• Sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan (Suparlan, 2002, merangkum Fay 2006, Jari dan Jary 1991, Watson 2000)[5]
• Multikulturalisme mencakup gagasan, cara pandang, kebijakan, penyikapan dan tindakan, oleh masyarakat suatu negara, yang majemuk dari segi etnis, budaya, agama dan sebagainya, namun mempunyai cita-cita untuk mengembangkan semangat kebangsaan yang sama dan mempunyai kebanggan untuk mempertahankan kemajemukan tersebut (A. Rifai Harahap, 2007, mengutip M. Atho’ Muzhar).[6]
[sunting] Sejarah Multikulturalisme
Multikulturalisme bertentangan dengan monokulturalisme dan asimilasi yang telah menjadi norma dalam paradigma negara-bangsa (nation-state) sejak awal abad ke-19. Monokulturalisme menghendaki adanya kesatuan budaya secara normatif (istilah ‘monokultural’ juga dapat digunakan untuk menggambarkan homogenitas yang belum terwujud (pre-existing homogeneity). Sementara itu, asimilasi adalah timbulnya keinginan untuk bersatu antara dua atau lebih kebudayaan yang berbeda dengan cara mengurangi perbedaan-perbedaan sehingga tercipta sebuah kebudayaan baru.
Multikulturalisme mulai dijadikan kebijakan resmi di negara berbahasa-Inggris (English-speaking countries), yang dimulai di Kanada pada tahun 1971.[7] Kebijakan ini kemudian diadopsi oleh sebagian besar anggota Uni Eropa, sebagai kebijakan resmi, dan sebagai konsensus sosial di antara elit.[rujukan?] Namun beberapa tahun belakangan, sejumlah negara Eropa, terutama Belanda dan Denmark, mulai mengubah kebijakan mereka ke arah kebijakan monokulturalisme.[8] Pengubahan kebijakan tersebut juga mulai menjadi subyek debat di Britania Raya dam Jerman, dan beberapa negara lainnya?
[sunting] Jenis Multikulturalisme
Berbagai macam pengertian dan kecenderungan perkembangan konsep serta praktik multikulturalisme yang diungkapkan oleh para ahli, membuat seorang tokoh bernama Parekh (1997:183-185) membedakan lima macam multikulturalisme (Azra, 2007, meringkas uraian Parekh):
1. Multikulturalisme isolasionis, mengacu pada masyarakat dimana berbagai kelompok kultural menjalankan hidup secara otonom dan terlibat dalam interaksi yang hanya minimal satu sama lain.
2. Multikulturalisme akomodatif, yaitu masyarakat yang memiliki kultur dominan yang membuat penyesuaian dan akomodasi-akomodasi tertentu bagi kebutuhan kultur kaum minoritas. Masyarakat ini merumuskan dan menerapkan undang-undang, hukum, dan ketentuan-ketentuan yang sensitif secara kultural, dan memberikan kebebasan kepada kaum minoritas untuk mempertahankan dan mengembangkan kebudayaan meraka. Begitupun sebaliknya, kaum minoritas tidak menantang kultur dominan. Multikulturalisme ini diterapkan di beberapa negara Eropa.
3. Multikulturalisme otonomis, masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kutural utama berusaha mewujudkan kesetaraan (equality) dengan budaya dominan dan menginginkan kehidupan otonom dalam kerangka politik yang secara kolektif bisa diterima. Perhatian pokok-pokok kultural ini adalah untuk mempertahankan cara hidup mereka, yang memiliki hak yang sama dengan kelompok dominan; mereka menantang kelompok dominan dan berusaha menciptakan suatu masyarakat dimana semua kelompok bisa eksis sebagai mitra sejajar.
4. Multikulturalisme kritikal atau interaktif, yakni masyarakat plural dimana kelompok-kelompok kultural tidak terlalu terfokus (concern) dengan kehidupan kultural otonom; tetapi lebih membentuk penciptaan kolektif yang mencerminkan dan menegaskan perspektif-perspektif distingtif mereka.
5. Multikulturalisme kosmopolitan, berusaha menghapus batas-batas kultural sama sekali untuk menciptakan sebuah masyarakat di mana setiap individu tidak lagi terikat kepada budaya tertentu dan, sebaliknya, secara bebas terlibat dalam percobaan-percobaan interkultural dan sekaligus mengembangkan kehidupan kultural masing-masing. [9]
Naturisme atau nudisme adalah suatu gerakan kultural dan politik yang mempraktikkan, menganjurkan, dan mempertahankan pergaulan telanjang baik dalam lingkungan pribadi maupun umum. Istilah itu juga dapat merujuk kepada gaya hidup berdasarkan nudisme pribadi, keluarga, maupun sosial.[1]
Beberapa istilah lainnya (social nudity [pergaulan telanjang], public nudity [telanjang di muka umum], dan clothes-free [bebas pakaian]) diusulkan sebagai istilah alternatif terhadap naturisme, namun tidak satu pun yang diterima oleh masyarakat luas, tidak seperti istilah terdahulu, naturisme dan nudisme (kebanyakan di wilayah Amerika Serikat).
Filsafat naturisme berasal dari berbagai sumber, banyak di antaranya mengikuti jejak filsafat kebugaran dan kesehatan di Jerman pada awal abad ke-20, meskipun konsep kembali ke alam dan menciptakan kesetaraan juga dikutip sebagai inspirasi. Dari Jerman, gagasan tersebut menyebar ke Britania Raya, Kanada, Amerika Serikat, dan melalui jaringan perkumpulan yang telah dikembangkan.
Naturisme dapat mengandung aspek-aspek dari erotisisme bagi sebagian orang, meskipun banyak organisasi naturis masa kini menganggapnya tidak mesti demikian. Orang awam dan media massa seringkali menyamakan hubungan kedua hal tersebut
Paganisme adalah sebuah kepercayaan/praktik spiritual penyembahan terhadap berhala yang pengikutnya disebut Pagan. Pagan pada zaman kuno percaya bahwa terdapat lebih dari satu dewa dan dewi dan untuk menyembahnya mereka menyembah patung, contoh Mesir Kuno, Yunani Kuno, Romawi Kuno, dan lain-lain. Istilah ini telah meluas, meliputi semua Agama Abrahamik, Yahudi, Kristen, dan Islam.
Pada zaman sekarang, Pagan percaya bahwa semua di sekitar mereka suci karena merupakan bagian dari dewa dan dewi. Contohnya, mereka percaya bahwa batu dan pohon adalah bagian dari dewa dan dewi, sehingga keramat, tetapi tidak menyembah pohon itu. Kebanyakan orang pagan percaya bumi memunculkan dewi.
Panteisme atau pantheisme (Yunani: πάν ( ‘pan’ ) = semua dan θεός ( ‘theos’ ) = Tuhan) secara harafiah artinya adalah “Tuhan adalah Semuanya” dan “Semua adalah Tuhan”. Ini merupakan sebuah pendapat bahwa segala barang merupakan Tuhan abstrak imanen yang mencakup semuanya; atau bahwa Alam Semesta, atau alam, dan Tuhan adalah sama. Definisi yang lebih mendetail cenderung menekankan gagasan bahwa hukum alam, Keadaan, dan Alam Semesta (jumlah total dari semuanya adalah dan akan selalu) diwakili atau dipersonifikasikan dalam prinsip teologis ‘Tuhan’ atau ‘Dewa’ yang abstrak. Walau begitu, perlu dimengerti bahwa kaum panteis niet percaya terhadap seorang Dewa atau Dewa-Dewa yang pribadi dan kreatif dalam segala bentuk, yaitu merupakan ciri khas utama yang membedakan mereka dari kaum panenteis dan pandeis. Dengan begiru, meskipun banyak agama mungkin mengklaim memiliki unsur-unsur panteis, mereka biasanya sebenarnya sejatinya panenteis atau pandeistik.
Sejarah
Istilah panteis – yang diturunkan dari kata panteisme – pertama kali digunakan secara langsung oleh penulis Irlandia John Toland dalam karyanya yang berasal dari tahun 1705, “Sosinianisme Benar-Benar Dicanangkan oleh seorang panteis”. Namun konsep ini telah dibicarakan jauh sebelumnya pada zaman filsuf Yunani Kuna, oleh Thales, Parmenides dan Heraklitus. Latar belakang Yahudi untuk panteisme bahkan mencapai zaman ketika kitab Taurat diturunkan dalam ceritanya mengenai penciptaan dalam kitab Kejadian dan bahan-bahan yang lebih awal berbentuk nubuat di mana secara nyata dikatakan bahwa kejadian alam” [seperti banjir, badai, letusan gunung dst.] semuanya diidentifikasikan sebagai “Tangan Tuhan” melalui idioma personifikasi, dan jadi menjelaskan rujukan terbuka terhadap konsep ini di dalam baik Perjanjian Baru maupun sastra Kabbalistik.
Pada tahun 1785, ada sebuah kontroversi besar yang muncul antara Friedrich Jacobi dan Moses Mendelssohn, yang akhirnya menyangkut banyak orang penting kala itu. Jacobi mengklaim bahwa pantheisme Lessing bersifat materialistik. Maksudnya ialah bahwa seluruh Alam dan Tuhan sebagai sebuah substansi yang luas. Untuk Jacobi, ini adalah hasil dari berbaktinya Zaman Pencerahan untuk mencari logika dan akhirnya ini akan berakhir kepada ateisme. Mendelssohn tidak setuju dengan menyatakan bahwa panteisme adalah sama dengan teisme.
Pragmatisme adalah aliran filsafat yang mengajarkan bahwa yang benar adalah segala sesuatu yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan melihat kepada akibat-akibat atau hasilnya yang bermanfaat secara praktis.[1] Dengan demikian, bukan kebenaran objektif dari pengetahuan yang penting melainkan bagaimana kegunaan praktis dari pengetahuan kepada individu-individu.[2]
Dasar dari pragmatisme adalah logika pengamatan, di mana apa yang ditampilkan pada manusia dalam dunia nyata merupakan fakta-fakta individual, konkret, dan terpisah satu sama lain.[1][2] Dunia ditampilkan apa adanya dan perbedaan diterima begitu saja.[2] Representasi realitas yang muncul di pikiran manusia selalu bersifat pribadi dan bukan merupakan fakta-fakta umum.[2] Ide menjadi benar ketika memiliki fungsi pelayanan dan kegunaan.[2] Dengan demikian, filsafat pragmatisme tidak mau direpotkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar kebenaran, terlebih yang bersifat metafisik, sebagaimana yang dilakukan oleh kebanyakan filsafat Barat di dalam sejarah.[2]
Awal mula
Aliran ini terutama berkembang di Amerika Serikat, walau pada awal perkembangannya sempat juga berkembang ke Inggris, Perancis, dan Jerman.[1] William James adalah orang yang memperkenalkan gagasan-gagasan dari aliran ini ke seluruh dunia.[1] William James dikenal juga secara luas dalam bidang psikologi.[1] Filsuf awal lain yang terkemuka dari pragmatisme adalah John Dewey.[1] Selain sebagai filsuf, Dewey juga dikenal sebagai kritikus sosial dan pemikir dalam bidang pendidikan.[3]
Secara etimologis, kata ‘pragmatisme’ berasal dari kata bahasa Yunani pragmatikos yang berarti cakap dan berpengalaman dalam urusan hukum, dagang, dan perkara negara.[4] Istilah pragmatisme disampaikan pertama kali oleh Charles Peirce pada bulan Januari 1878 dalam artikelnya yang berjudul How to Make Our Ideas Clear.[2]
Teori tentang kebenaran
Menurut teori klasik tentang kebenaran, dikenal dua posisi yang berbeda, yakni teori korespondensi dan teori koherensi.[2] Teori korespondensi menekankan persesuaian antara si pengamat dengan apa yang diamati sehingga kebenaran yang ditemukan adalah kebenaran empiris,[2][5] sedangkan teori koherensi menekankan pada peneguhan terhadap ide-ide a priori atau kebenaran logis, yakni jika proposisi-proposisi yang diajukan koheren satu sama lain.[2][5] Selain itu, dikenal lagi satu posisi lain yang berbeda dengan dua posisi sebelumnya, yakni teori pragmatis.[2][5] Teori pragmatis menyatakan bahwa ‘apa yang benar adalah apa yang berfungsi.’[5] Bayangkan sebuah mobil dengan segala kerumitan mesin yang membuatnya bekerja, namun yang sesungguhnya menjadi dasar adalah jika mobil itu dapat bekerja atau berfungsi dengan baik.[5]
Perkembangan pragmatisme
Apa yang disebut dengan neo-pragmatisme juga berkembang di Amerika Serikat dengan tokoh utamanya, Richard Rorty.[2] Salah satu pemikirannya yang terkenal adalah bagaimana bahasa menentukan pengetahuan.[6] Karena bahasa hadir dalam bentuk jamak, demikianlah pengetahuan pun tidak hanya satu dan tidak dapat dipandang universal, atau dengan kata lain, tidak ada pola yang rasional terhadap pengetahuan.[6] Budaya atau nilai-nilai yang ada dilihat secara fungsinya terhadap manusia.[6]
Relativisme berasal dari kata Latin, relativus, yang berarti nisbi atau relatif.[1][2][3] Sejalan dengan arti katanya, secara umum relativisme berpendapat bahwa perbedaan manusia, budaya, etika, moral, agama, bukanlah perbedaan dalam hakikat, melainkan perbedaan karena faktor-faktor di luarnya.[3][4] Sebagai paham dan pandangan etis, relativisme berpendapat bahwa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tergantung pada masing-masing orang dan budaya masyarakatnya.[3][2] Ajaran seperti ini dianut oleh Protagras, Pyrrho, dan pengikut-pengikutnya, maupun oleh kaum Skeptik.[2][5]
Relativisme etis
Relativisme etis yang berpendapat bahwa penilaian baik-buruk dan benar-salah tergantung pada masing-masing orang disebut relativisme etis subjektif atau analitis.[3][6] Adapun relativisme etis yang berpendapat bahwa penilaian etis tidak sama, karena tidak ada kesamaan masyarakat dan budaya disebut relativisme etis kultural.[3]
Menurut relativisme etis subjektif, dalam masalah etis, emosi dan perasaan berperan penting.[3] Karena itu, pengaruh emosi dan perasaan dalam keputusan moral harus diperhitungkan.[3] Yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah tidak dapat dilepaskan dari orang yang tersangkut dan menilainya.[3] Relativisme etis berpendapat bahwa tidak terdapat kriteria absolut bagi putusan-putusan moral.[2] Westermarck memeluk relativisme etis yang menghubungkan kriteria putusan dengan kebudayaan individual, yang memperlihatkan perbedaan-perbedaan individual.[2] Etika situasi dari Joseph Fletcher menganggap moralitas suatu tindakan relatif terhadap kebaikan tujuan tindakan itu.[2][7]
Kekuatan relativisme etis
Kekuatan relativisme etis subjektif adalah kesadarannya bahwa manusia itu unik dan berbeda satu sama lain.[3] Karena itu, orang hidup menanggapi lika-liku hidup dan menjatuhkan penilaian etis atas hidup secara berbeda.[3] Dengan cara itulah manusia dapat hidup sesuai dengan tuntutan situasinya.[3] Ia dapat menanggapi hidupnya sejalan dengan data dan fakta yang ada.[3] Ia dapat menetapkan apa yang baik dan yang jahat, yang benar dan yang salah, menurut pertimbangan dan pemikirannya sendiri.[3] Demikian manusia tidak hanya berbeda dan unik, tetapi berbeda dan unik pula dalam hidup etisnya.[3]
Kelemahan relativisme etis
Walaupun sangat menekankan keunikan manusia dalam hal pengambilan keputusan etis, para penganut relativisme etis subjektif dapat menjadi khilaf untuk membedakan antara norma etis dan penerapannya, serta antara norma etis dan prinsip etisnya.[3] Bila orang berbeda dalam hidup dan pemikiran etisnya, bukan berarti tidak ada norma etis yang sama.[3] Bisa saja norma etis objektif itu sama, tetapi perwujudannya berbeda karena situasi hidup yang berbeda.[3]
Terorisme adalah serangan-serangan terkoordinasi yang bertujuan membangkitkan perasaan teror terhadap sekelompok masyarakat. Berbeda dengan perang, aksi terorisme tidak tunduk pada tatacara peperangan seperti waktu pelaksanaan yang selalu tiba-tiba dan target korban jiwa yang acak serta seringkali merupakan warga sipil.
Istilah teroris oleh para ahli kontraterorisme dikatakan merujuk kepada para pelaku yang tidak tergabung dalam angkatan bersenjata yang dikenal atau tidak menuruti peraturan angkatan bersenjata tersebut. Aksi terorisme juga mengandung makna bahwa serang-serangan teroris yang dilakukan tidak berperikemanusiaan dan tidak memiliki justifikasi, dan oleh karena itu para pelakunya (“teroris”) layak mendapatkan pembalasan yang kejam.
Akibat makna-makna negatif yang dikandung oleh perkataan “teroris” dan “terorisme”, para teroris umumnya menyebut diri mereka sebagai separatis, pejuang pembebasan, pasukan perang salib, militan, mujahidin, dan lain-lain. Tetapi dalam pembenaran dimata terrorism : “Makna sebenarnya dari jihad, mujahidin adalah jauh dari tindakan terorisme yang menyerang penduduk sipil padahal tidak terlibat dalam perang”. Padahal Terorisme sendiri sering tampak dengan mengatasnamakan agama.
Selain oleh pelaku individual, terorisme bisa dilakukan oleh negara atau dikenal dengan terorisme negara (state terorism). Misalnya seperti dikemukakan oleh Noam Chomsky yang menyebut Amerika Serikat ke dalam kategori itu. Persoalan standar ganda selalu mewarnai berbagai penyebutan yang awalnya bermula dari Barat. Seperti ketika Amerika Serikat banyak menyebut teroris terhadap berbagai kelompok di dunia, di sisi lain liputan media menunjukkan fakta bahwa Amerika Serikat melakukan tindakan terorisme yang mengerikan hingga melanggar konvensi yang telah disepakati.
Terorisme di dunia bukanlah merupakan hal baru, namun menjadi aktual terutama sejak terjadinya peristiwa World Trade Center (WTC) di New York, Amerika Serikat pada tanggal 11 September 2001, dikenal sebagai “September Kelabu”, yang memakan 3000 korban. Serangan dilakukan melalui udara, tidak menggunakan pesawat tempur, melainkan menggunakan pesawat komersil milik perusahaan Amerika sendiri, sehingga tidak tertangkap oleh radar Amerika Serikat. Tiga pesawat komersil milik Amerika Serikat dibajak, dua di antaranya ditabrakkan ke menara kembar Twin Towers World Trade Centre dan gedung Pentagon.
Berita jurnalistik seolah menampilkan gedung World Trade Center dan Pentagon sebagai korban utama penyerangan ini. Padahal, lebih dari itu, yang menjadi korban utama dalam waktu dua jam itu mengorbankan kurang lebih 3.000 orang pria, wanita dan anak-anak yang terteror, terbunuh, terbakar, meninggal, dan tertimbun berton-ton reruntuhan puing akibat sebuah pembunuhan massal yang terencana. Akibat serangan teroris itu, menurut Dana Yatim-Piatu Twin Towers, diperkirakan 1.500 anak kehilangan orang tua. Di Pentagon, Washington, 189 orang tewas, termasuk para penumpang pesawat, 45 orang tewas dalam pesawat keempat yang jatuh di daerah pedalaman Pennsylvania. Para teroris mengira bahwa penyerangan yang dilakukan ke World Trade Center merupakan penyerangan terhadap “Simbol Amerika”. Namun, gedung yang mereka serang tak lain merupakan institusi internasional yang melambangkan kemakmuran ekonomi dunia. Di sana terdapat perwakilan dari berbagai negara, yaitu terdapat 430 perusahaan dari 28 negara. Jadi, sebetulnya mereka tidak saja menyerang Amerika Serikat tapi juga dunia[1]. Amerika Serikat menduga Osama bin Laden sebagai tersangka utama pelaku penyerangan tersebut.
Kejadian ini merupakan isu global yang memengaruhi kebijakan politik seluruh negara-negara di dunia, sehingga menjadi titik tolak persepsi untuk memerangi Terorisme sebagai musuh internasional. Pembunuhan massal tersebut telah mempersatukan dunia melawan Terorisme Internasional[2]. Terlebih lagi dengan diikuti terjadinya Tragedi Bali, tanggal 12 Oktober 2002 yang merupakan tindakan teror, menimbulkan korban sipil terbesar di dunia[3], yaitu menewaskan 184 orang dan melukai lebih dari 300 orang. Perang terhadap Terorisme yang dipimpin oleh Amerika, mula-mula mendapat sambutan dari sekutunya di Eropa. Pemerintahan Tony Blair termasuk yang pertama mengeluarkan Anti Terrorism, Crime and Security Act, December 2001, diikuti tindakan-tindakan dari negara-negara lain yang pada intinya adalah melakukan perang atas tindak Terorisme di dunia, seperti Filipina dengan mengeluarkan Anti Terrorism Bill[4].
Banyak pendapat yang mencoba mendefinisikan Terorisme, satu di antaranya adalah pengertian yang tercantum dalam pasal 14 ayat 1 The Prevention of Terrorism (Temporary Provisions) act, 1984, sebagai berikut: “Terrorism means the use of violence for political ends and includes any use of violence for the purpose putting the public or any section of the public in fear[5].” Kegiatan Terorisme mempunyai tujuan untuk membuat orang lain merasa ketakutan sehingga dengan demikian dapat menarik perhatian orang, kelompok atau suatu bangsa. Biasanya perbuatan teror digunakan apabila tidak ada jalan lain yang dapat ditempuh untuk melaksanakan kehendaknya. Terorisme digunakan sebagai senjata psikologis untuk menciptakan suasana panik, tidak menentu serta menciptakan ketidak percayaan masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dan memaksa masyarakat atau kelompok tertentu untuk mentaati kehendak pelaku teror[6]. Terorisme tidak ditujukan langsung kepada lawan, akan tetapi perbuatan teror justru dilakukan dimana saja dan terhadap siapa saja. Dan yang lebih utama, maksud yang ingin disampaikan oleh pelaku teror adalah agar perbuatan teror tersebut mendapat perhatian yang khusus atau dapat dikatakan lebih sebagai psy-war.
Sejauh ini belum ada batasan yang baku untuk mendefinisikan apa yang dimaksud dengan Terorisme. Menurut Prof. M. Cherif Bassiouni, ahli Hukum Pidana Internasional, bahwa tidak mudah untuk mengadakan suatu pengertian yang identik yang dapat diterima secara universal sehingga sulit mengadakan pengawasan atas makna Terorisme tersebut. Sedangkan menurut Prof. Brian Jenkins, Phd., Terorisme merupakan pandangan yang subjektif[7], hal mana didasarkan atas siapa yang memberi batasan pada saat dan kondisi tertentu.
Belum tercapainya kesepakatan mengenai apa pengertian terorisme tersebut, tidak menjadikan terorisme dibiarkan lepas dari jangkauan hukum. Usaha memberantas Terorisme tersebut telah dilakukan sejak menjelang pertengahan abad ke-20. Pada tahun 1937 lahir Konvensi Pencegahan dan Penghukuman Terorisme (Convention for The Prevention and Suppression of Terrorism), dimana Konvensi ini mengartikan terorisme sebagai Crimes against State. Melalui European Convention on The Supression of Terrorism (ECST) tahun 1977 di Eropa, makna Terorisme mengalami suatu pergeseran dan perluasan paradigma, yaitu sebagai suatu perbuatan yang semula dikategorikan sebagai Crimes against State (termasuk pembunuhan dan percobaan pembunuhan Kepala Negara atau anggota keluarganya), menjadi Crimes against Humanity, dimana yang menjadi korban adalah masyarakat sipil[8]. Crimes against Humanity masuk kategori Gross Violation of Human Rights (Pelanggaran HAM Berat) yang dilakukan sebagai bagian yang meluas/sistematik yang diketahui bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil, lebih diarahkan pada jiwa-jiwa orang tidak bersalah (Public by innocent), sebagaimana terjadi di Bali[9].
Terorisme kian jelas menjadi momok bagi peradaban modern. Sifat tindakan, pelaku, tujuan strategis, motivasi, hasil yang diharapkan serta dicapai, target-target serta metode Terorisme kini semakin luas dan bervariasi. Sehingga semakin jelas bahwa teror bukan merupakan bentuk kejahatan kekerasan destruktif biasa, melainkan sudah merupakan kejahatan terhadap perdamaian dan keamanan umat manusia (crimes against peace and security of mankind)[10]. Menurut Muladi, Tindak Pidana Terorisme dapat dikategorikan sebagai mala per se atau mala in se[11] , tergolong kejahatan terhadap hati nurani (Crimes against conscience), menjadi sesuatu yang jahat bukan karena diatur atau dilarang oleh Undang-Undang, melainkan karena pada dasarnya tergolong sebagai natural wrong atau acts wrong in themselves bukan mala prohibita yang tergolong kejahatan karena diatur demikian oleh Undang-Undang[12].
Dalam rangka mencegah dan memerangi Terorisme tersebut, sejak jauh sebelum maraknya kejadian-kejadian yang digolongkan sebagai bentuk Terorisme terjadi di dunia, masyarakat internasional maupun regional serta pelbagai negara telah berusaha melakukan kebijakan kriminal (criminal policy) disertai kriminalisasi secara sistematik dan komprehensif terhadap perbuatan yang dikategorikan sebagai Terorisme[13].
Menyadari sedemikian besarnya kerugian yang ditimbulkan oleh suatu tindak Terorisme, serta dampak yang dirasakan secara langsung oleh Indonesia sebagai akibat dari Tragedi Bali, merupakan kewajiban pemerintah untuk secepatnya mengusut tuntas Tindak Pidana Terorisme itu dengan memidana pelaku dan aktor intelektual dibalik peristiwa tersebut. Hal ini menjadi prioritas utama dalam penegakan hukum. Untuk melakukan pengusutan, diperlukan perangkat hukum yang mengatur tentang Tindak Pidana Terorisme. Menyadari hal ini dan lebih didasarkan pada peraturan yang ada saat ini yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) belum mengatur secara khusus serta tidak cukup memadai untuk memberantas Tindak Pidana Terorisme[14], Pemerintah Indonesia merasa perlu untuk membentuk Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu dengan menyusun Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) nomor 1 tahun 2002, yang pada tanggal 4 April 2003 disahkan menjadi Undang-Undang dengan nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Keberadaan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme di samping KUHP dan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP), merupakan Hukum Pidana Khusus. Hal ini memang dimungkinkan, mengingat bahwa ketentuan Hukum Pidana yang bersifat khusus, dapat tercipta karena[15]:
1. Adanya proses kriminalisasi atas suatu perbuatan tertentu di dalam masyarakat. Karena pengaruh perkembangan zaman, terjadi perubahan pandangan dalam masyarakat. Sesuatu yang mulanya dianggap bukan sebagai Tindak Pidana, karena perubahan pandangan dan norma di masyarakat, menjadi termasuk Tindak Pidana dan diatur dalam suatu perundang-undangan Hukum Pidana.
2. Undang-Undang yang ada dianggap tidak memadai lagi terhadap perubahan norma dan perkembangan teknologi dalam suatu masyarakat, sedangkan untuk perubahan undang-undang yang telah ada dianggap memakan banyak waktu.
3. Suatu keadaan yang mendesak sehingga dianggap perlu diciptakan suatu peraturan khusus untuk segera menanganinya.
4. Adanya suatu perbuatan yang khusus dimana apabila dipergunakan proses yang diatur dalam peraturan perundang-undangan yang telah ada akan mengalami kesulitan dalam pembuktian.
Sebagai Undang-Undang khusus, berarti Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 mengatur secara materiil dan formil sekaligus, sehingga terdapat pengecualian dari asas yang secara umum diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)/Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ”(lex specialis derogat lex generalis)”. Keberlakuan lex specialis derogat lex generalis, harus memenuhi kriteria[16]:
1. bahwa pengecualian terhadap Undang-Undang yang bersifat umum, dilakukan oleh peraturan yang setingkat dengan dirinya, yaitu Undang-Undang.
2. bahwa pengecualian termaksud dinyatakan dalam Undang-Undang khusus tersebut, sehingga pengecualiannya hanya berlaku sebatas pengecualian yang dinyatakan dan bagian yang tidak dikecualikan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan pelaksanaan Undang-Undang khusus tersebut.
Sedangkan kriminalisasi Tindak Pidana Terorisme sebagai bagian dari perkembangan hukum pidana dapat dilakukan melalui banyak cara, seperti[17]:
1. Melalui sistem evolusi berupa amandemen terhadap pasal-pasal KUHP.
2. Melalui sistem global melalui pengaturan yang lengkap di luar KUHP termasuk kekhususan hukum acaranya.
3. Sistem kompromi dalam bentuk memasukkan bab baru dalam KUHP tentang kejahatan terorisme.
Akan tetapi tidak berarti bahwa dengan adanya hal yang khusus dalam kejahatan terhadap keamanan negara berarti penegak hukum mempunyai wewenang yang lebih atau tanpa batas semata-mata untuk memudahkan pembuktian bahwa seseorang telah melakukan suatu kejahatan terhadap keamanan negara, akan tetapi penyimpangan tersebut adalah sehubungan dengan kepentingan yang lebih besar lagi yaitu keamanan negara yang harus dilindungi. Demikian pula susunan bab-bab yang ada dalam peraturan khusus tersebut harus merupakan suatu tatanan yang utuh. Selain ketentuan tersebut, pasal 103 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) menyebutkan bahwa semua aturan termasuk asas yang terdapat dalam buku I Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) berlaku pula bagi peraturan pidana di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) selama peraturan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tersebut tidak mengatur lain[18].
Hukum Pidana khusus, bukan hanya mengatur hukum pidana materielnya saja, akan tetapi juga hukum acaranya, oleh karena itu harus diperhatikan bahwa aturan-aturan tersebut seyogyanya tetap memperhatikan asas-asas umum yang terdapat baik dalam ketentuan umum yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) bagi hukum pidana materielnya sedangkan untuk hukum pidana formilnya harus tunduk terhadap ketentuan yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP)[19].
Sebagaimana pengertian tersebut di atas, maka pengaturan pasal 25 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, bahwa untuk menyelesaikan kasus-kasus Tindak Pidana Terorisme, hukum acara yang berlaku adalah sebagaimana ketentuan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP). Artinya pelaksanaan Undang-Undang khusus ini tidak boleh bertentangan dengan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana yang telah ada. Namun, pada kenyataannya, terdapat isi ketentuan beberapa pasal dalam Undang-Undang tersebut yang merupakan penyimpangan asas umum Hukum Pidana dan Hukum Acara Pidana. Penyimpangan tersebut mengurangi Hak Asasi Manusia, apabila dibandingkan asas-asas yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Apabila memang diperlukan suatu penyimpangan, harus dicari apa dasar penyimpangan tersebut, karena setiap perubahan akan selalu berkaitan erat dengan Hak Asasi Manusia[20]. Atau mungkin karena sifatnya sebagai Undang-Undang yang khusus, maka bukan penyimpangan asas yang terjadi di sini, melainkan pengkhususan asas yang sebenarnya menggunakan dasar asas umum, namun dikhususkan sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang khusus sifatnya yang diatur oleh Undang-Undang Khusus tersebut.
Sesuai pengaturan Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP), penyelesaian suatu perkara Tindak Pidana sebelum masuk dalam tahap beracara di pengadilan, dimulai dari Penyelidikan dan Penyidikan, diikuti dengan penyerahan berkas penuntutan kepada Jaksa Penuntut Umum. Pasal 17 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana/KUHAP) menyebutkan bahwa perintah Penangkapan hanya dapat dilakukan terhadap seseorang yang diduga keras telah melakukan Tindak Pidana berdasarkan Bukti Permulaan yang cukup. Mengenai batasan dari pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, hingga kini belum ada ketentuan yang secara jelas mendefinisikannya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menjadi dasar pelaksanaan Hukum Pidana. Masih terdapat perbedaan pendapat di antara para penegak hukum. Sedangkan mengenai Bukti Permulaan dalam pengaturannya pada Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, pasal 26 berbunyi[21]:
1. Untuk memperoleh Bukti Permulaan yang cukup, penyidik dapat menggunakan setiap Laporan Intelijen.
2. Penetapan bahwa sudah dapat atau diperoleh Bukti Permulaan yang cukup sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus dilakukan proses pemeriksaan oleh Ketua dan Wakil Ketua Pengadilan Negeri.
3. Proses pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilaksanakan secara tertutup dalam waktu paling lama 3 (tiga) hari.
4. Jika dalam pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan adanya Bukti Permulaan yang cukup, maka Ketua Pengadilan Negeri segera memerintahkan dilaksanakan Penyidikan.
Permasalahannya adalah masih terdapat kesimpang siuran tentang pengertian Bukti Permulaan itu sendiri, sehingga sulit menentukan apakah yang dapat dikategorikan sebagai Bukti Permulaan, termasuk pula Laporan Intelijen, apakah dapat dijadikan Bukti Permulaan. Selanjutnya, menurut pasal 26 ayat 2, 3 dan 4 Undang-Undang Nomor 15 tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penetapan suatu Laporan Intelijen sebagai Bukti Permulaan dilakukan oleh Ketua/Wakil Ketua Pengadilan Negeri melalui suatu proses/mekanisme pemeriksaan (Hearing) secara tertutup. Hal itu mengakibatkan pihak intelijen mempunyai dasar hukum yang kuat untuk melakukan penangkapan terhadap seseorang yang dianggap melakukan suatu Tindak Pidana Terorisme, tanpa adanya pengawasan masyarakat atau pihak lain mana pun. Padahal kontrol sosial sangat dibutuhkan terutama dalam hal-hal yang sangat sensitif seperti perlindungan terhadap hak-hak setiap orang sebagai manusia yang sifatnya asasi, tidak dapat diganggu gugat.
Oleh karena itu, untuk mencegah kesewenang-wenangan dan ketidakpastian hukum, diperlukan adanya ketentuan yang pasti mengenai pengertian Bukti Permulaan dan batasan mengenai Laporan Intelijen, apa saja yang dapat dimasukkan ke dalam kategori Laporan Intelijen, serta bagaimana sebenarnya hakekat Laporan Intelijen, sehingga dapat digunakan sebagai Bukti Permulaan. Terutama karena ketentuan pasal 26 ayat (1) tersebut memberikan wewenang yang begitu luas kepada penyidik untuk melakukan perampasan kemerdekaan yaitu penangkapan, terhadap orang yang dicurigai telah melakukan Tindak Pidana Terorisme, maka kejelasan mengenai hal tersebut sangatlah diperlukan agar tidak terjadi pelanggaran terhadap Hak Asasi Manusia dengan dilakukannya penangkapan secara sewenang-wenang oleh aparat, dalam hal ini penyidik.
Demikian pula perlu dirumuskan tentang pengaturan, cara mengajukan tuntutan terhadap petugas yang telah salah dalam melakukan tugasnya, oleh orang-orang yang menderita akibat kesalahan itu dan hak asasinya telah terlanggar, karena banyak Pemerintah suatu negara dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap perbuatan teror melalui suatu pengaturan khusus yang bersifat darurat, dimana aturan darurat itu dianggap telah jauh melanggar bukan saja hak seseorang terdakwa, akan tetapi juga terhadap Hak Asasi Manusia. Aturan darurat sedemikian itu telah memberikan wewenang yang berlebih kepada penguasa di dalam melakukan penindakan terhadap perbuatan teror[22].
Telah banyak negara-negara didunia yang mengorbankan Hak Asasi Manusia demi pemberlakuan Undang-Undang Antiterorisme, termasuk hak-hak yang digolongkan kedalam non-derogable rights, yakni hak-hak yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya dalam keadaan apapun[23]. Undang-Undang Antiterorisme kini diberlakukan di banyak negara untuk mensahkan kesewenang-wenangan (arbitrary detention) pengingkaran terhadap prinsip free and fair trial. Laporan terbaru dari Amnesty Internasional menyatakan bahwa penggunaan siksaan dalam proses interogasi terhadap orang yang disangka teroris cenderung meningkat[24]. Hal seperti inilah yang harus dihindari, karena Tindak Pidana Terorisme harus diberantas karena alasan Hak Asasi Manusia, sehingga pemberantasannya pun harus dilaksanakan dengan mengindahkan Hak Asasi Manusia. Demikian menurut Munir, bahwa memang secara nasional harus ada Undang-Undang yang mengatur soal Terorisme, tapi dengan definisi yang jelas, tidak boleh justru melawan Hak Asasi Manusia. Melawan Terorisme harus ditujukan bagi perlindungan Hak Asasi Manusia, bukan sebaliknya membatasi dan melawan Hak Asasi Manusia. Dan yang penting juga bagaimana ia tidak memberi ruang bagi legitimasi penyalahgunaan kekuasaan[25].
ORANG SESAT AKAN DI AZAB Allah
Azab adalah siksaan yang di hadapi manusia atau makhluk Tuhan lainnya, sebagai akibat dari kesalahan yang pernah atau sedang dilakukan, dalam filsafat Islam. Dalam perspektif sunnatullah, keadilan akan mengantar pada kesejahteraan, siapapun yang melakukan.
Penggolongan azab
Azab dibagi menjadi tiga bagian, yaitu:
• Azab dunia,
• Azab kubur,
• Azab akhirat.
Menurut ajaran Islam, azab dunia biasanya terjadi dengan adanya beberapa mukjizat yang telah disampaikan oleh para nabi dan rasul, sehingga para umat menyangkal semua mukjizat itu. Biasanya berupa bencana alam, kelaparan, kekeringan dan lainnya. Azab kubur terjadi selama dalam alam barzakh selama makhluk berada di dalam masa penantian untuk kehidupan kedua. Azab akhirat ada setelah adanya penghisaban di Padang Mahsyar, bagi mereka yang didunia tidak pernah melakukan kebaikan akan mendapat azab yang kekal selamanya.
Azab dan ujian
Ada sebuah kata yang erat kaitannya dengan azab, yaitu ujian. Baik ujian maupun azab, keduanya berwujud kesulitan.
Ujian adalah satu proses seleksi untuk naik kelas. Kesulitan yang dihadapi oleh orang adalah kesulitan yang memang diprogram untuk mengukur tingkat kemampuannya mengatasi masalah dalam dunia realitas. Boleh jadi kesulitan dalam ujian lebih berat dibanding realitasnya.
JAHILIYAH
Oktober 9, 2011
Tinggalkan Sebuah Komentar
JAHILIAHTinggalkan Sebuah Komentar
Sebab-sebab Jahiliyah
• Sebab-sebab kejahiliyahan:
•
• Prasangka buruk kepada Allah (QS.48:6 , 24:50 )
• Merasa cukup, tak perlu hidayah (QS.96:6 – 7 , 5:104 , 31:21 )
• Sombong (QS. 7:12 , 38:75 -76 , 11:27 )
• Pendeta yang mengajak bid’ah (QS. 6:31 ,9:31 )
• Mengikuti hawa nafsu (QS. 45:23 )
• Taklid buta (QS. 17:36 )
1. Jahil terhadap kebenaran
•
• Persangkaan jahiliyah (QS. 48:6 , 3:154 )
• Hukum jahiliyah (QS. 5:51 , 4:60 )
• Ibadah /pengabdian jahiliyah (QS.39:64 )
• Kebanggan jahiliyah (QS.48:26 )
• Tradisi jahiliyah (QS. 28:55 , 25:63 )
• Tingkahlaku /perhiasan jahiliyah (QS. 33:33 )
1. Akibat berada di dalam kegelapan jahiliyah (QS. 2:257 , 24:39 -40 )
2. Fenomena Jahiliyah
http://oasetarbiyah.com/materitarbiyah/?p=142
Gambaran Secara Umum Zaman Jahiliah Yang Pertama
Gejala sosial serta kerosakan akhlak bukan sahaja berlaku pada zaman ini, tetapi ia telah pun berlaku sejak zaman jahiliah sebelum kelahiran Rasulullah SAW lagi. Baginda dibesarkan dan menyaksikan sendiri betapa rosak kaumnya di waktu itu.Ketika itu empayar Rom dan Parsi mempunyai tamadun yang begitu tinggi. Dua buah empayar yang besar ini merupakan bapa penjajah yang sentiasa menguasai negara serta bangsa lain yang lemah. Bangsa Rom dan Parsi sudah mempunyai sistem hidup yang teratur, tentera yang besar dan kuat serta sudah maju di bidang binaan dan pembangunan.
Pada waktu yang sama, bangsa Arab merupakan bangsa yang paling mundur. Kehidupan mereka masih primitif. Walau bagaimanapun, mereka sering mengadakan sayembara sastera yang telah begitu lama diwarisi sejak turun-temurun. Mereka mengadakan pertandingan sastera, dan hasil karya akan digantung di Kaabah supaya semua pengunjung Kaabah tahu siapa pemenangnya. Kehebatan hasil karya sastera di zaman itu masih dapat dibaca hingga ke hari ini. Selain itu ada pesta yang dinamakan Pesta Ukaz. Di situ diadakan peraduan ratu cantik, peraduan angkat berat, peraduan menari serta peraduan lawan pedang.
Di antara kerosakan lain yang dilakukan oleh masyarakat Arab ketika itu adalah seperti berikut:
1. Manusia sudah putus hubungan dengan Tuhan .
Mereka langsung tidak kenal Tuhan pencipta dan penjaga. Mereka sekadar percaya Tuhan itu wujud. Tapi ramai juga yang tidak percayakan Tuhan lagi. Ertinya manusia tidak lagi merasakan Tuhan ada peranan dalam hidup mereka. Mereka yakin semua masalah hidup mereka boleh selesaikan sendiri. Akibatnya jiwa mereka kosong dari keimanan dan ketuhanan. Bila berhadapan dengan masalah hidup, ramai yang kecewa, putus asa dan membunuh diri. Ramai yang membunuh diri akibat tidak tahan dengan masalah yang dihadapi.
Pemujaan terhadap berhala begitu menebal sekali. Contohnya, Sayidina Umar r.a. sebelum memeluk Islam merupakan seorang yang sangat memuja berhala. Beliau bukan sahaja menyembah 360 berhala yang ada di Kaabah ketika itu, bahkan beliau sendiri membuat `tuhan` dan kemudian menyembah `tuhan` yang dibuatnya itu.
Cerita Sayidina Umar r.a. setelah dia Islam, “Kadang-kadang `tuhan` itu diperbuat daripada kuih. `Tuhan` itu akan kubawa ke mana-mana di masa aman damai, di masa perang,mengembara atau musafir. Apabila keletihan, ia akan kuletakkan di hadapan dan aku puja. Tetapi kalau lapar, ia akan kumakan, kemudian aku buat tuhan yang baru pula.” Begitulah fanatiknya beliau kepada tuhannya itu.
2. Berlaku sengketa dan dendam-mendendam di kalangan manusia .
Maka berperanglah bangsa dengan bangsa, puak dengan puak, etnik dengan etnik, kabilah dengan kabilah, agama dengan agama, hngga keamanan tidak wujud lagi.
3. Orang yang kuat menjatuhkan yang lemah .
Orang lemah menjadi mangsa. Keadilan dan pembelaan tidak berlaku. Ini menjadikan golongan bawahan semakin tertindas dan menderita.
4. Perempuan tidak ada tempat di dalam masyarakat .
Perempuan hanya dijadikan alat pemuas nafsu lelaki terutama lelaki kaya dan penguasa-penguasa negara di waktu itu. Mereka akan ambil saja secara paksa mana-mana wanita yang mereka berkenan tanpa peduli anak atau isteri orang. Ini menjadikan mana-mana keluarga yang ada anak perempuan hidup tertekan. Anak-anak gadis akan diambil dan dirogol oleh panglima-panglima dan pemain-pemain senjata yang handal-handal di hadapan mata ibu bapa secara paksa. Inilah yang amat memalukan ibu bapa hingga akhirnya sesetengah daripada mereka mengambil keputusan untuk membunuh sahaja anak-anak perempuan apabila dilahirkan kerana tidak mahu menanggung malu.
5. Sistem ekonomi riba yang membolehkan orang kaya menekan orang miskin menjadi budaya dalam ekonomi .
Orang miskin dicekik dengan hutang. Apabila tidak terbayar hutang kerana terlalu banyak, orang miskin diambil jadi hamba sahaya. Kebebasan dan kemerdekaan mereka diragut.
6. Hidup mereka nafsi-nafsi .
Susah tanggung sendiri dan senang pun untuk diri sendiri. Ini menjadikan masyarakat ditimpa bermacam-macam bentuk kesusahan, hidup tanpa ada yang menolong dan membantu. Manusia hidup bagaikan berendam dalam ketakutan. Kebahagiaan dan ketenangan tidak wujud.
7. Kejadian rompak, samun dan bunuh bermaharajalela .
Tinggal dalam rumah sendiri pun rasa tak selamat. Apa lagi kalau pergi bermusafir atau mengembara.
8. Kemanusiaan dan keturunan menjadi rosak akibat penyakit- penyakit sosial seperti zina, rogol, liwat, lesbian, sumbang mahram dan lain-lain lagi. Gelombang jahat ini melanda bagaikan banjir besar hingga tidak dapat dibendung dan dikawal lagi.
9. Manusia benar-benar bertuhankan nafsu .
Hormat-menghormati antara satu sama lain tidak wujud. Rakyat tidak hormat pemimpin. Pemimpin tidak memberi kaslh sayang pada rakyat. Orang kaya tidak berperikemanusiaan. Perompak, penyamun dan pembunuh tumbuh meliar akibat hasad dan dendam.
10. Allah SWT datangkan peringatan yang banyak dengan bencana alam, gempa bumi, banjir, belalang memusnahkan tanaman, ribut taufan dan penyakit berjangkit yang tidak ada ubat .
Manusia bertambah derita dan melarat. Yang kaya berpoya-poya, sombong, membuang masa, membazir dan hidup sendiri-sendiri. Di zaman itu mereka terlalu ketagihkan arak. Walaupun di zaman ini pun ada yang minum arak tetapi tidak sehebat zaman Rasulullah. Arak kini disimpan di dalam botol-botol yang cantik tetapi dulu ia disimpan di dalam tempayan-tempayan yang terletak di sekeliling rumah. Bahkan menjadi kemegahan di kalangan masyarakat waktu itu untuk membawa pulang serta menyimpan kepala manusia yang telah dipenggal dari tubuh. Tengkorak ini akan disangkut dan dijadikan hiasan di rumah. Ada juga tengkorak yang dijadikan bekas untuk meminum arak. Begitu hebat ketagihan mereka kepada arak.
Begitulah gambaran masyarakat jahiliah dahulu, begitu kusut dan porak-peranda. Tidak ada Tuhan, tidak ada kasih sayang, tidak ada keamanan, kedamaian dan keharmonian, tidak ada keselamatan, tidak ada saling bantu-membantu dan tolong-menolong. Masyarakat dipenuhi dengan penindasan, penzaliman, tekanan, ketidakadilan, keganasan, kejahilan,pergaduhan, peperangan dan kesumbangan. Manusia ketika itu berada di kemuncak kerosakan. Kehidupan mereka hampir- hampir setaraf dengan kehidupan haiwan.
Rasulullah SAW membawa kaedah bagaimana membaiki masyarakat tersebut. Sebenarnya pada waktu dan kesempatan inilah Allah mendatangi manusia melalui wakil-Nya iaitu Rasulullah SAW. Rasulullah diutuskan kepada umatnya dengan membawa 3 cara untuk mengubat penyakit masyarakat yang sudah begitu kronik. Rasulullah SAW dididik, diajar, dipelihara, dibantu, disokong, diselamatkan dan diberi kemenangan dalam perjuangannya oleh Allah SWT.
Orientalis Barat sehingga kini mash tertanya-tanya formula apakah yang digunakan oleh Rasulullah SAW sehingga berjaya merubah kehidupan masyarakatnya di waktu itu. Perubahan ini menjadi tanda tanya kepada mereka. Apakah rahsianya sehingga manusia yang pada mulanya begitu jahat dan jahil tetapi selepas dididik oleh Rasulullah, mereka sudah tidak mahu lagi meminum arak, sudah tidak mahu lagi menerima serta memberi riba, sudah tidak mahu lagi berzina dan wanita yang pada mulanya hanya untuk memuaskan nafsu kaum lelaki, mendapat pembelaan hingga mereka diletakkan sebagai golongan yang dijaga dan dihormati. Wanita dijaga, dibela, dihormati dan maruah mereka dipertahankan habis-habisan.
Dari sebuah masyarakat yang menjadi pemuja berhala tiba-tiba berubah kepada masyarakat yang terlalu memuja Tuhan. Tuhan dibesarkan dan diagungkan. Begitu juga dari masyarakat yang suka bergaduh dan berperang antara satu sama lain akhirnya menjadi masyarakat yang begitu berkaslh sayang yang sangat luar biasa sekali.
Bahkan lahir juga peribadi yang menyerah diri untuk dihukum. Kalau ada yang mencuri, datang bertemu Rasulullah minta dipotong tangannya; yang membunuh menyerah diri minta dibunuh; yang minum arak minta dirotan sementara yang berzina minta agar dihukum rejam. Tetapi disebabkan hukuman zina itu berat, Rasulullah sering mengelak-elak untuk tidak menghukum dan merejam. Namun mereka bersungguh- sungguh mengaku dan melahirkan buktinya.
Yang menjadi tanda tanya kepada kita, kenapakah mereka begitu sekali takut sehingga rela menyerah diri sedangkan ketika itu polis tidak ada dan undang-undang masih belum begitu ketat lagi. Apakah yang menyebabkan perkara ini boleh berlaku? Apakah faktor yang merubah dan membaiki masyarakat di zaman Rasulullah yang pada mulanya serba berpenyakit?
Mengikut pendapat tokoh-tokoh Islam terutamanya ulama-ulama di bidang Tasawuf, timbulnya penyakit masyarakat atau kemungkaran itu disebabkan tiga perkara yang terbesar:
a. Disebabkan keyakinan manusia terhadap Tuhan sudah nipis ataupun dalam erti kata yang lain, perasaan tauhid sudah berkurangan.
Apabila seseorang itu sudah nipis rasa tauhidnya, sudah nipis keyakinan terhadap Tuhan, atau mempercayai bahawa adanya Tuhan dan tidak adanya Tuhan sudah sama banyak, maka di waktu itu manusia tidak takut kepada sesiapa lagi. Sudah tidak ada lagi kuasa ghaib yang ditakuti. Dia akan menjadi manusia yang sanggup berbuat apa sahaja asalkan kehendaknya tercapai. Dia sanggup mencuri, merompak, membunuh, berzina, merogol atau melakukan apa sahaja. Dengan itu maka merebaklah penyakit masyarakat.
b. Oleh kerana manusia sudah tidak yakin lagi dengan adanya Akhirat ataupun sekiranya masih ada keyakinan, namun keyakinan itu sudah nipis.
Apabila manusia sudah tidak yakin lagi dengan hari Akhirat ataupun dia mempunyai keyakinan tetapi keyakinannya itu sudah nipis, maka Akhirat itu sudah tidak lagi menjadi idaman atau cita-citanya. Dengan itu hilanglah sifat mahu berjuang atau berjihad untuk Akhirat kerana fikirannya sudah tertumpu untuk dunia semata-mata. Dia mencari wang untuk dunia, mencari pangkat untuk dunia dan mencari segala-galanya untuk dunia. Kadang-kadang urusan Akhirat pun dijadikan untuk dunia. Dunia menjadi matlamat hidupnya. Dia sanggup berbuat apa sahaja untuk dunianya tidak kira haram atau halal, baik atau jahat, betul ataupun salah.
c. Disebabkan manusia terlalu sayang dan cinta pada diri mereka sendiri .
Apabila manusia itu telah terlalu cinta dengan diri sendiri maka timbullah usaha bagaimana mahu senang sendiri, mahu senang keluarga sendiri, mahu senang kawan-kawan sendiri. Dalam usaha mahu membela nasib untuk kepentingan diri sendiri maka adakalanya terpaksa melanggar hak asasi orang lain, terpaksa merosakkan kepentingan orang lain, kadang-kadang terpaksa memijak kepala orang lain dan terpaksa merugikan orang lain. Akhirnya tercetuslah pergaduhan, perbalahan, peperangan, kekacauan, tindas-menindas dan lahirlah perasaan hasad dengki dan dendam kesumat yang berpanjangan.
Setelah mengenal pasti masalah kaumnya, Rasulullah SAW mengubati masyarakatnya yang sudah teruk itu berpandukan pimpinan dari Tuhan. Di antara yang dilakukan oleh baginda adalah seperti berikut:
1. Rasulullah SAW menanamkan rasa tauhid.
Rasulullah membina dan menanam kembali rasa tauhid yang sudah begitu nipis di kalangan masyarakat jahiliah ketika itu.
Rasulullah mengenalkan kembali Tuhan kepada manusia supaya manusia terasa akan kebesaran Tuhan, kehebatan Tuhan dan keperkasaan Tuhan. Rasulullah membacakan ayat-ayat yang menunjukkan bahawa Allah itu Maha Perkasa, Maha Agung, Maha Pencipta. Allah yang menghidupkan dan mematikan. Dialah yang memberi nikrnat kepada orang yang baik dan Dialah yang akan mengazab orang yang jahat.
Hasilnya manusia kembali kenal dan takut kepada Tuhan. Mereka rasa gerun dengan kekuasaan Tuhan. Mereka merasai kehebatan Tuhan. Ramai di kalangan para Sahabat yang gementar apabila mendengar nama Allah atau apabila mendengar orang menyebut-nyebut tentang kekuasaan dan kehebatan Allah.
2. Rasulullah menanamkan rasa cintakan Akhirat.
Selepas itu Rasulullah menanamkan pula rasa cinta kepada Akhirat. Beliau tekankan bahawa Akhirat itu ada dan pasti. Beliau ceritakan tentang kedatangan hari Qiamat. Tentang kehebatan Akhirat. Beliau memperkatakan tentang Syurga dan Neraka. Beliau membacakan ayat-ayat tentang Akhirat, antaranya firman Allah SWT:
Maksudnya: “Katakan sesungguhnya kebendaan duniawi ini kecil (sedikit) dan akhirat itu lebih baik bagi orang yang bertaqwa. ” (Surah An-Nisa`: 77)
Rasulullah berjaya melahirkan manusia yang jiwanya terpaut dengan Akhirat, rindu dengan Akhirat dan seronok dengan Akhirat. Bahkan sesetengahnya menjadi terlalu ingin agar cepat balik ke Akhirat. Bukan sahaja harta dihabiskan untuk Akhirat bahkan nyawa sendiri dikorbankan untuk Akhirat. Mereka mahu cepat-cepat kembali ke Akhirat. Mereka mahu mati syahid dan menjadi para syuhada.
Ada yang berlumba-lumba dan berkejar-kejaran untuk ke Akhirat. Sebolehnya apa sahaja yang ada pada mereka hendak diberikan kepada orang lain sebagai bekalan mereka di Akhirat nanti. Begitulah hebatnya perasaan rindu mereka kepada negara yang kekal abadi di Akhirat itu hingga apa sahaja usaha ikhtiar mereka lakukan demi untuk mendapat nilai di sisi Allah sebagai bekalan di Akhirat.
3. Rasulullah menanam kasih sayang sesama manusia
Rasulullah kemudian menanam semangat dan perasaan cinta terhadap sesama manusia terutamanya terhadap sesama umat Islam. Ini semata-mata untuk mengikis sikap terlalu cintakan diri sendiri iaitu perasaan dan kecenderungan untuk membela diri sendiri, keluarga sendiri dan kawan-kawan sendiri sahaja.
Mari kita lihat beberapa contoh Hadis yang menggalakkan manusia supaya mencintai dan mendahulukan orang lain lebih dari diri sendiri:
a. “Tidak sempurna iman seseorang dari kamu sehingga dia mencintai saudaranya seperti dia mencintai dirinya sendiri. “
b. “Sebaik-baik manusia ialah manusia yang banyak berkhidmat kepada manusia lain.”
c. “Barangsiapa yang menunaikan sesuatu hajat saudaranya, Tuhan akan menunaikan untuknya 70 hajat.”
Dengan cara beginilah maka tumbuh di hati-hati para Sahabat perasaan bahawa kesenangan orang lain seperti kesenangan diri sendiri. Lahir perasaan kasih sayang pada orang lain. Mereka dapat merasai nasib orang lain seperti nasib mereka sendiri, kesenangan orang lain seperti kesenangan sendiri, kesusahan orang lain seperti kesusahan sendiri, tubuh orang lain seperti tubuh mereka sendiri, darah orang lain seperti darah sendiri dan nyawa orang lain seperti nyawa sendiri.
Rasulullah menimbulkan unsur-unsur yang boleh mendatangkan ukhwah. Rasulullah sendiri mempraktikkan apa yang terkandung di dalam Quran hingga tercetus perasaan kasih sayang sesama umat Islam. Beliau duduk bersama manusia, bersembahyang bersama-sama, jalan bersama, baring bersama, makan bersama, bahkan boleh menegur kesalahan orang tanpa ada rasa sakit hati atau rasa tersinggung. Ditanamkan di dalam hati para Sahabat betapa perlu dan pentingnya ukhwah dan kasih sayang di antara mereka.
Rasulullah berjaya mendidik kaumnya sehingga lahir peribadi yang sangat mengkagumkan kita. Dalam sejarah diceritakan bagaimana Sayidina Ali dan Siti Fatimah yang terkenal hidup dalam keadaan miskin dan melarat tetapi masih dapat memikirkan hal orang lain dan dapat membela nasib orang lain. Mereka membela fakir miskin, janda-janda dan anak-anak yatim di sekeliling rumah mereka. Mereka yang terbela itu tidak menyangka Sayidina Ali dan isterinyalah yang menghantar barang-barang makanan ke beranda-beranda rumah mereka di waktu malam, ketika mereka sedang nyenyak tidur. Setiap pagi ada sahaja makanan diletakkan di situ.
Mereka sangka tentulah itu kerja orang seperti Sayidina Abdul Rahman Bin Auf yang terkenal kaya-raya. Atau mungkin juga perbuatan Saidina Abu Bakar atau Sayidina Umar.Sekali-kali tidak terlintas pada mereka bahawa Sayidina Alilah yang membela mereka. Akhirnya apabila meninggalnya Sayidina Ali, bekalan makanan terputus. Barulah mereka sedar bahawa selama ini Sayidina Alilah yang memberi makanan tersebut kepada mereka.
Apakah yang mendorong Sayidina Ali dan Siti Fatimah membela orang lain walaupun mereka sendiri terlalu miskin? Pasti ada sesuatu yang menggerakkan hati-hati mereka sehngga mereka dapat melahirkan rasa kasih sayang, simpati, ingin membela orang lain dan dapat merasai kesusahan yang ditanggung oleh orang lain itu seperti kesusahan mereka sendiri sehingga terdorong untuk membantu mereka. Inilah hasil mukjizat pimpinan Rasulullah SAW yang mampu memimpin kaumnya. Rasulullah berjaya membawa mesej kasih sayang kepada para Sahabat sehingga mereka terdorong untuk berkorban berhabis-habisan untuk orang lain.
Kesimpulannya, kita boleh lihat kejayaan yang dibawa oleh Rasulullah dalam kehidupan masyarakatnya, dalam berbagai aspek.
Antaranya:
1. Di sudut aqidah , Rasulullah seolah-olah telah memberikan satu hadiah yang paling besar nilainya kepada masyarakat jahliah iaitu Tuhan. Baginda berjuang bermati-matian untuk memastikan setiap manusia mendapat Tuhannya. Bermula dengan menerangkan bahawa Tuhan itu sebenarnya wujud. Kemudian meyakinkan manusia bahawa Tuhanlah yang menciptakan manusia dan mahkluk lain. Kemudian diyakinkan manusia bahawa Tuhan mengirimkan kitab-kitab. Di dalarnnya dijelaskan peranan Tuhan kepada manusia dan makhluk-makhluk lain. Tuhan Maha Berkuasa, Maha Mencipta, Maha Mendengar, Maha Melihat, Maha Menghidupkan dan Maha Mematikan. Tuhan mengadakan dan meniadakan, menghukum sama ada di dunia mahupun di Akhirat. Tuhan penjaga, pengawal, pendidik, pemelihara, penyelamat.
Rasulullah menghubungkan manusia dengan Tuhan dengan menonjolkan sifat maha kasih sayangnya Tuhan kepada manusia. Contohnya, Tuhan meminta memulakan apa-apa yang baik yang hendak kita buat itu dengan menyebut Bismillahir Rahmanir Rahim (Dengan nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang). Bila manusia kenal Allah sebegitu rupa, maka manusia akan terasa sangat bahawa dalam hidupnya ada pelindung, ada penyelamat, ada tempat berkasih sayang, ada tempat rujuk, ada tempat meminta, ada tempat bermanja dan ada tempat mengadu. Dengan itu Rasulullah telah berjaya membebaskan manusia dari penyakit kecewa dan putus asa bilamana mereka berhadapan dengan apa sahaja kesusahan hidup. Bila manusia dapat Tuhan, sungguh manusia mendapat segala-galanya. Inilah pemberian terbesar dari seorang Rasul kepada umatnya.
2. Di sudut perpaduan , Rasulullah mencipta formula untuk mencapai perpaduan sejagat. Inilah satu kejayaan yang kedua terbesar selepas aqidah. Sesudah 13 tahun memperjuangkan aqidah di Mekah sehingga para Sahabatnya jadi begitu cinta dan takut kepada Allah, dan manusia tidak sanggup lagi bergaduh dan berkrisis. Mereka tahu dan mampu berkasih sayang sesama mereka. Lahirlah masyarakat yang bertolak ansur, berukhwah, bekerjasama, maaf bermaafan, mengutamakan orang lain lebih dari diri sendiri, saling merendah diri dan sebagainya. Peri kemanusiaan subur semula dalam diri-diri manusia. Perpaduan yang erat pun berlaku. Sombong, pemarah, hasad dengki dan dendam kesumat kian pupus.
Kehidupan jadi begitu aman, damai, harmoni dan bersih dari segala ketakutan atau kebimbangan yang melanda sebelumnya. Masyarakat yang asalnya kronik terubah sistemnya kepada sebuah masyarakat yang sungguh indah. Rakyat menghormati pemimpin, pemimpin mengasihi rakyat,murid-murid hormat guru-guru, guru-guru sayangkan murid-murid, anak-anak menghormati dan mentaati ibu ayah, ibu ayah memberi kasih sayang dan bertanggungjawab terhadap anak-anak. Suami isteri cinta-mencintai dan berperanan di tempat mereka masing-masing. Jiran menghormati jiran bahkan dianggap seperti keluarga sendiri, djjaga maruah, kehormatan dan keselamatan jiran, hatta waktu jiran tidak ada di rumah, rumahnya itu di jaga.
3. Di sudut pergaulan , Rasulullah mengajarkan satu sistem pergaulan yang selamat. Tanpa sistem yang selamat yang diajar oleh Rasulullah itu, manusia akan jatuh martabatnya ke peringkat haiwan. Rasulullah berjaya membendung gejala-gejala zina, rogol, lesbian, homoseks dan lain-lain. Rasulullah datang mengajarkan masyarakatnya tentang satu sistem pergaulan yang selamat dan menyelamatkan serta mampu memelihara mereka dari kehinaan.
4. Di sudut hak asasi , Rasulullah ialah orang pertama yang mempertimbangkan keperluan-keperluan asasi setiap individu. Walhal sebelumnya manusia sudah tidak menghormati hak-hak orang lain. Maka Rasulullah menghalakan manusia kepada satu cara hidup di mana setiap manusia diberi hak kebebasan belajar, kebebasan beragama, kebebasan memiliki, kebebasan mencari rezeki, hak tempat tinggal, hak kebebasan bercakap, berfikir dan lain-lain lagi.
5. Di sudut kemajuan , Rasulullah membawa Islam yang cukup praktikal. Baginda mendorong, menganjurkan, menggalakkan, bahkan mewajibkan manusia belajar dan mempraktikkan ilmu hingga terbinanya satu tamadun lahiriah. Kehidupan yang mundur telah jadi maju. Hidup senang dan selesa. Kalau sebelumnya Rom dan Parsi menjadi kiblat manusia, tetapi selepas kedatangan Rasulullah, Islam menjadi alternatifnya. Bagindalah bapa pembangunan tamadun fizikal dan roh. Rom dan Parsi dapat ditakluki oleh Rasulullah, kemudian disambung oleh para Sahabatnya hingga tiga suku dunia tunduk kepada Islam.
6. Di sudut keamanan , dunia seolah-olah putus asa dalam menyelesaikan krisis dan peperangan sesama manusia, tetapi Rasulullah ada kaedah bagaimana mengelakkan darah manusia dari tumpah di medan perang. Rasulullah mampu mengalihkan suasana perang kepada suasana kedamaian. Sedangkan tidak ada orang yang boleh lakukan ini. Tidak juga badan dunia seperti PBB.
7. Di sudut martabat wanita , kaum wanita sepatutnya merasa terhutang budi kepada Rasulullah. Usaha bagindalah yang telah mengangkat da rjat wanita serta memberi mereka hak yang sama dengan kaum lelaki dalam bidang-bidang yang sesuai. Walhal sebelumnya wanita tidak ada tempat dalam masyarakat. Hanya jadi alat memuaskan nafsu kaum lelaki. Tidak dihormati, tidak dijaga maruah dan kehormatan mereka serta tidak mendapat tempat di tengah masyarakat. Sebagai isteri dan ibu, wanita mendapat layanan dan kasih sayang yang istimewa dari Islam.
Rasulullah sanggup menemani janda-janda, balu-balu dan anak-anak yatim. Bijaknya Rasulullah memperlakukan hamba-hamba yang lemah ini hingga mereka menjadi cukup berperanan tapi bersopan santun. Tidaklah sama dengan apa yang dilakukan oleh orang jahiliah yang mempergunakan kecantikan dan keistimewaan yang dikurniakan Allah kepada kaum wanita hanya untuk kepentingan nafsu mereka sahaja. Apakah agaknya hadiah atau bayaran yang kaum wanita sanggup berikan kepada Rasulullah yang telah menghadiahkan kemuliaan seperti ini kepada mereka?
8. Kita tidak akan mampu menghitung nikmat dan rahmat Allah yang dibawa oleh Rasulullah kepada kita. Ianya terlalu besar dan banyak. Rasakanlah betapa rahmatnya bila Rasulullah dapat lahirkan pemimpin-pemimpin yang berlaku adil dan melindungi rakyat, orang kaya sangat pemurah sehingga menjadi bank kepada rakyat, orang miskin yang redha, ulama yang menjadi obor, perempuan-perempuan yang pemalu dan pemuda yang berjuang. Orang bersalah yang sanggup meminta maaf, yang tidak bersalah sanggup memberi maaf. Para musafir tidak diganggu perjalanannya. Barangan yang hilang dipulangkan semula.
Orang musafir dijadikan tetamu istimewa, orang berebutrebut mengajak mereka ke rumah dan diberi berbagai-bagai keperluan. Rumah musafir khana yang percuma banyak di bangunkan. Sistem pendidikan, ekonomi, sosial, kesihatan, perhubungan, politik dan lain-lain, semuanya terubah bilamana hati-hati dan jiwa-jiwa manusia dibina kukuh dengan bertunjangkan tauhid.
Inilah kejayaan-kejayaan besar yang telah dicetuskan oleh Rasulullah SAW dalam mengubat penyakit masyarakatnya. Baginda umpama penyelamat yang telah membawa masyarakat manusia sejagat dari lembah yang hina kepada suatu martabat yang tinggi iaitu sebuah masyarakat yang berakhlak dan terpuji, aman damai dan harmoni. Inilah masyarakat yang kita idam-idamkan iaitu sebuah masyarakat yang aman makmur serta mendapat keampunan Tuhan.
http://kawansejati.ee.itb.ac.id/kumpulan-kuliah
Hakikat Jahiliyah
Posted on Juni 16, 2010 by hasmijaksel
oleh : DR. Muhammad Sarbini MHI
Jahiliyah berasal dari kata Al Jahlu (الجهل ) yang berarti bodoh. Ketika menerangkan arti bahasa dari Al Jahlu,
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan :
هُوَ عَدَمُ اْلعِلْمِ أَوْ عَدَمُ اِتِّبَاعِ اْلعِلْمِ فَإِنَّ مَنْ لَمْ يَعْلَمِ اْلحَقَّ فَهُوَ جَاهِلٌ جَهْلاً بَسِيْطاً. فَإِنْ اِعْتَقَدَ خِلاَفَهُ فَهُوَ جَاهِلٌ جَهْلاً مُرَكَّبًا..وَ كَذَلِكَ مَنْ عَمِلَ بِخِلاَفِ اْلحَقِّ فَهُوَ جَاهِلٌ وَ إِنْ عَلِمَ أَنَّهُ مُخَالِفٌ لِلْحَقِّ
“Al Jahlu adalah tidak berilmu atau tidak mengikuti ilmu. Barangsiapa yang tidak mengetahui Al Haq(kebenaran), maka orang itu Jahil Basith (sederhana), sedangkan jika berkeyakinan menyalahi Al Haq(kebenaran) maka orang itu Jahil Murakkab (bertingkat). Demikian pula orang yang beramal menyalahi Al Haq (kebenaran), maka diapun jahil, sekalipun dia mengetahui bahwa dirinya menyalahi kebenaran.”
(Baca : Kitab “Iqtidha Ash Shirath Al Mustaqim Mukhalifah Ashhab Al Jahim, Tahqiq : Asy Syeikh Muhammad Hamid Al Faqi, Hal : 77-78)
Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan mengatakan bahwa Jahiliyah adalah :
هِيَ اْلحَالُ اَّلتِي كَانَتْ عَلَيْهَا اْلعَرَبُ قَبْلَ اْلإِسْلاَمِ مِنَ اْلجَهْلِ بِاللهِ وَ شَرَائِعِ الدِّيْنِ وَ اْلمُفَاخَرَةِ بِاْلأَنْسَابِ وَ اْلكِبْرِ وَ التَّجَبُّرِ وَ غَيْرِ ذَلِكَ نِسْبَةً إِلَى اْلجَهْلِ الَّذِي هُوَ عَدَمُ اْلعِلْمِ أَوْ عَدَمُ اِتِّبَاعِ اْلعِلْمِ
“Kondisi yang dialami bangsa Arab sebelum Islam berupa kejahilan kepada Allah, Rasul-rasulNya, Syari`at Ad Dien, berbangga-bangga dengan keturunan, takabbur, sombong dan lain-lain yang dikaitkan dengan kejahilan yang berarti tidak berilmu atau tidak mengikuti ilmu”.
(Baca ” Kitab At Tauhid”, Hal : 23)
Dari perkataan beliau Jahiliyah dapat dikaitkan dari 2 sisi, yaitu :
1. Sisi Masa / zaman yaitu kondisi bangsa Arab pra Islam, tentu saja, jika demikian masa ini telah berakhir dengan diutusnya Rasulullah Saw. Akan tetapi, perlu difahami bahwa masa atau zaman mengandung karakteristik atau peristiwa yang terkandung di dalamnya yang bisa menjadi ukuran bagi zaman atau masa yang lain. Untuk itu sisi Jahiliyah yang kedua adalah :
2. Sisi Karakteristik (Sifat-sifat atau peristiwa yang terjadi di dalamnya). Sisi ini tidak akan berakhir dengan berakhirnya bangsa Arab atau setelah diutusnya Rasulullah Saw, karena dia bisa terjadi dan dapat dimiliki oleh zaman manapun, bisa terjadi dan dapat dimiliki oleh bangsa manapun atau pribadi manapun, termasuk siapa saja di antara kita yang mengaku muslim.
Sisi karakteristik inilah yang dijelaskan oleh Muhammad Quthb tentang arti Jahiliyah dalam Al Qur`an Al Karim. Beliau mengungkapkan “Di dalam Al Qur`an Al Karim lafadz Jahiliyah memiliki makna khusus atau secara hakiki memiliki 2 makna terbatas yaitu :
إِمَّا اْلجَهْلُ بِحَقِيْقَةِ اْلأُلُوْهِيَّةِ وَ خَصَائِصِهَا وَ إِمَّا السُّلُوْكُ غَيْرُ اْلمُنْضَبِطِ بِالضَّوَابِطِ الرَّبَّانِيَّةِ أَوْ بِعِبَارَةٍ أُخْرَى : عَدَمُ اِتِّبَاعِ مَا اَنْزَلَ اللهُ
1. Jahil terhadap hakekat dan karakteristik Uluhiyah, dan
2. Bersikap hidup tanpa memiliki ikatan Rabbani atau dengan kata lain tidak mengikuti ajaran yang diturunkan oleh Allah.”
Kata-kata Dr. Shalih Fauzan “kejahilan kepada Allah…” hingga akhirnya merupakan gambaran karakteristik jahiliyah yang tidak dapat lepas dari 2 unsur pokok yang disebutkan oleh Muhammad Quthb tersebut. Terlebih lagi beliau memberikan sejumlah bukti dalam Al Qur`an dan As Sunnah yang menjelaskan hal itu, di antaranya beliau mengutip firman Allah Swt :
وَجَاوَزْنَا بِبَنِى إِسْرَاءِيلَ الْبَحْرَ فَأَتَوْا عَلَى قَوْمٍ يَعْكُفُونَ عَلَى أَصْنَامٍ لَّهُمْ قَالُوا يَامُوسَى اجْعَل لَّنَآ إِلَهًا كَمَا لَهُمْ ءَالِهَةً قَالَ إِنَّكُمْ قَوْمٌ تَجْهَلُونَ
Dan Kami seberangkan Bani Israil ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang telah menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata:”Hai Musa, buatlah untuk kami sebuah ilah (berhala) sebagaimana mereka mempunyai beberapa ilah (berhala)”. Musa menjawab
“Sesungguhnya kamu ini adalah kaum yang jahil (terhadap sifat-sifat Ilah)”. (Qs. 6:103)
Jahil yang dimaksud dalam ayat ini adalah tidak mengetahui hakekat Uluhiyyah. Karena, seandainya mereka mengetahui bahwa Allah Ta`ala
( tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata. (QS. 6:103),
( Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia (QS. 42:11),
(Pencipta segala sesuatu (QS. 6:102) dan bukan makhluk
serta sifatNya tidak serupa dengan sifat makhlukNya, niscaya mereka tidak meminta hal tersebut yang menandakan kejahilan mereka terhadap hakekat Uluhiyyah.
وَطَآئِفَةُُ قَدْ أَهَمَّتْهُمْ أَنفُسُهُمْ يَظُنُّونَ بِاللهِ غَيْرَ الْحَقِّ ظَنَّ الْجَاهِلِيَّةِ يَقُولُونَ هَل لَّنَا مِنَ اْلأَمْرِ مِن شَىْءٍ
“sedang segolongan lagi telah dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliyah. Mereka berkata:”Apakah ada bagi kita barang sesuatu (hak campur tangan) dalam urusan ini”.(Qs. 3:154)
Yang dicela oleh Allah terhadap kelompok tersebut adalah aqidah tertentu (tashawwur mu`ayyan) yang berkaitan dengan hakekat uluhiyyah. Yaitu aqidah mereka bahwa ada pihak lain yang ikut campurtangan bersama Allah dalam segala
urusan serta kejahilan (ketidaktahuan) mereka bahwa yang menyempurnakan perbuatan hanyalah kehendak dan aturan Allah Yang Esa.
قَالَ رَبِّ السِّجْنُ أَحَبُّ إِلَيَّ مِمَّا يَدْعُونَنِي إِلَيْهِ وَإِلاَّ تَصْرِفْ عَنِّي كَيْدَهُنَّ أَصْبُ إِلَيْهِنَّ وَأَكُن مِّنَ الْجَاهِلِينَ
Yusuf berkata:”Wahai Rabbku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku. Dan jika tidak Engkau hindarkan daripadaku tipu daya mereka, tentu aku akan cenderung untuk ( memenuhi keinginan mereka ) dan tentulah aku termasuk orang-orang yang jahil”. (QS. 12:33)
Makna ayat ini berkaitan dengan sikap hidup yang tidak diikat oleh ikatan Rabbani yaitu cenderung untuk (memenuhi keinginan) wanita, melanggar perintah Allah dan terjerumus dalam urusan yang diharamkan Allah. Itulah sesuatu yang oleh Yusuf `Alaihis Salam dikhawatirkan terjatuh ke dalamnya serta dimintakan perlindungannya kepada Allah.
وَلاَتَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى
“dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu”. (QS. 33:33)
Makna ayat inipun berkaitan dengan sikap hidup yang tidak diikat oleh ikatan Rabbani dan mengikuti aturan yang tidak diturunkan oleh Allah seperti wajibnya menjaga diri dan tidak menampakkan perhiasan wanita kecuali terhadap para mahramnya.
أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللهِ حُكْمًا لِّقَوْمٍ يُوقِنُونَ
Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (QS. 5:50)
(Baca : Kitab “Ru`yah Islamiyyah Lii Ahwal Al `Alam Al Mu`ashir, Hal : 15-17)
2 karaktersitik inilah yang dapat saja terjadi pada perorangan atau suatu negara. Seorang yang tidak mengenal hakekat Uluhiyyah yang benar atau bersikap hidup tanpa ikatan Rabbani tentu disebut memiliki sifat jahiliyyah, walaupun dia mengaku Islam. Begitu pula sebuah negara yang system hukum, norma dan tata nilainya bertentangan dengan hakekat Uluhiyyah atau tidak terikat dengan ikatan Rabbani dapat digolongkan sebagai negara jahiliyyah, walaupun mayoritas penduduknya atau pemimpinnya kaum muslimin
http://hasmijaksel.wordpress.com/2010/06/16/hakikat-jahiliyah/
Karakteristik Masyarakat Jahiliah dalam Al-Qur’an
Dalam sejarah Islam dijelaskan bahwa Rasulullah diturunkan oleh Allah ke dalam suatu komunitas masyarakat yang dikenal dengan istilah masyarakat Arab Jahiliah. Secara lingustik istilah jahiliah berasal dari kata Bahasa Arab jahala yang berarti bodoh dan tidak mengetahui atau tidak mempunyai pengetahuan. Namun dalam realitas yang sesungguhnya, secara faktual saat itu masyarakat Arab yang dihadapi oleh Rasulullah bukanlah masyarakat yang bodoh atau tidak mempunyai pengetahuan. Buktinya pada saat itu sastra dan syair berkembang dengan pesat di kalangan mereka. Setiap tahun diadakan festival-festival pembacaan puisi dan syair, ini membuktikan bahwa orang-orang Arab ketika itu sudah banyak yang mengetahui baca dan tulis. Selain itu mereka juga mampu membuat tata kota dan tata niaga yang sangat baik. Hal ini semakin menguatkan bahwa mereka kaum Quraisy bukanlah orang-orang bodoh dan tidak berpengetahuan. Dapat dipahami, bahwa sebenarnya mereka adalah masyarakat yang sedang berkembang peradabannya.
Dari berbagai kajian yang pernah penulis lakukan dapat disimpulkan bahwa masyarakat yang dihadapi oleh Nabi Muhammad diistilahkan dengan jahiliah bukan karena bodoh atau tidak berpengetahuan, atau dalam istilah lain lemah dalam aspek intelektualnya.
Penulis berkeyakinan bahwa yang dimaksud dengan ”kejahilan” (ketidaktahuan) mereka ada pada dua aspek utama, pertama aspek akidah. Pada saat Rasulullah diutus oleh Allah, khurafat dan mitos-mitos yang berkembang pada saat itu telah menyeret manusia untuk menjauh dari kehidupan yang alami dan manusiawi. Dalam kondisi seperti itulah, Allah mengutus duta terakhirnya, yaitu Nabi Muhammad SAW. Beliau membawa agama Islam sebagai hadiah bagi umat manusia sedunia serta memberikan penafsiran baru terhadap kehidupan manusia, selain itu beliau juga datang dengan membawa misi untuk memberantas akar kebodohan dalam masyarakat, yakni syirik kepada Allah.
Sedangkan yang kedua adalah aspek akhlak. Pada masa itu, akhlak atau moral sama sekali tidak mendapat tempat dalam masyarakat jahiliah. Pada saat itu mereka melakukan berbagai perbuatan keji tanpa merasa takut atau bersalah, di antaranya kebiasaan mengubur bayi perempuan hidup-hidup, minum-minuman keras, berzina, membunuh, dan lain sebagainya. Rasulullah diturunkan oleh Allah untuk memperbaiki akhlak. Beliau menyeru masyarakat agar berpegang teguh kepada nilai-nilai moral. Selain itu beliau juga mengajarkan kepada mereka akhlak yang mulia.
Jadi dapat dikatakan bahwa masyarakat jahiliah yang dimaksud di sini adalah masyarakat yang jahil dalam segi akidah dan akhlak. Kejahilan yang terjadi ribuan tahun itu ternyata juga kembali terjadi di zaman sekarang, sehingga zaman globalisasi ini sering pula disebut dengan istilah jahiliah modern. Terjadinya berbagai dekadensi moral di berbagai bidang merupakan karakteristik utama yang menjadikan masyarakat modern ini kembali ke kehidupan jahiliah. Untuk lebih memahami apa yang disebut masyarakat jahiliah ini perlu kiranya kita mengkaji lebih dalam apa saja karakteristik dan perilaku dari masyarakat tersebut. Al-Qur’an sebagai pedoman dan petunjuk bagi manusia telah memberikan tuntunan bagi manusia dalam berbagai aspek kehidupan. Al-Qur’an juga telah menjelaskan 4 karakteristik utama dari masyarakat jahiliah. 4 Karakteristik itu adalah :
1. Hukmul Jahiliah (Hukum Jahiliah)
Masyarakat jahiliah menggunakan hukum jahiliah sebagai undang-undang dan peraturan dalam kehidupan mereka. Yang dimaksud dengan hukum jahiliah adalah hukum yang memihak kepada yang lebih kuat. Para pengambilan keputusan hukum lebih memihak kepada pihak yang bisa membayar dengan mahal, sementara kaum miskin semakin tertindas dengan berlakunya hukum jahiliah ini. Hukum begitu mudah dibeli dengan uang dan berbagai iming-iming materi. Wajar kiranya jika kiranya sekarang pun di sebut dengan zaman jahiliah modern, sebab supremasi hukum juga sudah tidak ada. Para koruptor, pengeruk harta kekayaan negara dengan mudahnya membebaskan dirinya dari jeratan hukum. Mereka mampu membeli para hakim dan jaksa. Para punggawa peradilan menjadi sangat mandul karena mereka sudah disuap dan disogok dengan duit jutaan bahkan milyaran. Inilah yang diisyaratkan Allah dalam sinyalemennya : ”Apakah hukum jahiliah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin?” (Al-Maidah : 50). Karakteristik demikian ternyata juga muncul di zaman sekarang, hukum begitu mudah dibeli. Supremasi hukum hanya slogan belaka, sebab dalam kenyataannya siapa yang kuat, yang berkuasa, yang punya uang, maka dialah yang berhak ”memiliki” hukum.
2. Dzhonnul Jahiliah (Prasangka Jahiliah)
Orang-orang musyrik jahiliah berakidah syirik (menyekutukan Allah). Mereka merasakan Tuhan itu jauh dari mereka karena tidak nampak (immateri) hingga mereka mangambil patung-patung orang suci dari kalangan mereka untuk dijadikan wasilah beribadah kepada Tuhan. Mereka pada hakekatnya tahu Tuhan mereka adalah Allah SWT. terbukti nama ayah Rasulullah sendiri bernama Abdullah (hamba Allah). Itulah prasangka jahiliah, sangkaan yang tidak benar tentang eksistensi Tuhannya. Allah SWT berfirman : ” …….mereka menyangka yang tidak benar terhadap Allah seperti sangkaan jahiliah…… ” (Ali Imran : 154). Sikap demikian ternyata juga ada di masyarakat modern sekarang ini, banyak di antara mereka yang syirik kepada Allah. Di antara mereka ada yang menjadikan harta, jabatan, ilmu pengetahuan, keelokan wajah sebagai Tuhan mereka. Waktu yang berikan oleh Allah telah mereka habiskan untuk ”menyembah” Tuhan-tuhan mereka. Prasangka yang tidak benar lainnya dari masyarakat jahiliiah adalah menganggap bahwa kehidupan ini akan kekal selamanya, bahkan sebagian lainnya mempercayai bahwa hidup ini tidak akan pernah berakhir, mereka tidak percaya dengan adanya hari kiamat. Prasangka demikian juga terjadi di dmasyarakat modern ini, bahkan kebanyakan dari mereka mempercayai konsep ”reinkarnasi”, naudzu billlahi min dzalik.
3. Hamiyatul Jahiliyah (Kesombongan Jahiliah)
Allah SWT berfirman : ”Ketika orang-orang kafir menanamkan dalam hati mereka kesombongan, (yaitu) kesombongan jahiliah, lalu Allah menurunkan ketenangan kepada Rasul-Nya, dan kepada orang-orang mu’min dan Allah mewajibkan kepada mereka kalimat taqwa …….” (Al-Fath : 26) ). Allah SWT. mempersamakan perilaku sombong sebagai penyakit jahiliah. Mengapa? Sebab kesombongan senantiasa melupakan eksistensi Tuhan sebagai penentu segalanya. Sebagai seorang Muslim, banyaknya musibah di negara ini jangan sekadar hanya disikapi sebagai fenomena alam biasa, tapi coba lihat dalam konteks Al-Qur’an yang berbicara tentang penyebab musibah. Sikap kesombongan kita kepada Allah SWT. yang menyebabkan bencana silih berganti datang kepada kita karena tidak bersyukur dengan nikmat Allah yang banyak kita peroleh. Orang yang sombong akhirnya akan terjerumus menjadi manusia yang berani melanggar dan menentang perintah Allah SWT. Iblis saja terusir dari surga karena tidak taat pada perintah Allah. Dengan demikian, Jika ada masyarakat Muslim kita yang tidak taat pada perintah Allah dalam skup sempit misalnya ingkar melaksanakan ibadah sholat dan zakat, maka diapun sebenarnya telah mengidap penyakit kesombongan jahiliah.
4. Tabarrujul Jahiliah (Hiasan/Dandanan Jahiliah)
Allah SWT berfirman : ”Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliah yang dahulu” (Al-Ahzab : 33) Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa budaya mengekspoitasi kemolekan tubuh wanita menjadi karakteristik utama masyarakat jahiliah. Arti tabarruj yang sebenarnya ialah: ”membuka dan menampakkan sesuatu untuk dilihat mata”. Az-Zamakhsyari berkata: “Bahwa tabarruj itu ialah memaksa diri untuk membuka sesuatu yang seharusnya disembunyikan.” Namun tabarruj dalam ayat di atas adalah khusus untuk perempuan terhadap laki-laki lain, yaitu mereka nampakkan perhiasannya dan kecantikannya.
Dalam mengartikan tabarruj ini, Az-Zamakhsyari menggunakan unsur baru, yaitu: takalluf (memaksa) dan qashad (sengaja) untuk menampakkan sesuatu perhiasan yang seharusnya disembunyikan. Sesuatu yang harus disembunyikan itu ada kalanya suatu tempat di badan, atau gerakan anggota, atau cara berkata dan berjalan, atau perhiasan yang biasa dipakai berhias oleh orang-orang perempuan dan lain-lain. Tabarruj ini mempunyai bentuk dan corak yang bermacam-macam yang sudah dikenal oleh orang-orang banyak sejak zaman dahulu sampai sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar