseptual sistem pendidikan dari TK hingga
pendidikan pasca sarjana yang mencerminkan tauhid, nilai moral yang positif, obyektivitas,
universalitas, dan menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan.
4.3 Menuju ke Arah Metodologi Islam, nahwa manhajiyyat ‘ilmiyyat islamiyyat
Tauhid yang universal, objektif, dan metodologi yang jelas harus menggantikan Eropa-sentris
dan konteks filosofi yang bias/semu, bukan metode praktis experimental. Aturan-aturan dari
ilmu tauhid adalah: persatuan pengetahuan, menyeluruh; hubungan sebab akibat adalah dasar
dari tindakan manusia, pengetahuan manusia yang terbatas, investigasi hubungan sebab
akibat yang didasarkan pada hukum alam yang konstan dan sesuai, harmoni antara yang
terlihat dan tidak terlihat, 3 sumber pengetahuan (wahyu, akal, dan pengamatan empiris);
khilafat; akuntabilitas moral; makhluk dan ciptaanNya mempunyai tujuan, kebenaran adalah
mutlak dan relatif, keinginan bebas manusia adalah dasar dari akuntabilitas, dan tawakal.
5.0 REFORMASI EPISTEMOLOGI : KONSEP & PRAKTEK
5.1 Konsep Reformasi:
Reformasi pengetahuan adalah sebuah proses pemilihan kembali kumpulan pengetahuan
manusia agar sesuai dengan kepercayaan dasar dari ‘aqidat al tauhid. Proses reformasi bukan
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights
6
untuk penemuan kembali roda pengetahuan, tetapi untuk perubahan, perbaikan, dan
reorientasi. Hal ini bersifat evolutif, bukan revolutif; serta bersifat korektif dan reformatif.
Ini adalah langkah awal dalam sistem pendidikan sebagai awal untuk memperbaiki
masyarakat.
5.2 Sejarah reformasi
Abad 2-3 H menjadi saksi kegagalan usaha transfer pengetahuan. Pengetahuan ilmiah Yunani
disalurkan kepada kamu Muslim bersamaan dengan filosofi Yunani dan pemikiran yang
menyebabkan kebingungan dalam aqidah. Ilmu Yunani lebih bergantung pada deduksi
filosofikal dari pada induksi yang berdasarkan eksperimen. Hal ini tidak menguatkan tarbiyat
ilmiah dari Al Qur’an yang menegaskan observasi akan hakikat sebagai dasar untuk
mengambil kesimpulan. Pergerakan reformasi pengetahuan yang terbaru pada akhir abad 14
H bertujuan pada pendirian sebuah sitem pendidikan yang berdasarkan tauhid.
5.3 Reformasi Disiplin ilmu:
Reformasi harus mulai dengan menata ulang epistemology, metodologi, dan kumpulan
pengetahuan dari setiap disiplin ilmu. Harus pro-aktif, akademik, metodologis, obyektif dan
praktis. Visinya adalah pengetahuan yang objektif, umum dan bermanfaat dalam konteks
interaksi manusia yang harmonis dengan llingkungan fisik, sosial, dan spiritual. Misi
praktisnya adalah transformasi paradigma, metodologis, dan penggunaan disiplin ilmu
pengetahuan yang sesuai dengan tauhid. Tujuan langsungnya adalah: (a) perbaikan
paradigma disiplin ilmu yang ada untuk merubah mereka dari sebatas ritual sempit menjadi
bertujuan luas (obyektivitas universal) , (b) rekonstruksi paradigma yang menggunakan
pedoman yang objektif dan universal, (c) Klasifikasi kembali disiplin untuk mencerminkan
nilai tauhid yang universal, (d) perbaikan metodologi penelitian agar menjadi objektif,
bermanfaat, dan mudah dipahami (e) pertumbuhan pengetahuan dengan penelitian, dan (f)
menanamkan aplikasi pengetahuan yang benar secara moral. Al Qur’an memberikan prinsip
umum yang membangun objektivitas dan melawanan metodologi penelitian yang tidak jelas.
Hal ini menciptakan cara pandang dunia yang memperkuat penelitian untuk memperpanjang
batas pengetahuan dan pemanfaatannya bagi seluruh alam semesta. Ilmuwan didorong untuk
bekerja dengan parameter Al Qur’an untuk memperluas batas pengetahuan melalui
penelitian, dasar, aplikasi.
5.4 Kesalahpahaman Mengenai Proses Reformasi
Reformasi telah salah dipahami sebagai bentuk penolakan dari sekumpulan pengetahuan dan
disiplin manusia yang sudah ada. Kesalahpahaman ini sebagai wujud sempitnya pengetahuan
kaum Muslim. Anggapan salah tersebut dikarenakan buku-buku teks yang ada ditulis kembali
dengan tema Islami tanpa pemikiran yang mendalam tentang paradigma dan metodologi. Hal
ini juga memenjarakan reformasi spiritual para pelajar, para akademik, dan peneliti.
Pendekatan luar berikut ini telah dicoba untuk reformasi dan gagal: Menyisipkan ayat Al
Qur’an dan Al hadist dalam tulisan orang-orang Eropa dan sebaliknya, pencarian fakta ilmiah
dari Al Qur’an, pencarian bukti Al Qur’an dari fakta ilmiah, memperlihatkan mukjizat Al
Qur’an, pencarian hubungan antara konsep Islam dan Eropa, penggunaan Islam dalam
terminologi / istilah-istilah Eropa, dan penambahan gagasan untuk kumpulan ilmu
pengetahuan Eropa.
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights
7
5.5 Langkah-langkah Praktis / Tugas dari Proses Reformasi:
Langkah pertama adalah sebuah membuat pondasi yang baik dalam ilmu Islam metodologis
usul al fiqh, ‘uluum al Qur’an, ulum al hadith, dan ‘uluum al llughat. Diikuti dengan
membaca Al Qur’an dan sunnah dengan pemahaman perubahan dimensi ruang dan waktu.
Diikuti dengan klarifikasi masalah-masalah epistemologi dasar dan hubungan-hubungan:
wahyu dan akal, gaib dan shahada, ilmu dan iman. Diikuti oleh sebuah kritik Islami dari
paradigma dasar, asumsi-asumsi dasar, dan konsep dasar dari berbagai disiplin ilmu yang
menggunakan kriteria metodologi dan epistemologi Islami. Penilaian Islami atas buku-buku
teks dan materi pengajaran yang sudah ada, kemudian berusaha mengidentifikasi pahampaham
yang menyimpang dari pengertian dasar tauhid dan metodologi Islami.
Hasil awal dari proses reformasi adalah pengenalan Islam dalam disiplin ilmu, muqaddimat
al ‘uluum, pembangunan prinsip-prinsip dasar Islam dan paradigma yang menentukan dan
mengatur metodologi, isi, dan pengajaran disiplin ilmu. Hal ini berhubungan dengan
‘Introduction to History’ milik Ibn Khaldun, muqaddimat mempresentasikan penyamaan dan
konsep metodologis dalam peristiwa bersejarah. Publikasi dan penilaian buku-buku teks baru
dan pengajaran material lainnya adalah sebuah langkah yang penting dalam reformasi,
dengan menyerahkannya di tangan para pengajar dan pelajar yang telah mengaalami
reformasi. Pengembangan pengetahuan dasar yang teraplikasi dalam IPTEK akan menjadi
tahap terakhir dari proses reformasi, karena pada akhirnya yang jelas-jelas membawa
perubahan dalam masyarakat adalah IPTEK.
6.0 REFORMASI DALAM DISIPLIN-DISIPLIN KHUSUS
6.1 Apa yang Dibutuhkan?
6.1.1 Definisi dan klasifikasi
6.1.2 Pengembangan bersejarah
6.1.3 Metode penelitian
6.1.4 Kritik Epistemologis Islami atas konsep dasar dan paradigma
6.1.5 Pengenalan Epistemologis Islami pada disiplin ilmu
6.2 Reformasi Seni, islaah al funuun
6.2.1 Seni berbahasa.
6.2.2 Fine arts
6.2.3 Musik
6.2.4 Drama
6.2.5 Kerajinan Tangan
6.3 Reformasi Ilmu Pengetahuan yang Menyangkut Kehidupan
6.3.1 Penelitian organisme: biologi, zoologi, botani, ekologi, taksonomi, mikrobiologi, dan
parasitologi
6.3.2 Penelitian struktur: anatomi, histologi, dan embriologi
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights
8
6.3.3 Penelitian fungsi: biokimia, biofisika, fisiologi, dan pharmacologi
6.3.5 Penelitian penyakit dan pengobatanya: pathologi, farmasi, pediatrics, pengobatan
dalam, psikiatri, dan ilmu bedah
6.4 Reformasi Ilmu Fisik
6.4.1 Ilmu Matematika
6.4.2 Fisika
6.4.3 Kimia
6.4.4 Astronomi
6.4.5 Ilmu Bumi
6.4.6 Arkeologi
6.4.7 Geografi
6.4..8 Kependudukan
6.4.9 Anthropologi Fisik
6.4.10 Mesin
6.4.11 Arsitektur
6.5 Reformasi Ilmu Sosial, islaah al ‘uluum al ijtima’iyyat
6.5.1 Ekonomi
6.5.2 Ilmu Politik
6.5.3 Hukum
6.5.4 Sosiologi
6.5.5 Psikologi
6.5.6 Antropologi Budaya
6.5.7 Sejarah
6.9 Reformasi Disiplin yang Berhubungan dengan Keuangan
6.9.1 Perbankan
6.9.2 Keuangan
6.9.3 Akuntansi
6.9.4 Administrasi Bisnis
6.9.5 Manajemen
6.10 Reformasi Disiplin yang Berhubungan dengan Kepentingan Umum
© Profesor Omar Hasan Kasule Sr. January 2009 Republished by Unismuh on Kasule`s copyrights
9
6.10.1 Administrasi Publik
6.10..2 Hubungan Internasional
6.10.3 Hukum
6.11 DISIPLIN ISLAM KLASIK
6.1.1 Mungkin tampak mengejutkan bahwa beberapa ilmu Islam klasik yang didasarkan pada
wahyu juga membutuhkan analisis epistemologis. Bentuk ilmu ini di masa mereka telah
dipengaruhi oleh paradigma eksternal dan filosofi yang telah masuk perlahan-lahan ke dalam
mereka dan menciptakan bias-bias epistemologi yang membutuhkan perbaikan. Selain biasbias
itu, kita perlu melakukan formulasi ulang dimensi ruang dan waktu dalam ilmu-ilmu ini
dengan memisahkan komponen tetap (konstan) yang tidak berubah dari komponen tidak tetap
(variabel) sebagaimana membuat formulasi bagaimana komponen tidak tetap (variabel) dapat
menyesuaikan perubahan waktu dan faktor tempat.
6.1.2 Pertimbangan faktor ruang dan waktu dibutuhkan dalam uluum al Qur;an dan‘uluum al
hadiith. Fiqh dan usul al fiqh memiliki masalah sama yang timbul dari pemahaman harfiah
syari’at yang sempit dan perbedaan fiqih telah memecah belah umat pada masa lalu ke dalam
banyak masalah. Jika penyebabnya adalah fiqih, solusinya akan bisa ditemukan dalam fiqih.
Kita perlu meninjau kembali masyarakat dari general bird eye view yang menggunakan
tujuan-tujuan hukum yang lebih tinggi, maqasid as syari’ah, setelah itu kita akan mampu
membuat banyak kemajuan.
BAB I
PENGETAHUAN DENGAN ILMU PENGETAHUAN
TELAAH FILOSOFIS
1. FILSAFAT DAN FILSAFAT ILMU PENGETAHUAN
Sebelum Metode Penelitian dengan pendekatan Kualitatif atau Metode Penelitian Kualitatif, akan diuraikan terlebih dahulu apa Perbedaan Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science) dengan Pengetahuan (Knowledge). Mengapa demikian ? Kedua metode Penelitian baik kuantitatif maupun kualitatif digunakan untuk mengembangkan Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science). Oleh karena itu perlu diketahui terlebih dahulu apa itu Ilmu Pengetahuan Ilmiah dan perbedaanya dengan Pengetahuan. Dengan dipahaminya Ilmu Pengetahuan Ilmiah akan mempermudah memahami Metode Penelitian Ilmiah dan kaitan antara keduanya. Berikut ini akan disinggung sedikit tentang Filsafat dan perbedaannya dengan Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Secara singkat dapat dikatakan Filsafat adalah refleksi kritis yang radikal. Refleksi adalah upaya memperoleh pengetahuan yang mendasar atau unsur-unsur yang hakiki atau inti. Apabila ilmu pengetahuan mengumpulkan data empiris atau data fisis melalui observasi atau eksperimen, kemudian dianalisis agar dapat ditemukan hukum-hukumnya yang bersifat universal. Oleh filsafat hukum-hukum yang bersifat universal tersebut direfleksikan atau dipikir secara kritis dengan tujuan untuk mendapatkan unsur-unsur yang hakiki, sehingga dihasilkan pemahaman yang mendalam. Kemudian apa perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Filsafat. Apabila ilmu pengetahuan sifatnya taat fakta, objektif dan ilmiah, maka filsafat sifatnya mempertemukan berbagai aspek kehidupan di samping membuka dan memperdalam pengetahuan. Apabila ilmu pengetahuan objeknya dibatasi, misalnya Psikologi objeknya dibatasi pada perilaku manusia saja, filsafat objeknya tidak dibatasi pada satu bidang kajian saja dan objeknya dibahas secara filosofis atau reflektif rasional, karena filsafat mencari apa yang hakikat. Apabila ilmu pengetahuan tujuannya memperoleh data secara rinci untuk menemukan pola-polanya, maka filsafat tujuannya mencari hakiki, untuk itu perlu pembahasan yang mendalam. Apabila ilmu pengetahuannya datanya mendetail dan akurat tetapi tidak mendalam, maka filsafat datanya tidak perlu mendetail dan akurat, karena yang dicari adalah hakekatnya, yang penting data itu dianalisis secara mendalam.
Persamaan dan perbedaan antara Filsafat dan Agama adalah sebagai berikut. Persamaan antara Filsafat dan Agama adalah semuanya mencari kebenaran. Sedang perbedaannya Filsafat bersifat rasional yaitu sejauh kemampuan akal budi, sehingga kebenaran yang dicapai bersifat relatif. Agama berdasarkan iman atau kepercayaan terhadap kebenaran agama, karena merupakan wahyu dari Tuhan YME, dengan demikian kebenaran agama bersifat mutlak.
Kajian filsafat meliputi ruang lingkup yang disusun berdasarkan pertanyaan filsuf terkenal Immanuel Kant sebagai berikut:
1) Apa yang dapat saya ketahui (Was kan ich wiesen)
Pertanyaan ini mempunyai makna tentang batas mana yang dapat dan mana yang tidak dapat diketahui. Jawaban terhadap pertanyaan ini adalah suatu fenomena. Fenomena selalu dibatasi oleh ruang dan waktu. Hal ini menjadi dasar bagi Epistomologi. Eksistensi Tuhan bukan merupakan kajian Epistomologi karena berada di luar jangkauan indera. Bahan kajian Epistomologi adalah yang berada dalam jangkauan indera. Kajian Epistomologi adalah fenomena sedang eksistensi Tuhan merupakan objek kajian Metafisika. Epistomologi meliputi: Logika Pengetahuan (Knowledge), Ilmu Pengetahuan Ilmiah (Science) dan Metodologi.
2) Apa yang harus saya lakukan (Was soll ich tun)
Pertanyaan ini mempersoalkan nilai (values), dan disebut Axiologi, yaitu nilai-nilai apa yang digunakan sebagai dasar dari perilaku. Kajian Axiologi meliputi Etika atau nilai-nilai keutamaan atau kebaikan dan Estetika atau nilai-nilai keindahan.
3) Apa yang dapat saya harapkan (Was kan ich hoffen)
Pengetahuan manusia ada batasnya. Apabila manusia sudah sampai batas pengetahuannya, manusia hanya bisa mengharapkan. Hal ini berkaitan dengan being, yaitu hal yang ”ada”, misalnya permasalahan tentang apakah jiwa manusia itu abadi atau tidak, apakah Tuhan itu ada atau tidak. Pertanyaan-pertanyaan tersebut tidak terjawab oleh Ilmu Pengetahuan Ilmiah, tetapi oleh Religi. Refleksi tentang Being terbagi lagi menjadi dua, yaitu Ontologi yaitu struktur segala yang ada, realitas, keseluruhan objek-objek yang ada, dan Metafisika yaitu hal-hal yang berada di luar jangkauan indera, misalnya jiwa dan Tuhan.
Bidang-bidang kajian Filsafat, apabila digambarkan adalah sebagaimana bagan berikut:
Selanjutnya akan dibahas salah satu bidang kajian Filsafat, yaitu Filsafat Ilmu Pengetahuan, karena bidang ini membahas hakekat ilmu pengetahuan ilmiah (science). Hakekat ilmu pengetahuan dapat ditelusuri dari 4 (empat) hal, yaitu:
1) Sumber ilmu pengetahuan itu dari mana.
Sumber ilmu pengetahuan mempertanyakan dari mana ilmu pengetahuan itu diperoleh. Ilmu pengetahuan diperoleh dari pengalaman (emperi) dan dari akal (ratio). Sehingga timbul faham atau aliran yang disebut empirisme dan rasionalisme. Aliran empirisme yaitu faham yang menyusun teorinya berdasarkan pada empiri atau pengalaman. Tokoh-tokoh aliran ini misalnya David Hume (1711-1776), John Locke (1632-1704), Berkley. Sedang rasionalisme menyusun teorinya berdasarkan ratio. Tokoh-tokoh aliran ini misalya Spinoza, Rene Descartes. Metode yang digunakan aliran emperisme adalah induksi, sedang rasionalisme menggunakan metode deduksi. Immanuel Kant adalah tokoh yang mensintesakan faham empirisme dan rasionalisme.
2) Batas-batas Ilmu Pengetahuan.
Menurut Immanuel Kant apa yang dapat kita tangkap dengan panca indera itu hanya terbatas pada gejala atau fenomena, sedang substansi yang ada di dalamnya tidak dapat kita tangkap dengan panca indera disebut nomenon. Apa yang dapat kita tangkap dengan panca indera itu adalah penting, pengetahuan tidak sampai disitu saja tetapi harus lebih dari sekedar yang dapat ditangkap panca indera.
Yang dapat kita ketahui atau dengan kata lain dapat kita tangkap dengan panca indera adalah hal-hal yang berada di dalam ruang dan waktu. Yang berada di luar ruang dan waktu adalah di luar jangkauan panca indera kita, itu terdiri dari 3 (tiga) ide regulatif: 1) ide kosmologis yaitu tentang semesta alam (kosmos), yang tidak dapat kita jangkau dengan panca indera, 2) ide psikologis yaitu tentang psiche atau jiwa manusia, yang tidak dapat kita tangkap dengan panca indera, yang dapat kita tangkap dengan panca indera kita adalah manifestasinya misalnya perilakunya, emosinya, kemampuan berpikirnya, dan lain-lain, 3) ide teologis yaitu tentang Tuhan Sang Pencipta Semesta Alam.
3) Strukturnya.
Yang ingin mengetahui adalah subjek yang memiliki kesadaran. Yang ingin kita ketahui adalah objek, diantara kedua hal tersebut seakan-akan terdapat garis demarkasi yang tajam. Namun demikian sebenarnya dapat dijembatani dengan mengadakan dialektika. Jadi sebenarnya garis demarkasi tidak tajam, karena apabila dikatakan subjek menghadapi objek itu salah, karena objek itu adalah subjek juga, sehingga dapat terjadi dialektika.
4) Keabsahan.
Keabsahan ilmu pengetahuan membahas tentang kriteria bahwa ilmu pengetahuan itu sah berarti membahas kebenaran. Tetapi kebenaran itu nilai (axiologi), dan kebenaran itu adalah suatu relasi. Kebenaran adalah kesamaan antara gagasan dan kenyataan. Misalnya ada korespondensi yaitu persesuaian antara gagasan yang terlihat dari pernyataan yang diungkapkan dengan realita.
Terdapat 3 (tiga) macam teori untuk mengungkapkan kebenaran, yaitu:
a) Teori Korespondensi, terdapat persamaan atau persesuaian antara gagasan dengan kenyataan atau realita.
b) Teori Koherensi, terdapat keterpaduan antara gagasan yang satu dengan yang lain. Tidak boleh terdapat kontradiksi antara rumus yang satu dengan yang lain.
c) Teori Pragmatis, yang dianggap benar adalah yang berguna. Pragmatisme adalah tradisi dalam pemikiran filsafat yang berhadapan dengan idealisme, dan realisme. Aliran Pragmatisme timbul di Amerika Serikat. Kebenaran diartikan berdasarkan teori kebenaran pragmatisme.
Untuk mengetahui penerapan 3 (tiga) macam teori tersebut pada bidang apa, periksa skema berikut ini.
Ilmu-ilmu Formal Ilmu-ilmu Empiris Induktif Ilmu-ilmu Terapan
Deduktif:
Logika
Matematika Alam
unorganik:
karang, batu, air. Hayati:
Kehidupan Sosial:
Manusia ber masyarakat Budaya:
Manusia dengan ekspresinya
Ukuran kebenaran Koherensi
menghadapi rumusan-rumusan yang tidak boleh kontradiksi satu sama lain
Ukuran kebenaran Korespondensi
kesesuaian antara gagasan dengan realita/antara gagasan dengan fakta.
Pragmatis
apa yang bermanfaat itu benar.
Gambar 4: Penerapan Teori Korespondensi, Koherensi dan Pragmatis.
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.
Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Filsafat Ilmu Pengetahuan merupakan cabang filsafat yang menelaah baik ciri-ciri ilmu pengetahuan ilmiah maupun cara-cara memperoleh ilmu pengetahuan ilmiah. Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan Ilmiah adalah sebagai berikut:
1) Sistematis.
Ilmu pengetahuan ilmiah bersifat sistematis artinya ilmu pengetahuan ilmiah dalam upaya menjelaskan setiap gejala selalu berlandaskan suatu teori. Atau dapat dikatakan bahwa teori dipergunakan sebagai sarana untuk menjelaskan gejala dari kehidupan sehari-hari. Tetapi teori itu sendiri bersifat abstrak dan merupakan puncak piramida dari susunan tahap-tahap proses mulai dari persepsi sehari-hari/ bahasa sehari-hari, observasi/konsep ilmiah, hipotesis, hukum dan puncaknya adalah teori.
Ciri-ciri yang sistematis dari ilmu pengetahuan ilmiah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
a) Persepsi sehari-hari (bahasa sehari-hari).
Dari persepsi sehari-hari terhadap fenomena atau fakta yang biasanya disampaikan dalam bahasa sehari-hari diobservasi agar dihasilkan makna. Dari observasi ini akan dihasilkan konsep ilmiah.
b) Observasi (konsep ilmiah).
Untuk memperoleh konsep ilmiah atau menyusun konsep ilmiah perlu ada definisi. Dalam menyusun definisi perlu diperhatikan bahwa dalam definisi tidak boleh terdapat kata yang didefinisikan. Terdapat 2 (dua) jenis definisi, yaitu: 1) definisi sejati, 2) definisi nir-sejati.
Definisi sejati dapat diklasifikasikan dalam:
1) Definisi Leksikal. Definisi ini dapat ditemukan dalam kamus, yang biasanya bersifat deskriptif.
2) Definisi Stipulatif. Definisi ini disusun berkaitan dengan tujuan tertentu. Dengan demikian tidak dapat dinyatakan apakah definisi tersebut benar atau salah. Benar atau salah tidak menjadi masalah, tetapi yang penting adalah konsisten (taat asas). Contoh adalah pernyataan dalam Akta Notaris: Dalam Perjanjian ini si A disebut sebagai Pihak Pertama, si B disebut sebagai Pihak Kedua.
3) Definisi Operasional. Definisi ini biasanya berkaitan dengan pengukuran (assessment) yang banyak dipergunakan oleh ilmu pengetahuan ilmiah. Definisi ini memiliki kekurangan karena seringkali apa yang didefinisikan terdapat atau disebut dalam definisi, sehingga terjadi pengulangan. Contoh: ”Yang dimaksud inteligensi dalam penelitian ini adalah kemampuan seseorang yang dinyatakan dengan skor tes inteligensi”.
4) Definisi Teoritis. Definisi ini menjelaskan sesuatu fakta atau fenomena atau istilah berdasarkan teori tertentu. Contoh: Untuk mendefinisikan Superego, lalu menggunakan teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud.
Definisi nir-sejati dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu:
1) Definisi Ostensif. Definisi ini menjelaskan sesuatu dengan menunjuk barangnya. Contoh: Ini gunting.
2) Definisi Persuasif. Definisi yang mengandung pada anjuran (persuasif). Dalam definisi ini terkandung anjuran agar orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Contoh: ”Membunuh adalah tindakan menghabisi nyawa secara tidak terpuji”. Dalam definisi tersebut secara implisit terkandung anjuran agar orang tidak membunuh, karena tidak baik (berdosa menurut Agama apapun).
c) Hipotesis
Dari konsep ilmiah yang merupakan pernyataan-pernyataan yang mengandung informasi, 2 (dua) pernyataan digabung menjadi proposisi. Proposisi yang perlu diuji kebenarannya disebut hipotesis.
d) Hukum
Hipotesis yang sudah diuji kebenarannya disebut dalil atau hukum.
e) Teori
Keseluruhan dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak bertentangan satu sama lain serta dapat menjelaskan fenomena disebut teori.
2) Dapat dipertanggungjawabkan.
Ilmu pengetahuan ilmiah dapat dipertanggungjawabkan melalui 3 (tiga) macam sistem, yaitu:
a) Sistem axiomatis
Sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu fenomena atau gejala sehari-hari mulai dari kaidah atau rumus umum menuju rumus khusus atau konkret. Atau mulai teori umum menuju fenomena/gejala konkret. Cara ini disebut deduktif-nomologis. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu-ilmu formal, misalnya matematika.
b) Sistem empiris
Sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu teori mulai dari gejala/ fenomena khusus menuju rumus umum atau teori. Jadi bersifat induktif dan untuk menghasilkan rumus umum digunakan alat bantu statistik. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu pengetahuan alam dan sosial.
c) Sistem semantik/linguistik
Dalam sistem ini kebenaran didapatkan dengan cara menyusun proposisi-proposisi secara ketat. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu bahasa (linguistik).
3) Objektif atau intersubjektif
Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat mandiri atau milik orang banyak (intersubjektif). Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat otonom dan mandiri, bukan milik perorangan (subjektif) tetapi merupakan konsensus antar subjek (pelaku) kegiatan ilmiah. Dengan kata lain ilmu pengetahuan ilmiah itu harus ditopang oleh komunitas ilmiah.
Cara Kerja Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Cara kerja Ilmu Pengetahuan Ilmiah untuk mendapatkan kebenaran oleh Karl Popper disebut Siklus Empiris, yang dapat digambarkan sebagai berikut:
Gambar 6: Siklus Empiris
Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan.
Pascasarjana Universitas Indonesia.
Keterangan Gambar:
Gambar dapat dibedakan menjadi 2 (dua) komponen, yaitu:
1) Komponen Informasi, yang terdiri dari:
a. Problem
b. Teori
c. Hipotesis
d. Observasi
e. Generalisasi Empiris
Komponen Informasi digambarkan dengan kotak.
2) Komponen langkah-langkah Metodologis, yang terdiri 6 (enam) langkah metodologis, yaitu:
a. Inferensi logis
b. Deduksi logis
c. Interpretasi, instrumentasi, penetapan sampel, penyusun skala.
d. Pengukuran, penyimpulan sampel, estimasi parameter.
e. Pengujian hipotesis.
f. Pembentukan konsep, pembentukan dan penyusunan proposisi.
Langkah Metodologis digambarkan dengan elips.
Penjelasan tentang langkah-langkah Metodologis adalah sebagai berikut:
a. Langkah pertama. Ada masalah yang harus dipecahkan. Seluruh langkah ini (5 langkah) oleh Popper disebut Epistomology Problem Solving. Untuk pemecahan masalah tersebut diperlukan kajian pustaka (inferensi logis) guna mendapatkan teori-teori yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah.
b. Langkah kedua. Selanjutnya dari teori disusun hipotesis. Untuk menyusun hipotesis diperlukan metode deduksi logis.
c. Langkah ketiga. Untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis perlu adanya observasi. Sebelum melakukan observasi perlu melakukan interpretasi teori yang digunakan sebagai landasan penyusunan hipotesis dalam penelitian adalah penyusunan kisi-kisi/dimensi-dimensi, kemudian penyusunan instrumen pengumpulan data, penetapan sampel dan penyusunan skala.
d. Langkah keempat. Setelah observasi, selanjutnya melakukan pengukuran (assessment), penetapan sampel, estimasi kriteria (parameter estimation). Langkah tersebut dilakukan guna mendapatkan generalisasi empiris (empirical generalization).
e. Langkah kelima. Generalisasi emperis tersebut pada hakekatnya merupakan hasil pembuktian hipotesis. Apabila hipotesis benar akan memperkuat teori (verifikasi). Apabila hipotesis tidak terbukti akan memperlemah teori (falsifikasi).
f. Langkah keenam. Hasil dari generalisasi empiris tersebut dipergunakan sebagai bahan untuk pembentukan konsep, pembentukan proposisi. Pembentukan atau penyusunan proposisi ini dipergunakan untuk memperkuat atau memantapkan teori, atau menyusun teori baru apabila hipotesis tidak terbukti.
2. BEDA ILMU PENGETAHUAN DAN PENGETAHUAN
a. Pendahuluan
Ilmu pengetahuan (science) mempunyai pengertian yang berbeda dengan pengetahuan (knowledge atau dapat juga disebut common sense). Orang awam tidak memahami atau tidak menyadari bahwa ilmu pengetahuan itu berbeda dengan pengetahuan. Bahkan mugkin mereka menyamakan dua pengertian tersebut. Tentang perbedaan antara ilmu pengetahuan dan pengetahuan akan dicoba dibahas disini.
Mempelajari apa itu ilmu pengetahuan itu berarti mempelajari atau membahas esensi atau hakekat ilmu pengetahuan. Demikian pula membahas pengetahuan itu juga berarti membahas hakekat pengetahuan. Untuk itu kita perlu memahami serba sedikit Filsafat Ilmu Pengetahuan. Dengan mempelajari Filsafat Ilmu Pengetahuan di samping akan diketahui hakekat ilmu pengetahuan dan hakekat pengetahuan, kita tidak akan terbenam dalam suatu ilmu yang spesifik sehingga makin menyempit dan eksklusif. Dengan mempelajari filsafat ilmu pengetahuan akan membuka perspektif (wawasan) yang luas, sehingga kita dapat menghargai ilmu-ilmu lain, dapat berkomunikasi dengan ilmu-ilmu lain. Dengan demikian kita dapat mengembangkan ilmu pengetahuan secara interdisipliner. Sebelum kita membahas hakekat ilmu pengetahuan dan perbedaannya dengan pengetahuan, terlebih dahulu akan dikemukakan serba sedikit tentang sejarah perkembangan ilmu pengetahuan.
b. Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Mempelajari sejarah ilmu pengetahuan itu penting, karena dengan mempelajari hal tersebut kita dapat mengetahui tahap-tahap perkembangannya. Ilmu pengetahuan tidak langsung terbentuk begitu saja, tetapi melalui proses, melalui tahap-tahap atau periode-periode perkembangan.
a) Periode Pertama (abad 4 sebelum Masehi)
Perintisan “Ilmu pengetahuan” dianggap dimulai pada abad 4 sebelum Masehi, karena peninggalan-peninggalan yang menggambarkan ilmu pengetahuan diketemukan mulai abad 4 sebelum Masehi. Abad 4 sebelum Masehi merupakan abad terjadinya pergeseran dari persepsi mitos ke persepsi logos, dari dongeng-dongeng ke analisis rasional. Contoh persepsi mitos adalah pandangan yang beranggapan bahwa kejadian-kejadian misalnya adanya penyakit atau gempa bumi disebabkan perbuatan dewa-dewa. Jadi pandangan tersebut tidak bersifat rasional, sebaliknya persepsi logos adalah pandangan yang bersifat rasional. Dalam persepsi mitos, dunia atau kosmos dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan magis, mistis. Atau dengan kata lain, dunia dijelaskan oleh faktor-faktor luar (eksternal). Sedang dalam persepsi rasional, dunia dianalisis dari faktor-faktor dalam (internal). Atau dengan kata lain, dunia dianalisis dengan argumentasi yang dapat diterima secara rasional atau akal sehat. Analisis rasional ini merupakan perintisan analisis secara ilmiah, tetapi belum dapat dikatakan ilmiah.
Pada periode ini tokoh yang terkenal adalah Aristoteles. Persepsi Aristoteles tentang dunia adalah sebagai berikut: dunia adalah ontologis atau ada (eksis). Sebelum Aristoteles dunia dipersepsikan tidak eksis, dunia hanya menumpang keberadaan dewa-dewa. Dunia bukan dunia riil, yang riil adalah dunia ide. Menurut Aristoteles, dunia merupakan substansi, dan ada hirarki substansi-substansi. Substansi adalah sesuatu yang mandiri, dengan demikian dunia itu mandiri. Setiap substansi mempunyai struktur ontologis. Dalam struktur ontologis terdapat 2 prinsip, yaitu: 1) Akt: menunjukkan prinsip kesempurnaan (realis); 2) Potensi: menunjukkan prinsip kemampuannya, kemungkinannya (relatif). Setiap benda sempurna dalam dirinya dan mempunyai kemungkinan untuk mempunyai kesempurnaan. Perubahan terjadi bila potensi berubah, dan perubahan tersebut direalisasikan.
Pandangan Aristoteles yang dapat dikatakan sebagai awal dari perintisan “ilmu pengetahuan” adalah hal-hal sebagai berikut:
1) Hal Pengenalan
Menurut Aristoteles terdapat dua macam pengenalan, yaitu: (1) pengenalan inderawi; (2) pengenalan rasional. Menurut Aristoteles, pengenalan inderawi memberi pengetahuan tentang hal-hal yang kongkrit dari suatu benda. Sedang pengenalan rasional dapat mencapai hakekat sesuatu, melalui jalan abstraksi.
2) Hal Metode
Selanjutnya, menurut Aristoteles, “ilmu pengetahuan” adalah pengetahuan tentang prinsip-prinsip atau hukum-hukum bukan objek-objek eksternal atau fakta. Penggunaan prinsip atau hukum berarti berargumentasi (reasoning). Menurut Aristoteles, mengembangkan “ilmu pengetahuan” berarti mengembangkan prinsip-prinsip, mengembangkan “ilmu pengetahuan” (teori) tidak terletak pada akumulasi data tetapi peningkatan kualitas teori dan metode. Selanjutnya, menurut Aristoteles, metode untuk mengembangkan “ilmu pengetahuan” ada dua, yaitu: (1) induksi intuitif yaitu mulai dari fakta untuk menyusun hukum (pengetahuan universal); (2) deduksi (silogisme) yaitu mulai dari pengetahuan universal menuju fakta-fakta.
b) Periode Kedua (abad 17 sesudah Masehi)
Pada periode yang kedua ini terjadi revolusi ilmu pengetahuan karena adanya perombakan total dalam cara berpikir. Perombakan total tersebut adalah sebagai berikut:
Apabila Aristoteles cara berpikirnya bersifat ontologis rasional, Gallileo Gallilei (tokoh pada awal abad 17 sesudah Masehi) cara berpikirnya bersifat analisis yang dituangkan dalam bentuk kuantitatif atau matematis. Yang dimunculkan dalam berfikir ilmiah Aristoteles adalah berpikir tentang hakekat, jadi berpikir metafisis (apa yang berada di balik yang nampak atau apa yang berada di balik fenomena).
Abad 17 meninggalkan cara berpikir metafisis dan beralih ke elemen-elemen yang terdapat pada sutau benda, jadi tidak mempersoalkan hakikat. Dengan demikian bukan substansi tetapi elemen-elemen yang merupakan kesatuan sistem. Cara berpikir abad 17 mengkonstruksi suatu model yaitu memasukkan unsur makro menjadi mikro, mengkonstruksi suatu model yang dapat diuji coba secara empiris, sehingga memerlukan adanya laboratorium. Uji coba penting, untuk itu harus membuat eksperimen. Ini berarti mempergunakan pendekatan matematis dan pendekatan eksperimental. Selanjutnya apabila pada jaman Aristoteles ilmu pengetahuan bersifat ontologis, maka sejak abad 17, ilmu pengetahuan berpijak pada prinsip-prinsip yang kuat yaitu jelas dan terpilah-pilah (clearly and distinctly) serta disatu pihak berpikir pada kesadaran, dan pihak lain berpihak pada materi. Prinsip jelas dan terpilah-pilah dapat dilihat dari pandangan Rene Descartes (1596-1650) dengan ungkapan yang terkenal, yaitu Cogito Ergo Sum, yang artinya karena aku berpikir maka aku ada. Ungkapan Cogito Ergo Sum adalah sesuatu yang pasti, karena berpikir bukan merupakan khayalan. Suatu yang pasti adalah jelas dan terpilah-pilah. Menurut Descartes pengetahuan tentang sesuatu bukan hasil pengamatan melainkan hasil pemeriksaan rasio (dalam Hadiwijono, 1981). Pengamatan merupakan hasil kerja dari indera (mata, telinga, hidung, dan lain sebagainya), oleh karena itu hasilnya kabur, karena ini sama dengan pengamatan binatang. Untuk mencapai sesuatu yang pasti menurut Descartes kita harus meragukan apa yang kita amati dan kita ketahui sehari-hari. Pangkal pemikiran yang pasti menurut Descartes dikemukakan melalui keragu-raguan. Keragu-raguan menimbulkan kesadaran, kesadaran ini berada di samping materi. Prinsip ilmu pengetahuan satu pihak berpikir pada kesadaran dan pihak lain berpijak pada materi juga dapat dilihat dari pandangan Immanuel Kant (1724-1808). Menurut Immanuel Kant ilmu pengetahuan itu bukan merupakan pangalaman terhadap fakta saja, tetapi merupakan hasil konstruksi oleh rasio.
Agar dapat memahami pandangan Immanuel Kant tersebut perlu terlebih dahulu mengenal pandangan rasionalisme dan empirisme. Rasionalisme mementingkan unsur-unsur apriori dalam pengenalan, berarti unsur-unsur yang terlepas dari segala pengalaman. Sedangkan empirisme menekankan unsur-unsur aposteriori, berarti unsur-unsur yang berasal dari pengalaman. Menurut Immanuel Kant, baik rasionalisme maupun empirisme dua-duanya berat sebelah. Ia berusaha menjelaskan bahwa pengenalan manusia merupakan keterpaduan atau sintesa antara unsur-unsur apriori dengan unsur-unsur aposteriori (dalam Bertens, 1975). Oleh karena itu Kant berpendapat bahwa pengenalan berpusat pada subjek dan bukan pada objek. Sehingga dapat dikatakan menurut Kant ilmu pengetahuan bukan hasil pengalaman saja, tetapi hasil konstruksi oleh rasio.
Inilah pandangan Rene Descartes dan Immanuel Kant yang menolak pandangan Aristoteles yang bersifat ontologis dan metafisis. Banyak tokoh lain yang meninggalkan pandangan Aristoteles, namun dalam makalah ini cukup mengajukan dua tokoh tersebut, kiranya cukup untuk menggambarkan adanya pemikiran yang revolusioner dalam perkembangan ilmu pengetahuan.
c. Perbedaan Ilmu Pengetahuan dengan Pengetahuan
Terdapat beberapa definisi ilmu pengetahuan, di antaranya adalah:
a) Ilmu pengetahuan adalah penguasaan lingkungan hidup manusia.
Definisi ini tidak diterima karena mencampuradukkan ilmu pengetahuan dan teknologi.
b) Ilmu pengetahuan adalah kajian tentang dunia material.
Definisi ini tidak dapat diterima karena ilmu pengetahuan tidak terbatas pada hal-hal yang bersifat materi.
c) Ilmu pengetahuan adalah definisi eksperimental.
Definisi ini tidak dapat diterima karena ilmu pengetahuan tidak hanya hasil/metode eksperimental semata, tetapi juga hasil pengamatan, wawancara. Atau dapat dikatakan definisi ini tidak memberikan tali pengikat yang kuat untuk menyatukan hasil eksperimen dan hasil pengamatan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
d) Ilmu pengetahuan dapat sampai pada kebenaran melalui kesimpulan logis dari pengamatan empiris.
Definisi ini mempergunakan metode induksi yaitu membangun prinsip-prinsip umum berdasarkan berbagai hasil pengamatan. Definisi ini memberikan tempat adanya hipotesa, sebagai ramalan akan hasil pengamatan yang akan datang. Definisi ini juga mengakui pentingnya pemikiran spekulatif atau metafisik selama ada kesesuaian dengan hasil pengamatan. Namun demikian, definisi ini tidak bersifat hitam atau putih. Definisi ini tidak memberi tempat pada pengujian pengamatan dengan penelitian lebih lanjut.
Kebenaran yang disimpulkan dari hasil pengamatan empiris hanya berdasarkan kesimpulan logis berarti hanya berdasarkan kesimpulan akal sehat. Apabila kesimpulan tersebut hanya merupakan akal sehat, walaupun itu berdasarkan pengamatan empiris, tetap belum dapat dikatakan sebagai ilmu pengetahuan tetapi masih pada taraf pengetahuan. Ilmu pengetahuan bukanlah hasil dari kesimpulan logis dari hasil pengamatan, namun haruslah merupakan kerangka konseptual atau teori yang memberi tempat bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang sama, dengan demikian diterima secara universal. Ini berarti terdapat adanya kesepakatan di antara para ahli terhadap kerangka konseptual yang telah dikaji dan diuji secara kritis atau telah dilakukan penelitian atau percobaan terhadap kerangka konseptual tersebut.
Berdasarkan pemahaman tersebut maka pandangan yang bersifat statis ekstrim, maupun yang bersifat dinamis ekstrim harus kita tolak. Pandangan yang bersifat statis ekstrim menyatakan bahwa ilmu pengetahuan merupakan cara menjelaskan alam semesta di mana kita hidup. Ini berarti ilmu pengetahuan dianggap sebagai pabrik pengetahuan. Sementara pandangan yang bersifat dinamis ekstrim menyatakan ilmu pengetahuan merupakan kegiatan yang menjadi dasar munculnya kegiatan lebih lanjut. Jadi ilmu pengetahuan dapat diibaratkan dengan suatu laboratorium. Bila kedua pandangan ekstrim tersebut diterima, maka ilmu pengetahuan akan hilang musnah, ketika pabrik dan laboratorium tersebut ditutup.
Ilmu pengetahuan bukanlah kumpulan pengetahuan semesta alam atau kegiatan yang dapat dijadikan dasar bagi kegiatan yang lain, tetapi merupakan teori, prinsip, atau dalil yang berguna bagi pengembangan teori, prinsip, atau dalil lebih lanjut, atau dengan kata lain untuk menemukan teori, prinsip, atau dalil baru. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan dapat didefinisikan sebagai berikut:
Ilmu pengetahuan adalah rangkaian konsep dan kerangka konseptual yang saling berkaitan dan telah berkembang sebagai hasil percobaan dan pengamatan yang bermanfaat untuk percobaan lebih lanjut (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995). Pengertian percobaan di sini adalah pengkajian atau pengujian terhadap kerangka konseptual, ini dapat dilakukan dengan penelitian (pengamatan dan wawancara) atau dengan percobaan (eksperimen).
Selanjutnya John Ziman menjelaskan bahwa definisi tersebut memberi tekanan pada makna manfaat, mengapa? Kesahihan gagasan baru dan makna penemuan eksperimen baru atau juga penemuan penelitian baru (menurut penulis) akan diukur hasilnya yaitu hasil dalam kaitan dengan gagasan lain dan eksperimen lain. Dengan demikian ilmu pengetahuan tidak dipahami sebagai pencarian kepastian, melainkan sebagai penyelidikan yang berhasil hanya sampai pada tingkat yang bersinambungan (Ziman J. dalam Qadir C.A., 1995).
Bila kita analisis lebih lanjut perlu dipertanyakan mengapa definisi ilmu pengetahuan di atas menekankan kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru, berarti juga menghasilkan penelitian baru yang pada gilirannya menghasilkan teori baru dan seterusnya – berlangsung tanpa berhenti. Mengapa ilmu pengetahuan tidak menekankan penerapannya? Seperti yang dilakukan para ahli fisika dan kimia yang hanya menekankan pada penerapannya yaitu dengan mempertanyakan bagaimana alam semesta dibentuk dan berfungsi? Bila hanya itu yang menjadi penekanan ilmu pengetahuan, maka apabila pertanyaan itu sudah terjawab, ilmu pengetahuan itu akan berhenti. Oleh karena itu, definisi ilmu pengetahuan tidak berorientasi pada penerapannya melainkan pada kemampuannya untuk menghasilkan percobaan baru atau penelitian baru, dan pada gilirannya menghasilkan teori baru.
Para ahli fisika dan kimia yang menekankan penerapannya pada hakikatnya bukan merupakan ilmu pengetahuan, tetapi merupakan akal sehat (common sense). Selanjutnya untuk membedakan hasil akal sehat dengan ilmu pengetahuan William James yang menyatakan hasil akal sehat adalah sistem perseptual, sedang hasil ilmu pengetahuan adalah sistem konseptual (Conant J. B. dalam Qadir C. A., 1995). Kemudian bagaimana cara untuk memantapkan atau mengembangkan ilmu pengetahuan? Berdasarkan definisi ilmu pengetahuan tersebut di atas maka pemantapan dilakukan dengan penelitian-penelitian dan percobaan-percobaan.
Perlu dipertanyakan pula bagaimana hubungan antara akal sehat yang menghasilkan perseptual dengan ilmu pengetahuan sebagai konseptual. Jawabannya adalah akal sehat yang menghasilkan pengetahuan merupakan premis bagi pengetahuan eksperimental (Conant, J.B. dalam Qadir C.A., 1995). Ini berarti pengetahuan merupakan masukan bagi ilmu pengetahuan, masukan tersebut selanjutnya diterima sebagai masalah untuk diteliti lebih lanjut. Hasil penelitian dapat berbentuk teori baru.
Sedangkan Ernest Nagel secara rinci membedakan pengetahuan (common sense) dengan ilmu pengetahuan (science).
Perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
1) Dalam common sense informasi tentang suatu fakta jarang disertai penjelasan tentang mengapa dan bagaimana. Common sense tidak melakukan pengujian kritis hubungan sebab-akibat antara fakta yang satu dengan fakta lain. Sedang dalam science di samping diperlukan uraian yang sistematik, juga dapat dikontrol dengan sejumlah fakta sehingga dapat dilakukan pengorganisasian dan pengklarifikasian berdasarkan prinsip-prinsip atau dalil-dalil yang berlaku.
2) Ilmu pengetahuan menekankan ciri sistematik.
Penelitian ilmiah bertujuan untuk mendapatkan prinsip-prinsip yang mendasar dan berlaku umum tentang suatu hal. Artinya dengan berpedoman pada teori-teori yang dihasilkan dalam penelitian-penelitian terdahulu, penelitian baru bertujuan untuk menyempurnakan teori yang telah ada yang berkaitan dengan masalah yang diteliti. Sedang common sense tidak memberikan penjelasan (eksplanasi) yang sistematis dari berbagai fakta yang terjalin. Di samping itu, dalam common sense cara pengumpulan data bersifat subjektif, karena common sense sarat dengan muatan-muatan emosi dan perasaan.
3) Dalam menghadapi konflik dalam kehidupan, ilmu pengetahuan menjadikan konflik sebagai pendorong untuk kemajuan ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan berusaha untuk mencari, dan mengintroduksi pola-pola eksplanasi sistematik sejumlah fakta untuk mempertegas aturan-aturan. Dengan menunjukkan hubungan logis dari proposisi yang satu dengan lainnya, ilmu pengetahuan tampil mengatasi konflik.
4) Kebenaran yang diakui oleh common sense bersifat tetap, sedang kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu diusik oleh pengujian kritis. Kebenaran dalam ilmu pengetahuan selalu dihadapkan pada pengujian melalui observasi maupun eksperimen dan sewaktu-waktu dapat diperbaharui atau diganti.
5) Perbedaan selanjutnya terletak pada segi bahasa yang digunakan untuk memberikan penjelasan pengungkapan fakta. Istilah dalam common sense biasanya mengandung pengertian ganda dan samar-samar. Sedang ilmu pengetahuan merupakan konsep-konsep yang tajam yang harus dapat diverifikasi secara empirik.
6) Perbedaan yang mendasar terletak pada prosedur.
Ilmu pengetahuan berdasar pada metode ilmiah. Dalam ilmu pengetahuan alam (sains), metoda yang dipergunakan adalah metoda pengamatan, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Sedang ilmu sosial dan budaya juga menggunakan metode pengamatan, wawancara, eksperimen, generalisasi, dan verifikasi. Dalam common sense cara mendapatkan pengetahuan hanya melalui pengamatan dengan panca indera.
Dari berbagai uraian berdasarkan pandangan tokoh-tokoh tersebut dapatlah dikatakan: ilmu pengetahuan adalah kerangka konseptual atau teori uang saling berkaitan yang memberi tempat pengkajian dan pengujian secara kritis dengan metode ilmiah oleh ahli-ahli lain dalam bidang yang sama, dengan demikian bersifat sistematik, objektif, dan universal.
Sedang pengetahuan adalah hasil pengamatan yang bersifat tetap, karena tidak memberikan tempat bagi pengkajian dan pengujian secara kritis oleh orang lain, dengan demikian tidak bersifat sistematik dan tidak objektif serta tidak universal.
d. Proses Terbentuknya Ilmu Pengetahuan
a) Syarat-syarat Ilmu Pengetahuan Ilmiah
Agar dapat diuraikan proses terbentuknya ilmu pengetahuan ilmiah, perlu terlebih dahulu diuraikan syarat-syarat ilmu pengetahuan ilmiah.
Menurut Karlina Supeli Laksono dalam Filsafat Ilmu Pengetahuan (Epsitomologi) pada Pascasarjana Universitas Indonesia tahun 1998/1999, ilmu pengetahuan ilmiah harus memenuhi tiga syarat, yaitu:
1) Sistematik; yaitu merupakan kesatuan teori-teori yang tersusun sebagai suatu sistem.
2) Objektif; atau dikatakan pula sebagai intersubjektif, yaitu teori tersebut terbuka untuk diteliti oleh orang lain/ahli lain, sehingga hasil penelitian bersifat universal.
3) Dapat dipertanggungjawabkan; yaitu mengandung kebenaran yang bersifat universal, dengan kata lain dapat diterima oleh orang-orang lain/ahli-ahli lain. Tiga syarat ilmu pengetahuan tersebut telah diuraikan secara lengkap pada sub bab di atas.
Pandangan ini sejalan dengan pandangan Parsudi Suparlan yang menyatakan bahwa Metode Ilmiah adalah suatu kerangka landasan bagi terciptanya pengetahuan ilmiah. Selanjutnya dinyatakan bahwa penelitian ilmiah dilakukan dengan berlandaskan pada metode ilmiah. Sedangkan penelitian ilmiah harus dilakukan secara sistematik dan objektif (Suparlan P., 1994). Penelitian ilmiah sebagai pelaksanaan metode ilmiah harus sestematik dan objektif, sedang metode ilmiah merupakan suatu kerangka bagi terciptanya ilmu pengetahuan ilmiah. Maka jelaslah bahwa ilmu pengetahuan juga mempersyaratkan sistematik dan objektif.
Sebuah teori pada dasarnya merupakan bagian utama dari metode ilmiah. Suatu kerangka teori menyajikan cara-cara mengorganisasikan dan menginterpretasi-kan hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya. Jadi peranan metode ilmiah adalah untuk menghubungkan penemuan-penemuan ilmiah dari waktu dan tempat yang berbeda. Ini berarti peranan metode ilmiah melandasi corak pengetahuan ilmiah yang sifatnya akumulatif. Dari uraian tersebut di atas dapatlah dikatakan bahwa proses terbentuknya ilmu pengetahuan ilmiah melalui metode ilmiah yang dilakukan dengan penelitian-penelitian ilmiah.
Pembentukan ilmu pengetahuan ilmiah pada dasarnya merupakan bagian yang penting dari metode ilmiah. Suatu ilmu pengetahuan ilmiah menyajikan cara-cara pengorganisasian dan penginterpretasian hasil-hasil penelitian, dan menghubungkannya dengan hasil-hasil penelitian yang dibuat sebelumnya oleh peneliti lain. Ini berarti bahwa ilmu pengetahuan ilmiah merupakan suatu proses akumulasi dari pengetahuan. Di sini peranan metode ilmiah penting yaitu menghubungkan pengetahuan-pengetahuan ilmiah dari waktu dan tempat yang berbeda. Walaupun dalam ilmu pengetahuan alam (sains) metode ilmiah menekankan metode induktif guna mengadakan generalisasi atas fakta-fakta khusus dalam rangka penelitian, penciptaan teori dan verifikasi, tetapi dalam ilmu-ilmu sosial, baik metode induktif maupun deduktif sama-sama penting. Walaupun fakta-fakta empirik itu penting peranannya dalam metode ilmiah namun kumpulan fakta itu sendiri tidak menciptakan teori atau ilmu pengetahuan (Suparlan P., 1994). Jadi jelaslah bahwa ilmu pengetahuan bukan merupakan kumpulan pengetahuan atau kumpulan fakta-fakta empirik. Mengapa demikian? Hal ini disebabkan karena fakta-fakta empirik itu sendiri agar mempunyai makna, fakta-fakta tersebut harus ditata, diklasifikasi, dianalisis, digeneralisasi berdasarkan metode yang berlaku serta dikaitkan dengan fakta yang satu dengan yang lain.
Dalam ilmu-ilmu sosial prinsip objektivitas merupakan prinsip utama dalam metode ilmiahnya. Hal ini disebabkan ilmu sosial berhubungan dengan kegiatan manusia sebagai mahluk sosial dan budaya sehingga tidak terlepas adanya hubungan perasaan dan emosional antara peneliti dengan pelaku yang diteliti.
Untuk menjaga objektivitas metode ilmiah dalam ilmu-ilmu sosial berlaku prinsip-prinsip sebagai berikut:
a) Ilmuwan harus mendekati sasaran kajiannya dengan penuh keraguan dan skeptis.
b) Ilmuwan harus objektif yaitu membebaskan dirinya dari sikap, keinginan, kecenderungan untuk menolak, atau menyukai data yang dikumpulkan.
c) Ilmuwan harus bersikap netral, yaitu dalam melakukan penilaian terhadap hasil penemuannya harus terbebas dari nilai-nilai budayanya sendiri. Demikian pula dalam membuat kesimpulan atas data yang dikumpulkan jangan dianggap sebagai data akhir, mutlak, dan merupakan kebenaran universal (Suparlan P., 1994).
Sedang pelaksanaan penelitian yang berpedoman pada metode ilmiah hendaknya memperhatikan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a) Prosedur penelitian harus terbuka untuk diperiksa oleh peneliti lainnya.
b) Definisi-definisi yang dibuat adalah benar dan berdasarkan konsep-konsep dan teori-teori yang sudah ada/baku.
c) Pengumpulan data dilakukan secara objektif, yaitu dengan menggunakan metode-metode penelitian ilmiah yang baku.
d) Hasil-hasil penemuannya akan ditentukan ulang oleh peneliti lain bila sasaran, masalah, pendekatan, dan prosedur penelitiannya sama (Suparlan P., 1994).
b) Metode Penelitian Ilmiah
Pada dasarnya metode penelitian ilmiah untuk ilmu-ilmu sosial dapat dibedakan menjadi dua golongan pendekatan, yaitu: (1) pendekatan kuantitatif; (2) pendekatan kualitatif.
1) Pendekatan Kuantitatif
Landasan berpikir dari pendekatan kuantitatif adalah filsafat positivisme yang dikembangkan pertama kali oleh Emile Durkheim (1964). Pandangan dari filsafat positivisme ini yaitu bahwa tindakan-tindakan manusia terwujud dalam gejala-gejala sosial yang disebut fakta-fakta sosial. Fakta-fakta sosial tersebut harus dipelajari secara objektif, yaitu dengan memandangnya sebagai benda, seperti benda dalam ilmu pengetahuan alam.
Caranya dengan melakukan observasi atau mengamati sesuatu fakta sosial, untuk melihat kecenderungan-kecenderungannya, menghubungkan dengan fakta-fakta sosial lainnya, dengan demikian kecenderungan-kecenderungan suatu fakta sosial tersebut dapat diidentifikasi. Penggunaan data kuantitatif diperlukan dalam analisa yang dapat dipertanggungjawabkan kesahihannya demi tercapainya ketepatan data dan ketepatan penggunaan model hubungan variabel bebas dan variabel tergantung (Suparlan P., 1997).
2) Pendekatan Kualitatif
Landasan berpikir dalam pendekatan kualitatif adalah pemikiran Max Weber (1997) yang menyatakan bahwa pokok penelitian sosiologi bukan hanya gejala-gejala sosial, tetapi juga dan terutama makna-makna yang terdapat di balik tindakan-tindakan perorangan yang mendorong terwujudnya gejala-gejala sosial tersebut. Oleh karena itu, metode yang utama dalam sosiologi dari Max Weber adalah Verstehen atau pemahaman (jadi bukan Erklaren atau penjelasan). Agar dapat memahami makna yang ada dalam suatu gejala sosial, maka seorang peneliti harus dapat berperan sebagai pelaku yang ditelitinya, dan harus dapat memahami para pelaku yang ditelitinya agar dapat mencapai tingkat pemahaman yang sempurna mengenai makna-makna yang terwujud dalam gejala-gejala sosial yang diamatinya (Suparlan P., 1997).

Ditulis dalam Uncategorized
Tags: ,

SESATNYA PEMUJA SYAITAN

Juli 30, 2011
2 Komentar
SEKTE MISTIK PEMUJA SETAN
Kita mengenal banyak aliran mistik pemuja setan yang bisa digolongkan menjadi tiga aliran. Dengan mengetahui apa dan bagaimana praktik keyakinan mereka yang mengerikan, semoga kita tidak menjadi bagian di dalamnya.
Di dunia ini, manusia tidak hanya menyembah Tuhan. Namun juga ada yang menyembah kepada selain Tuhan. Misalnya penyembahan kepada setan atau biasa disebut dengan Setanisme. Penyembahan kepada setan ini untuk pertama kalinya dipopulerkan secara sistematis dan terorganisasi oleh Aleister Crowley (1875-1947).
Pengalaman dirinya mempelajari aliran kebatinan, khususnya tradisi mistik kuno Yahudi yang disebut Kabalah telah mengantarkan Crowley menjadi anggota Order of the Golden Dawn, sebuah organisasi yang mempelajari dan mengembangkan ajaran mistik dan ikut mengembangkan organisasi freemason sebagai organisasi “lelaki jantan” yang memilih dan mengembangkannya sebagai organisasi yang sangat ketat untuk membangun lelaki yang kuat, cerdas, dan mempunyai daya pikat. Crowley dianggap sebagai penggagas pertama lahirnya ajaran setanisme dan bertujuan untuk mempersatukan atau melebur semua agama yang ada di dunia.
Ajaran dan pemikiran tentang setanisme ini dituangkan dalam tulisannya yang diberi judul Liber Legis yang intinya mengajarkan kebebasan manusia sebagai inti kehidupan. Dia menekankan bahwa hidup yang sebenarnya harus terbebaskan dari segala ikatan peraturan, sebagaimana ditulisnya: “Tidak ada hukum, kerjakanlah apa yang kau inginkan. Jadilah kuat, sang laki-laki! Nikmati dan reguklah dengan sepuasnya segala kegairahan nafsu, jangan takut dengan Tuhan karena perbuatanmu itu.”
Aleister Crowley adalah orang yang kontroversial dan menjadi simbol kepribadian tokoh dalam era baru sihir modern. Pers dunia menyebut dia sebagai “The Great Beast” dan “Manusia terkeji di dunia”. Diakui oleh banyak kalangan bahwa Crowley adalah seorang penyihir yang kuat yang memiliki kharisma bagi pengikutnya. Crowley tinggal di sebuah komunitas misterius yang kecil namun komunitas itu bisa memahami dirinya sebagai seorang yang jenius.
Crowley lahir dengan nama Edward Alexander Crowley pada 12 Oktober 1875 – 1 Desember 1947. Dia adalah seorang penulis, hedonis, penggemar catur, pemanjat gunung, dan revolusioner seksual dari Inggris. Ia dilahirkan di Clarendon Square di Royal Leamington Spa, Warwickshire nomer 36.
Ayahnya, Edward Crowley dan ibunya, Emily Bertha Bishop, adalah keturunan dari keluarga kaya Devon/Somerset. Keluarga Edward Crowley memiliki usaha pembuatan minuman bir. Mereka juga taat setia pada agama Kristen dan anggota sekte Plymouth Brethren. Crowley muda dibesarkan dalam suasana yang saleh beragama. Ayahnya meninggal ketika ia berusia 11 tahun.
Setelah kematian ayahnya, Crowley mewarisi kekayaan keluarga dan melanjutkan untuk belajar di Trinity College Cambridge. Di sana ia menulis dan belajar puisi. Dia menyukai pendakian gunung hingga puncak tertinggi di Himalaya. Pada tahun 1898 ia menerbitkan buku puisi pertamanya “Aceldama, A Place to Bury Strangers Dalam”, sebuah puisi filosofis. Dalam kata pengantar dia menggambarkan bagaimana Allah dan setan telah berjuang demi jiwanya dan menyatakan: “Allah menaklukkan dan sekarang saya hanya punya satu keraguan yang tersisa – bahwa setan itu kembaran Allah”.
Ketika berada di Trinity College inilah, Crowley tertarik pada okultisme dari dengan teman sekamarnya Allan Bennett, mereka mulai mempelajari mistisisme. Crowley anehnya gembira saat melihat penyiksaan dan darah. Ia suka mengkhayalkan tentang direndahkan dan dilecehkan oleh ‘Scarlet Perempuan’, salah satu yang dominan, jahat dan mandiri.
Salah satu buku yang dia sukai adalah karya penulis Arthur Edward Waite, yang berjudul “The Book of Black Magic”. Buku ini mengisyaratkan persaudaraan rahasia para okultis dan Crowley tertarik. Dia menulis kepada Waite untuk meminta informasi lebih lanjut. Oleh Waite dia disarankan membaca buku “The Cloud di atas Sanctuary karya Karl von Exkartshausen.
Buku ini menceritakan tentang “Great White Brotherhood” dan Crowley bertekad ia ingin bergabung dengan grup ini dan maju ke tingkat tertinggi. Kemudian tahun pada 18 November 1898, ia dan Bennett bergabung dengan ‘Hermetik Order of the Golden Dawn “.
Crowley pada tahun 1899 juga dilaporkan telah menjadi anggota salah satu dari perkumpulan George Pickingill’s terletak di New Forrest, walaupun tampaknya dia tidak diterima untuk waktu yang lama. Di sana ia memperoleh gelar ‘Kedua Gelar’ sebelum diberhentikan karena ia menghina perempuan, kegagalan untuk menghadiri upacara dengan keteraturan, ego pribadinya dan penyimpangan seksual (Crowley punya kebiasaan aneh, selain homoseksual juga perilaku mengejutkan bahkan di antara para penyihir. Seorang pendeta bahkan pernah menggambarkan dia sebagai raksasa kecil yang ganas, berpikiran kotor dan jahat.
Ia juga dilaporkan dipecat oleh penyihir New Forrest karena dirasa mengganggu kelompok Golden Dawn. Saat itu Crowley pindah dari Trinity Kolase tanpa mendapatkan gelar sarjana, dan mengambil sebuah flat di Chancery Lane, London. Di sana ia mengganti namanya menjadi ‘Count Vladimir’ dan mulai mengajar klenik pada penuh waktu. Crowley memiliki bakat alami untuk sihir dan maju dengan cepat melalui jajaran Golden Dawn, tetapi pemimpin pondok London menganggapnya tidak cocok untuk kemajuan ke urutan kedua.
Crowley pergi ke Paris pada 1899 untuk bertemu S.L. MacGregor Mathers, yang kemudian menjadi kepala Ordo dan bersikeras bahwa dia akan memulai ke Orde kedua. Pada waktu itu Mathers mengalami perpecahan dari aturan mutlak di Pondok London.
Mathers beranggapan Crowley adalah seorang calon yang penyihir kuat dan sangat kompetitif. Mathers mengajarkan pada Crowley sihir yang namanya AbraMelin namun saat diuji, Crowley dianggap belum mencapai nilai A. Mereka akhirnya bertengkar terus-menerus dan diduga terlibat dalam perang supranatural. Mathers mengirim vampir astral untuk menyerang Crowley yang menanggapi dengan pasukan setan yang dipimpin oleh Beelzebub.
Pada April 1900, Mathers karena membuat masalah dalam pondok London, Crowley dikirim kembali ke Inggris sebagai ‘Special Envoy’ di mana ia membuat usaha yang gagal. Tak lama kemudian Mathers juga diusir. Crowley mulai melakukan perjalanan, terutama di Timur Okultisme Timur mempelajari sistem dan ‘Tantra Yoga’; ia juga belajar ‘Buddha’ dan ‘I Ching’. Lalu untuk beberapa waktu, ia tinggal di desa terpencil dekat Loch Ness di Skotlandia.
Pada tahun 1903 ia bertemu dan kemudian menikah dengan Edith Rose Kelly, adik dari artis terkenal Sir Gerald Kelly. Ia melahirkan satu anak. Sementara mereka berlibur di Mesir tahun berikutnya, April 1904, dia dan Rose mengambil bagian dalam ritual magis dan mengaku menerima pesan dari Allah. Sebagai hasil dari komunikasi ini dia menuliskan tiga bab pertama dari bukunya yang paling terkenal “Liber legis, Kitab Undang-Undang”. Buku ini memuat diktum yang sering dikutip: “Lakukan apa yang kamu sekali-kali akan menjadi seluruh Undang-undang. Cinta adalah Hukum, Cinta di bawah Kehendak”. Inilah intisari ajaran Crowley.
Di tahun 1909, Crowley mulai menjelajahi tingkat astral dengan asistennya, seorang penyair yang disebut “Victor Neuberg”. Mereka mengunakan sihir Enochian. Crowley percaya saat itu ia menyeberangi jurang maut dan bersatu kesadarannya dengan kesadaran universal. Dia menggambarkan perjalanan astral dalam “Visi dan suara”, yang pertama kali diterbitkan dalam majalah “The Equinox” pada 1949.
Seakan tak pernah jauh dari kontroversi pada tahun 1909 hingga 1913, Crowley menulis secara berseri ritual rahasia Golden Dawn dalam majalah ‘di Equinox’, yang juga digunakan sebagai media untuk menulis puisi-puisinya.
Crowley cepat menjadi terkenal sebagai penyihir hitam dan setan. Ia terang-terangan mengidentifikasi dirinya dengan angka 666, nomor Alkitabiah yang Antikristus. Ia juga terus bersama melakukan serangkaian acara ritual bersama para Penyihir Perempuan’; di antaranya yaitu Leah Hirsig, yang disebutnya “Ape dari Thoth”. Bersama-sama mereka menikmati sesi minum, obat-obatan dan sihir seksual. Hal ini diyakini bahwa Crowley melakukan beberapa upaya dengan beberapa perempuan ini untuk melahirkan seorang ‘anak sihir’. Upayanya ini ditulis dalam sebuah buku berjudul “Moonchild”, yang diterbitkan pada tahun 1929.
Pada tahun 1912 Croeley terlibat dengan bagian Inggris OTO (Ordo Bait Allah yang Orientis atau Ordo Bait Timur), sebuah tatanan okultisme Jerman yang berlatih sihir. Dia kemudian pindah dan tinggal di Amerika pada 1915-1919 dan bergerak lagi pada tahun 1920 ke Sisilia di mana dia mendirikan Biara Thelema yang terkenal di Cefalu.
Di Sisilia ia melibatkan diri dalam media klenik berbahasa Italia dan pada 1922 menjadi kepala ‘Ordo Bait Allah Orientis’. Namun (seperti yang ia lakukan secara rutin) dia mulai menarik lebih banyak publisitas buruk. Pers mengutuk dirinya sebagai “Manusia Terkeji di Dunia” karena mengajarkan sekte setan di Biara. Efeknya pada tahun 1923, Mussolini penguasa Italia mengusirnya dari Sisilia.
Crowley bertanya-tanya kemana dia harus pergi. Untuk sementara waktu ia mengunjungi tempat-tempat seperti Tunisia dan Jerman sebelum menetap selama beberapa waktu di Prancis. Sementara di Perancis, ia terlibat sebagai sekretaris pesulap Israel Regardie. Regardie mengenalkan Crowley dan memainkan peran penting dalam mengungkap ritual lengkap dari ‘Golden Dawn’ kepada publik. Crowley terus melakukan perjalanan keliling Eropa selama beberapa waktu ia yang semakin kecanduan heroin, sebuah kebiasaan yang membuatnya menderita selama sisa hidupnya. Kembali ke Inggris pada tahun 1929 ia bertemu dan menikah dengan istri keduanya ‘Maria Ferrari de Miramar’. Perkawinan berlangsung di Leipzig, Jerman.
Pada tahun 1932 Crowley bertemu dengan ‘Sybil Leek’ penyihir terkenal dan menjadi sering berkunjung ke rumahnya. Bertemu penyihir Sybil dituliskan dalam otobiografinya “Buku harian seorang penyihir” – (New York: Signet, 1969), dimana Crowley bercerita tentang sihir. Dia mengajarinya mantra, kata-kata kekuasaan, dan menyuruhnya menggunakan kata-kata tertentu untuk mendapai kualitas getaran ketika melakukan tenung.
Sudah terkenal di kalangan pers, Crowley semakin terkenal karena terlibat dalam kasus pencemaran nama baik dan sensasional. Pada 1934 sebelum Mr Justice Swift, ia menggugat Nina Hamnett ahli patung yang menonjol. Nina telah menerbitkan buku “Laughing Torso” (Constable and Co, London, 1932) di mana Crowley mengatakan kepada Nina ia berlatih sihir hitam. Ketika kasus berjalan Crowley kalah dan dipaksa bangkrut.
Tahun 1946, seorang teman Crowley, Arnold Crowther memperkenalkan Crowley dengan Gerald B. Gardner. Pertemuan dengan Gardner kemudian mengakibatkan kontroversi keaslian buku tulisan Gardner ‘Book of Shadows’. Diduga, Crowley telah dibayar Gardner untuk menulis untuknya. Buku itu berisi catatan ritual yang digunakan dalam ‘Old George Pickingill’s’ covens di kawasan Forrest Baru.
Pada saat rapat dengan Gerald Gardner, Crowley telah menjadi laki-laki tua yang lemah yang hidup di sebuah hotel di Hastings. Ia sudah tergantung dengan obat-obatan. Pada tanggal 1 Desember 1947 ia meninggal dunia tanpa pernah tobat dan tidak pernah tunduk pada agama. Dia meninggalkan pesan agar jenazahnya dikremasi dan dilakukan sebuah tradisi ritual ‘Hymn to Pan’. Pesan lainnya, ia meminta agar tulisan-tulisannya harus diwartakan dari mimbar kepada para muridnya. Dan abunya itu harus dikirim kepada murid-muridnya di Amerika.
Dalam banyak hal Aleister Crowley dikatakan sebagai tokoh di era baru sihir modern. Pengetahuannya tentang sihir dan tenung yang mendalam diakui oleh masyarakat saat itu. Kini, banyak buku-buku Crowley telah dicetak ulang dan masyarakat menghargai dia sebagai orang jenius yang aneh. Memang sebagian dari buku-bukunya sekarang memperoleh status klasik. Ini termasuk: Gnostik Misa dan Kitab Undang-Undang (New York: Samuel Weiser, 1977) dari yang bagian yang terkenal “Mengisi Sang Dewi” yang ditulis oleh Doreen Valiente dan Magick in Theory and Practice, 777.
PENERUS AJARAN CROWLEY
Ajaran Crowley dikembangkan lebih modern dan terorganisasi rapi oleh Anto Sandorz LaVey yang mendirikan Church of Satan (Gereja Setan) pada tanggal 30 April 1966 yang dikenal dengan “hari setan” (Walpurgisnacht). Untuk menanamkan keyakinan kepada para pengikutnya, La Vey mengarang beberapa buku di antaranya: The Satanic Bible (1969), The Satanic Ritual (1969), dan The Complete Witch (1972).
Organisasinya dikembangkan dengan sistem manajemen modern. Setiap daerah ditentukan hierarki gereja yang disebut grottos, pylons atau kuil. Ajaran setanisme ini menjungkirbalikkan seluruh tatanan keyakinan agama yang ada khususnya Kristen. Beberapa ajarannya adalah sebagai berikut.
a. “Tuhan diciptakan sendiri oleh manusia dengan berbagai bentuk sesuai imajinasi manusia itu sendiri. Tuhan tidak ada, selama manusia berpikir bahwa Tuhan memang tidak ada”
b. “Surga dan neraka tidak ada (heaven and hell do not exist).”
c. “Setan bukanlah suatu wujud, melainkan sebuah kekuatan alam kosmik.”
d. “Setan mempunyai berbagai nama antara lain Lucifer, Belial, dan Leviathan, disamping simbol-simbol lainnya yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari ajaran setanisme, seperti Baphomet dan Jahbulon.”
e. “Manusia adalah sentral perhatian, karena manusia merupakan bintang dalam struktur kosmik.”
Ajaran setanisme yang ditawarkan oleh La Vey hanyalah bagian kecil saja dari sebuah konspirasi ideologi global yang menunjukkan kesombongan atau arogansi yang menantang dan sekaligus menafikan sistem iman umat beragama. Ajaran setanisme merupakan bentuk ideologi baru yang secara nyata menantang kaum beragama untuk memperkuat diri dari terpaan atau serangan mereka yang menyerbu dengan dahsyat dan mengguncang hati umat manusia.
Andrea Porcarelli menulis, “Ajaran setan merupakan bentuk pemujaan diri yang dihubungkan dengan caranya yang radikal untuk melawan segala macam bentuk ketuhanan, khususnya gambaran Tuhan sebagaimana tertulis dalam Bibel.” Secara garis besar ajaran setanisme ini dapat dikelompokkan dalam tiga bagian besar, yaitu sebagai berikut:
1. RELIGIOUS SATANISM. Bagi para pengikutnya, setan adalah sumber kehidupan dan kekuatan alam yang tidak ada kaitannya dengan kehidupan akhirat. Setan memberikan arah dan ajaran untuk menikmati hidup yang nyata sebagai surga dan neraka. Dunia adalah tempat keduanya. Untuk itu, setanisme mengajarkan sekularisme murni dalam pengertian hidup hanya untuk hari ini, dan jangan percaya dengan kehidupan akhirat. Inilah agama setan. Agama yang nyata dan langsung menyentuh kehidupan manusia yang paling eksistensial tanpa diracuni oleh dogma-dogma. Dan, bagi para pangikutnya setanisme adalah benar-benar agama yang bukan dogma. Agama yang mengajarkan cara hidup merdeka, sebagaimana setan yang menunjukkan jati dirinya sebagai jiwa yang bebas merdeka dan demokratis. Setan berani melawan kehendak Tuhan sebagai bukti bahwa setan merupakan sebuah kekuatan natural yang ingin meningkatkan “martabat” manusia untuk berani melawan setiap penindasan. Bagi mereka setan adalah “bapaknya demokrasi” yang memberikan contoh keberanian, kejantanan kepada umat manusia, dengan cara. memprotes Tuhan, walaupun harus mengambil risiko terbuang dari surga.
Agama Setanisme (atau Satanism) meliputi:
* Pengakuan setan Kristen, Setan dalam aslinya.
Bentuk pagan, atau dari Allah Mesir kuno Set, biasanya Asar sebagai prinsip bukan dewa.
* Tidak ada pemujaan dewa yang diakui. Penekanan utama pada
kekuasaan dan otoritas setan individu, bukan pada dewa.
* Keyakinan bahwa “tidak ada penebus yang hidup” – bahwa setiap orang adalah penebus dosa mereka sendiri.
* Orang-setan yang percaya setan atau Set sebagai entitas hidup tidak menyembah atau menunjukkan iman mereka kepada-Nya.
* Keyakinan bahwa seseorang harus menjalani nafsu dan keinginan mereka, dan menjelajahi “tujuh dosa mematikan” dengan antusias.
* Banyak keyakinan, praktik dan aturan-aturan perilaku yang bertentangan dengan doktrin semua agama.
* Sebuah simbol Baphomet, yang merupakan kepala kambing, dibuat dalam suatu pentagram terbalik (5-bintang menunjuk dengan satu titik ke bawah dan dua atas). Sebuah lingkaran sering mengelilinginya.
* Kedua simbol yang merupakan tanda infinity (angka 8 di dalam samping). Sebuah salib Roma ditempatkan di atas dengan kedua, ditambahkan sepotong salib.
* Dua Satanic denominasi, banyak tradisi yang lebih kecil, dan banyak soliter praktisi yang tidak terafiliasi dengan organisasi Setan. Diperkirakan pengikutnya berjumlah total 20.000 orang dewasa di Amerika Utara.
2. GOTHIC SATANISM. Ia merupakan bentuk ajaran setan yang menekankan pada bentuk-bentuk ritual, seperti pengorbanan, ritual mistik; dan sihir yang merupakan bagian dari tata cara ritual penyembahan kepada setan dalam bentuknya yang kuno dan primitif; sebagaimana terjadi pada abad pertengahan. Beberapa aliran dan simbol setan ini diambil atau diterapkan beberapa tata cara sebagaimana ritual atau sakramen yang berlaku di dalam gereja Kristiani. Mereka mengganti salib dengan membuat salib terbalik atau membuat lambang sendiri berupa gambar swastika; pentagram, dan sebagainya. Agama-agama pagan selalu memakai berbagai simbol amulet, sehingga ada beberapa sekte Kristen yang tidak memakai salib, karena dianggapnya salib sebagai bentuk simbolisasi dari agama pagan tersebut. Gothic Satanisme terlahir pada saat umat Kristen memburu kaum bid’ah dan membakar para wanita tukang sihir (the witch burnings).
Kramer dan Sprenger menulis sebuah buku sekitar 1486 The Malleus Maleficarum (The Witches ‘Hammer) yang menjadi referensi utama bagi genosida. Mereka menulis bahwa Gothic pemuja setan:
* Sebagian besar perempuan karena mereka lebih mudah dipengaruhi, lebih berkhianat, lebih bersifat daging, lebih pendendam, dan (secara intelektual)lebih mirip anak-anak. Tuhan, sebagai laki-laki, yang kebanyakan diawetkan orang menjadi bid’ah;
* Membunuh, mempesona dan menyebabkan wabah pada hewan; berhenti memberikan susu sapi.
* Menyebabkan impotensi, kemandulan, aborsi dan keguguran;
* Pada malam hari dilakukan untuk pesta pora seksual;
* Minum darah bayi dan memakan tinja mereka, atau mengubahnya menjadi sup, atau panggang dalam oven; tulang-tulang mereka dibuat menjadi instrumen ritual;
* Menawarkan anak-anak mereka kepada roh-roh jahat;
* Membunuh atau berada di tempat kutukan orang-orang hanya dengan melihat pembunuhan, mengatakan sebuah kalimat, menyebabkan petir untuk menyerang mereka, dengan meniup di wajah mereka, mendorong pin menjadi boneka lilin yang dibuat dalam gambar korban, dan sebagainya;
* Memukul, menghancurkan, menusuk atau langkah pada salib kapan saja mereka bisa.
Referensi kedua teks adalah Guazzo’s Compendium Maleficarum, yang ditulis sekitar tahun 1620. Ia menggambarkan bagaimana hamba-hamba Iblis:
* Perjalanan melalui udara di belakang kambing atau staf
* Mengurapi diri dengan minyak ajaib dan terbang sendiri
* Mengurapi diri dengan krim atau membuat tanda tertentu, dan
segera menghilang;
* Tampaknya berubah bentuk dari manusia ke hewan dan kembali;
* Dapat mengubah orang dan hewan dari laki-laki untuk perempuan dan kembali;
* Bersumpah melakukan penghormatan dan ketaatan kepada Setan, dan tubuh mereka dicap dengan tanda;
* Bersukacita, menari, makan dan minum di hadapan Iblis yang muncul di perayaan ini dalam bentuk yang mengerikan dan kambing cacat hitam;
* Tercekik, menusuk dan membunuh bayi mereka sendiri, memutus kaki mereka dan dimasak.
Kelompok ini dianggap ancaman besar. Di Negara Bagian Utah, sekitar 90% orang dewasa percaya keberadaan kelompok-kelompok setan yang menyalahgunakan dan membunuh bayi. Setan tidak lagi dipercaya sebagai makhluk yang terbang melalui sapu di udara atau seketika lenyap. Tapi bayi pembunuhan, yang menjual jiwa kepada setan, ritual yang melibatkan seekor kambing, melanggar salib bahkan bentuk pergeseran antara hewan dan manusia itulah setan yang sebenarnya.
Kaum agamawan bahkan pernah melakukan tuntutan bahwa kelompok setanisme ini telah membuat 60.000 ritual pembunuhan selama setahun di Amerika Utara, di sebuah peternakan bayi yang dijadikan penjara bagi wanita muda terus-menerus dijaga kehamilannya sehingga bayi mereka dapat diambil dan dikorbankan.
Gothic Satanism sebagai kelompok anti agama benar-benar telah tetap utuh selama berabad-abad. Tidak ada investigasi kriminal di masa lalu. Padahal diperkirakan sudah 300 tahun dikenal memiliki bukti kuat dari Satanic Ritual Abuse (Kecuali kasus di Yunani selama 1995). Namun, di Amerika dan Eropa kelompok ini dipercaya yang sangat terorganisasi, rahasia, dan jaringan dikendalikan secara internasional oleh Gothic Satanic.
Puluhan juta orang Amerika percaya bahwa itu adalah masalah sosial utama yang menjadi ancaman, meskipun bukti fisik keberadaannya belum ditemukan. Petugas hukum yang tak terhitung jumlahnya telah mencari isu selama puluhan tahun tanpa hasil. Diyakini hingga saat ini penganut Gothic Satanic ini sebagian besar didukung oleh ribuan atau puluhan ribu orang dewasa.
Dukungan kedua keyakinan terjadi di tahun 1980-an dan awal 1990-an ketika banyak kasus-kasus pengadilan yang berjuang atas apa yang diyakini menjadi ritual pelecehan di pusat penitipan anak dan bayi, pra-sekolah, sekolah gereja Minggu, dll Anak-anak kecil diungkapkan mengalami kekerasan fisik dan seksual. Sebagian besar itu dikatakan ritual di alam.
Namun, banyak indikator bahwa Gothic Satanisme hanya rekayasa kaum agamawan dengan dasar: * semua keyakinan dan praktik dikaitkan dengan Setanisme dapat dilacak dalam buku Kramer dan Sprenger dan Penyihir Hammer. * Banyak buku yang diduga ditulis oleh mantan pengikut aliran setan terbukti penipuan. * Tidak ada buku dimana keyakinan ritus pernah ditulis. Jika Gothic setan ada di setiap nomor, buku-buku seperti itu akan dicetak. * Bayi kamp peternakan tidak bisa berhasil tersembunyi untuk waktu lama. * Berbagai kajian pemerintah dan ratusan polisi penyelidikan telah gagal membuktikan.
3. SATANIC DABBLERS. Bentuk ajaran ini merupakan sinkretisasi atau gabungan dari berbagai aliran kepercayaan dan memperkaya dirinya dengan aliran sihir (black magic). Aliester Crowley memelopori tata cara gabungan mistik ini dalam ajaran mistiknya yang disebut dengan Thelema. Dalam bentuknya yang modern, ritual isme penyembah setan ini dianggap sebagai bentuk pelanggaran kriminal, seperti menggali atau merusak kuburan tertentu, serta melakukan vandalisasi pada kuburan dengan tulisan atau gambar dan simbol setan. Kini setidaknya puluhan atau ratusan ribu. Beberapa memandang Satanisme sebagai metode memberontak terhadap keyakinan orangtua mereka.
RITUAL MAGIS
Bentuk upacara gereja setan penuh dengan nuansa magis. Ruangan yang dicat hitam dengan altar yang di kelilingi cahaya lilin yang temaram. Pada bagian kanan altar ditempatkan lilin berwarna putih yang melambangkan sihir putih (white magic) sedangkan di sebelah kiri ditempatkan lilin berwarna hitam sebagai lambang dari kekuatan sihir hitam (black magic) atau sering disebut sebagai “kekuatan kegelapan” (the powers of darkness). Upacara dipimpin pendeta dengan membunyikan bel sembilan kali dan pemimpin berjalan mengelilingi altar berlawanan dengan arah jarum jam.
Beberapa perangkat lain dalam upacara tersebut antara lain: pedang, mangkok, tengkorak, bel kecil yang diletakkan pada meja dekat altar. Pada awal pembentukan gereja setan, biasanya dibaringkan seorang wanita bugil di atas altar, tepat di bawah lambang pentagram. Selesai upacara yang diiringi dengan nyanyian dan mantera-mantera, dilanjutkan dengan hubungan badan massal diantara anggota jemaatnya (orgy), atau melakukan masturbasi. Para jemaat terlibat aktif dalam kegiatan seks secara bebas diantara jemaat yang hadir, sesuai dengan keinginannya masing-masing (engage in sexual activity freely, in accordance with your needs , which may be best realized through monogamy, or by having sex with many others, through heterosexuality, homosexuality, or bisexuality).
Upacara ini dilakukan pada saat tertentu yang ditetapkan, untuk melantik atau melakuan inisiasi anggota baru, penyembuhan, serta instruksi dari pimpinan gereja. La Vey memperkenalkan pula beberapa hari besar yang harus dirayakan pengikut gereja setan antara lain, Walpurgisnacht pada tanggal 30 April. (witch party), Haloween pada malam 31 Oktober (ghost party), Solstices bulan Juni dan Desember (winter party), dan Equinoxes pada bulan Maret dan September (fall/autumn/spring party).
Ajaran setanisme memperkenalkan, bahkan mengakui pula eksistensi Lucifer serta Leviathan yang sering dikaitkan sebagai satu wujud kekuatan kosmik, diambil dari aliran mistik kuno Yahudi yang menghubungkannya dengan kata “Heylei” yang artinya ‘bintang pagi yang cemerlang’. Lucifer dipersonifikasikan pula sebagai anak dari Astra dan Auora atau Eos. Lucifer dipuja karena dianggapnya sebagai “putra cahaya” (the son of light) dan merupakan mitra dari setan sebagai “anak kegelapan” (the son of darkness).
SUMBER REFERENSI:
The Encyclopedia of Witches &Witchcraft – by Rosemary Ellen Guiley.
An ABC of Witchcraft Past and Present – By Doreen Valiente
Encyclopedia of Wicca & Witchcraft – By Raven Grimassi
Witchcraft for Tomorrow – By Doreen Valiente
http://www.faqs.org/faqs/religions/satanism
http://wongalus.wordpress.com/2009/11/30/sekte-mistik-pemuja-setan/
Dunia Dikuasai Oleh Pemuja Setan
Pemuja Setan Yang Menguasai Dunia
(The Satanic Cult That Rules the World)
Oleh: Henry Makow Ph.D
“How can one chase a thousand, and two put ten thousand to flight unless…God had delivered them into enemy hands?” Deuteronomy 32:30
Sarkozy”Memeluk Islam atau mati.” Ini adalah pilihan yang ditawarkan oleh Sultan Turki kepada Sabbatai Zevi sebagai hukuman kepada ybs karena memproklamirkan diri sebagai “Mesias” Yahudi pada tahun 1666.
Dengan berpura-pura pindah agama, Zevi terpaksa melaksanakan ajaran Islam. Tapi Zevi bukanlah seorang Yahudi biasa. Dia pemimpin Yahudi terkenal yang melaksanakan ajaran bid’ah berdasarkan jenis ajaran setan Cabalisme. Para rabi mengutuk dirinya dan para pengikutnya.
Setelah Zevi “murtad,” dari agama Yahudi, lebih dari satu juta pengikutnya yang kemudian termasuk cukong seperti Rothschild meniru apa yang dicontohkan Zevi. Tapi mereka tidak hanya berpura-pura menjadi Muslim atau Kristen. Mereka juga berpura-pura menjadi orang Yahudi.
Pembelot Komunis, Bella Dodd mengungkapkan bahwa selama tahun 1930-an 1100 orang anggota Partai Komunis bergabung dengan Imamat Katholik.. Kemudian mereka menjadi Uskup, Kardinal dan boleh jadi Paus.
Dengan memakai strategi bunglon ini, pemuja setan menyusup dan menumbangkan sebagian besar pemerintah b:
“Melalui infiltrasi, tipu-daya dan kelicikan, jaringan yang tidak kelihatan ini dan agama, dan mendirikan sebuah tirani yang tak kelihatan tanpa banyak menarik perhatian. Dalam kata-kata peneliti genial Clifford Shack dinyatakan sbdatang untuk memerintah kita semua. Empat puluh satu tahun setelah kematian Shabbatai Zevi, pada 1717, mereka menyusup ke dalam perkumpulan Masonry di Inggris dan membentuk Freemasonry [penerus Zevi] …. yaitu Jacob Frank yang berpengaruh besar terhadap inti dari perkumpulan Freemasonry yang dikenal sebagai Illuminati, yang dibentuk pada tahun 1776. Freemasonry menjadi kekuatan tersembunyi di balik kejadian-kejadian seperti revolusi [Amerika, Perancis dan Rusia], berdirinya PBB dan negara Zionis Israel, Perang Dunia (termasuk Holokos!), pembunuhan terhadap keluarga Kennedy termasuk ayahnya yang mencoba menggagalkan upaya jaringan Illuminati di tanah Amerika.
Sabbatean /Frankists, juga disebut sebagai “Cult of the All-Seeing Eye” (lihat di bagian belakang uang satu dolar Anda untuk mulai memahami pengaruh mereka dalam kehidupan ANDA), mereka adalah bunglon politik dan agama. Mereka ada dimana-mana … berkuasa. Mereka terdiri dari orang-orang baik DAN orang-orang jahat. Perang Dunia Kedua merupakan contoh utama. Para pemimpin berikut anggota “Cult of the All-Seeing Eye” (Sabbatean / Frankists): termasuk Franklin D. Roosevelt, Winston Churchill, Adolph Hitler, Eugenio Pacelli (Pope Pius XII), Francisco Franco, Benito Mussolini, Mao Tse-Tung. dan Hirohito”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar